Mendengar perkataan Dunida, Yogasa tampak malu sekali. Demi menutupi rasa malunya, Yogasa membentak keras gadis itu, "Jika kau memang ingin sekali bertarung denganku, maka silakan saja! Tapi ingat, aku tidak akan bertanggung jawab jika terjadi hal yang tidak diinginkan menimpamu!"Dengan sikapnya yang tenang, Dunida menghunus pedangnya, lalu dengan kelihaian tangannya, ia memainkan pedang tersebut. Seakan-akan pamer kepandaian di hadapan Yogasa dan kawan-kawannya. Dunida hanya tersenyum saja, lalu berpaling ke arah kakeknya. "Izinkan aku untuk bertarung dengan mereka, Kek," pinta gadis itu."Jangan, Dunida! Jangan kau kotori pedangmu dengan darah orang-orang jahat itu!" cegah Ki Youma, "Sebaiknya, kau pulang ke rumah, nanti Kakek menyusul!" sambung pria senja itu, meminta agar cucunya lebih baik pulang saja daripada harus melibatkan diri dalam pertarungan itu.Dunida hanya mengangguk saja, lalu kembali memasukkan pedang tersebut ke dalam selongsongnya, dan kembali meluruskan pandanga
Pagi harinya ....Sebelum matahari terbit, Ramandika sudah melakukan perjalanan menuju ke desa Lumih, karena hari itu dirinya hendak menemui Dewi Larasati, berdasarkan petunjuk Ramudya yang hadir dalam mimpinya.Menuju ke desa Lumih tidak terlalu banyak memakan waktu, karena jaraknya hanya bersebelahan dengan desa Singkur.Satu jam kemudian ....Ramandika sudah tiba di desa Lumih, ia masih bingung karena belum tahu di mana letak kediaman Nyi Dewi Larasati itu."Aku harus bertanya terlebih dahulu kepada warga desa ini," desis Ramandika sambil berjalan menuntun kudanya menuju ke sebuah rumah yang ada di pinggir jalan."Sampurasun!" ucap Ramandika ramah.Seorang wanita paruh baya yang pada saat itu tengah duduk di teras kediamannya langsung bangkit dan menyambut hangat kedatangan Ramandika dengan sikap ramahnya."Sampurasun," jawab wanita paruh baya itu, "Silakan duduk, Den!" sambungnya."Iya, Mbok. Aku berdiri saja," jawab Ramandika sambil tersenyum lebar."Tidak baik, jika Mbok membiar
Ramandika saat itu langsung kembali ke desa Singkur, kitab kuno yang hendak diserahkan kepada Dewi Larasati terpaksa dibawa lagi oleh Ramandika. Sesuai pesan gurunya, jika tidak bisa bertemu dengan yang bersangkutan, maka kitab itu tidak boleh dititipkan kepada orang lain!"Aku sudah bersusah-payah hendak mengembalikan kitab ini, tapi mereka tidak menghargaiku," gerutu Ramandika sambil memacu derap langkah kudanya.Tidak lama kemudian, Ramandika sudah tiba di desa Singkur. Sebelum pulang ke rumah, Ramandika terlebih dahulu hendak mendatangi tempat berkumpulnya para pendekar yang selama ini berada di bawah naungan Kuwu Sangkan.Ramandika hanya ingin mengetahui tindak-tanduk mereka saja, tidak ada maksud untuk melakukan balas dendam saat itu juga. Karena dirinya berpikir masih belum saatnya ia melakukan balas dendam kepada mereka.Namun, sebelum sampai di tempat yang dituju, ia sudah lebih dulu bertemu dengan Ki Dunggala."Paman Dunggala!" teriak Ramandika memanggil seorang pria paruh b
