“Owalah, Gus, Gus, kamu mau cari yang kayak apa lagi? Masa cewek secantik Andin dianggurin gitu aja?”Sebuah pertanyaan yang paling sering diajukan oleh teman-temannya seakan terngiang dikepala. Sekian lama tak bertemu, nyatanya ada euforia terasa dalam perjalanannya kembali ke kota. Harapan untuk menemui gadis yang dulu selalu mengejarnya semakin dengan sehingga menimbulkan rasa yang membuncah didadanya.Hari ini tepat hari kedelapan Budi meninggalkan dunia. Setelah acara selamatan peringatan tujuh hari dilakukan kemarin, Bagus pagi ini bertolak ke kota untuk menemui keluarganya. Dengan mengendarai kereta api, Bagus berangkat jam tujuh pagi dan akan tiba sekitar jam tiga sore nanti.“Hati-hati di jalan ya, Gus! Titip salam buat Mama dan Ayahmu. Jangan lupa pesanan Bude buat Kak Fira disampaikan, ya!” ucap Riyati saat mengantarkan keponakannya sampai di stasiun.“Iya, Bude,” jawab Bagus singkat.Seperti biasa, setiap ada orang ke kota, Riyati selalu menitipkan banyak oleh-oleh untuk R
Tubuh Bagus terhuyung ke belakang saat menerima perlakuan mengejutkan dari Andin. Dikira benci, gadis itu malah semakin absurd dengan tak malu memeluknya di depan teman-temannya.“Aku kangen! Kenapa kamu datang enggak bilang-bilang,” ucap Andin disela pelukannya.Bagus yang baru pertama kali dipeluk seorang wanita kecuali Mama dan saudaranya hanya bisa mematung. Wangi aroma parfum yang menguar dari tubuh Andin seolah menghipnotisnya dan membuat jantungnya berdetak beratus kali lebih cepat.“Ekhem ..., dikira kitanya pohon kali, yak?”“Jomblo tutup mata, woy!”“Hadeh, mereka malah india-indiaan!”Suara berisik dari belakang membuat Andin menoleh tanpa melepas pelukannya.“Apaan, sih! Ganggu aja!” bentak Andin dengan tatapan garang.“Mari para nyamuk, kita bubar!” pekik salah satu dari mereka yang membuat semuanya seketika berdiri dan meninggalkan dua sejoli itu hanya berdua.Kini keduanya tengah duduk di salah satu bangku di sudut lapangan. Meski begitu Bagus masih saja terdiam karena
"Cie ... jadian!" ledek Ari."Apaan, sih?" Bagus yang baru saja datang langung menimpuk kakaknya dengan topi yang baru dilepasnya."Duduk sebentar," cegah Bagus saat melihat Ari melangkah ke kamarnya.Bagus pun menurut meski sedikit heran dengan sikap kakaknya."Kamu beneran pacaran?" Ari memastikan."Iya, Kak. Memangnya kenapa?""Dulu waktu kakak pertama kali pacaran sama Fira, Mama pernah bilang gini, katanya pacaran boleh, tapi aku harus tetap fokus belajar. Ingat, dari mana kita dulu dan siapa yang membuat kita bisa seperti sekarang ini. Jangan sampai kita mengecewakan Mama apalagi Ayah." Ari menepuk bahu adiknya."Iya, Kak, aku paham. Aku pasti akan selalu ingat nasihat Kakak."Ari mengangguk, sebagai kakak tertua ia merasa berkewajiban menasihati adiknya. Dulu memang Rini selalu turun tangan untuk segala hal yang berkaitan dengan mereka, namun seiring dengan kesibukannya sekarang pasti pikiran Rini terbagi sehingga tak bisa memberi perhatian secara penuh pada mereka.Sejak perta
