Ramandika pun langsung duduk, dan segera memesan makanan kepada sang pemilik warung makan itu."Aku pesan nasi tiwul sama ikan gurame bakar, Ki!" kata Ramandika lirih, "Minumnya air putih saja!" sambungnya."Baik, Den. Mohon ditunggu," jawab sang pemilik warung makan tersebut.Setelah menerima pesanan makanan, pria bertubuh tambun itu pun langsung berlalu dari hadapan Ramandika untuk segera menyiapkan makanan dan minuman yang dipesan tamunya itu.Kedatangan Ramandika ke warung makan itu, bukan sekadar untuk makan dan beristirahat saja. Namun setelah mendapat tempat duduk, Ramandika langsung mengamati gerak-gerik para pengunjung yang ada di dalam warung makan tersebut.'Ramai sekali warung makan ini,' kata Ramandika dalam hati.Di dalam warung makan itu, ternyata terdapat banyak orang. Mereka berasal dari berbagai golongan, tapi yang paling ialah seorang kakek yang mengenakan jubah putih, ia duduk saling berhadapan dengan seorang gadis cantik yang diperkirakan baru berusia belasan tahu
Usai ziarah, Ramandika langsung berjalan sambil menuntun kudanya menuju rumah kosong yang dulu merupakan tempat tinggal Mendiang Ramudya.Ramudya adalah seorang yang sangat menyayangi Ramandika, meskipun tak ada ikatan darah, namun Ramandika sudah menganggap Ramudya sebagai pamannya sendiri.Setibanya di tempat yang dituju, Ramandika hanya geleng-geleng kepala saja ketika melihat rumah tersebut sudah tak terurus lagi, halamannya dipenuhi rumput liar dan tanaman-tanaman berduri yang tumbuh subur. Sementara di dalamnya tampak berantakan sekali.Dengan demikian, Ramandika langsung merapikan rumah tersebut. Bagian dalam dan luar langsung ia bersihkan, karena rumah itu akan ia tempati selama berada di desa tersebut."Tiang penyangganya sudah rapuh, besok aku harus menggantinya," desis Ramandika sambil mengamati tiang penyangga rumah yang sudah rusak dimakan rayap.Rumput liar dan tanaman-tanaman kecil berduri yang tumbuh di halaman rumah itu langsung ia bersihkan, ruangan yang tadinya bera
Sama sekali, Ramandika tidak mengenali tiga pria tersebut. Padahal, mereka itu adalah para pendekar yang tadi siang berpapasan dengannya ketika ia baru keluar dari rumah Ki Durga.Ketika Ramandika sedang mengawasi ketiga pendekar itu, ternyata mereka hanya tersenyum-senyum saja memandang sinis ke arah Ramandika."Aku tanya, kalian ini siapa? Kenapa kalian tidak mau menjawab?!" bentak Ramandika kesal.Mereka tidak mengindahkan pertanyaan Ramandika, kemudian mereka melangkah maju, lalu mengepung Ramandika dari arah kiri dan kanan.Rasa gusar semakin menjadi-jadi dalam diri Ramandika, apalagi ketika mereka mulai bersikap agresif, seakan-akan siap melakukan serangan."Tentu kau belum mengenal kami, Anak muda," kata pria paruh baya yang memiliki bekas luka di bagian kiri wajahnya.Ramandika hanya diam saja, ia terus memperhatikan gerak-gerik ketiga pria paruh baya itu."Kami bertiga merupakan para pendekar dari kelompok Gua Baji, dan malam ini kami akan menjajal kemampuanmu. Tapi ada taruh