Hampir dua jam lamanya, Ramandika berada di rumah Ki Dunggala. Hingga pada akhirnya, Ramandika bertemu dengan putra sulung Ki Dunggala yang baru saja pulang dari ladang.Dia adalah Kardala yang usianya tidak jauh berbeda dengan Ramandika. Pemuda itu tampak senang sekali bisa kembali bertemu dengan Ramandika yang dulu merupakan sahabat baiknya."Senang bisa bertemu lagi denganmu, Ramandika," kata Kardala tampak semringah.Ramandika hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Kardala. Lalu berkata, "Badanmu semakin kekar saja, cocok sekali jika jadi seorang pemimpin di kademangan ini.""Sama sekali, aku tidak minat menjadi bagian dari pemerintah yang zalim. Aku lebih memilih jadi rakyat biasa saja," jawab Kardala, "Walau bagaimanapun kademangan tetap bagian dari kerajaan Gurusetra yang selama ini tidak aku sukai!" tegasnya menambahkan.Ramandika tersenyum lebar mendengar pernyataan sahabat lamanya itu."Aku pun berpikir demikian, jadi rakyat biasa itu jauh lebih menyenangkan. Terlebih l
Bargowi hanya mengangguk-angguk saja mendengar perkataan majikannya. Namun dirinya merasa bingung, siapa yang sekiranya memiliki kepandaian tinggi? Sementara di desa tersebut tidak ada seorang pun pendekar yang memiliki kemampuan bela diri seperti dirinya.'Siapa orang yang bisa aku perintah untuk ikut dalam sayembara tersebut? Sedangkan di sini tidak ada satu pun pendekar yang bisa aku percaya,' kata Bargowi dalam hati."Bargowi! Kenapa kau diam?" tanya Kuwu Sangkan menatap tajam wajah orang kepercayaannya itu."Mohon maaf, Ki. Aku sedang memikirkan siapa orangnya yang tepat untuk diberi tugas ikut dalam sayembara tersebut," jawab Bargowi, "Menurut Ki Kuwu pendekar yang layak mewakili kelompok kita dalam sayembara itu siapa?" tanya Bargowi menambhakan."Di desa ini tidak mungkin ada pendekar yang kita percaya untuk ikut andil dalam sayembara tersebut, kau cari saja ke desa lain! Mumpung masih ada waktu satu hari lagi," jawab Kuwu Sangkan."Baik, Ki. Aku akan segera mencarinya," kata
Sore harinya ....Kardala pamit kepada ayahnya untuk berangkat ke kediaman Ramandika, Kardala merasa penasaran dan ingin tahu lebih jelas lagi terkait sayembara yang dirancang oleh sahabatnya itu.Namun, ketika Kardala tengah berjalan melewati jalur setapak melewati hutan kecil menuju kediaman Ramandika, tiba-tiba saja ia di hadang oleh Basura—seorang pemuda yang selama ini sangat membenci dirinya dan juga Ramandika."Mau ke mana kau Kardala?" tanya Basura sinis."Aku mau ke rumah Paman Wirya," jawab Kardala.Kardala sengaja berbohong karena khawatir jika dirinya berterus terang mau menemui Ramandika, justru akan menimbulkan masalah besar. Seperti yang ia ketahui bahwa Basura sangat membenci Ramandika, tentu dia akan melaporkan keberadaan Ramandika kepada Kuwu Sangkan jika mengetahui orang yang dibencinya itu sudah kembali ke desa tersebut."Oh ... aku pikir kau akan ke tengah hutan," desis pemuda angkuh itu sambil tertawa-tawa."Untuk apa aku pergi ke tengah hutan?" tanya Kardala ger
Kepergian Sonar dan keempat kawannya, menjadi bumerang bagi Bargowi selaku pimpinan dari kelompoknya itu. Bahkan, sikap tegas Sonar dan kawan-kawannya menumbuhkan rasa rancu dalam diri para pendekar lainnya, sehingga banyak di antara mereka yang mulai goyah dan secara perlahan mulai tidak mempercayai kepemimpinan Bargowi yang mereka nilai kurang tegas."Ini artinya Ki Bargowi sudah tidak lagi memiliki pamor di hadapan kita sebagai anak buahnya. Apakah kita akan tetap bertahan di kelompok ini?" tanya salah seorang pendekar kepada kawannya."Entahlah, mungkin suatu saat nanti, aku pun akan bersikap seperti Sonar dan kawan-kawan kita lainnya. Aku akan keluar dari kelompok ini tanpa harus berbicara kepada Ki Bargowi dan Ki Kuwu Sangkan," jawab kawannya yang pikirannya sudah mulai goyah."Aku pun berpikir demikian, untuk apa kita bertahan di kelompok ini jika pemimpin kita saja sudah lembek tidak memiliki pamor lagi," sahut yang lainnya."Ya sudah, sebaiknya untuk saat ini kita tetap bersi
