SENTUHAN HARAM SUAMIKU
Pov Ayu
Malam ini, Mas Fajar memintaku untuk menemaninya tidur di kamar ibu mertua. Katanya, dia masih ingin mengenang ibu. Menghirup aroma minyak angin yang masih menguar tajam di tempat ibu biasa beristirahat.
Namun sayang , sampai larut mataku tak kunjung mau terpejam. Aku yang tidur menyamping, memunggungi Mas Fajar, merasakan ada pergerakan di ranjang ini. Setelah aku berbalik, ternyata, Mas Fajar yang turun.
"Mau ke mana, Mas?" tanyaku pada Mas Fajar.
"Mau ke dapur, Dek, ambil minum," jawab Mas Fajar seraya menoleh ke arahku.
"Biar aku yang ambilkan, Mas. Kamu tunggu aja, di sini." Aku beringsut untuk segera bangkit.
"Ga usah, Dek. Kamu temani Putri saja, takutnya bangun mau nenen." Aku mengangguk seraya kembali merebahkan tubuhku.
Jujur aku penakut. Bulu kudukku menegang seketika saat M
SENTUHAN HARAM SUAMIKUMas Fajar yang sedang minum langsung tersedak mendengar ucapanku."Ya ampun, Mas. Hati-hati dong!" Aku memberikan tissue yang sudah tersedia di meja makan kepada Mas Fajar."Maaf, Dek. Habisnya, kamu ngomong ada-ada saja. Memang gampang cari calon suami untuk Nina? Kalaupun ada, Nina juga belum tentu mau.""Namanya juga usaha, Mas."***Hari berganti bulan berlalu. Tak terasa sudah hampir setengah tahun ibu mertua berpulang. Aku sering berkunjung dan menginap di rumah Nina untuk menemani dan menghiburnya.Putri pun kini sudah semakin besar, sudah pandai berlari. Sudah mulai bisa bicara juga meski masih banyak yang belum dimengerti.Malam Minggu ini, aku kembali menginap di rumah Nina. Aku juga ingin kembali membujuk Nina, agar mau ikut tinggal bersama di rumahku."Nin, coba dipikirkan lagi tawaranku untuk tinggal di rumahku? Biar aku juga ada teman, ga kesepian. Mas Fajar ju
SENTUHAN HARAM SUAMIKUPesan yang kubaca di ponsel Mas Fajar, berhasil membuat dadaku sesak seketika. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Bayang-bayang pengkhianatan yang telah dilakukan Mas Fajar dulu, kini kembali menari-nari di ingatan. Bagaimana tidak, dia kini telah melakukan kesalahan yang sama. Membuka kembali pintu perzinahan yang seharusnya ditutup rapat-rapat. Seharusnya jangan lagi memberi celah, jika ingin perbuatan haram itu tak terulang lagi.Derap langkah kaki Mas Fajar yang baru saja selesai menunaikan solat isya terdengar semakin dekat. Dia terpaku menatapku yang sedang berlinang air mata menggenggam gawainya di tanganku."Kamu, kenapa, Sayang? Kok, nangis?" Mas Fajar menghampiriku kemudian duduk di sebelahku.Sesak yang masih menyeruak seolah mengunci rapat mulutku. Aku tak dapat berkata apa-apa.Melihatku yang tak kunjung bersuara, Mas Faja
SENTUHAN HARAM SUAMIKU[ Pagi, Pak Fajar. Maaf pagi-pagi sudah ganggu. Boleh saya numpang kembali ke kantor?]Kontak yang sama dengan yang semalam. Belum lagi masalah semalam selesai, sekarang ditambah lagi. Aku jadi curiga, apa benar apa yang dikatakan Mas Fajar semalam itu? Atau mungkin hanya rekayasa untuk menutupi kebohongannya. Duh ... Kepala rasanya pusing, serasa mau pecah memikirkan semua ini.Kenop pintu terdengar diputar, sepertinya Mas Fajar yang akan masuk ke kamar. Aku segera berpura-pura merapikan tempat tidur, melipat selimut, dan membereskan area ranjang dengan sapu lidi agar debu dan kotoran yang menempel hilang.Mas Fajar masih diam, tak menyapaku. Dia langsung menghampiri gawainya. Aku terus memperhatikannya sambil masih berpura-pura membereskan bantal, menepuk-nepuk sarung bantal dan guling. Mas Fajar terlihat serius sedang mengetik sesuatu pada gawainya."Bun, Kakak mau berangkat."Tiba-tiba ter
