Mereka berjalan beriringan menuju lift. Dengan pandangan kecewa dari sepasang mata pengemudi. Pasangan tak lazim ini masuk lift. Arga yang belum terpuaskan oleh William sedikit menggodanya. Jemari tangan pria Latin ini mengelus lembut bagian tengah William.“Ada Septa,”bisik William ke telinga Arga. “Setelah dari sini.”Arga pun tersenyum manis lalu mengecup pipi William. Arga mendekap tubuh William dari belakang karena menahan rasa yang luar biasa dalam tubuh.Arga membahas tentang kesamaan pembicaraan dengan Mama Rita dan Dion. Ia telah mengenal lebih dahulu mereka daripada William.“Jangan sampe mereka menaruh curiga. Apalagi sekarang Septa pingsan,”ucap Arga dengan ekspresi bingung.William segera mendapat ide. “Kebetulan, kan! Kita bisa minta mereka fokus ke Septa. Biar aku yang urus itu.”“Kamu selalu bisa diandalkan, Beb,” sahut Arga lalu mengecup bibir William. Ia buru-buru menarik bibirnya karena pintu lift terbuka.•••~•••~•••Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, akhir
“Non, katanya sakit. Maafkan Bibik, baru bisa besuk,”balas wanita berdaster batik tersebut dengan sedikit terisak.“Bibik kemari, sama siapa?”“Diantar sopir baru. Bibik bawa titipan dari Tuan Arga. Bibik gak mau pulang ke kampung. Mau ikut Non saja. Boleh, gak?” Wanita ini lalu menyerahkan goodie bag berisi map.“Ini apaan, Bik?”“Gak tahu, Non. Tuan Arga kasih ini sebelum pergi. Katanya, nasib Bibik apa kata Non Septa,”balas wanita berdaster motif batik tersebut. Septa menggandeng tangan Bibik lalu mengajak masuk kamar. Betapa kaget Mama Rita saat melihat Bibik.“Apa kabar, Bik? Senangnya bisa bertemu kembali,”sapa Mama Rita mendekat ke arah Bibik. Kedua wanita menuju ke sofa dan Septa masuk kamar mandi karena merasa sedikit mual.“Saya baik, Bu. Kemarin saya sempat diungsikan sama Tuan Arga ke sebuah desa yang terpencil. Oh, ya. Bu Rita sakit apa?”“Darah tinggi saya kumat, Bik. Udah baikan juga. Pantas saja, saya cari ke rumah gak ada. Obat yang dikasih Bibik itu narkoba,”ungkap M
“Ini kapan diambil sampelnya?”“Waktu Nona sakit di Singapura. Saya mohon pertimbangankan permohonan Tuan William,”ucap pengacara bernada mengiba. Pria ini tampak melakukan karena rasa simpati.“Permohonan apa?”tanya Septa dengan dahi berkerut.“Saya akan kasih tahu, setelah Nona membaca hasil tespack dan laboratorium.”Septa membaca lagi hasil tespack lalu dilanjutkan dengan membaca lembaran dari laboratorium. Pengacara memberikan sebuah amplop. “Tolong Nona baca surat ini.”Septa menerima surat dengan sampul berlogo perusahaan milik William. Ia mengeluarkan lembaran HVS berketik rapi dengan tangan tangan dan bermaterai.“Surat pribadi seresmi ini?” Septa berdecak sambil menoleh ke pengacara.“Ada lagi pernyataan resmi dari Tuan William berupa video, Nona. Silakan ditonton,”ucap pria berjas hitam lalu memberikan sebuah kotak. Septa menerima langsung membukanya. Di dalam kotak berisi sebuah ponsel dan earphone.“Ini ponsel milik Tuan William?”“Bukan, Nona. Itu khusus untuk merekam vi
“Selamat malam. Oh, ya, benar. Pak, kenalkan ini Bu Sundari,” ucap Bibik.Septa pun langsung mengulurkan tangan. “Panggil Bu Dari saja, Pak.”“Selamat datang di sini. Semoga kerasan, Bu Dari.”“Aamiin. Terima kasih, Pak.”“Baik, saya tinggal ke pos.”“Silakan, Pak,” balas Septa bersamaan dengan Bibik.Kedua wanita berjalan menuju paviliun lalu Bibik membuka pintunya. “Silakan masuk, Non.”“Terima kasih, Bik,” balas Septa sambil melangkah masuk. Bibik membantu membawa masuk koper yang dibawa.“Non, kapan mau cek rumah utama?”tanya Bibik setelah meletakkan koper ke kamar.“Sekarang saja, Bik. Entar keburu Tuan Arga datang.”“Non beneran cabut laporan kasus Tuan?”“Bukan dicabut. Tuan Arga itu sebagai saksi saja. Pelaku utama Dokter Sebastian dan Mama Sarah. Mereka yang harus masuk penjara,” jelas Septa yang telah berjalan menuju kamar. Ia mengambil kotak kecil dari dalam koper lalu keluar menemui Bibik.“Ayo, Bik!”“Mari, Non,”balas Bibik lalu mengikuti langkah kaki Septa menuju rumah b
