“Masih mikirin Bagus?” tanya Tanto seraya duduk di samping Rini.Setelah makan malam, biasanya mereka berkumpul di ruang keluarga bersama Rafif untuk mengobrol atau sekedar menonton televisi, namun kali ini Rini memilih untuk masuk ke dalam kamar karena merasa sedikit tak enak badan. Alhasil Tanto terpaksa menyusulnya dan membiarkan Rafif bermain ponsel sendirian di sana. Jurus pamungkas agar anak itu tak selalu berteriak saat merasa sepi di rumah.Rini hanya menganggukkan kepala, setelah mendengar pengakuan anaknya tempo hari, hari-harinya dipenuhi perasaan tak tenang. Ia begitu takut anaknya terus dihantui rasa takut akibat masa lalu. Tak hanya masalah Bagus, Rini juga memikirkan perihal rencana Ari dalam menunda memiliki anak. Ia takut keputusan anak sulungnya itu juga didasari ketakutan akan permasalahan yang bisa saja menimpa keluarga mereka. “Ini semua salahku, Mas,” gumam Rini.“Tak ada yang salah dalam hal ini, semua sudah takdir.” Tanto membawa Rini ke pelukannya. Ia tahu k
Pertandingan baru saja selesai beberapa saat yang lalu dengan hasil yang cukup memuaskan. Meski hanya unggul dua gol, namun Bagus merasa lega karena timnya bisa melaju ke babak selanjutnya.“Aku pulang dulu, ya!” Bagus berpamitan pada semua temannya yang masih mengobrol di parkiran.Bagus segera menutup kaca helmnya dan bersiap menyalakan motor besar selalu menemani hari-harinya yang tak lain adalah motor bekas milik kakaknya. Meski beberapa kali Ayahnya menawari untuk membeli motor baru, namun ia selalu menolaknya karena tak mau terus membebani Ayah sambungnya. Ia bahkan sudah sangat bersyukur bisa berkuliah, sebuah hal yang mustahil baginya jika mamanya tak menikah lagi dengan Ayahnya saat ini.“Bagus selamat, ya!” Bagus menunda menyalakan motonya saat Andin tiba-tiba berdiri di hadapannya. Seperti biasa gadis itu berpenampilan cantik dan selalu mengumbar senyum manis di hadapannya.“Terima kasih, tapi lain kali enggak usah teriak-teriak bisa, enggak? Malu-maluin tahu!” jawab Bagus
Semua keluarga kini tengah berkumpul untuk memastikan kondisi Rini. Ari dan Bagus sengaja pulang untuk memastikan mereka akan mempunyai adik lagi atau tidak. Dengan wajah was-was, Tanto beserta ketiga anak Rini kini duduk berjajar sembari menunggu Rini yang tengah melakukan tes kehamilan bersama Fira.Ari dan Bagus sedikit frustasi setelah Tanto mengabari jika mama mereka mual-mual dan kemungkinan tengah berbadan dua. Tanpa diperintah, keduanya segera datang dan meminta Rini melakukan tes kehamilan. Bahkan Fira yang kondisinya sedang lemah, memaksa ikut karena penasaran dengan kondisi mertuanya.“Asyik, aku mau punya adik!” teriak Rafif yang sudah lama menantikan hadirnya seseorang yang bisa menemaninya di rumah.“Ayah masih tokcer juga,” sindir Ari yang sebenarnya tak ingin lagi memiliki adik.“Ya, mau bagaimana lagi,” jawab Tanto enteng.Dari ketiganya, Baguslah yang paling menampakkan wajah tenang. Baginya punya adik sekaligus keponakan akan membuat keluarganya semakin ramai.“Gima
Bagus menyentuh gundukan tanah basah yang bertabur bunga di depannya. Kini tugasnya telah usai, sepuluh bulan berjuang, melawan rasa sakit, Budi akhirnya menyerah dan berpulang malam tadi. “Maafkan Bapak, Nak, juga sampaikan maaf untuk Mama dan kakakmu,” ucap Budi dengan nafas tersengal.Dua hari setelah Bagus datang, ia memang sudah sadar dari koma. Setelah beberapa lama menjalani perawatan di rumah sakit dan sempat menjalani dua kali operasi akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk merawat di rumah.Akibat kecelakaan itu, Budi akhirnya hanya bisa terbaring di ranjang karena sebagian besar tubuhnya tak berfungsi, belum lagi kakinya yang patah tulang membuatnya semakin tak bisa berbuat apa-apa. Maka dari itulah demi merawat Bapak kandungnya Bagus akhirnya memutuskan untuk pindah kuliah ke kampus yang paling dekat dari kampungnya dan mengambil kelas akhir pekan.“Kenapa kamu melakukan semua ini? Padahal Bapak sudah menelantarkanmu waktu kecil, bahkan Bapak tak jadi membelikanmu mobil