Sentuhan Haram SuamikuMatahari bersinar sangat terik siang ini. Putri yang baru saja bangun dari tidurnya banjir keringat. Akhirnya aku membuka seluruh pakaiannya, hanya menyisakan kaos dalam dan diaper, agar ia tak kepanasan.Di rumahku memang ada AC, tapi aku dan Putri tergolong yang rentan sakit jika terkena dingin. Itulah sebabnya, aku lebih memilih kegerahan daripada harus menghirup dinginnya AC. Bisa-bisa aku dan Putri langsung pilek. Terkadang sakit perut melilit yang tak tertahankan karena masuk angin.Saat ingin mengganti diaper Putri, baru teringat kalau diaper-nya tinggal satu. Tentu tak akan cukup sampai nanti malam apalagi besok pagi."Assalamu'alaikum."Suara salam Putra terdengar sampai ruang depan. Putra sudah pulang dari sekolah. Berarti sebentar lagi sudah akan masuk waktu duhur."Dede Putri lagi apa?" tanya Putra sambil mencium t
Sentuhan Haram SuamikuDuh ... gimana ya? Mau nolak, tapi ga enak. Lagipula, cuma ngobrol sambil minum, apa salahnya? Benar yang dikatakan Bambang, ini pertemuan pertama kami setelah belasan tahun yang lalu.Bambang adalah temanku waktu SMA. Bahkan, aku mengenal Bambang terlebih dahulu sebelum mengenal Mas Fajar. Kami dulu cukup dekat. Meski hanya sebatas teman, tapi Bambang selalu memperlakukanku dengan istimewa. Karena perhatiannya, dulu aku pun sempat naksir sama dia. Tapi karena dia tak pernah sekalipun mengungkapkan perasaannya, aku mundur pelan-pelan sampai aku bertemu Mas Fajar dan jatuh hati padanya.Bambang memang tidak pernah mengatakan langsung 'aku mencintaimu', tapi dia selalu bilang padaku dan semua teman-temannya bahwa suatu saat, jika dia sudah sukses akan datang melamar-ku. Bahkan saat Bambang tahu aku jadian sama Mas Fajar, karena sering melihatku di antar jemput, Bambang pernah bilang, 'sekarang kamu boleh pacaran sama siapa saja
Sentuhan Haram SuamikuSenyum terkembang di bibirku saat motor yang dikendarai melaju santai. Ya, aku terbiasa membawa motor dengan pelan. Pernah dulu terburu-buru mengendarai motor karena ada urusan penting, malah jatuh terperosok ke pinggir selokan. Hal itu menyebabkan badanku terasa remuk, kakiku terluka dan tidak bisa berjalan selama beberapa hari. Sejak saat itu, Mas Fajar melarangku untuk kembali membawa motor. Tapi aku protes, keberatan. Akhirnya Mas Fajar mengijinkan kembali membawa sepeda motor dengan syarat pelan-pelan dan hanya jarak dekat.Dari kaca spion, terlihat mobil Faj*ro hitam persis seperti milik Bambang membuntutiku. Tadi, aku sempat melihat plat nomornya, jadi bisa dipastikan itu memang benar mobil Bambang. Tapi untuk apa dia mengikutiku? Ah, mungkin hanya kebetulan dia akan pergi ke arah yang sama denganku.Aku pun kembali fokus pada jalanan di depanku. Tak ingin kembal
