"Ibu bahagia ada Mbah Lanang di rumah?" Akhirnya apa yang menjadi beban pikiran ini bisa keluar.Raut wajah itu biasa-biasa saja, tak menampakan ada keterkejutan, kemarahan atau kesedihan. Ibu terlihat datar-datar saja menanggapi pertanyaan yang aku lontarkan.Tarikan napas panjang Ibu terlihat berat, tapi aku tidak bisa menilai sekilas begitu saja. Sebab, hati itu letaknya di dalam sehingga terlalu angkuhnya diri ini jika percaya pada diriku sendiri kalau ibu sebenarnya tidak suka dengan kedatangan mertuanya yang tidak pernah menganggap ada tersebut.Lagi, aku mencoba mengalihkan pembicaraan supaya Ibu tersenyum saat berkunjung ke rumah ini. Ku peluk Raka yang mulai mengantuk, menciumnya dan mengajaknya bermimpi dalam buaian yang selalu aku lakukan."Sudah tidur?" Suara ibu sangat pelan, takut kalau Raka terbangun.Mengangguk aku menjawab pertanyaan Ibu dan duduk di sebelahnya. Mengelus punggung tangan yang mulai terlihat keriput itu lalu menciumnya penuh kasih."Sebenarnya Ibu sedik
Aku mengantarkan Ibu pulang sampai di ujung jalan sambil menunggu ojek. Beliau menolak menunggu di rumah karena ingin berjalan melihat-lihat lingkungan sekitar tempat tinggal baruku.Suasana masih sepi, sebab rumah disini belum juga penuh. Sesekali aku dan ibu saling bercanda saat kami berbincang kecil."Ada tetangga yang aneh disini, Bu," ucapku pelan."Biasa itu, dimanapun berada pasti ada yang aneh dan unik. Anggap sebagai hiburan saja, oh, iya, nanti Sabtu sore kalian ke rumah, ya. Ibu lupa untuk memberitahu," ujar Ibu sambil mencium pipi gembul milik Raka."Ada acara apa?" tanyaku penasaran."Mbah Darma, jangan lupa kasih tahu suamimu." Aku mengangguk, dalam hati sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal.Aku harus bertemu lagi dengan Mbah Lanang, lelaki tua yang ingin aku hindari. Namun, ini acaranya orang tuaku dan mau tidak mau kami memang harus kesana.Tukang ojek sudah datang, setelah saling berbasa-basi Ibu pun pulang ke rumah dengan lambaian tangan yang kubalas serta Raka di
"Lain kali nggak usah di ladeni kalau ada orang asing yang nggak penting!" ujar Mas Yanuar, air putih beralih pada gelas yang telah diambilnya."Ibu sakit?" tanyaku tanpa menggubris perkataan dia."Sehat." Singkat, itulah jawaban suamiku saat aku bertanya perihal ibunya."Tadi …." "Orang lain tidak perlu kamu percaya. Eh, ada ibu?" tanyanya balik, aku hanya mengangguk saja menjawab pertanyaan dari suamiku itu.Aku tahu dia baru saja pulang dari kerja dan itu terkadang membuat moodnya tidak stabil sehingga cukup tahu diri saja jika aku ingin bertanya lebih lanjut.Segera aku membuatkan Mas Yanuar teh hangat supaya badannya lebih baik lagi karena bekerja seharian. Sembari menunggu air rebus mendidih, tangan ini jeli mengusap ponsel. Tidak ada pesan masuk dari siapapun, mungkin saja aku butuh teman untuk berbagi.Atau sekedar melepas penat pikiran yang berkecamuk dan menggerogoti jiwa. Terkadang aku memang menyalahkan diri sendiri karena kurang bergaul, terlalu berdiam diri di rumah dan
Pagi ini kami bersiap untuk ke rumah Ayah, aku yang memang sengaja hanya memasak sedikit segera membersihkan meja makan dengan kekuatan super kilat. Raka yang sudah mandi dan memakai pakaian rapi duduk bermain di temani Mas Yanuar."Sudah," ucapku kala melihat Mas Yanuar melihat diri ini yang berdiri di depan mereka.Semua kupastikan terkunci dari jendela, pintu belakang, gas juga sudah ku cek dan kulkas dan semuanya. Itulah diriku, jika Ingin bepergian maka wajib untuk segera diamankan. Takut terjadi hal-hal buruk di luar kendali, meskipun pada kenyataannya hal baiklah yang diinginkan.Jantungku terasa aneh, debarannya tak menentu sehingga terciptalah panas dingin pada tubuh ini. Sedang Raka yang berada di pangkuanku pun seakan merasakan hal yang sama, dia gelisah. Menyadari apa yang terjadi padaku, Mas Yanuar menoleh dan menggenggam tangan ini. Sontak alisnya bertautan, tapi aku mencoba meredamkan guncangan hati yang mungkin saja merusak moodnya pagi ini."Kenapa?" Suara itu seperti
