Rafri pergi meninggalkan ruang perpustakaan dan mulai berjalan menuju halaman kampus. Dia berjalan secara terburu-buru menyusuri koridor, di sana terlihat sepi dan hanya ada beberapa mahasiswa saja.Di tengah perjalanan, Rafri menghentikan langkahnya dan memikirkan sesuatu kenapa dia antusias sekali ingin menemui Ayu.'Kenapa aku seperti ini? Dia sudah menyakitiku. Haruskah aku menemuinya? Tidak. Ini hanya menyia-nyiakan waktuku saja. Lebih baik aku pulang dan mengerjakan revisi di rumah.'Kali ini Rafri berjalan dengan santai. Dia mengeluarkan ponsel dan memesan taksi online untuk pulang ke rumah, karena mobil dan atm sudah disita oleh papanya. Hanya atmnya sendiri yang masih tersisa uang untuk kebutuhannya selama beberapa bulan ke depan.Semua keluarga Rafri tidak pernah tahu jika Rafri pernah bekerja keras di sebuah mini market selama beberapa bulan hanya untuk menabung demi membeli cincin berlian untuk Ayu. Dia juga bekerja sebagai waiters di sebuah cafe. Selain menjadi waiters, di
'Rafri? Benarkah itu Rafri?'Bayu mengernyitkan mata sambil bergumam dalam hati saat melihat seseorang yang mirip dengan Rafri. Bayu mulai curiga jika itu adalah adiknya yang sengaja mencari Ayu.Bayu segera mengeluarkan ponselnya dan mulai menelpon Ayu untuk memberitahu jika dia melihat seseorang yang mirip Rafri masuk ke dalam lift menuju lantai 2."Halo sayang?"Dari balik telepon, Ayu terlihat tenang dan manja kepada Bayu. Berbeda dengan Bayu yang terlihat sangat panik."Ayu, cepat keluar dari kamar. Rafri sudah tahu keberadaan kamu saat ini."Bayu menelpon sambil berjalan menuju resepsionis untuk memastikan dan menanyakan kepada petugas, apakah orang yang mirip adiknya itu adalah benar Rafri atau orang lain."Sayang, jangan bercanda dong. Mana mungkin-""Sudah cepat keluar Yu. Jangan banyak bertanya-tanya lagi."Bayu memotong pembicaraan Ayu, dia takut jika Ayu tidak segera pergi, Rafri akan mengetahui keberadaan Ayu dan tabiatnya sebentar lagi akan terbongkar."Iya. Aku keluar se
"Ayu?"Di lobby hotel, Hafis bertemu dengan Ayu yang terlihat panik dan terlihat mencari seseorang."Kak Hafis!"Ayu merasa lega karena bertemu dengan Hafis. Dia tidak tahu lagi akan bersembunyi di mana tanpa Bayu di sampingnya."Kamu sedang apa Yu? Sepertinya sedang mencari seseorang?""Eeh..Tidak. Aku hanya bingung saja akan pergi ke mana. Hotel ini terlalu mewah buatku yang hanya berjalan sendirian."Bukan hanya kepada Bayu saja Ayu menunjukkan sikap menggodanya. Dia juga memberikan senyuman dan sedikit godaan pada Hafis.Hafis membalas senyuman Ayu dan langsung menundukkan pandangannya. Hafis dari dulu memang seorang yang pemalu, namun tidak dengan penampilannya yang sekarang. Hafis sekarang sudah berbeda. Dia semakin tampan dan mapan."Memangnya teman kamu kemana?""Temanku tadi sedang keluar bersama pacarnya. Sambil menunggu waktu kuliah, aku ingin berjalan-jalan terlebih dahulu di hotel ini."Kedua pasangan selingkuhan antara Ayu dan Bayu memang pandai sekali berbohong pada semu