Sentuhan Haram Suamiku[ Bambang, ya?]Kuketik balasan mencoba menanyakan langsung. Takutnya salah menebak. Meskipun sebenarnya aku yakin dia.[Alhamdulillah sekarang sudah ingat]Ternyata memang benar ini nomor Bambang.[ He, iya ][ Kok, cuma gitu jawabannya][ Emang harusnya gimana?][ Aku, kan, tadi tanya, sudah tidur belum?][ Kalau aku sudah tidur, terus siapa yang balas chat ini.][ Eh, iya. Bener juga. Tapi ... bisa jadi suami kamu kan.][ Suamiku belum pulang. Lembur dia. Kerjaannya lagi lumayan banyak. ][ Oh, kasihan dong. Kesepian. Boleh aku temenin?][ Iihhh ... enak aja.][ Temenin chatingan maksudnya. Kamu mikirnya apa, hayooo?][ Ga mikir apa-apa ][ Anak-anak kamu udah tidur belum?][ Udah. Baru saja pada tidur.][ Berarti kamu sendirian dong. Aku masih kangen sama kamu. Udah lama banget ga ketemu. Sekalinya ketemu t
Sentuhan Haram Suamiku[ Jangannnn][ Memangnya kenapa kalo aku ke rumahmu?][ Ya ... ga apa-apa sih, nggak enak aja sama tetangga. Kecuali lagi ada suamiku di rumah.][ Ogah, ah. Suamimu kan ga suka sama aku.]Ya, memang benar. Mas Fajar memang ga suka sama Bambang. Teringat kejadian beberapa belas tahun lalu, saat aku masih kuliah. Bambang yang sedang pulang ke kota ini, memintaku menemaninya mencari buku di mall dekat kampusku kuliah. Sore, sekitar pukul empat sore setelah habis mata kuliah, aku pun menemani Bambang sesuai permintaannya. Setelah buku yang dicari Bambang ditemukan, dia mengajakku untuk makan terlebih dahulu di food court yang ada di lantai tiga mall terbesar di kotaku itu. Entah dapat informasi dari mana, ternyata Mas Fajar mengetahuinya. Malam itu malam Minggu. Mas Fajar menemuiku dan menanyakan langsung padaku. Aku menjawabnya dengan jujur, toh aku dan Bambang hanya teman, dan kami tidak melakukan apapun. Tapi Mas
Sentuhan Haram SuamikuExtra part"Bagaimana para saksi? Sah?""Sah."Riuh terdengar kata 'sah' dari semua orang yang berada di ruangan besar bercat nuansa putih tersebut.Di depan sana, Mas Fajar terlihat masih gagah dan tampan dengan balutan jas hitam senada dengan celana yang dikenakan. Tangannya terlihat berkali-kali mengusap sudut matanya yang mulai basah. Ketegangan yang tadi begitu tergambar jelas dari wajahnya, kini berangsur hilang berganti kelegaan dan keharuan.Gadis 20 tahun yang duduk di sampingku, meremas pelan tanganku, lalu menggenggamnya erat. Aku menoleh, dia tersenyum simpul sambil mengusap jejak air mata yang tadi sempat jatuh di pipi.Ya, gadis itu bernama Fitri. Anak ketiga dariku dan Mas Fajar. Dua bulan setelah liburan berdua bersama Mas Fajar, aku dinyatakan hamil. Sungguh anugrah yang luar biasa. Menambah keharmonisan keluarga kami yang sebelumnya memang telah kembali harmonis.Di sisi yang lain,
Sentuhan Haram SuamikuSelalu ada harapan ketika kita masih mengingat Alloh. Aku selalu yakin, Rob-ku akan selalu memberikan jalan yang terbaik untuk hamba-Nya.Aku dan Neni terus menjaga Mas Fajar bergantian. Neni sempat pulang dulu tadi siang untuk membawa baju ganti untuknya sekaligus untukku. Juga keperluan lainnya selama kami berada di RS. Sesekali aku melakukan video call dengan ibu dan anak-anak. Melepaskan kerinduan yang menggelayut dalam dada.Tak lupa aku selalu berbisik tepat di telinga Mas Fajar yang sedang melawan maut, untuk berjuang agar bisa kembali bersama di tengah-tengah keluarga kecil kami. Selalu kubisikkan kata-kata penyemangat untuknya. Berharap meskipun dia belum sadar, tapi mampu mendengar apa yang kukatakan.Setiap selesai salat 5 waktu di masjid RS yang letaknya tak begitu jauh dari ruang ICU, tak henti-hentinya aku mengiba, tak hentinya aku merayu pada sa