“Kalo kakak sering-sering bawa Shera ke sini, kayaknya dia bakalan cepat punya adik,” celetuk Bagus sembari melirik kedua kakaknya.“Iri bilang, bos!” Ari tak kalah menatap tajam ke arah Bagus. Ia tetap santai bermain ponsel sembari rebahan dengan menjadikan pangkuan Fira sebagai bantal. Sebagai orang tua baru, rasanya sudah lama Ari tak bisa bermanja-manja dengan Fira. Hari ini Ari sengaja memboyong anak istrinya untuk menginap di rumahnya. Ini adalah pertama kali ia membawa Shera bepergian setelah umurnya lebih dari empat puluh hari. Jangan tanya bagaimana perasaan Rini, ia bahkan telah mempersiapkan jauh-jauh hari segala hal untuk menyambut kedatangan cucunya.“Shera kita minta aja, Ma, biar kakak bikin lagi,” timpal Rafif sembari terus menciumi bayi dalam pangkuan Rini.“Enak aja bikin, kamu kira kue bisa dibikin!”“Emang kamu ikut ngurusin? Palingan mertua kamu yang sibuk ngurusin Shera,” sindir Rini.“Mama tahu aja.” Ari meringis.Meski menjadi orang tua baru di usia yang cukup
Bagus semakin bingung, saat ponselnya beberapa kali berdering. Lebih dari sepuluh pesan masuk yang semua mengucapkan selamat atas hubungan mereka termasuk pesan dari Kayla yang menanyakan kebenaran berita itu karena ternyata Andin juga menandai akun sosial medianya dalam status tersebut.“Itu adalah bukti kalo aku enggak pernah malu pacaran sama kamu. Aku cuma enggak mau berurusan lagi sama Sakti, jadi aku milih diam.”“Tapi enggak kayak gini juga, kan? Lihat, temanku di kampung jadi ikut tahu kita pacaran.” Bagus menyodorkan ponselnya.“Biarin aja, biar semua orang tahu kita pacaran, termasuk cewek yang suka ngejar kamu.”“Siapa?” tanya Bagus sedikit bingung.“Siapa lagi kalo bukan cewek SMA yang selalu ngetag kamu di sosmed. Kamu pikir aku enggak tahu cewek bernama Kayla itu? Awas aja kalo dia berani macam-macam!”Meski dengan cara yang sedikit nyeleneh tapi Bagus lega karena semua dugaannya ternyata salah. Andin tak pernah malu mengakui ia sebagai pacarnya. Bahkan gadis itu bisa b
Tanto terus mondar-mandir di dalam kamarnya. Pikirannya terus berkecamuk setelah mengetahui jika gadis yang menjadi pacar Bagus masih memiliki ikatan darah dengan keluarga yang selama ini sangat dibencinya. Selama menjadi Ayah sambung, ia sebisa mungkin menghindari segala hal yang mampu merenggangkan hubungannya dengan anak tirinya namun untuk urusan yang satu ini ia tak bisa tinggal diam. Lebih baik Bagus terluka sekarang dari pada menyesal dikemudian hari. “Kalo memang ada yang mengganjal lebih baik katakan saja, aku yakin Bagus sudah cukup dewasa untuk mengerti hal itu,” ucap Rini yang ikut bingung dengan kelakuan suaminya. Tanto hanya bergeming lalu menjatuhkan bobotnya di atas ranjang tepat disamping Rini. Ia sedang berpikir kata-kata apa yang pas untuk mengungkapkan isi hatinya pada Bagus. Bertahun telah berlalu, namun rasa benci itu tak pernah sekalipun hilang dari hatinya. Ia selalu mengingat perlakuan keluarga itu pada kakak perempuannya. Mereka yang katanya berasal dari ke
Akhirnya perpisahan itu benar terjadi, Bagus membulatkan tekadnya untuk kembali ke kampung tempat di mana ia pernah dibesarkan. Aneh memang, saat sebagian besar orang memutuskan untuk menetap di kota dengan semua kemudahan dan hingar bingar kehidupannya, Bagus malah lebih memilih untuk mengikuti kata hatinya menetap di kampung dengan segala keterbatasannya. Namun hidup adalah pilihan, ada banyak hal yang ingin ia lakukan di tempat kelahirannya meski harus terpisah ruang dan waktu dengan orang tua, keluarga juga gadis tercintanya. "Gimana Andin?" tanya Ari yang kali ini jadi memboyong keluarga kecilnya untuk mendatangi kampung halamannya. “Ya, begitulah, namanya juga pisah pasti sedih,” jawab Bagus santai.Lelaki tak ingin menampakkan kesedihannya meski hatinya belum sepenuhnya rela meninggalkan gadis itu. Namun ia pun harus menjaga perasaan Ayahnya dengan bersikap cuek dan menunjukkan bahwa dirinya biasa saja meski harus terpisah dengan Andin.Kepulangan Bagus kali ini memang di an