Baru saja Sarah melangkah hendak keluar kamar, Arga yang sudah mengenakan celana piyama langsung menghadang. Tubuh kekar dan gerak gesitnya lantas merebut boneka kamera itu dari Septa. Pria ini melempar benda itu ke dinding hingga pecah terberai.Lebih anehnya, Septa sama sekali tak terkejut dan histeris melihat satu-satunya bukti sudah lenyap. Arga menduga bahwa Septa pasti sudah menyimpan salinan rekaman di tempat lain."Septa, maaf!” Arga mengucap itu dengan menatap Septa.“Kata maafnya simpan untuk pembelaan di kantor polisi. Tuan Anthony sudah aku kasih tahu soal ini.”•••~•••~•••Kantor Detektif Septa"Terima kenyataannya. Istri Tuan berselingkuh dengan anak Tuan sendiri."‘Prang!’Septa menatap datar vas bunganya yang pecah. Pria 55 tahun di depannya melempar vas bunga itu ke lantai dengan frustasi. Septa harus bisa membiasakan diri dengan kejadian seperti ini. Dia tak akan terkejut lagi. Hanya saja, dia menyayangkan satu hal.Itu vas bunga langka yang merupakan koleksil di rum
Septa merasa kepalanya semakin berat. Wanita muda ini berusaha memberontak, tetapi tangan pria tersebut sangat kuat mencengkeram tubuhnya. "To-toloong!" teriaknya, tetapi tak dihiraukan siapa pun. Beberapa pasang mata bahkan tersenyum senang melihat tubuh Septa yang dipanggul. Langkah kaki pria itu agak tertatih menapaki anak tangga. Tubuh Septa tampak berguncang dan itu membuat kepalanya kian pening. Kemudian, pria berwajah khas Bangsa Latin ini membuka pintu. "Tenang, Sayang! Kita akan bersenang-senang sedikit,”bisik pria separuh baya tersebut sambil menurunkan tubuh Septa di atas ranjang. "Kau benar-benar menjaga tubuhmu dengan bagus. I like it,”ucap pria tersebut lagi lalu tersenyum nakal sambil menutup pintu dengan sekali tendang.Gaun yang dipakai Septa berleher rendah hingga membuat sebagian kulit dada terekspos.Tangan kanan pria tersebut membuka paksa bagian dada tersebut. Di hadapannya kini, tampak bagian tubuh yang disukainya.Napas teratur Septa yang tergolek lemas di a
“Kasih racun saja! Mimpi apaan gue harus urus dia? Mak dia, gak jelas. Pengen punya anak dari Papa, pake cara kaga bener.” Setelah berucap William berjalan memasuki ruangan dengan didampingi oleh Ronald.Willie yang melihat kedatangan ‘abangnya’ langsung berlari menghampiri lalu menunduk.‘Plak!’ Satu tamparan keras bersarang di pipi Willie.“Lu harus bersaksi depan bini gua!”“Ya, Bang,”ucap lirih Willie dengan tubuh gemetar karena takut. Ia tahu betul dengan apa yang akan dilakukan William padanya, jika berani membangkang. Ia tidak mau nasibnya seperti sang mama. Wanita itu dibuang ke sebuah pulau milik Keluarga Binar. Ia tidak akan pernah kembali ke Indonesia.“Anggap saja nyawa lu lagi diampuni Tuhan. Hanya kuasa-Nya hingga lu gagal gauli istri gua,” ucap William berapi-api.Bersamaan dengan itu pula, Willie menahan malu. Ia telah menceritakan kejadian di dalam mobil Arga dari awal sampai akhir tanpa terlewati kepada William. Ia tidak mungkin berbohong karena dokter forensik ditur