"Hahahahhaa....."Tiba-tiba saja Ayu tertawa yang membuat Hafis mengerutkan dahinya karena kebingungan."Ya ampun kak Hafis, jika aku bertanya seperti itu padamu bagaimana?"Ayu membalikkan badan dan melangkahkan kakinya agar lebih dekat dengan Hafis."Aku berbicara soal kamu Yu, bukan soal aku."Hafis tersenyum menatap Ayu lekat. Ayu sendiri tidak bisa menebak apa arti dari tatapan Hafis. Kali ini Ayu tersenyum dan juga menatap Hafis. Namun tatapan itu hanyalah tatapan kagum."Aku juga bicara soal aku kak, Rasa itu tidak pernah hilang sedikit pun. Tapi kamu tidak pernah mengertiku, kamu hanya menganggapku sebagai sahabat dan adik kelasmu. Bahkan setelah kelulusanmu, kamu tidak pernah menghubungiku lagi. Jadi, kak Hafis bisa menebak sendiri bagaimana hubunganku."'Aku sadar siapa aku Yu, aku tidak pantas denganmu setelah papamu menemuiku. Rasaku juga masih sama denganmu. Tapi kasta yang membedakan kita.'Hafis hanya tersenyum dan berbicara dalam hati tentang perasaannya pada Ayu. Hafis
"Ma, kenapa mama tidak percaya dengan Bayu? Bayu sungguh meeting ma. Rafri juga ada di sana saat Bayu bertemu clien Bayu."Bayu membela dirinya dan melihat ke arah Rafri yang masih berhenti di tangga. Mamanya yang sedari tadi fokus terhadap Bayu, kini juga mendongak melihat Rafri."Benar apa yang dikatakan kakakmu?"mama dari kedua pria tampan itu, merasa bimbang untuk percaya pada putra pertamanya atau tidak.Rafri yang mengetahui semuanya, dia hanya tersenyum simpul kepada mamanya, lalu melangkahkan kakinya lagi hingga menuju lantai atas.Wanita paruh baya itu mengernyitkan matanya tidak bisa menebak jawaban dari putra bungsunya itu.Sementara Bayu, mulutnya menganga dan matanya melebar ketika melihat tingkah adiknya yang tak menyangkal ataupun mengiyakan pertanyaan dari mama mereka. Dia kemudian berpikir, sebenarnya apa yang saat ini ada di benak Rafri?"Kamu lihat kan? Adik kamu saja tidak menjawab mama."Seketika, mama tidak percaya lagi dengan apa yang dikatakan putra pertamanya
"Tidak den! Bibi tidak mau. Bibi ingin den Rafri menyimpannya untuk istri den Rafri nanti.""Cincin mahal kok dibuang."Wanita berumur sekitar 45 tahun itu memukul lengan majikannya, membuat Rafri mengaduh kesakitan."Aduuuh! Bibi. Kok aku dipukul sih. Apa! Apa bi? Apa tadi? Untuk istriku?"Rafri memajukan badannya serta memiringkan kepalanya seolah tidak mendengar apa yang bi Ijah katakan."Iya. Untuk istri den Rafri. Pokoknya bibi tidak mau mengambilnya. Ini harus disimpan."Bibi mengambil cincin di meja dan diberikan ke tangan Rafri dengan sedikit paksaan."Jika bibi tahu cincin ini dibuang, den Rafri akan mendapatkan dosa dari Allah.""Hii...Apaan sih bi, ngeri banget."Rafri bergidik sambil menyilangkan kedua tangan ke dadanya. "Makanya harus disimpan. Tidak boleh dibuang. Ya sudah bibi keluar dulu den."Rafri melihat kotak cincin yang saat ini berada di tangannya."Iya bi. Akan Rafri simpan."Akhirnya Rafri menuruti semua perintah bibinya. Dengan bibi, kali ini hati Rafri sudah
"Silahkan! Silahkan kak Bayu memberitahu semuanya pada mama dan papa."Rafri terlihat menantang kakaknya. Kedua tangannya seolah mempersilahkan kakaknya untuk berbuat semaunya.Urat leher Bayu menonjol menunjukkan betapa emosi nya lelaki itu sekarang. Namun Rafri berusaha tenang. Dia tidak ingin terpancing emosi dari kakaknya."KAMU...!"Bayu berteriak dan mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah adiknya yang santai. Telunjuk dan urat lehernya benar-benar bergetar di hadapan Rafri."Sudah...sudah...Ayo den keluar saja."Bi Ijah menggandeng tangan Bayu untuk menyuruhnya keluar bersama dari kamar Rafri."DIAMLAH BI!"Bayu berteriak dan melepas kasar gandengan tangan bi Ijah. Seketika, tangan bi Ijah terlepas dan gemetaran karena takut pada teriakan Bayu."KAK BAYU YANG SEHARUSNYA DIAM! Jangan pernah sekali-kali membentak orang tua. Apalagi Bi Ijah."Rafri melihat bi Ijah ketakutan karena kakaknya, spontan saja matanya terbelalak dan gigi yang menggertak hingga otot kepalanya juga men