“Kamu baik-baik di sini ya, Nak. Jangan merepotkan Bude, tetap fokus belajar dan misi kamu di sini.” Rini memeluk erat anak keduanya.“Iya, Ma. Mama juga sehat-sehat di sana, ya. Jangan terlalu khawatir, kasihan Ayah selalu repot kalo Mama sakit. Aku pasti baik-baik saja di sini.” Bagus mencoba menangkan Mamanya.“Kami pamit ya, Nak, bilang saja kalo kamu butuh tambahan modal. Yang terpenting proyek kita harus berhasil.” Tanto memeluk Bagus sekilas.“Pasti, Yah.”Hari ini Rini dan Tanto memutuskan untuk kembali setelah rangkaian acara pernikahan Juwita selesai. MBahkan gadis itu langsung mengikuti suaminya berangkat ke luar pulau sore kemarin.Meski dengan berat hati Rini akhirnya merelakan Bagus untuk tetap tinggal di kampung. Selain karena masalah kuliah yang tak ingin berkali-kali pindah, anak keduanya tengah memiliki proyek besar yaitu sedang belajar mengolah tanah milik Tanto serta Kakeknya menjadi lahan pertanian. Bekerja sama dengan Ayahnya sebagai penyedia modal, Bagus akan me
“Maaf Sayang, bukannya ingin berkhianat, tapi aku—“Bagus tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terus menatap nisan dihadapannya dengan penuh rasa bersalah. Seminggu terhitung sejak hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Kayla, wanita yang telah ia pilih menjadi ibu sambung bagi Adiba.“Cintaku tetap sama dan namamu akan kutempatkan pada bagian yang paling spesial dihatiku selamanya. Semoga kamu mengerti.”Terkadang kata hati tak sejalan dengan pikiran. Dua minggu yang lalu, ia nekat meminang Kayla dan memintanya menjadi bagian dari hidupnya.“Terima kasih sudah mau menerima undangan kami Kay,” ucap Bagus pada sosok wanita yang kini memakai topi lebar yang digunakan untuk melindungi wajahnya dari terik matahari.“Sama-sama, Mas. Aku senang kalian mau ngajak aku.”Atas permintaan Adiba, Bagus sengaja mengajak Kayla liburan ke pantai untuk merayakan hari ulang tahun Adiba yang ke enam. Meski hanya liburan sederhana namun kali ini terasa spesial karena ada seorang wanita bera
Bagus menyentuh gundukan tanah merah yang rutin ia kunjungi setiap minggu sejak lima tahun yang lalu. Sebuah bunga lili putih ia letakkan di sana sebelum ia duduk dan berdoa untuk wanita yang telah lama meninggalkannya. “Hai Mama, Diba datang lagi.” Bocah berbaju kuning itu berbicara pada batu nisan yang ia anggap sebagai rumah Mamanya. “Maaf Sayang, mungkin setelah ini kami akan jarang datang, semoga kamu mengerti. Kami akan pindah ke kampung seperti harapanmu dulu. Bukannya kami ingin meninggalkanmu, tapi kami ingin menjalani hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu di sana,” ucap Bagus mengelus lembut nisan mendiang istrinya. Lima tahun telah berlalu, Bagus merasa sudah saatnya ia membenahi hidupnya. Ia yakin Andin tak akan suka jika dirinya terus-terusan terbelenggu dengan masa lalu. Setelah berpikir ribuan kali, Bagus memutuskan untuk mencari tempat yang lebih tenang untuk menata hidupnya kembali, tentu saja dengan Adiba—putri kesayangannya, buah cintanya bersama Andin, bocah m