Setelah kepergian Mas Yanuar untuk bekerja, aku masuk ke dalam rumah Ayah dan Ibu. Aku membaur bersama yang lainnya sedang Raka ikut Mbah Lastri. Wanita sepuh itu menyayangi Raka begitu besar, saking cintanya saat makan siang dan mandi pun beliau yang mengerjakannya.Julia, semenjak Mas Yanuar meninggikan suaranya tadi pagi, hingga kini belum juga menampakkan batang hidungnya. Entah malu atau marah, aku pun seolah tidak mau lagi peduli dengan apa yang dirasakan oleh sepupuku itu. Sebab, bukan tanpa alasan diri ini berbuat demikian, hanya saja aku tidak ingin juga sakit hati atas sikapnya yang seolah ingin selalu menindasku tanpa peduli apa yang aku rasa.Sore menjelang senja, semua sudah siap. Segala sajian makan untuk para bapak-bapak yang diundang pun sudah tertata rapi di meja makan. Mas Yanuar yang belum pulang membuat diri ini cemas karena tidak biasanya beliau akan pulang dan tanpa mengabariku terlebih dahulu."Kenapa?" tanya Ibu mengejutkanku."Mas Yanuar.""Kamu ini baru sehar
Pagi mulai menghangat karena sinar matahari yang telah terbit dari ufuk timur. Disambut dengan kicauan burung yang bertengger di ranting-ranting pohon yang berada di jalanan. Udaranya pun terasa menyejukkan hati, perlahan aku menghirupnya dalam-dalam hingga tanpa terasa ada setetes air mata yang mulai menyembul dari ujung netra ini."Pagi amat disini, Mbak?" tanya seseorang yang membuatku kaget.Bu RT, wanita dengan pakaian gamis berwarna putih itu tersenyum kala melihatku yang sedang menikmati pagi ini di jalan raya yang masih sepi."Iya, Bu.""Sendirian?" tanyanya lagi yang ku jawab dengan anggukan kepala.Beliau lalu melihat ke arah Raka yang duduk di pinggiran jalan dengan bermain daun kering. Dunia anak-anak begitu sangat indah dan bahagia, andai aku bisa kembali ke masa itu pasti saat ini semua kesusahan hati tidak pernah terasakan."Dunia ini memang kejam bagi sebagian orang, tapi jika kita mampu untuk melewati dan menjalaninya pasti semua akan indah pada waktunya. Yang paling
Seminggu telah berlalu, hampir dua bulan kami menempati rumah baru. Semua terasa sangat cepat, entah itu hanya dari penilaianku saja atau memang gerak jarum jam memutar bak bola cepat yang menggelinding.Damainya kehidupan yang aku rasakan beberapa saat ini memang menjadi ketenangan tersendiri. Apalagi melihat tumbuh kembang Raka yang semakin menggemaskan dan seakan menambah hidup semakin sempurna.Kabar kesehatan Mbah Lanang pun kata Ibu sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Awalnya memang ada sedikit rasa canggung, tapi seiring berjalannya waktu rasa itu sudah terkikis oleh sikap baik ibu yang begitu ikhlas dan bahagia menjaga serta merawat lelaki tua yang semakin putih rambutnya itu.Sehingga membuat diriku mau tidak mau juga harus menerima kehadiran bapak dari Ayah itu dengan tangan terbuka meskipun tidak selebar lapangan bola. Tentang Ibu mertua, selama ini belum juga Mas Yanuar mengajakku untuk berkunjung ke sana. Entah alasan apa lagi yang dirancang oleh suamiku itu untuk menj
