Masih sama saja saat mereka mengadakan hajatan untuk Julia, kali ini Bi Salimah pun tidak mengundang keluargaku untuk sekedar datang meski hanya lima menit di rumahnya yang ramai itu.
Walaupun para tetangga ada yang bertanya atau sekedar berbasa-basi perihal kami yang tidak kesana, Bi Salimah selalu diam dengan bibir mengerucut lucu. Lalu pandangan matanya akan beralih ke rumahku. Suatu pemandangan yang aneh jika dilihat banyak orang.Aku yang sedang sibuk dengan ponsel dan duduk di teras depan rumah sesekali menjawab pertanyaan mereka yang menyapa. Sudah menjadi rahasia umum jika keluarga kami dan Bi Salimah tidak baik-baik saja, pertikaian kala itu memang mengundang perhatian banyak orang. Bahkan, tetangga kami menyayangkan sikap buruk dari Lek Santoso. Lelaki yang selama ini dinilai selalu saja angkuh dan mengagungkan harta bendanya.Lek Widi datang ke rumah dengan membawa sekotak nasi beserta lauknya, disimpan dalam plastik warna hitam dan seperti seseorang yang takut karena mengendap-endap melewati jalan samping rumah."Ini buat Ayah kamu, jangan ditolak!" bisiknya nyaris tak terdengar dengan mata melirik kanan-kiri."Maaf, Lek, lebih baik bawa balik lagi kesana. Kami nggak perlu seperti ini, nanti kalau yang punya tahu malah semakin ribet. Tahu sendiri, 'kan, mereka seperti apa?" tolakku dengan memberikan kembali bungkusan tersebut."Oh, kamu kekurangan makanan? Kampungan banget jadi orang, hanya karena keinginan kamu nggak terwujud lalu meminta ini untukmu? Dasar pen cu ri!" tuduh Bi Salimah, lalu tangannya merampas bungkusan di tangan ini kasar.Emosiku sudah naik di ubun-ubun, rasanya ingin meremas mulutnya yang lemas itu. Tangan ini pun mengepal erat, andai saja Lek Widi tidak mencegah gerakan spontan yang akan aku layangkan, wanita di depan ini akan jatuh ke tanah.Pencekalan terhadap Lek Widi membuat diri ini semakin memberontak kasar, sungguh amarah besar yang tak dapat aku kendalikan dengan baik. Untung saja Ayah dan Ibu datang karena Mas Agus berteriak kencang, sepertinya dia merasa terganggu karena suara lantang.Ayah dan Ibu kebingungan, lalu berjalan mendekatiku. Berhadapan dengan Bi Salimah tanpa ada rasa takut sama sekali."Pulang!" ucap Ayah tegas."Kembalikan dulu makanan yang kalian pinta! Sudah tahu ke re, otaknya pengemis pula. Kenapa kamu nggak bawa anak lelakimu sekalian di lampu merah biar dapat uang banyak, jadinya nggak susah-susah mencari makan!" ketus Bi Salimah yang membuat dada kami semua naik turun."Pulang sekarang atau aku bu nuh kamu disini!" murka Ayah, tangan kekar itu sudah melayang di udara.Bi Salimah lari tergopoh-gopoh dan berterima kencang meminta pertolongan kepada tetangga yang sedang rewang dirumahnya. Sontak teriakan wanita gi la itu membuat semua orang terperangah dan mendekati sumber suara."Aku mau di bu nuh, dia orang gila!" teriaknya sambil menunjuk ke arah kami yang berdiri di tempat."Diam!" Lek Kandar membentak Kakak perempuannya keras.Dari sorot matanya, Bi Salimah menggerutu dan masuk kedalam rumah dengan dipapah oleh Julia. Seakan tidak terima dengan apa yang terjadi pada istrinya, Lek Santoso beranjak dari duduknya menuju rumah kami.Namun, lagi-lagi Lek Kandar menjadi tameng bagi kami. Dia menarik paksa lelaki yang berteriak dengan menyebut nama-nama anggota kebun binatang. Terdengar menyakitkan, tapi semua nyata dan aku mendengarnya sendiri.Sesuatu