Kemudian, tangannya bergerak dengan sangat cepat. Pria paruh baya itu mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya meluncur hendak menyerang ke arah Ramandika.'Aku tidak boleh membunuhnya, namun aku akan memberikan sedikit pelajaran kepada orang ini,' kata Ramandika dalam hati.Ramandika sangatlah paham dengan jurus yang dikeluarkan oleh pria paruh baya itu. Jurus yang sangat berbahaya, sudah dapat dipastikan bahwa jurus tersebut sangat mengancam jiwanya.Namun, Ramandika tetap bersikap biasa-biasa saja. Dia hanya penasaran saja dan ingin meladeni kekuatan yang dimiliki lawannya itu."Maafkan aku, Ki Sanak. jika aku sedikit melukaimu," teriak Ramandika langsung memutar tubuhnya.Ia pun segera mengeluarkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menyambut serangan dari pria paruh baya itu.Jurus tenaga dalam yang dikerahkan Ramandika berhasil menghadang laju kekuatan tenaga dalam lawannya, sehingga bentrok dan menimbulkan kegaduhan yang sangat luar biasa. Bunyi dentuman keras menggelegar di saat dua e
Tuduhan itu masih saja terlontar dari mulut para pendekar tersebut, meskipun Ramandika sudah menjelaskan semuanya, bahwa dirinya bukan pelaku pembunuhan itu.Tapi, apalah daya. Mau tidak mau, Ramandika harus melakukan perlawanan untuk membela dirinya.Serangan bertubi-tubi kembali dilancarkan oleh empat orang pendekar itu. Mereka tampak ganas seperti harimau yang kelaparan, menyerang tanpa belas kasihan.Dalam menghadapi kondisi genting seperti itu, Ramandika terpaksa harus mengerahkan sebagian jurus andalannya. Karena hal tersebut harus ia lakukan agar dirinya tidak celaka.Ramandika mulai mengerahkan jurus-jurus andalannya, demikian pula dengan keempat orang lawannya. Sehingga pertarungan tersebut berjalan sengit.Dua orang perempuan yang lebih dulu menyerang berhasil ia jatuhkan, mereka tersungkur dengan luka di bagian bahu dan kaki."Maafkan aku, Ni Sanak. Bukan maksudku untuk melukai kalian. Tapi kalian sendiri yang menyerangku lebih dulu," kata Ramandika mundur setelah berhasil
Sudah berbagai jurus dikeluarkan oleh kedua belah pihak dalam pertarungan malam itu. Namun, pertarungan mereka tak kunjung selesai, masih sama-sama kuat.Mereka masih melakukan serangan-serangan yang sangat berbahaya. Kedua belah pihak, sama-sama menginginkan kemenangan dalam pertarungan malam itu.Pendekar bertubuh gempal yang bernama Yogasa dan dua pendekar perempuan yang berpakaian serba merah. Yakni, Sonanti dan Sintari masih saja terlihat kuat, meskipun sudah mengalami luka di beberapa titik bagian tubuh mereka. Mereka masih belum jera dan berambisi ingin membinasakan Ramandika di tempat itu."Jangan terus menghindar, Ramandika! Keluarkan kekuatanmu dalam melawan kami, kami tidak suka jika kau bertarung setengah hati!" bentak Yogasa."Aku bersikap seperti ini karena aku tidak menginginkan kalian binasa. Aku menghormati kalian, ini hanya kesalahpahaman saja, aku tidak ingin memperpanjang persoalan yang tidak jelas ini," jawab Ramandika berusaha untuk tetap tenang."Kurang ajar! Ma
Mendengar perkataan Dunida, Yogasa tampak malu sekali. Demi menutupi rasa malunya, Yogasa membentak keras gadis itu, "Jika kau memang ingin sekali bertarung denganku, maka silakan saja! Tapi ingat, aku tidak akan bertanggung jawab jika terjadi hal yang tidak diinginkan menimpamu!"Dengan sikapnya yang tenang, Dunida menghunus pedangnya, lalu dengan kelihaian tangannya, ia memainkan pedang tersebut. Seakan-akan pamer kepandaian di hadapan Yogasa dan kawan-kawannya. Dunida hanya tersenyum saja, lalu berpaling ke arah kakeknya. "Izinkan aku untuk bertarung dengan mereka, Kek," pinta gadis itu."Jangan, Dunida! Jangan kau kotori pedangmu dengan darah orang-orang jahat itu!" cegah Ki Youma, "Sebaiknya, kau pulang ke rumah, nanti Kakek menyusul!" sambung pria senja itu, meminta agar cucunya lebih baik pulang saja daripada harus melibatkan diri dalam pertarungan itu.Dunida hanya mengangguk saja, lalu kembali memasukkan pedang tersebut ke dalam selongsongnya, dan kembali meluruskan pandanga