Bayu sekilas mengingat kejadian lampau yang membuat darahnya seakan mengepul di ujung kepalanya dan mendidih. Manik matanya seakan malas untuk mengingat kejadian lampau. Dia seakan tidak tertarik sama sekali untuk membahasnya."Bayu sama sekali tidak tertarik dengan masa lalu pa. Setiap malam mama selalu menangisi Rafri. Hal itu yang membuat Bayu membencinya."Bayu menelan ludah seakan menahan tangis. Kali ini dia sama sekali tidak berbohong dan tulus mengatakannya."Apalagi Rafri mendapatkan warisan hanya karena dia hidup 8 tahun bersama bi Ijah. Dia di sana hidup tanpa kekurangan pa, ma. Kita jatuh bangun memulai semuanya dari bawah. Bayu yang menyaksikannya sendiri bagaimana sengsaranya kita dulu sebelum sekarang.""Bayu! Kamu hidup bersama kami sudah 25 tahun, sedangkan adik kamu hanya 12 tahun bersama kami. 8 tahun adik kamu tidak pernah merasakan kasih sayang dari kami. Papa kamu memberikan warisan untuk membalas 8 tahun kasih sayang yang tidak kami berikan padanya. Tolong menge
Kedua perempuan yang berada di hadapan Rafri, kini tengah menatapnya selagi makan. Dia melihat Harum bertopang dagu menggunakan kedua tangannya, menatapnya seolah berkata 'apakah kue buatanku tidak enak? atau tidak ada rasanya?'Sambil mengunyah pelan, Rafri melihat raut wajah bingung dari kedua gadis itu sambil menyembunyikan senyumnya. Hal ini membuat jiwa tengilnya keluar."Kok rasa kuenya begini ya?"Harum mendongak ke atas menatap Dhea yang berdiri di sampingnya. Mereka saling memandang satu sama lain seolah berbicara lewat tatapan mata."Mm...me...memang rasanya bagaimana Raf? tidak enak ya?"Harum menanyakan rasa kuenya dengan kalimat yang terbata-bata pada lelaki yang berada di hadapannya dengan perasaan was-was.'benar saja. Dia bertanya seperti itu.'Rafri membenarkan feeling-nya jika Harum akan bertanya seperti itu. Namun Rafri hanya ingin Harum dan Dhea merasakannya. Rafri berpikir jika Harum dan Dhea belum mencoba kuenya."Coba deh kalian rasakan. Kalian belum mencobanya
"Ini kita hanya berdiri saja di sini?"Rafri mulai bersuara di saat mengetahui Harum melihatnya dengan mata bulatnya dan tanpa mempersilahkannya duduk."Ya ampun maaf. Iya...Silahkan duduk Raf."Kemudian, senyum itu melengkung dari bibir seorang ahli waris yang membuat Harum salah tingkah.Penampilan Rafri saat ini membuat Harum sangat penasaran siapa Rafri sebenarnya. Dengan rasa penasaran itu, Harum bertekad untuk mengenal Rafri lebih jauh lagi."Sebentar ya Raf, saya ambilkan minum terlebih dahulu.""Baiklah."Harum meninggalkan Rafri sendiri di ruang tengah dengan berbagai macam pertanyaan yang ada di pikirannya. Sesekali dia menengok ke arah belakang melihat Rafri yang sedang sibuk mempersiapkan bahan skripsinya.'Siapa Rafri sebenarnya? Penampilannya terkesan sangat rapi dan pakaiannya juga bermerk. Berbeda dengan kemarin saat dia datang ke cafe ini. Entahlah'***Mama Ayu membuka kamar putrinya saat putrinya tengah selesai mandi dan masih mengenakan kimono handuk."Mama!"Spont