hal yang tidak pernah terlintas di benakku akan terjadi hal beser lagi seperti ini. Yang mana seharusnya kami adalah saudara, justru menjadi musuh bebuyutan.Tangan Ayah semakin memperlihatkan urat-urat nadinya yang menyembul. Tangis Ibu pun pecah kala Bi Salimah berteriak kembali dengan memaki kami satu persatu. Sedang, tubuh ini luruh ke lantai dengan deraian air mata yang menganak sungai.Lek Widi, jangan tanya dia sedang apa. Hatinya jauh lebih terkejut karena kesalahan yang diperbuatnya mengakibatkan pertikaian baru terjadi lagi. Aku tahu meski tak sempat dia berucap, tapi ada rasa ketakutan yang luar biasa.Buktinya, mata itu mengalirkan air deras dan membasahi pipinya tanpa jeda. Ayah baru tersadar kala mendengar suara tergugu dari belakangnya."Pulanglah! Suci benar, kami tidak pernah membutuhkan makanan itu. Aku sebagai kepala keluarga disini masih bisa menghidupi anak dan istriku meski hanya sebagai petani biasa. Pulang dan jangan pergi ulangi hal seperti ini lagi!"Lunglai, tubuh itu bagai tak bertulang. Berjalan dengan sesekali menyeret raga serta menunduk sesenggukan. Aku mengelola Ayah dan Ibu yang masuk ke dalam rumah.Memandang Mas Agus yang seperti ketakutan, cekatan Ibu memeluk anak lelakinya tersebut. Mengusap punggungnya lembut dengan bersenandung sholawat berharap Mas bisa tenang kembali."Bagaimana bisa aku memiliki saudara seperti dia. Suci, tolong ingat pesan Ayah, jangan sekali-kali kamu berurusan dengan mereka. Ayah ingin hidup tenang supaya panjang umur dan bisa melihat cucu-cucu. Itu harapan Ayah." Lelaki itu tergugu.Entah pemikiran macam apa yang terlintas, kesedihan mendalam datang mengusik hatinya. Lelaki yang biasanya tegar dan kuat dalam berbagai macam badai, kini terluka dan tidak berdaya.Wajah itu ditutupi dengan kedua telapak tangannya, kedua bahu pun berguncang. Ayahku kini bukanlah Ayahku yang dulu, saat itu bahu itu kokoh dan tahan meski badai menghantam.Namun, detik ini bahu itu terlihat bergoyang dan tidak bisa lagi menjaga keseimbangan. Entahlah, mungkin rasa lelah telah mengikis habis sebuah benteng kesabaran."Tetaplah kuat demi kami, tidak akan pernah aku biarkan siapapun memberikan beban pada pundak ini meski hanya setengah ons!" ujarku menghibur lelaki cinta pertamaku ini.🖤🖤🖤"Yakin, Mas, mau pergi ke sawah? Depan rumah lho ada pesta, ramai sekali. Dilihat orang apa nggak malu?" Lek Kandar mencoba mempengaruhi Ayah yang hendak pergi bertugas. Keseharian beliau memang seperti itu, pergi pagi baru siangnya pulang. Habis Dzuhur akan pergi lagi hingga sore tiba baru kembali ke rumah. Meskipun aku sudah melarangnya tetap saja tidak pernah di gubris. Akan sakit kalau nggak menggerakkan tangan dan kakinya untuk ke ladang.Itulah jawaban yang selalu aku dengar jika meminta lelaki yang masih kekar itu untuk duduk diam di rumah."Kamu mau apa, kesini? Mencarikan masalah lagi kepada kami seperti perbuatan istrimu tempo hari?" ketus Ayah dengan pandangan sinis. "Mas, aku minta maaf atas kejadian kemarin. Namun, untuk saat ini merendahlah sedikit untuk keluarga kita!" Lek Kandar berbicara dengan menatap Ayah penuh harap.Namun, aku dan Ayah sontak terperangah mendengar perkataan Lek Kandar. Merendah? Apa maksud dari ucapannya itu? Ah, ini sungguh membuat kebencian ke