Di saat situasi semakin kacau, tiba-tiba saja muncul dua orang pendekar. Mereka adalah orang-orang kepercayaan Dewi Larasati, yang sengaja diutus untuk mengambil kitab Ajerwa."Siapa kalian?" tanya salah seorang pendekar yang hendak melakukan serangan terhadap Ramandika."Tahan dulu, Ki Sanak! Kami utusan Nyi Dewi, kami datang sengaja untuk menjemput kitab kuno Ajerwa, berdasarkan perintah ketua kami," jawab salah seorang dari kedua pendekar itu."Kitab kuno itu milik ketua kalian? Apa itu tidak salah?" tanya Pendekar Singa Lodaya maju dua langkah sambil tersenyum-senyum sinis."Bukankah dari pengumuman sudah jelas bahwa kelompok kalian tidak boleh ikut bersaing dalam sayembara ini? Itu sudah jelas bahwa kitab kuno itu bukan lagi milik ketua kalian!" timpal pendekar lainnya."Kau ini siapa? Tahu apa kau tentang kitab itu?" bentak pendekar utusan Dewi Larasati geram mendengar perkataan pendekar yang ada di hadapannya.Sementara itu, Ramandika hanya diam saja menyaksikan detik-detik per
Beberapa hari kemudian ....Ramandika dan Senapati Sena langsung kembali ke istana bersama lima ratus prajurit yang baru saja selesai melaksanakan tugas mereka—menumpas kelompok pendekar sayap timur.Setibanya di istana, Ratu Rinjani dan Lasmina menyambut hangat kedatangan Ramandika dan pasukannya."Syukurlah, Kakang bersama para prajurit dalam kondisi baik-baik saja," kata Ratu Rinjani sambil tersenyum lebar.Begitu juga dengan Lasmina, meskipun kapasitas dirinya hanya sebagai istri kedua Ramandika. Namun, Lasmina tak kalah mesra dari sang ratu dalam menyambut kedatangan suaminya itu."Ada kabar baik untuk Kakang," kata Lasmina sambil tersenyum-senyum.Ramandika mengerutkan kening sambil memandangi wajah istri keduanya itu. "Kabar baik apa, Nyimas?" tanya Ramandika penasaran.Lasmina masih tersenyum-senyum, kemudian dia menoleh ke arah Ratu Rinjani. "Kanda Ratu saja yang menyampaikan kabar baik ini!" pinta Lasmina.Ratu Rinjani tersenyum lebar, dia mengatur napas sejenak sebelum meny
Mendengar pertanyaan pendekar itu, Panglima Dumaya tampak geram sekali. "Apakah kau ingin mati konyol? Silakan saja jika kau ingin tetap di sini! Aku dan yang lain akan segera meninggalkan tempat ini," pungkas Panglima Dumaya. Demikian juga dengan para pendekar lainnya, mereka sudah merubah haluan. Mereka sudah jera dan tidak mau lagi bertempur melawan pasukan kerajaan Gurusetra Jaya. Para pendekar itu sadar dengan kondisi kekurangan mereka. "Ayo, mundur!" teriak Panglima Dumaya. Dengan demikian, maka para pendekar itu langsung mundur meninggalkan arena pertempuran. Panglima Dumaya tidak ingin anak buahnya berguguran terlalu banyak, karena dia sadar dengan jumlah pasukannya yang semakin berkurang saja. "Kurang ajar!" geram Silaka, "kalian pengecut!" sambungnya berteriak keras. Namun, Panglima Dumaya dan para pendekar lainnya tidak mengindahkan teriakan Silaka. Demikianlah, maka Silaka langsung memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk beralih ke arah timur demi menghin
