Bu Karlina menghela napas panjang seraya memperhatikan lalu lintas di depan sana. Di tengah segala kesulitan dan kemelut ini, ia tetap berharap bahwa suatu hari, keluarga mereka bisa utuh kembali. Berkumpul lagi dengan anak-anaknya. Penjara tiga tahun menyadarkannya bahwa cinta keluarga adalah ikatan yang tidak pernah benar-benar hilang.Semenjak menemuinya kira-kira empat bulan yang lalu, Pak Danu tidak pernah datang lagi. Ya, memang mereka tidak ada hubungan apapun selain sebagai orang tua dari Agnes.Namun ia yakin, mantan suaminya itu pasti tetap berkomunikasi secara baik dengan putri mereka. Tidak mungkin Pak Danu tega pada anaknya sendiri. Terlebih anak-anaknya yang lain sudah pada mapan semua. Hanya Agnes yang belum menikah.Yang memberi nomer telepon Agnes juga mantan suaminya itu. Pak Danu menyuruh sopirnya mengantar secarik kertas yang ada sederet nomer milik putri mereka.Agnes sekarang berumur 27 tahun, sedangkan Herlina sudah masuk umur 37. Dan mereka semua belum ada yang
Tatap mata Herlina menyiratkan kerinduan. Dia tidak pernah benar-benar dekat dengan Agnes, tetapi dia tahu bahwa sang adik berusaha peduli padanya sebelum gadis itu memutuskan untuk pergi.Setelah tiga tahun lebih terpisah tanpa kabar, Herlina merasakan kehilangan. Menyesal karena tidak menghargai niat baik Agnes dan membuatnya justru kian terpuruk.Dia tidak pernah mengungkapkan, tetapi sebenarnya dia merindukan kebersamaan keluarganya seperti dulu. Sebelum cinta menggelapkan pikiran jernihnya. Sedih sekali rasanya, padahal Agnes adalah saudara satu-satunya. Tapi kenapa hubungan mereka begitu buruk. Saat Agnes salah pergaulan, dia sebagai kakak bukannya membimbing, membawa Agnes kembali, dan memberinya perhatian. Justru memusuhi sang adik. Menjauhi ibarat Agnes ini tidak berguna dan selalu menyusahkan saja.Namun dikala dirinya terpuruk, justru Agnes yang dianggap liar, ingin membantunya menyembuhkan diri. Itu pun disepelekan oleh Herlina."Agnes sebenarnya di mana, Ma?""Dia nggak
SEBELUM BERPISAH- Perjalanan Pertemuan Tak Terduga. Herlina melihat Rizal sedang berjalan dengan seorang wanita berhijab. Napas Herlina tertahan. Dia ingat bahwa Rizal adalah mantan kekasih Elvira. Sosok yang dulu sempat berurusan dengannya dan sang mama di pengadilan. Lelaki itu yang menyelamatkan Elvira dari penculikan. Juga sosok yang namanya dibuat email untuk meneror Hendy.Herlina menatap lelaki yang tangan kirinya di rangkul oleh wanita berhijab.Sementara Rizal tampak tenang. Seolah tak mengenal perempuan yang berjalan bersama seorang laki-laki berkacamata itu."Pa, saya mau nyamperin kenalan dulu," pamit Herlina memandang Pak Danu."Silakan. Papa langsung pulang." Pak Danu melangkah ke mobilnya, sedangkan dengan perasaan serba salah, Herlina mengejar langkah Rizal yang hendak masuk ke restoran. Ia merasa ini adalah kesempatan yang mungkin tak akan datang dua kali. "Mas, tunggu!"Rizal dan Amelia berhenti dan menoleh. "Maaf, kalau saya mengganggu. Bisa saya bicara sebentar
Sesampainya di mobil. Herlina diam sejenak. Dia belum pernah merasakan posisi begitu hina dan rendah seperti sekarang. Ya, karena itu juga akhibat dari kesalahannya sendiri.Sementara di dalam restoran. Rizal dan Amelia mengambil tempat duduk lesehan."Ada apa sih tadi, Mas?" tanyanya pelan pada Rizal setelah mereka memesan makanan. Kalau tidak ditanyakan, hanya menyimpan rasa penasaran.Tanpa ada yang ditutupi, Rizal menceritakan peristiwa waktu itu. Terbesit cemburu dalam benak Amelia. Ternyata begitu luar biasa cara Rizal mencintai mantan kekasihnya. Namun ia sadar. Semua hanya masa lalu. Sekarang mereka sudah memiliki kehidupan sendiri-sendiri."Semua itu hanya masa lalu," ujar Rizal di akhir kalimatnya."Ya. Aku ngerti kok, Mas." Amelia tersenyum tulus.***L***Dua hari kemudian, Herlina duduk di kursi kereta api yang akan menuju Jogjakarta. Dia memandang keluar jendela, melihat pemandangan sawah yang luas membentang. Perjalanan ini bukan liburan. Tapi ada misi yang ingin dia sel