“Bagus, kamu langsung ke rumah sakit, Andin pendarahan.”Bagaikan tersambar petir disiang bolong, kabar yang baru saja diberikan Papa mertuanya berhasil membuat hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana mungkin istrinya tiba-tiba mengalami pendarahan, padahal beberapa jam yang lalu saat ia akan pergi ke kantor wanita itu terlihat biasa saja. Tak menunggu lama, Bagus segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang mertuanya sebutkan. Ia tak peduli lagi dengan meeting penting yang beberapa menit lagi akan diadakan atau tender yang mungkin akan hilang karena saat ini yang terpenting adalah menemui Andin secepatnya.Tulang-tulang ditubuh Bagus serasa rontok saat pertama kali ia memandang wanita yang kini terbaring lemah di atas bangkar dengan beberapa alat yang memenuhi tubuh dan wajahnya.“Jangan lupa bahagia, Sayang.” Kata-kata itu terus terngiang saat wanita itu pagi tadi mengantarkannya berangkat kerja. Tak seperti biasanya, Andin memeluknya cukup lama dan m
“Capek?” Bagus mengelus lembut perut Andin yang mulai membuncit.“Heem.” Andin menyeruput jus mangganya hingga tandas lalu beralih memandang Bagus.Saat ini mereka baru saja pulang dari rumah Rini dan Tanto untuk menghadiri selamatan yang diadakan karena kedua anaknya hamil bersamaan. Tak hanya selamatan, Andin dan Fira juga harus bertukar baju seperti kata orang tua zaman dahulu yang masih dipercaya oleh Rini. Meski hanya naluri, namun Rini hanya ingin memohon keselamatan untuk kedua menantunya.“Masih mual?”Andin mengangguk.Sejak awal kehamilan, Andin memang mengalami mual dan muntah yang cukup parah. Ia bahkan hampir tak bisa meminum air putih jika lidahnya merasakan air tanpa perasa. Sebagai gantinya setiap saat ia akan meminum jus buah atau teh manis agar asupan cairan ditubuhnya tetap terjaga.“Mau makan? Mama bawakan rendang tadi.”Andin mengangguk semangat.Tak hanya kesulitan minum, untuk urusan makan pun Andin terbilang cukup susah. Wanita itu bahkan bisa memuntahkan semu
“Kapan kamu akan resign? Papa nanyain terus tuh!” Andin mengantarkan Bagus yang akan berangkat kerja sampai halaman rumah.“Aku belum bicara sama atasan,” lirih Bagus.“Kok gitu? Kamu enggak mau terima tawaran Papa?” “Mau sih, tapi—““Tapi apa?”“Enggak apa-apa. Aku berangkat kerja dulu, baik-baik di rumah, nanti sore kita ke rumah Mama.” Bagus mencium kening, pipi kanan, pipi kiri dan yang terakhir mengecup bibir istrinya sekilas.Andin hanya tersenyum melihat tingkah suaminya yang mulai berani menunjukkan kemesraannya berbeda dengan awal-awal menikah yang terlihat begitu pemalu dan tak berkutik jika berada di luar kamar.Andin memutuskan kembali masuk ke dalam rumah setelah mobil hitam yang dikendarai Bagus meninggalkan halaman. Ia melangkah menuju ruangan kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya yang telah disulap menjadi ruang kerjanya. Dari kamar bernuansa krem inilah Andin setiap hari berkutat dengan laptop untuk berkoordinasi dengan beberapa teman yang menjalankan usahanya.