Panglima Birnaka dan para prajuritnya hanya mengangguk sambil menjura hormat kepada sang perdana menteri."Nanti aku dan Senapati Sena akan menyusul kalian," kata Ramandika, "aku sarankan, kalian jangan melakukan serangan hari ini. Lebih baik lakukan serangan besok saja, untuk hari ini kalian cukup memantau pergerakan mereka," sambungnya."Baik, Gusti," jawab Panglima Birnaka menjura kepada sang perdana menteri."Setelah kalian tiba di tengah hutan Jati, kalian harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan perkemahan. Pastikan tempat tersebut aman dan jauh dari markas para pendekar dari kelompok sayap timur!" kata Ramandika."Hamba akan menyampaikan saran ini kepada semua prajurit." Panglima Birnaka berkata sambil menjura penuh rasa hormat kepada sang perdana menteri Setelah mendapatkan pencerahan dari Ramandika, Panglima Birnaka dan pasukannya langsung bergerak memasuki hutan Jati yang menjadi sarang para pendekar dari kelompok sayap timur.Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Birn
Pagi harinya, di beberapa desa yang ada di wilayah kepatihan Putra Jaya, tampak geger dengan hilangnya beberapa orang tokoh masyarakat dan para pemuda.Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya langsung mendatangi para prajurit yang bertugas di wilayah kademangan Jati Darma. Mereka melaporkan bahwa anggota keluarga mereka sudah hilang secara misterius.Tentu, kejadian tersebut kembali menghebohkan dan merubah suasana dan kondisi yang semula aman menjadi kembali genting. Para penduduk pun mulai takut keluar rumah pada malam hari, bahkan di siang hari pun aktivitas penduduk mulai surut, mereka tak lagi pergi ke ladang atau ke tempat-tempat lain yang jauh dari pemukiman, karena mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.Senapati Sena tampak geram sekali dengan peristiwa tersebut, ia sudah menduga bahwa itu murni perbuatan kelompok pendekar sayap timur pimpinan Panglima Dumaya. Namun, semua harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum mengambil ke
Para penduduk itu terus berbincang-bincang sambil menikmati waktu, hingga pada akhirnya perbincangan mereka bergeser ke hal lain yang bersangkutan dengan kelompok pendekar sayap timur."Apakah kalian percaya jika Panglima Amerya dari kelompok pendekar sayap timur itu sudah tewas?" timpal seorang pria paruh baya bertanya kepada semua yang ada di tempat tersebut.Seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah segera menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Menurut kabar yang aku dengar dari ki kuwu, kabar kematian Panglima Amerya itu memang benar. Dia sudah tewas di tangan Panglima Gurma.""Baguslah kalau memang kabar itu benar, itu tandanya kita akan aman. Walau bagaimanapun, Panglima Amerya adalah otak di balik semua kekacauan di wilayah ini."Beberapa tanggapan telah muncul di antara para penduduk kadipaten Dembaga Pura dan juga dari pihak kelompok pendekar sayap timur. Ada yang percaya bahwa Panglima Gurma telah membunuh Panglima Amerya, adapula yang beranggapan bahwa Panglima Amer
Beberapa orang dari kelompok pendekar sayap timur, saat itu sudah berada di dalam hutan yang ada di pinggiran desa Sengkolo di wilayah kadipaten Dembaga Pura—kepatihan Putra Jaya.Para sandera yang beberapa hari terakhir mereka tawan, hari itu sudah mereka lepaskan. Namun, mereka masih menahan belasan orang yang merupakan para pejabat penting dari beberapa kademangan yang ada di wilayah kadipaten Dembaga Pura.Setibanya di kepatihan Putra Jaya, Perdana Menteri Ramandika bersama para prajuritnya langsung bergabung dengan pasukan yang sudah lebih dulu tiba di wilayah tersebut.Kehadiran sang perdana menteri tentu disambut hangat oleh rakyat yang ada di daerah tersebut, bahkan sang patih pun turut menyambut kedatangan Perdana Menteri Ramandika bersama pasukannya."Aku tidak melihat para pejabat kadipaten Dembaga Pura, di mana mereka?" tanya Ramandika kepada Patih Karmala."Mohon maaf, Gusti Perdana Menteri. Hamba belum mengetahui informasi lebih lanjut tentang keberadaan Adipati Tunaraka