"Kalau iya, kenapa?" William akhirnya menantang pertanyaan Willie. Pria berparas bangsawan Eropa ini tahu betul bahwa Willie ingin menjatuhkan harga dirinya. "Kalau aku tidak ingin tanah kelahiran Mama dirusak, memangnya kenapa?"Willie sejenak tertegun lalu tersenyum kembali. Aura misterius dari balik softlensnya sudah bisa William kenali sebagai kode permusuhan. Dirinya akan buktikan bahwa anak haram tidak pantas bersanding dengannya.“Sekadar mengingatkan, jangan melupakan sejarah dan asal-usul darah. Meski itu darah dari keluarga ibu kamu.”Willie benar-benar merasa di atas angin. Dia sengaja menyerang sisi sensitif William. Pria berambut pirang dari gen Tuan Edzard Abramovich tertawa licik. Ia percaya diri di hadapan para kepala divisi, ‘abang kandungnya’ tidak mungkin bisa menyerang balik.“Silakan ambil alih Pulau Simping. Biar aku bebaskan kamu dari segala tugas di perusahaan. Silakan hubungi pihak HRD setelah ini,”ucap William tenang dengan pandangan mengintimidasi Willie. Ke
Ting! Terdengar notif pesan diterima.[Oke. Aku siapkan semua. Kamu siap-siap di depan. Hitungan menit saja, kita bisa pergi dari sana.][Terima kasih, Bang.]Pesan terkirim dan Septa buru-buru menghapus semua percakapan. Clear. Sebuah senyum manis menghias bibir Septa. Hatinya bisa sedikit tentram sekarang. Dia tidak tahu rencana apa yang telah disusun oleh Ardan.Namun, dia butuh segera keluar dari kantor polisi ini. Perilaku bar-bar wartawan membuatnya semakin tertekan. Yang dia butuhkan sekarang adalah segera bisa keluar dari sini. Otak dan hatinya ingin segera disegarkan dan hanya dia yang tahu caranya.Satu jam kemudian Ardan mengajak Septa untuk keluar menuju lobby kantor. Tentu saja, wanita ini menolaknya mentah-mentah karena belum ada kabar dari Ronald. Ardan yang melihat Septa dalam keadaan ragu-ragu, akhirnya memegang kedua bahu wanita tercinta."Kamu akan lihat gimana caranya agar para wartawan bisa pergi dari sini,"ucap Ardan dengan menatap Septa."Maksudnya apa?"tanya S
Ardan berusaha untuk menahan diri. Bagaimanapun, dirinya harus bersikap bijak dalam menghadapi wartawan. Dia paham taktik para pencari berita dengan cara menyulut emosi narasumber. Pada saat narasinya semakin emosi dalam meladeni pertanyaan wartawan dan biasanya dia tanpa sadar akan mengeluarkan kata-kata yang tidak perlu dipublikasikan. Di saat itulah para pencari berita mereka semua ucapan yang terlontar dari mulut narasumber. Ucapan dalam keadaan marah tersebut akhirnya tertuang pada ketikan mereka. Begitu berita jadi viral dibicarakan dalam masyarakat, otomatis kelanjutan beritanya akan terus dicari-cari. Hal ini mendongkrak penjualan bagi lapak atau platform penyedia layanan informasi online maupun offline. Para wartawan dapat keuntungan bonus dan juga promosi jabatan. Narasumber yang baru sadar akan kekhilafannya akan segera memberikan ultimatum terhadap para wartawan bahkan sibuk membuat siaran pers untuk klarifikasi. Tindakan itu bahkan menjadikan berita semakin dicari dan
Septa lalu melirik pada sebuah nakas di sebelah ranjang. Hmm, siapa yang taruh meja minimalis ini?Kamar Septa dan isinya selalu berwarna putih dan tidak pernah ada warna-warna monokrom seperti ini. Apalagi keberadaan sebuah meja kecil berbahan rotan. Tiba-tiba perhatiannya teralihkan ke arah ke pinggang.Ada beban berat yang membebani area tersebut sejak dirinya bangun. Itu ternyata berasal dari lengan cokelat yang membelitnya. Kepala wanita berparas ayu ini langsung menoleh ke sebelahnya. Ada seorang lelaki sedang tidur lelap.Whaatt? Apa-apaan ini?!Lengan kuat eksotis. Lelaki asing dengan bagian atas tanpa penutup. Tarikan napas teratur. Septa seketika tercekat. Dia pun jadi berpikir yang tidak-tidak. Wanita ini sibuk memutar memori otak. Akhirnya satu kesimpulan diambil ....Septa tundukkan kepala lalu mengintip tubuhnya di balik selimut. Dia langsung syok antara kenyataan atau halusinasi.Kepalaku pengar. Apa yang aku minum tadi? Jadi setengah mimpi begini, keluhnya dalam hati.