I⁹Andin menyunggingkan senyum melihat tangan kekar yang kini memeluknya erat. Embusan nafas hangat terasa menyapu kepalanya membuatnya enggan beranjak dari posisinya. Ia memejamkan mata mengingat aktivitasnya semalam yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saat lelaki yang kini mendekapnya berhasil mendapatkan mahkota yang paling ia jaga selama hidupnya.“Udah bangun?” bisik Bagus tepat ditelinga Andin.“Heem.” Bukannya melepaskan tangannya, Bagus malah mengeratkan pelukannya. Aroma sampo yang sejak semalam menguar dihidungnya membuatnya enggan untuk beralih posisi. Bahkan jika bisa ia ingin berada dalam posisi seperti ini setiap saat. Entah kebaikan apa yang telah ia lakukan semasa hidup, hingga ia bisa mendapatkan istri secantik Andin. Seorang wanita yang seharusnya hanya ada dalam angannya namun kini nyata menjadi miliknya. “Terima kasih.” Bagus menghujani kepala istrinya dengan kecupan bertubi-tubi.Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan kebahagiaannya saat ini. Bagus merasa
“Sah.”Kata itu menggema diruang aula yang telah disulap menjadi tempat ijab kabul sekaligus resepsi pernikahan Andin dan Bagus. Semua orang menengadahkan tangan bersamaan dengan lantunan doa oleh salah penghulu yang bertugas menikahkan Andin dan Bagus.Suasana haru sekaligus bahagia tercipta saat semua orang yang datang menjadi saksi bersatunya dua manusia berbeda jenis itu dalam ikatan pernikahan yang sah menurut agama juga negara.“Cuit, cuit!”Suara riuh seketika terdengar saat kedua mempelai saling berhadapan dan Andin mencium tangan Bagus yang dibalas dengan kecupan lembut yang cukup lama di dahi Andin.“Kopi susu!”“Black and white.”Warna kulit keduanya yang kontras memang menjadi hal yang paling diperhatikan oleh semua yang datang terutama teman-teman Andin dan Bagus. Kulit Andin yang seputih susu benar-benar tak bisa menyatu jika disandingkan dengan warna kulit Bagus yang dominan sawo matang. Namun itulah indahnya takdir Tuhan yang menciptakan rasa bernama cinta yang bahkan
“Wow!”Andin memandang takjub hamparan ladang yang terbentang dihadapannya. Kebun yang bersebelahan dengan sungai dan tepat berada di tepi jalan desa itu sedang ditumbuhi tanaman pepaya yang sudah berbuah. Jumlah pohon yang diperkirakan lebih dari seratus batang itu berjajar rapi serta buahnya yang lebat menjadi pemandangan menarik bagi Andin yang baru pertama kali melihatnya.Bagus menggandeng tangan istrinya menyusuri ladang sembari melihat secara langsung perkembangan tanaman yang biasanya hanya bisa ia lihat lewat gambar atau video yang dikirimkan oleh sang penggarap. Sedangkan Andin malah sibuk memvideo langkah demi langkah kebersamaannya dengan Bagus yang baginya terasa romantis.“Ini punya kamu?” tanya Andin disela langkahnya.“Punya Ayah tepatnya,” jawab Bagus sembari memetik buah yang sudah mulai menguning.“Siapa yang menggarap?”“Ada, nanti kita temui dia.”“Terus hasilnya?” “Aku enggak tahu, itu semua urusan Ayah, lagian ini Cuma hiburan buat Ayah dari pada tanahnya jadi
“Sah!”Suara itu lirih terdengar bersamaan dengan suara isak tangis orang-orang di sekitarnya. Air mata Bagus yang sedari tadi ia tahan akhirnya luruh bersamaan dengan diangkatnya jenazah sang kakek ke dalam keranda. “Selamat, Nak. Kakek sudah tenang sekarang, ikhlas ya, Nak.” Beberapa saudara terutama Riyati langsung merengkuh Bagus dan Andin ke dalam pelukannya.Sedih dan bahagia tercipta bersamaan dengan dimulainya prosesi pemberangkatan jenazah oleh sang pemuka agama. Tak kurang dari sepuluh menit akhirnya jenazah kakek dibawa ke pembaringan terakhirnya diiringi semua anak, cucu dan saudara yang menyayanginya.Bagus masih tetap bersimpuh di depan gundukan tanah basah bertabur bunga dihadapannya. Sebelah tangannya menggenggam erat tangan seorang wanita yang baru saja dinikahinya. Meski hanya pernikahan di bawah tangan, tapi secara agama mereka telah sah menjadi suami istri.“Selamat jalan, Kek. Maaf Bagus datang terlambat. Kenalkan ini Andin, istri Bagus. Maaf Bagus terlambat men