"Ayah kamu belum juga pulang? Matahari sudah diatas kepala kok masih saja betah di sawah. Apa nggak keroncongan itu perutnya?" tanya Ibu yang membuat hati ini gusar. "Sebentar lagi, mungkin. Oh, iya, Bu, besok aku mau pergi ke kota mengambil barang. Ibu kalau mau makan, duluan saja, nanti sakit lho." Aku beranjak dari depan televisi, membereskan sisa-sisa makanan yang terjatuh di karpet.Bukannya menjawab, Ibu justru terdiam dengan melihat keramaian di depan rumah. Mungkin suasana hatinya berbeda dengan keadaan yang dilihat. Sepi dan sedih, raut wajah yang keriput itu kosong. Tak tahan aku melihat pemandangan yang tidak pernah aku inginkan ini. Kuajak Ibu ke belakang, duduk di bale-bale jati yang diletakkan Ayah di luar dapur. Disini kami bisa melihat pemandangan indah, sayur-sayuran yang ditanam oleh Ibu dan Ayah begitu terlihat hijau dan menyejukkan mata. Dengan tingkah lucu para ayam kecil yang saling berkejaran satu sama lainnya. "Kenapa, ya, saudara Ayah kamu bersikap buruk s
Belum juga pembicaraan dimulai, Ayah datang dengan peluh membanjiri wajahnya. Meski wajahnya memerah, tapi senyum simpul terbit kala mata mereka beradu. Mbah Darma hanya menggeleng melihat keponakannya baru saja pulang dengan napas tersengal-sengal. Mungkin rasa capek membuat lelaki yang masih gagah itu sedikit kewalahan dengan berbagai macam pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan."Duduk, aku mau bicara sama kamu!" "Saya membersihkan diri sebentar, Mbah. Apek," jawab Ayah terkekeh. Selang beberapa menit Ayah sudah berada ditengah-tengah kami kembali. Wajahnya sudah segar dengan pakaian yang berganti. "Aku ingin memperkenalkan calon untuk Suci, bagaimana apakah kamu setuju?" Aku tersentak mendengar Mbah Darma yang menyebut namaku. Dalam sekejap mata ini memicing dengan rambut yang tersapu oleh oleh kipas angin segera aku sisihkan dibelakang telinga. Berharap apa yang baru saja kudengar adalah sebuah kesalahan dari indra pendengaran. Ibu menoleh ke arahku, sama beliau pun mungkin
"Kamu yakin akan menerima pinangan dari lelaki yang belum kamu kenal sebelumnya, Nak?" tanya Ibu yang membuat hati ini sedikit goyah.Iya, aku menyetujui keputusan Mbah Darma kala itu. Dalam sepertiga malam ketika aku meminta kepada Tuhan dengan keputusan yang akan aku ambil, jalan ini yang menjadi akhir dari sebuah kebimbangan. Hari ini rumahku begitu ramai, meski hanya acara kecil-kecilan untuk menyambut tamu dari pihak calon lelaki yang datang dan tidak banyak seperti permintaan kami sebelumnya. Namun, kami sekeluarga tetap mempersiapkan segalanya tanpa cela. Bi Salimah datang beserta suami, entah terbuat dari apa muka kedua orang tersebut. Tidak bertegur sapa dengan Ayah dan Ibu, tapi datang juga ketika Mbah Darma memintanya untuk ikut hadir disini. Pun dengan Bapaknya Ayah, beliau nampak duduk di bangku kayu panjang yang dibuat anak lelakinya itu dari kayu jati asli tanpa di poles dengan wajah sedikit masam.Iring-iringan calon lelaki sudah memasuki halaman, para kerabat berdir