"Syukurlah. Kasian Manda gak tau apa-apa soal mafia, jadi korban.""Tyson sampai hari ini belum bisa dipantau," ungkap Ardan. "Dia ini terkenal kejam dan licik dibandingkan Tuan Edzard dan William. Diduga dia ada di balik pengambilan organ dalam para pasien rumah sakit.""Padahal kurang sebulan lagi, Manda dan Tyson menikah. Kenyataannya kini, mereka jadi terlibat urusan mafia tiada berujung," ucap Septa penuh sesal. "Aku punya ide biar bisa tangkap Tyson.""Apa itu?"tanya Ardan penasaran."Kita suruh orang lain untuk jaga Manda. Tyson itu sebenarnya cinta banget sama Manda. Dia lakuin ini pasti karena sakit hati, Manda akan dinikahi Tuan Edzard."Ardan menaikkan kedua alis. Pria ini sedang berpikir sejenak lalu bertanya,"Maksudnya gimana?""Amanda dijaga orang lain, biar Tyson merasa aman untuk mendekatinya. Kita pantau mereka dari kejauhan dan tentu saja ada dokter serta perawat yang bisa kita ajak bekerja sama.""Bagus ide kamu, Sayang. Kita realisasikan," balas Ardan dan langsung
"Ah, akhirnya, semua aman. Saatnya kita pulang," ucap Ardan sambil meluruskan badan. Septa memijat pelan punggung kekasihnya. "Nanti di rumah aku pijatin sekujur badan.""Septa, perutku sakit sekali. Ada yang kosong di bagian perut kiri. Di situ timbul rasa sakit,"keluh Amanda dengan mendesis kesakitan."Jangan-jangan, ...." Ucapan Ardan tidak dilanjutkan karena keburu ada panggilan telepon."Halo, ada apa?"tanya Ardan kepada seseorang di ujung telepon."Pak, ada info, dokter yang menangani Nona Amanda adalah bagian dari komplotan pasar gelap.""Kamu kata siapa?""Ada seorang pria tua bikin laporan. Anaknya setelah operasi besar. Ginjalnya hilang satu.""Oke, terima kasih. Terjunkan tim untuk pantau target.""Baik, Pak."Hubungan telepon berakhir dan tentu saja dalam tatapan tajam kedua mata Septa. Ardan paham bahwa wanita tersebut ingin penjelasan. Pria ini segera merangkul bahu Septa. "Kita harus ke rumah sakit terpercaya untuk memeriksa organ dalam Nona Amanda.""Hei, apa yang ter
Tuan Edzard berusaha mengusir sengatan aneh yang hendak menggerakkan tangannya. Namun gagal, tangannya bahkan dengan lancang meraba puncak dada Amanda sembari bibir kasarnya mengecup ceruk leher si wanita lembut.Pria ini memainkan lidahnya sejenak dan kian intens meremas buah dada yang terasa penuh pada tangan besarnya. Detik berikutnya, pria ini melumat bagian itu lalu mengisap puncak kecoklatannya dan memberikan beberapa gigitan manja di sana."Tuan, jangan!"Permainan pelan itu kian memabukkan begitu pun Amanda tanpa sadar mendesah pelan saat Tuan Edzard menyibak baju Amanda pelan dan menenggelamkan wajahnya lebih dalam lagi.Door!Pyaarr!Tuan Edzard langsung merangkul Amanda lalu mengajak bersembunyi di balik sofa. Pria usia senja ini berbisik kepada Amanda. "Kamu masuk kamar dengan hati-hati. Saya akan lindungi kamu.""Baik, Tuan,"balas Amanda yang langsung mengikuti saran Tuan Edzard. Wanita ini masuk kamar yang berada di balik rumah tamu. Saat masuk kamar, telinga Amanda mas