Malam yang seharusnya hangat menjadi dingin oleh sikap diamnya Mas Yanuar. Aku pun enggan mengawali pembicaraan karena lebih baik diam sejenak saja meskipun tak tahu sampai kapan akan bertegur sapa.Setelah mengajak Raka bermain sejenak, aku pun menikmati hariku dengan berselancar di dunia maya. Melihat beberapa pakaian dan beraneka ragam makanan yang di posting di salah satu platform. Itu adalah caraku menyembunyikan rasa sakit ini."Besok kita ke rumah Ibu," ucap Mas Yanuar yang mengagetkan.Sontak aku terkejut setengah mati dan hampir saja berteriak karena sedari tadi sendirian di sini malah sekarang ada suara yang tiba-tiba datang."Terserah, aku tinggal ikut saja kemana kamu akan mengajakku," jawabku datar."Jangan seperti itu, aku bingung untuk saat ini dan kamu adalah alasanku semangat menjalani semuanya.""Kamu yakin?""Suci. Mengertilah, ini tentang ….""Kapan ke sana?" tanyaku tersenyum.Bukannya menjawab, Mas Yanuar justru memeluk tubuh ini erat. Ingin aku menangis, tapi ti
Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan
“Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent
Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in
Malam ini kami menginap di sini, rasa kangen yang setiap kali hadir membuat diriku semakin ingin berada di rumah ini bersama Ibu dan Ayah. Makanan yang dimasak oleh Ibu terasa begitu membuat selera ini datang dan menghabiskan nasi.“Pelan-pelan kalau makan, itu masih banyak tumis kangkung dan sambalnya,” ujar Ibu yang ku balas dengan senyuman.“Bu, lalu siapa yang memberikan makanan buat Mbah Lastri jika dia nggak mau tinggal di sini?” tanyaku di saat suapan terakhir.“Kadang Ibu, kadang juga beliau masak sendiri. Tergantung selera, namanya juga sudah tua, lidah yang pagi ini siang itu membuat kami bingung,” jawab Ibu.“Kenapa nggak mau sekalian tinggal di rumah ini?” Kini Mas Yanuar yang bertanya, mungkin dia juga penasaran sama sepertiku.“Paling enak itu tinggal di rumah sendiri, meskipun rumah orang lain lebih besar dan lebih baik. Nanti kalau kalian sudah tua pasti bisa merasakan hal tersebut,” kok Ayah.Selesai makan malam, kami duduk di depan televisi. Menonton berita sambil be
“Suci, dengarkan Mbah Lastri sebentar saja! Bisa?” Suara parau itu membuat amarahku sedikit reda.Sebenarnya bukan reda hanya saja aku berusaha meredakan sekejap. Karena beliau adalah orang yang selalu menyayangi diri ini tulis sehingga apapun yang dikatakan aku selalu nurut.Kali ini pun sama, aku langsung berusaha menetralkan segala kebencian yang sudah memuncak. Menepiskan semua emosi yang tengah membara, bukan hal mudah. Akan tetapi, aku berusaha keras melawannya.“Mbah!” Akhirnya aku menjawab beliau dengan pandangan memohon untuk tidak memarahiku.“Tidak ada sepuluh menit.” Mbah Lastri kembali mengatakan apa yang akan dikehendaki.“Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua hanya semu dan abu-abu. Setiap manusia diberikan akal serta pikiran untuk selalu memilih mana yang baik dan buruk. Dendam, benci semua ada, tapi apakah itu baik bagi kita? Jika kaki melangkah dalam bayang-bayang permusuhan, kamu tahu sendiri apa yang terjadi bukan? Nggak akan pernah bahagia, hanya sakit hati saj
Aku tertegun melihat sikap Ibu yang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, sungguh hatinya terbuat dari apa wanitaku itu? Emosiku saja sudah berkumpul dan siap untuk meledak, tapi Ibu dan Ayah?“Kami kesini mau minta maaf atas apa yang telah kami lakukan baik itu sengaja ataupun tidak. Maafkan kami,” ucap Lek Santoso, mata itu telah redup.Seperti bukan milik dia, dulu saat dia masih gagah dan sehat, tatapan itu sungguh sangat membuatku ingin memakinya dan memukul wajah yang songong itu. Akan tetapi, kini, hari ini dan detik ini semua berubah seratus delapan puluh derajat.“Maafkan aku juga, Paman. Maaf, aku tahu jika selama ini aku salah dan tidak menjadi keluarga yang baik, tapi tolong demi masa depanku, maafkan yang telah berlalu!” pintanya dengan nada sedikit bergetar.Aku masih setia melihat sikap mereka satu persatu, aku masih menunggu apa yang ingin dikatakan oleh anggota keluarga yang masih ku benci itu. Angga, bilang demi masa depan dia, berarti ini hanya demi dia seorang bukan