Mata ini tiba-tiba mengembun, entah apa maksud dari wanita itu. Saat aku melihatnya, justru senyum mengejek tersungging di sudut bibir Bi Salimah. Sepertinya dia ingin sekali menggagalkan rencana ini. Dada ini bergemuruh, tangan mengepal kuat seakan emosi begitu membakar jiwaku yang sedang berusaha meredam bara amarah."Dia adalah Kakakku, saudara lelaki yang sangat aku sayangi." Suaraku membuyarkan pikiran semua orang yang berada di ruangan ini dan pandangan mereka tertuju padaku yang berdiri di depan dengan berbicara lantang. "Beberapa laki-laki dulunya pernah meminangku, tapi mereka memutuskan sepihak karena alasan aku mempunyai seorang Kakak yang cacat dan menjadi bahan cemoohan orang lain. Andai Bapak, Ibu dan juga Mas, Mas …" "Yanuar," celetuk salah satu saudaranya keras. "Iya, Mas Yanuar ingin juga memutuskan hubungan ini seperti sebelumnya, kami tidak bisa menghalanginya. Silahkan ambil keputusan sebelum semuanya terjadi. Kami ikhlas dan tidak bisa menyalahkan." Aku bertutur
Lek Santoso berdiri dan memandang sinis ke arah kami sebelum pulang menyusul sang istri yang telah angkat kaki terlebih dahulu. Penyakit hati memang sangat berbahaya dan itu bisa menggerogoti jiwa seseorang yang sedang baik-baik saja. Makanya kita diwajibkan selalu mengingat akan Tuhan jika sedikit saja tersentuh oleh penyakit tersebut.Namun, jika seseorang yang sudah dalam keadaan akut maka akan sulit untuk diingatkan bahkan di obati sekalipun. Beruntunglah kita yang masih waras dan bisa berpikiran jernih jika perbuatan tersebut tak layak dicontoh apalagi dicoba."Mungkinkah juga keluarga kalian ada yang cacat, ya, kok bisa-bisanya mau menikahi wanita seperti dia yang mempunyai saudara seperti itu!" sinisnya yang membuat mata kami semua di ruangan ini membulat sempurna."Santoso!" teriak Mbah Darma lantang. Si empunya nama mencebik saat lelaki sepuh itu berteriak dengan keras memekakkan telinga. Berdiri dan berkacak pinggang serta napas memburu, Mbah Darma mendekati Lek Santoso yan
"Pesanan kamu banyak sekali, Ci. Apa perlu bantuan Ibu?" tanya Ibu saat melihatku yang tengah sibuk membungkus pesanan online ini.Memang hari ini jauh lebih banyak paketan daripada kemarin. Tuhan memberikan rezeki halal yang melimpah sehingga bisa buat tambahan nanti untuk upacara pernikahanku. Inilah caraNya mengujiku saat dirumahkan dari pekerjaan yang sudah hampir aku geluti tiga tahun ini lalu menjadi hampir pekerjaan utama. "Nggak usah, Bu. Suci sanggup melakukannya sendiri. Lagian juga ini sudah selesai, sebentar lagi kurir juga datang," tolakku halus, bukannya tidak mau dibantu, tapi Ibu sendiri jauh lebih sibuk untuk mempersiapkan segalanya.Tak berselang lama, datanglah si kurir. Cekatan kami bekerja sama dalam hal online ini. Setelah selesai aku membaringkan tubuh di atas kasur lantai yang berada di depan televisi. Punggung yang kaku merasa ingin dilepaskan dengan segera, berguling ria dan bersenandung kecil membuat hati ini seolah sedang terbang tinggi ke langit dengan sa
Mungkin akal sehatnya telah hilang dan tercabut dari hatinya. Bersikap baik dan wajar saja sudah tidak dilakukan sama sekali terhadap kami yang justru sebagai saudara tertua dari istrinya itu.Bukankah keluarga itu harus saling menghormati satu sama lain? Lalu apakah ini? Rasanya begitu geram dan ingin menjambak mereka, tapi tak mungkin aku lakukan. Aku masih waras."Kamu terlalu angkuh untuk tidak memberi tahu kami jika besok akan ada pesta pernikahan di rumahmu, kenapa? Kamu takut jika nanti ada kejadian buruk yang menimpamu lalu kami melihatnya?" Berkacak pinggang dengan mata melotot ke arahku dia berucap lantang."Ada masalah?" Aku masih santai menanggapi ucapan kasar yang membuat hati terluka itu. "Kamu, kalian yang akan ada masalah nanti. Kita lihat saja!" bentaknya nyaring memekakkan telinga.Aku menggeleng pelan lalu meninggalkan dia yang masih setia berdiri di tempatnya dengan posisi yang masih sama. Mata membulat dengan napas memburu bagaikan seekor hewan pemangsa yang kela
Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan
“Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent
Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in
Malam ini kami menginap di sini, rasa kangen yang setiap kali hadir membuat diriku semakin ingin berada di rumah ini bersama Ibu dan Ayah. Makanan yang dimasak oleh Ibu terasa begitu membuat selera ini datang dan menghabiskan nasi.“Pelan-pelan kalau makan, itu masih banyak tumis kangkung dan sambalnya,” ujar Ibu yang ku balas dengan senyuman.“Bu, lalu siapa yang memberikan makanan buat Mbah Lastri jika dia nggak mau tinggal di sini?” tanyaku di saat suapan terakhir.“Kadang Ibu, kadang juga beliau masak sendiri. Tergantung selera, namanya juga sudah tua, lidah yang pagi ini siang itu membuat kami bingung,” jawab Ibu.“Kenapa nggak mau sekalian tinggal di rumah ini?” Kini Mas Yanuar yang bertanya, mungkin dia juga penasaran sama sepertiku.“Paling enak itu tinggal di rumah sendiri, meskipun rumah orang lain lebih besar dan lebih baik. Nanti kalau kalian sudah tua pasti bisa merasakan hal tersebut,” kok Ayah.Selesai makan malam, kami duduk di depan televisi. Menonton berita sambil be
“Suci, dengarkan Mbah Lastri sebentar saja! Bisa?” Suara parau itu membuat amarahku sedikit reda.Sebenarnya bukan reda hanya saja aku berusaha meredakan sekejap. Karena beliau adalah orang yang selalu menyayangi diri ini tulis sehingga apapun yang dikatakan aku selalu nurut.Kali ini pun sama, aku langsung berusaha menetralkan segala kebencian yang sudah memuncak. Menepiskan semua emosi yang tengah membara, bukan hal mudah. Akan tetapi, aku berusaha keras melawannya.“Mbah!” Akhirnya aku menjawab beliau dengan pandangan memohon untuk tidak memarahiku.“Tidak ada sepuluh menit.” Mbah Lastri kembali mengatakan apa yang akan dikehendaki.“Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua hanya semu dan abu-abu. Setiap manusia diberikan akal serta pikiran untuk selalu memilih mana yang baik dan buruk. Dendam, benci semua ada, tapi apakah itu baik bagi kita? Jika kaki melangkah dalam bayang-bayang permusuhan, kamu tahu sendiri apa yang terjadi bukan? Nggak akan pernah bahagia, hanya sakit hati saj
Aku tertegun melihat sikap Ibu yang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, sungguh hatinya terbuat dari apa wanitaku itu? Emosiku saja sudah berkumpul dan siap untuk meledak, tapi Ibu dan Ayah?“Kami kesini mau minta maaf atas apa yang telah kami lakukan baik itu sengaja ataupun tidak. Maafkan kami,” ucap Lek Santoso, mata itu telah redup.Seperti bukan milik dia, dulu saat dia masih gagah dan sehat, tatapan itu sungguh sangat membuatku ingin memakinya dan memukul wajah yang songong itu. Akan tetapi, kini, hari ini dan detik ini semua berubah seratus delapan puluh derajat.“Maafkan aku juga, Paman. Maaf, aku tahu jika selama ini aku salah dan tidak menjadi keluarga yang baik, tapi tolong demi masa depanku, maafkan yang telah berlalu!” pintanya dengan nada sedikit bergetar.Aku masih setia melihat sikap mereka satu persatu, aku masih menunggu apa yang ingin dikatakan oleh anggota keluarga yang masih ku benci itu. Angga, bilang demi masa depan dia, berarti ini hanya demi dia seorang bukan