Sebulan setelah berdirinya kerajaan Gurusetra Jaya. Tiba-tiba saja, penduduk yang ada di perbatasan wilayah kerajaan Gurusetra Jaya diserang oleh sekelompok orang tak dikenal.Mereka adalah kelompok pendekar sayap timur yang masih bertahan di wilayah tersebut, dan mereka masih loyal terhadap pihak pemerintah kerajaan Gurusetra pimpinan Prabu Mahesa.Meski posisi mereka sudah terhimpit oleh pasukan kerajaan Gurusetra Jaya, namun mereka masih berusaha menganggu dan memberikan teror-teror terhadap pihak kerajaan Gurusetra Jaya dan rakyat kerajaan tersebut.Ada banyak penduduk di wilayah tersebut yang dibantai dan diculik oleh para pendekar jahat dari kelompok sayap timur. Bahkan, mereka disiksa habis-habisan oleh para pendekar itu. Hanya sedikit orang yang berhasil kabur menyelamatkan diri.Radisa dan Janeja merasa kecolongan dengan adanya peristiwa tersebut. Mereka baru mengetahuinya setelah mendapat kabar dari salah seorang penduduk yang berhasil lolos dari cengkraman para pendekar say
Keesokan harinya ....Ramandika sudah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menjemput kedua istrinya. Lasmina yang berada di desa Singkur dan Rinjani di bukit Sancang."Semua anggota kelompok kita harus semuanya ikut ke sini! Mulai hari ini kita akan membangun wilayah kepatihan ini secara mandiri, karena wilayah ini secara resmi sudah terpisah dari wilayah Gurusetra," kata Ramandika di sela pembicaraannya dengan Radisa dan Janeja yang ia beri tugas untuk menjemput kedua istrinya dan juga semua anggota kelompok Halimun yang masih ada di desa Singkur dan bukit Sancang."Baik, Ketua. Kami akan segera bersiap untuk berangkat ke sana," kata Radisa sambil merangkapkan kedua telapak tangannya. Begitu juga yang dilakukan oleh Janeja, bersikap penuh hormat terhadap Ramandika.Setelah itu, mereka bangkit dan bersiap untuk segera berangkat ke desa Singkur dan bukit Sancang. Radisa dan Janeja langsung berbagi tugas."Aku dan para prajuritku akan menjemput Nyimas Raden Rinjani, dan kau bersa
Dengan penuh rasa percaya diri, Panglima Darsaka dan ratusan prajurit yang masih bertahan, langsung melangkah mendekati pasukan Halimun, mereka kembali melakukan perlawanan. Sudah tidak ada pilihan lain lagi, selain melawan untuk mempertahankan diri.Para prajurit kelompok Halimun telah menggenggam senjata mereka masing-masing, dan bersiap menyambut serangan dari pasukan kerajaan Gurusetra yang jumlahnya sudah semakin berkurang.Pada saat itu, Ramandika terpaksa harus membunuh Patih Amukaraga, karena dia tak mau bertekuk lutut. Sejatinya, Ramandika tak berniat melakukan tindakan seperti itu, namun Patih Amukaraga yang terus melakukan serangan berbahaya terhadap dirinya, sehingga Ramandika memutuskan untuk membinasakan sang patih.Sorak sorai para prajurit Halimun terdengar bergemuruh, mereka merayakan kemenangan. Seiring dengan tewasnya Patih Amukaraga di tangan Ramandika—pemimpin mereka. Selain itu, Panglima Darsaka dan para prajuritnya pun sudah berhasil ditangkap dalam keadaan hidu