Pagi harinya ....Sebelum matahari terbit, Ramandika sudah melakukan perjalanan menuju ke desa Lumih, karena hari itu dirinya hendak menemui Dewi Larasati, berdasarkan petunjuk Ramudya yang hadir dalam mimpinya.Menuju ke desa Lumih tidak terlalu banyak memakan waktu, karena jaraknya hanya bersebelahan dengan desa Singkur.Satu jam kemudian ....Ramandika sudah tiba di desa Lumih, ia masih bingung karena belum tahu di mana letak kediaman Nyi Dewi Larasati itu."Aku harus bertanya terlebih dahulu kepada warga desa ini," desis Ramandika sambil berjalan menuntun kudanya menuju ke sebuah rumah yang ada di pinggir jalan."Sampurasun!" ucap Ramandika ramah.Seorang wanita paruh baya yang pada saat itu tengah duduk di teras kediamannya langsung bangkit dan menyambut hangat kedatangan Ramandika dengan sikap ramahnya."Sampurasun," jawab wanita paruh baya itu, "Silakan duduk, Den!" sambungnya."Iya, Mbok. Aku berdiri saja," jawab Ramandika sambil tersenyum lebar."Tidak baik, jika Mbok membiar
Beberapa hari kemudian ....Ramandika dan Senapati Sena langsung kembali ke istana bersama lima ratus prajurit yang baru saja selesai melaksanakan tugas mereka—menumpas kelompok pendekar sayap timur.Setibanya di istana, Ratu Rinjani dan Lasmina menyambut hangat kedatangan Ramandika dan pasukannya."Syukurlah, Kakang bersama para prajurit dalam kondisi baik-baik saja," kata Ratu Rinjani sambil tersenyum lebar.Begitu juga dengan Lasmina, meskipun kapasitas dirinya hanya sebagai istri kedua Ramandika. Namun, Lasmina tak kalah mesra dari sang ratu dalam menyambut kedatangan suaminya itu."Ada kabar baik untuk Kakang," kata Lasmina sambil tersenyum-senyum.Ramandika mengerutkan kening sambil memandangi wajah istri keduanya itu. "Kabar baik apa, Nyimas?" tanya Ramandika penasaran.Lasmina masih tersenyum-senyum, kemudian dia menoleh ke arah Ratu Rinjani. "Kanda Ratu saja yang menyampaikan kabar baik ini!" pinta Lasmina.Ratu Rinjani tersenyum lebar, dia mengatur napas sejenak sebelum meny
Mendengar pertanyaan pendekar itu, Panglima Dumaya tampak geram sekali. "Apakah kau ingin mati konyol? Silakan saja jika kau ingin tetap di sini! Aku dan yang lain akan segera meninggalkan tempat ini," pungkas Panglima Dumaya. Demikian juga dengan para pendekar lainnya, mereka sudah merubah haluan. Mereka sudah jera dan tidak mau lagi bertempur melawan pasukan kerajaan Gurusetra Jaya. Para pendekar itu sadar dengan kondisi kekurangan mereka. "Ayo, mundur!" teriak Panglima Dumaya. Dengan demikian, maka para pendekar itu langsung mundur meninggalkan arena pertempuran. Panglima Dumaya tidak ingin anak buahnya berguguran terlalu banyak, karena dia sadar dengan jumlah pasukannya yang semakin berkurang saja. "Kurang ajar!" geram Silaka, "kalian pengecut!" sambungnya berteriak keras. Namun, Panglima Dumaya dan para pendekar lainnya tidak mengindahkan teriakan Silaka. Demikianlah, maka Silaka langsung memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk beralih ke arah timur demi menghin