Sentuhan Haram SuamikuAroma kayu putih samar terendus penciumanku. Perlahan aku membuka mata. Kepala masih sedikit terasa pusing."Yu, kamu kenapa?" Ibu terlihat cemas. Tangan beliau terus saja menggosok kakiku.Pertanyaan ibu membuatku mengingat telepon yang baru saja aku terima."Mas Fajar, Bu." Aku menangis meraung-raung."Fajar, kenapa?" tanya ibu panik."Mas Fajar kecelakaan."Aku terus saja menangis, tak mempedulikan adanya anak-anak yang memperhatikan dengan mimik tak mengerti."Astaghfirullah, Yu. Terus sekarang gimana? Di mana?" tanya ibu lagi."Tadi polisi bilang, Mas Fajar sudah dibawa ke RS Mitra Husada.""Kamu tenang. Tarik napas dalam-dalam, istighfar. Kamu harus ke sana sekarang. Tapi kami harus tenangkan diri dulu," ujar Ibu.Aku pun menurut. Aku mengucap istighfar berkali-kali. Menghirup napas dalam-dalam kemudian mengembuskan perlahan."Ini sudah malam, Bu
Sentuhan Haram Suamiku"Kamu tidak tau, betapa kesepiannya aku setiap hari sendirian di rumah. Apalagi kalau anak-anak sudah tidur. Sementara kamu juga belum pulang. Harus sama siapa aku bercerita, Mas? Coba lihat kembali ponselmu, apa kamu sering mengirimkan pesan untukku? Jarang bukan? Kalau bukan aku duluan yang mengirimkan pesan, sekedar untuk bertanya, apa Mas sudah makan siang atau belum." Aku berbicara dengan nada lumayan tinggi, meluapkan emosi yang selama ini terpendam.Air mata terus saja berjatuhan. Membasahi pipi yang tadi sempat dipoles bedak.Mas Fajar memegang kedua bahuku, merengkuh tubuhku dalam pelukannya."Maafkan aku, ya, Dek. Semua ini memang salahku. Aku belum bisa membahagiakanmu. Hanya luka dan air mata yang selalu aku berikan padamu. Maafkan aku, jika perhatianku padamu berkurang akhir-akhir ini," ucap Mas Fajar dengan suara parau. Tubuhnya masih memeluk tubuhku. Kurasakan guncangan dari tubuhnya. Ternyata dia ikut m
Sentuhan Haram Suamiku"Kamu nggak usah khawatir, aku baik-baik saja. Semua itu hanya masa lalu. Suamiku hanya sedang khilaf waktu itu. Tapi bukan berarti dia suami yang tidak baik. Toh tidak ada manusia yang benar-benar sempurna." Akhirnya aku menjawab setelah aku bisa mengontrol hatiku menjadi lebih stabil."Syukurlah kalau begitu. Semoga suamimu tidak lagi menyakiti wanita baik sepertimu. Kalau kamu merasa tersakiti lagi, jangan ragu untuk pergi. Ingat, di luar sana masih banyak yang mengidamkan wanita baik dan setia sepertimu, termasuk aku." Ucapan Bambang membuatku merasa sedikit tak nyaman. Aku jadi salah tingkah. Takut kalau ternyata Bambang benar-benar masih mengharapkanku."Aku pulang dulu, ya. Sudah lewat waktu duhur ini." Aku melirik jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangan. "Anak-anak juga sebentar lagi sudah waktunya tidur siang," lanjutku lagi.Bambang mengangguk ragu. Dari wajahnya masih tergambar jelas kecemasan.