Agnes sudah menunggunya di stasiun. Senyum gadis itu terlihat semringah menyambut kedatangan kakaknya. Dia tidak kesulitan mengenali Herlina di antara para penumpang yang turun dari kereta api. Justru Herlina yang sulit mengenali Agnes. Karena gadis yang tidak pernah memanjangkan rambutnya, kini tampil feminin dengan rambut sebawah bahu. Waktu video call beberapa hari yang lalu, Agnes mengikat rambutnya ke belakang. Jadi Herlina tidak tahu."Mbak," seru Agnes seraya mengangkat dan melambaikan tangannya dengan antusias. Mata Herlina berkaca-kaca. Kemudian melangkah cepat mendekati Agnes lantas memeluknya dengan erat.Herlina merasa terharu. Sudah lama mereka tidak bertemu. Kehangatan pelukan Agnes membuatnya merasa diterima meski selama ini begitu jahat pada adiknya."Kita cari makan siang dulu, Mbak. Baru ke kosanku." Agnes menarik tangan kakaknya untuk diajak keluar stasiun. Mereka masuk sebuah Depot Gudeg Jogja yang sangat ramai siang itu.Agnes bicara dengan riang. Seolah tidak a
SEBELUM BERPISAH - MinderBu Salima bernapas lega melihat Rizal dan Amelia pulang membawa belanjaan."Apa tadi antri, kok kalian lama banget?" tanya Bu Salima ketika mereka ada di meja makan. Rizal menaruh belanjaan di sana."Kami langsung mampir belanja, Bu.""Terus hasil pemeriksaannya bagaimana?" Bu Salima mengangsurkan air hangat pada Amelia. Wanita itu duduk di kursi dekat menantunya yang tampak pucat. Sejak tadi pagi, Amelia memang beberapa kali muntah. Bu Salima menyarankan ke Rizal supaya membawa sang istri periksa ke klinik yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Perasaannya mengatakan kalau Amelia mungkin saja mengandung. "Alhamdulillah, Amelia positif hamil, Bu."Wajah Bu Salima langsung sumringah. Sekaligus terucap hamdalah dari bibir tuanya berulang kali. Doanya terkabul. Dia sangat berharap segera diberikan cucu. Supaya Rizal juga benar-benar bahagia dan pergi jauh dari masa lalunya.Amelia ikut terharu melihat netra ibu mertuanya berkaca-kaca. Dia pun tidak menya
"Nggak, Mbak. Sudah lama banget beliau nggak di sini. Pulang kalau ada acara keluarga atau pas lebaran.""Bapak, tahu di mana sekarang Pak Kuswoyo tinggal?""Nanti saja Mbak tanyakan pada keluarganya. Mbak, ini siapa dan dari mana?" Tatapan lelaki mulai menyelidik saat Agnes bertanya tentang Pak Kuswoyo secara detail."Saya dari Jawa Timur, Pak.""Jawa Timur? Jauhnya. Apa kamu anaknya Pak Kus?""Bukan. Baiklah, Pak. Terima kasih banyak atas informasinya. Saya permisi dulu, Pak." Agnes menangkupkan kedua tangannya seraya membungkuk sebagai tanda hormat. Dijawab anggukan kepala oleh lelaki itu."Bagaimana?" tanya Herlina saat sang adik kembali ke mobil."Bener ini desa yang kita cari, Mbak." Agnes melajukan mobil sambil menceritakan percakapannya dengan bapak tadi. "Laki-laki tadi tahu kalau Pak Kus punya anak di Jawa Timur."Jantung Herlina makin berpacu hebat. Tubuhnya terasa panas dingin dan gemetar. Agnes melajukan mobilnya dengan perlahan. Jalanan aspal itu sudah mulai rusak. Bany
"Kita ini bersaudara, Mbak. Harus saling mendukung dan membantu," jawab Agnes sambil tersenyum."Ya." Herlina mengangguk pelan. Dalam hati berdoa semoga kali ini ia bisa bertemu papa kandungnya. Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari papa kandungnya, tetapi juga tentang menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri setelah bertahun-tahun tidak peduli pada lelaki yang telah mengukir jiwa raganya.Azan maghrib berkumandang sebelum mobil Agnes keluar dari desa. Gadis itu mengajak sang kakak mampir di sebuah masjid yang menaranya tampak dari jalan.Mobil belok kiri di sebuah pertigaan. 30 meter kemudian, mereka berhenti di halaman masjid yang halamannya ditumbuhi pohon sawo. Herlina turun dan memperhatikan sekeliling. Ini masjid besar yang dimaksud bapak di warung tadi. Tapi yang mana bekas tempat tinggal keluarga papanya?Beberapa jamaah yang berdatangan tampak asing memperhatikan Herlina dan Agnes. Dua gadis itu tersenyum ramah pada para warga yang memandang.Usai salat, Herlina dan Ag
Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men
Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se
SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga
Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri
Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida
SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h
"Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk
"Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami
SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san