SEBELUM BERPISAH- Berdamai Ranty berdiri tidak jauh dari Elvira. Netranya berkaca-kaca dengan raut wajah yang sedih. Perlahan gadis itu menghampiri, lantas memeluk Elvira dengan erat. Tidak peduli banyak pengunjung yang melihat ke arah mereka."Apa kabar, Ran?" "Baik." Ranty melepaskan pelukan. Menatap Elvira dengan mata basah. "Kita duduk dulu." Elvira mengajak Ranty duduk di bangku logam yang terpisah dari pengunjung lain. Jujur saja ia pun sebenarnya kangen dengan sahabatnya itu. Rindu dengan kebersamaan mereka selama ini."Kamu sedang apa di sini?""Aku nganterin ibu periksa. Perutmu sudah besar, El. Dedeknya cowok apa cewek?""Cowok," jawab Elvira seraya mengusap perutnya."Aku minta maaf," bisik Ranty dengan suara bergetar. "Aku benar-benar minta maaf, El. Aku telah menyinggung perasaanmu. Aku sudah tahu kenapa kamu resign dan menjauh." Ranty terlihat sangat sedih. Ia kembali mengingatkan tentang percakapannya dengan Rizal di ruang meeting siang itu."Aku nggak bermaksud men
"Seperti katamu, soal karir di mana pun dan kapan pun bisa dimulai lagi. Mbak Angel sekarang nggak seperti dulu, mungkin karena tekanan kerja dari big bos yang membuatnya gampang emosi. Karyawan juga mulai nggak nyaman.""Ran, apa Mbak Angel tahu waktu aku sempat kabur menjelang pernikahan?""Kurasa nggak tahu. Di kantor yang tahu cuman aku dan aku nggak pernah cerita pada siapapun. Kenapa, El?""Nggak apa-apa. Aku hanya penasaran, dokter Herlina tahu dari mana aku kabur waktu itu. Sebenarnya ini nggak penting sih, sudah lama juga. Aku hanya ingin tahu saja." Elvira sebenarnya juga khawatir kalau perempuan itu akan memberitahu kakak iparnya atau ibu mertuanya."Kurasa Mbak Angel nggak tahu, El. Bahkan dia tahu kamu mantan kekasihnya Rizal pun setelah kamu berhenti kerja. Dia nggak sengaja mendengar obrolanku dengan Rizal saat kami membahas kenapa kamu mendadak saja resign."Keduanya diam sejenak. Elvira berpikir, apa istrinya Amar yang memberitahu Herlina. Mereka kan teman sekolah.Ra
"Hari Minggu jam sembilan pagi, kita mendapatkan undangan dari dokter Fadli. Beliau mantu putri bungsunya. Beliau dokter senior di rumah sakit. Dan ini kali pertama mas mengajakmu bertemu rekan-rekan medis yang akan hadir di sana."Elvira terkesiap. Dadanya berdebar-debar. Padahal waktu mereka menikah, banyak juga para dokter yang menghadirinya. Tapi entah kenapa terasa berbeda. Mungkin karena sekarang dia benar-benar sudah menjalani perannya sebagai istri Hendy. Sedangkan dulu sibuk dengan patah hatinya."Aku jadi nervous, Mas.""Kenapa?""Rekan-rekan Mas di rumah sakit, cantik-cantik, berkelas, dan keren."Hendy tersenyum menyatukan kening mereka. Seraya menggenggam tangan Elvira. "Di mata mas, tidak ada yang cantik selain kamu, meski tengah hamil."Ucapan Hendy terdengar seperti gombalan. Tapi membuat wajah Elvira merona samar. "Mas, pandai merayu sekarang.""Mas sedang belajar menjadi suami yang romantis. Capek tengang terus di kamar operasi. Setiap pulang, seolah terobati segala
SEBELUM BERPISAH- Salah Prediksi "Siapa pun nama yang akan kamu sebutkan. Nggak ngaruh lagi bagiku sekarang.""Kamu yakin nggak akan terkejut?"Elvira tersenyum tenang. Sikapnya sangat terjaga. Baginya siapa pun orang itu, tidak akan membuatnya penasaran lagi. "Kamu salah memprediksi waktu untuk membongkar hal ini, Dok. Seharusnya dulu kamu kasih tahu aku dikala situasi masih panas. Disaat keadaan belum baik-baik saja. Mungkin itu akan menjadi bom yang bisa meluluh lantakkan sebuah hubungan dan kepercayaan."Sekarang nama yang kamu simpan itu sudah nggak penting lagi kuketahui. Bahkan aku nggak ingin tahu sebenarnya. Aku, suamiku, dan calon baby kami sudah bahagia. Tentang aku kabur atau apapun waktu itu nggak bakalan mempengaruhi hubungan kami."Setiap berhadapan dengan Elvira, Herlina selalu dibuat mati kutu. Wanita ini tahu cara melawannya dengan sikap tenang. "Isti yang memberitahuku." Herlina bicara begitu gamblang.Elvira sempat menduga, makanya dia tetap diam dan tenang. "S