"Selamat pagi juga, Tuan. Ya, kami memang dengar suara tembakan dari sebuah drone. Namun, tiba-tiba barang itu jatuh dan seketika terbakar,"jelas seorang sekuriti. Penjelasan sekuriti ini membuat Tuan Edzard terkejut, hingga semakin membuatnya penasaran. "Bolehkah saya melihat luar gerbang sebentar?"tanya Tuan Edzard merasa tidak enak hati karena sebelum menuju mansion, dia telah dipesan oleh Septa untuk tidak keluar lagi."Lebih baik Tuan pantau area luar gerbang dari tangkapan layar CCTV saja. Mohon maaf karena ini telah diinstruksikan oleh Nona Septa." "Baik. Saya mau lihat tangkapan rekaman CCTV."Sekuriti mendampingi Tuan Edzard untuk mengamati situasi di luar gerbang. Mereka melihat kedatangan sebuah drone yang diduga milik mafia, pesaing bisnis keluarga Edzard. Pada saat alat canggih tersebut hampir melewati atas gerbang secara mengejutkan ada sinar laser merah.Sinar tersebut menembaknya jatuh. Mata Tuan Edzard dan sekuriti dibuat terbelalak, saat melihat kejadian luar bias
Sejak hidupnya sering diteror mafia saingan bisnis William, Septa lebih nyaman tinggal di mansion bersama Mama dan abangnya. Ardan membuka kaca mobil lalu menghentikan mobil depan pos jaga. Kedua sekuriti tersenyum. Ardan segera menyapa mereka."Selamat pagi. Nanti ada tamu khusus, tolong dibantu kelancarannya.""Selamat pagi, Tuan Ardan. Baik, akan kami bantu."Ardan tersenyum lalu mengulurkan dua lembar uang merah kepada sekuriti. "Buat beli kopi.""Terima kasih, Tuan.""Sama-sama."Seorang sekuriti membuka pintu gerbang lalu mobil pun beranjak masuk halaman. Gerbang pun ditutup kembali. Ardan menoleh ke arah Septa lalu berucap,"Serius ini, aku benar-benar nginap di sini.""Iya, Sayang! Udah aku bilang tadi," balas Septa lalu tertawa manja sambil bersandar ke bahu pria sebelahnya.Mobil baru saja berhenti di carport, tiba-tiba ponsel Septa berdering. Wanita ini menegakkan tubuh lalu mengambil ponsel dari dalam tas. Dia sedikit memicingkan mata karena pandangannya nanar efek dari alko
Ponsel Septa berdering. Ardan segera bangkit lalu mengambilkan untuk Septa. Tertera nama Tuan Edzard. Septa gegas menjawab panggilan."Selamat malam, Tuan.""Selamat malam. Maaf, mengganggu, Nona Septa," ucap pria tersebut dengan suara dalam.Ada apa, Tuan?"tanya Septa dengan rasa penasaran."Saya ingin titip Amanda di rumah Nona Septa demi keselamatannya. Silakan ajukan pembayaran per jam atau harian. Saya akan transfer sekarang. Sekitar seminggu agar kondisi tubuhnya cepat pulih. Boleh?"Septa yang mendapatkan tawaran dari Tuan Edzard langsung tersenyum lega. Ini namanya pria bertanggung jawab, kata hatinya."Boleh, dong, Tuan. Gak usah pake bayar. Amanda itu teman saya. Dengan keputusan bijak yang Tuan Edzard ambil, saya banyak terima kasih. Kalian sama-sama korban. Ronald sudah cerita banyak soal kejadian malam itu. Saya akan jaga Amanda. Sekarang dia di mana, Tuan?""Wah, sungguh luar biasa! Saya gak tahu kalo kalian berteman. Amanda sekarang ada di mansion, habis keluar dari rum