“Owalah, Gus, Gus, kamu mau cari yang kayak apa lagi? Masa cewek secantik Andin dianggurin gitu aja?”Sebuah pertanyaan yang paling sering diajukan oleh teman-temannya seakan terngiang dikepala. Sekian lama tak bertemu, nyatanya ada euforia terasa dalam perjalanannya kembali ke kota. Harapan untuk menemui gadis yang dulu selalu mengejarnya semakin dengan sehingga menimbulkan rasa yang membuncah didadanya.Hari ini tepat hari kedelapan Budi meninggalkan dunia. Setelah acara selamatan peringatan tujuh hari dilakukan kemarin, Bagus pagi ini bertolak ke kota untuk menemui keluarganya. Dengan mengendarai kereta api, Bagus berangkat jam tujuh pagi dan akan tiba sekitar jam tiga sore nanti.“Hati-hati di jalan ya, Gus! Titip salam buat Mama dan Ayahmu. Jangan lupa pesanan Bude buat Kak Fira disampaikan, ya!” ucap Riyati saat mengantarkan keponakannya sampai di stasiun.“Iya, Bude,” jawab Bagus singkat.Seperti biasa, setiap ada orang ke kota, Riyati selalu menitipkan banyak oleh-oleh untuk R
Tubuh Bagus terhuyung ke belakang saat menerima perlakuan mengejutkan dari Andin. Dikira benci, gadis itu malah semakin absurd dengan tak malu memeluknya di depan teman-temannya.“Aku kangen! Kenapa kamu datang enggak bilang-bilang,” ucap Andin disela pelukannya.Bagus yang baru pertama kali dipeluk seorang wanita kecuali Mama dan saudaranya hanya bisa mematung. Wangi aroma parfum yang menguar dari tubuh Andin seolah menghipnotisnya dan membuat jantungnya berdetak beratus kali lebih cepat.“Ekhem ..., dikira kitanya pohon kali, yak?”“Jomblo tutup mata, woy!”“Hadeh, mereka malah india-indiaan!”Suara berisik dari belakang membuat Andin menoleh tanpa melepas pelukannya.“Apaan, sih! Ganggu aja!” bentak Andin dengan tatapan garang.“Mari para nyamuk, kita bubar!” pekik salah satu dari mereka yang membuat semuanya seketika berdiri dan meninggalkan dua sejoli itu hanya berdua.Kini keduanya tengah duduk di salah satu bangku di sudut lapangan. Meski begitu Bagus masih saja terdiam karena
"Cie ... jadian!" ledek Ari."Apaan, sih?" Bagus yang baru saja datang langung menimpuk kakaknya dengan topi yang baru dilepasnya."Duduk sebentar," cegah Bagus saat melihat Ari melangkah ke kamarnya.Bagus pun menurut meski sedikit heran dengan sikap kakaknya."Kamu beneran pacaran?" Ari memastikan."Iya, Kak. Memangnya kenapa?""Dulu waktu kakak pertama kali pacaran sama Fira, Mama pernah bilang gini, katanya pacaran boleh, tapi aku harus tetap fokus belajar. Ingat, dari mana kita dulu dan siapa yang membuat kita bisa seperti sekarang ini. Jangan sampai kita mengecewakan Mama apalagi Ayah." Ari menepuk bahu adiknya."Iya, Kak, aku paham. Aku pasti akan selalu ingat nasihat Kakak."Ari mengangguk, sebagai kakak tertua ia merasa berkewajiban menasihati adiknya. Dulu memang Rini selalu turun tangan untuk segala hal yang berkaitan dengan mereka, namun seiring dengan kesibukannya sekarang pasti pikiran Rini terbagi sehingga tak bisa memberi perhatian secara penuh pada mereka.Sejak perta
“Kalo kakak sering-sering bawa Shera ke sini, kayaknya dia bakalan cepat punya adik,” celetuk Bagus sembari melirik kedua kakaknya.“Iri bilang, bos!” Ari tak kalah menatap tajam ke arah Bagus. Ia tetap santai bermain ponsel sembari rebahan dengan menjadikan pangkuan Fira sebagai bantal. Sebagai orang tua baru, rasanya sudah lama Ari tak bisa bermanja-manja dengan Fira. Hari ini Ari sengaja memboyong anak istrinya untuk menginap di rumahnya. Ini adalah pertama kali ia membawa Shera bepergian setelah umurnya lebih dari empat puluh hari. Jangan tanya bagaimana perasaan Rini, ia bahkan telah mempersiapkan jauh-jauh hari segala hal untuk menyambut kedatangan cucunya.“Shera kita minta aja, Ma, biar kakak bikin lagi,” timpal Rafif sembari terus menciumi bayi dalam pangkuan Rini.“Enak aja bikin, kamu kira kue bisa dibikin!”“Emang kamu ikut ngurusin? Palingan mertua kamu yang sibuk ngurusin Shera,” sindir Rini.“Mama tahu aja.” Ari meringis.Meski menjadi orang tua baru di usia yang cukup