"Tidak! Tidak! Meskipun Harum seorang wanita yang cantik, manis, ramah, mempunyai eye smile, aku sama sekali tidak mempunyai perasaan apapun terhadapnya."Rafri menggelengkan kepalanya meyakinkan dirinya sendiri di depan cermin jika dirinya tidak menyukai Harum.Took....Took...Tok....!"Den Rafri, bangun den. Sudah siang."Rafri menoleh ke arah pintu. Suara bi Ijah yang mengetuk pintu membuyarkan semua pikiran dan perasaan Rafri terhadap Harum."Den Rafri ayo bangun den."Hampir setiap hari bi Ijah menjadi alarm untuk membangunkan Rafri. Apalagi hari libur seperti ini, pasti bi Ijah mengira jika Rafri belum bangun dari tidurnya."Iya bi."Rafri berjalan untuk membuka pintu sambil tersenyum mendengar suara bi Ijah yang sangat keras dari dalam kamarnya. Pantas saja di hari biasa, Rafri segera terbangun. Alarm suara secara langsung dari bi Ijah tidak akan bisa mengalahkan alarm dari ponsel sang ahli waris itu.Segera mungkin Rafri membukakan pintu untuk bi Ijah agar bi Ijah tidak terlalu
Suara adzhan subuh terdengar samar-samar di telinga seseorang lelaki yang masih terlelap nyaman dari tidurnya."Ash-shalaatu khairum minan naum"Seiring waktu berjalan, suara adzhan terdengar jelas di telinganya. Seketika itu, dia membuka mata perlahan-lahan sambil mengusapnya.Pria itu menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya lalu menurunkan kakinya hingga menapak ke lantai. Dia duduk di pinggir kasur dengan mata yang dipaksakan terbuka.Sebelum beranjak, pria itu meminum air putih yang berada di meja dekat ranjangnya sambil mengecek ponselnya terlebih dahulu.Matanya masih belum sepenuhnya terbuka lebar, dia melihat satu notif nama yang belum dihapus dari contak ponselnya. 'Honey' Nama itu yang dahulu mengisi hari-harinya di saat akan tidur dan juga bangun tidur. Namun sekarang keadaannya sudah sangat jauh berbeda.Dia meletakkan gelas yang sudah diminumnya hingga habis. Sekali lagi dia mengucek matanya untuk memastikan apakah benar jika yang mengiriminya pesan adalah Ayu."Ayu! Ng
"Dengan kamu bertanya seperti itu, sama saja kamu menuduhku!"Suara Bayu yang terdengar berteriak di ponsel Ayu, seketika dijauhkan dari telinganya."Sayang! Kenapa kamu marah-marah? Aku hanya bertanya, bukan menuduhmu."Percakapan Bayu dan Ayu yang berada di telepon, membuat Ayu penasaran siapa sebenarnya yang menyebarkan video pertengkarannya dengan Rafri waktu lalu."Aku sama sekali tidak tahu tentang video itu. Bukan kamu, Bukan mama, sama saja menuduhku. Karena keinginan kamu, aku mempunyai masalah dengan mama"Bayu malah menyalahkan orang lain di saat dirinya ada masalah dengan keluarganya."Loh, kenapa kamu malah menyalahkanku? Itu salah kamu sendiri.""Kamu yang salah! Kamu memaksaku untuk bertemu denganmu. Jika tidak, aku tidak akan terlibat masalah dengan mamaku.""Seharusnya kamu bisa berpikir dong! Jangan seenaknya saja menyalahkanku. Mungkin alasan kamu selalu monoton dan jadul. Cobalah mencari alasan yang logis."Bayu mendengus kesal serta senyum menyeringai saat mendenga
"Aaahh...Tidak..tidak...! Mana mungkin aku tiba-tiba mendatangi mereka berdua dan langsung menanyakan perihal video tersebut kepada Rafri. Aku sama sekali tidak mengenal Rafri."Sedari tadi Dhea berdiri sambil membayangkan bagaimana jadinya jika dia tiba-tiba datang menghampiri kedua orang yang baru saja bertemu setelah beberapa minggu terpisah."Sudahlah. Biarkan saja mereka bersenang-senang terlebih dahulu. Mudah-mudahan Rafri seseorang yang baik yang tidak akan menyakiti Harum."Dhea berprasangka baik kepada Rafri. Meskipun dengan ketakutannya, Dhea harus tetap waspada dan tetap menjaga sahabatnya dari seseorang yang mencoba menjahatinya."Lebih baik aku menghampiri mereka dan berterima kasih pada Rafri telah menemukanku pada Harum. Sahabatku sejak di bangku SMP."Dengan membawa nampan yang berisi 2 makanan ringan serta 2 minuman, Dhea berjalan menghampiri Rafri dan juga Harum yang sedang bersenda gurau."Annyeong haseyo."Dhea menyapa mereka berdua dengan gaya khas bahasa koreanya