Elvira digandeng Hendy keluar lewat pintu samping. Ema berjalan tergesa untuk mengejar mereka hingga sampai parkiran. "Bagaimana, Hen?""Aku mau membawa Elvira ke dokter Nely, Mbak.""Dia kontraksi?" Ema ikutan cemas."Mungkin," jawab Hendy sekenanya kemudian membukakan pintu mobil untuk sang istri dan mereka pergi dari sana mengikuti mobil dokter Nely yang lebih dulu melaju bersama suaminya.Hendy cemas. Jangan sampai istrinya melahirkan di kehamilan yang baru masuk usia tujuh bulan. Kalau sampai terjadi apa-apa pada Elvira, Hendy tidak akan melepaskan Herlina kali ini.Mereka sampai rumah dokter Nely hampir bersamaan. Hendy langsung membimbing sang istri ke tempat praktek rekannya. Dengan cekatan, dokter Nely yang masih berkebaya warna hijau botol, segera mempersiapkan pemeriksaan."Ini hanya Braxton Hicks atau kontraksi palsu. Karena Mbak El terlalu tegang dan stres. Si kecil kondisi baik-baik saja. Braxton Hicks memang biasa terjadi sejak usia kehamilan enam bulan. Tapi ini karen
"Aku memang liar, tapi aku nggak merugikan orang lain selain diriku sendiri. Bukan seperti kamu, Mbak. Sibuk mengejar suami orang, seperti perempuan yang nggak punya harga diri.""Jaga mulutmu," hardik Herlina sambil melotot pada sang adik. Digertak demikian bukan membuat Agnes mengkerut, justru dia menantang tatapan kakaknya. "Jangan ulangi apa yang mama lakukan dulu." Suara Agnes merendah."Dan itu lahir kamu. Jangan salahkan mama.""Aku nggak nyalahin mama. Tapi jangan ikuti jejaknya. Asal Mbak tahu, aku juga nggak mau lahir di keluarga seperti ini. Mbak, pikir enak jadi aku. Yang selalu dicibir, disindir, terasing di keluarga papaku sendiri. Dihina sebagai anak pelakor." Mata Agnes menyala penuh amarah."Terkena kasus narkoba juga bukan kemauanku. Karena aku dijebak dan salah mempercayai teman. Selama ini yang rusak diriku sendiri. Nggak pernah aku merusak hubungan orang. Hingga usiaku dua puluh empat tahun ini, aku belum pernah yang namanya pacaran. Apalagi mengejar suami orang
SEBELUM BERPISAH- Terungkap SemuaTernyata hanya Bu Putri saja yang datang di antar sopir. Ia membawa sebuah keranjang besar berisi buah-buahan dan makanan. Elvira dan Hendy mencium tangan sang mama lalu mempersilakannya duduk."Maaf, Ma. Sepulang dari kondangan kami tidak jadi ke rumah Mama." Hendy bicara. Sebab kemarin sudah bilang akan mengajak istrinya datang ke rumah setelah pulang dari acara resepsi.""Nggak apa-apa," jawab Bu Putri."Saya buatin minum dulu, Ma." Elvira hendak melangkah ke belakang, tapi di tahan oleh mama mertuanya. "Nggak usah. Mama nggak lama, karena mau arisan."Elvira kembali duduk."Kandunganmu baik-baik saja, kan? Ema bilang kalian pergi untuk periksa." Bu Putri menggeser duduknya lantas mengusap pelan perut mantunya."Alhamdulillah, nggak apa-apa, Ma. Trimester akhir terkadang memang mengalami kontraksi palsu kata dokter Nely.""Syukurlah kalau nggak terjadi apa-apa. Mama cemas.""Mbak Ema cerita apa ke Mama?" tanya Hendy."Sepulang dari kondangan tadi
Bagaimana tidak kecewa, karena sekarang ia sangat mencintai istrinya. "Mama kok ngomong gitu?""Ya iyalah. Wong kamunya juga nggak peka."Duh, kenapa dia yang dipojokkan. Mamanya tidak tahu bagaimana Elvira masih sibuk dengan mantan dan membuat Hendy pontang-panting oleh perasaannya."Mama juga tahu kalian pisah kamar setelah menikah." Bu Putri bicara dengan santainya seraya memperhatikan putra dan menantunya bergantian. Kembali Hendy dan Elvira dibuat terkejut. Sang mama tahu juga? Apalagi yang diketahui mamanya selain dua hal itu? Jangan bilang kalau mamanya juga tahu kapan malam pertama mereka."Dari mana Mama, bisa tahu?" tanya Hendy. Sedangkan Elvira bungkam mendengarkan sambil menata hati yang berdegup kencang."Orang tua itu instingnya kuat, Hen. Dengan melihat interaksi kalian saat mama nginap di sini waktu El sakit itu saja sudah membuat mama ngerti."Wajah Elvira benar-benar pias. Jangan sampai mertuanya pun tahu tentang Rizal dan segala masa lalu mereka. Duh ...."Kenapa M
Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men
Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se
SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga
Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri
Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida
SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h
"Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk
"Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami
SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san