Sentuhan Haram Suamiku[ Jangannnn][ Memangnya kenapa kalo aku ke rumahmu?][ Ya ... ga apa-apa sih, nggak enak aja sama tetangga. Kecuali lagi ada suamiku di rumah.][ Ogah, ah. Suamimu kan ga suka sama aku.]Ya, memang benar. Mas Fajar memang ga suka sama Bambang. Teringat kejadian beberapa belas tahun lalu, saat aku masih kuliah. Bambang yang sedang pulang ke kota ini, memintaku menemaninya mencari buku di mall dekat kampusku kuliah. Sore, sekitar pukul empat sore setelah habis mata kuliah, aku pun menemani Bambang sesuai permintaannya. Setelah buku yang dicari Bambang ditemukan, dia mengajakku untuk makan terlebih dahulu di food court yang ada di lantai tiga mall terbesar di kotaku itu. Entah dapat informasi dari mana, ternyata Mas Fajar mengetahuinya. Malam itu malam Minggu. Mas Fajar menemuiku dan menanyakan langsung padaku. Aku menjawabnya dengan jujur, toh aku dan Bambang hanya teman, dan kami tidak melakukan apapun. Tapi Mas
Sentuhan Haram Suamiku[ Bambang, ya?]Kuketik balasan mencoba menanyakan langsung. Takutnya salah menebak. Meskipun sebenarnya aku yakin dia.[Alhamdulillah sekarang sudah ingat]Ternyata memang benar ini nomor Bambang.[ He, iya ][ Kok, cuma gitu jawabannya][ Emang harusnya gimana?][ Aku, kan, tadi tanya, sudah tidur belum?][ Kalau aku sudah tidur, terus siapa yang balas chat ini.][ Eh, iya. Bener juga. Tapi ... bisa jadi suami kamu kan.][ Suamiku belum pulang. Lembur dia. Kerjaannya lagi lumayan banyak. ][ Oh, kasihan dong. Kesepian. Boleh aku temenin?][ Iihhh ... enak aja.][ Temenin chatingan maksudnya. Kamu mikirnya apa, hayooo?][ Ga mikir apa-apa ][ Anak-anak kamu udah tidur belum?][ Udah. Baru saja pada tidur.][ Berarti kamu sendirian dong. Aku masih kangen sama kamu. Udah lama banget ga ketemu. Sekalinya ketemu t
Sentuhan Haram SuamikuSenyum terkembang di bibirku saat motor yang dikendarai melaju santai. Ya, aku terbiasa membawa motor dengan pelan. Pernah dulu terburu-buru mengendarai motor karena ada urusan penting, malah jatuh terperosok ke pinggir selokan. Hal itu menyebabkan badanku terasa remuk, kakiku terluka dan tidak bisa berjalan selama beberapa hari. Sejak saat itu, Mas Fajar melarangku untuk kembali membawa motor. Tapi aku protes, keberatan. Akhirnya Mas Fajar mengijinkan kembali membawa sepeda motor dengan syarat pelan-pelan dan hanya jarak dekat.Dari kaca spion, terlihat mobil Faj*ro hitam persis seperti milik Bambang membuntutiku. Tadi, aku sempat melihat plat nomornya, jadi bisa dipastikan itu memang benar mobil Bambang. Tapi untuk apa dia mengikutiku? Ah, mungkin hanya kebetulan dia akan pergi ke arah yang sama denganku.Aku pun kembali fokus pada jalanan di depanku. Tak ingin kembal
Sentuhan Haram SuamikuDuh ... gimana ya? Mau nolak, tapi ga enak. Lagipula, cuma ngobrol sambil minum, apa salahnya? Benar yang dikatakan Bambang, ini pertemuan pertama kami setelah belasan tahun yang lalu.Bambang adalah temanku waktu SMA. Bahkan, aku mengenal Bambang terlebih dahulu sebelum mengenal Mas Fajar. Kami dulu cukup dekat. Meski hanya sebatas teman, tapi Bambang selalu memperlakukanku dengan istimewa. Karena perhatiannya, dulu aku pun sempat naksir sama dia. Tapi karena dia tak pernah sekalipun mengungkapkan perasaannya, aku mundur pelan-pelan sampai aku bertemu Mas Fajar dan jatuh hati padanya.Bambang memang tidak pernah mengatakan langsung 'aku mencintaimu', tapi dia selalu bilang padaku dan semua teman-temannya bahwa suatu saat, jika dia sudah sukses akan datang melamar-ku. Bahkan saat Bambang tahu aku jadian sama Mas Fajar, karena sering melihatku di antar jemput, Bambang pernah bilang, 'sekarang kamu boleh pacaran sama siapa saja