Di tempat lain, sosok berjubah hitam duduk di depan layar komputer dengan cahaya remang. Kedua tangannya bersilang di dada menyaksikan video lamaran Rafri dan Ayu yang sedang bertengkar di sebuah restaurant. "Hahahahahaa.....! Sebentar lagi kamu akan hancur Rafri. Hahahahhaa..."Sosok orang berjubah hitam itu tertawa lepas tidak terkontrol menyumpahi akan menghancurkan seorang Rafri Aditya. ***Di sisi lain, kedua orang yang saling berhadapan menyatukan tatapan dalam manik matanya. Tangan mungil yang masih terulur di hadapan Rafri tidak akan lelah dan menyerah sebelum Rafri menjabat tangannya."Bagaimana? Deal?"Rafri masih berpikir keras apakah nanti Harum bisa di percaya atau tidak setelah dirinya mengatakan semuanya."Baiklah. Aku menyetujuinya dan akan menganggap kamu sebagai teman. Deal."Akhirnya mereka berdua berjabat tangan. Degupan kencang yang berada di dada Harum tidak bisa lagi menyembunyikan suhu badannya yang mulai dingin.Bagaimanapun Rafri akan tetap menghargai Harum
Rafri mendengus kesal mendengar perkataan Harum. Dia tidak menerima pernyataan Harum tentangnya."Hanya kamu bilang? Ya, memang saya kehilangan perempuan itu. Tapi apa kamu tahu? Semenjak berpisah dengan perempuan itu, saya semakin mendapatkan banyak masalah yang saya sendiri pun tidak bisa mengatasinya."Harum menatap Rafri dengan senyuman, namun matanya saat ini mulai berkaca-kaca. Rafri seakan lupa jika Harum juga mengalami hal yang sama dengannya. Bahkan dia juga melupakan dari mana Harum berasal."Kamu lebih baik daripada aku Raf. Kamu masih bersama dengan orang-orang yang menyayangimu. Sedangkan aku."Harum terdiam sejenak menatap lekat wajah Rafri yang berdiri di hadapannya. Kini Harum juga masih mengulas senyum kesedihan di depan Rafri sebelum melanjutkan bicaranya."Aku tidak tahu orang tuaku dan juga kakakku berada di mana Raf. Bahkan, identitas pun saya tidak mempunyainya. Jika aku menjadi kamu, aku selalu bersyukur dan tidak akan mengeluh hanya karena masalah ditinggalkan o
Senyum sengit yang terlintas di wajah Rafri menandakan dia akan memulai kesombongannya lagi. "Maksud anda apa melupakan nama saya sendiri? Anda tahu, nama saya terlalu bagus untuk disebutkan. Saya berpikir bagaimana caranya agar anda selalu mengingat nama saya."Benar saja, Harum mencebik kesal melihat kesombongan Rafri."Kok ada ya manusia sombong seperti anda di dunia ini?"Gelengan kepala Harum membuat Rafri tersenyum. Kali ini senyumnya terlihat gemas melihat kebencian Harum padanya."Kenapa? Anda heran? Sekali lagi, dengar dan ingat nama saya. Jika perlu, catat nama saya di buku kecil ini."Rafri menunjuk catatan kecil milik Harum yang biasa untuk menulis menu yang dipesan oleh pelanggan."Tanpa saya tulis pun saya tetap mengingat nama anda, terutama saya akan mengingat perlakuan anda terhadap saya.""Baiklah. Simpan di dalam memori kepala anda. Nama saya Rafri Aditya."Kini Rafri dengan bangganya menyebutkan namanya sendiri di hadapan Harum. Harum telah bersiap menulis huruf pe