Panglima Birnaka dan para prajuritnya hanya mengangguk sambil menjura hormat kepada sang perdana menteri."Nanti aku dan Senapati Sena akan menyusul kalian," kata Ramandika, "aku sarankan, kalian jangan melakukan serangan hari ini. Lebih baik lakukan serangan besok saja, untuk hari ini kalian cukup memantau pergerakan mereka," sambungnya."Baik, Gusti," jawab Panglima Birnaka menjura kepada sang perdana menteri."Setelah kalian tiba di tengah hutan Jati, kalian harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan perkemahan. Pastikan tempat tersebut aman dan jauh dari markas para pendekar dari kelompok sayap timur!" kata Ramandika."Hamba akan menyampaikan saran ini kepada semua prajurit." Panglima Birnaka berkata sambil menjura penuh rasa hormat kepada sang perdana menteri Setelah mendapatkan pencerahan dari Ramandika, Panglima Birnaka dan pasukannya langsung bergerak memasuki hutan Jati yang menjadi sarang para pendekar dari kelompok sayap timur.Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Birn
Pagi harinya, di beberapa desa yang ada di wilayah kepatihan Putra Jaya, tampak geger dengan hilangnya beberapa orang tokoh masyarakat dan para pemuda.Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya langsung mendatangi para prajurit yang bertugas di wilayah kademangan Jati Darma. Mereka melaporkan bahwa anggota keluarga mereka sudah hilang secara misterius.Tentu, kejadian tersebut kembali menghebohkan dan merubah suasana dan kondisi yang semula aman menjadi kembali genting. Para penduduk pun mulai takut keluar rumah pada malam hari, bahkan di siang hari pun aktivitas penduduk mulai surut, mereka tak lagi pergi ke ladang atau ke tempat-tempat lain yang jauh dari pemukiman, karena mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.Senapati Sena tampak geram sekali dengan peristiwa tersebut, ia sudah menduga bahwa itu murni perbuatan kelompok pendekar sayap timur pimpinan Panglima Dumaya. Namun, semua harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum mengambil ke
Para penduduk itu terus berbincang-bincang sambil menikmati waktu, hingga pada akhirnya perbincangan mereka bergeser ke hal lain yang bersangkutan dengan kelompok pendekar sayap timur."Apakah kalian percaya jika Panglima Amerya dari kelompok pendekar sayap timur itu sudah tewas?" timpal seorang pria paruh baya bertanya kepada semua yang ada di tempat tersebut.Seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah segera menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Menurut kabar yang aku dengar dari ki kuwu, kabar kematian Panglima Amerya itu memang benar. Dia sudah tewas di tangan Panglima Gurma.""Baguslah kalau memang kabar itu benar, itu tandanya kita akan aman. Walau bagaimanapun, Panglima Amerya adalah otak di balik semua kekacauan di wilayah ini."Beberapa tanggapan telah muncul di antara para penduduk kadipaten Dembaga Pura dan juga dari pihak kelompok pendekar sayap timur. Ada yang percaya bahwa Panglima Gurma telah membunuh Panglima Amerya, adapula yang beranggapan bahwa Panglima Amer
Beberapa orang dari kelompok pendekar sayap timur, saat itu sudah berada di dalam hutan yang ada di pinggiran desa Sengkolo di wilayah kadipaten Dembaga Pura—kepatihan Putra Jaya.Para sandera yang beberapa hari terakhir mereka tawan, hari itu sudah mereka lepaskan. Namun, mereka masih menahan belasan orang yang merupakan para pejabat penting dari beberapa kademangan yang ada di wilayah kadipaten Dembaga Pura.Setibanya di kepatihan Putra Jaya, Perdana Menteri Ramandika bersama para prajuritnya langsung bergabung dengan pasukan yang sudah lebih dulu tiba di wilayah tersebut.Kehadiran sang perdana menteri tentu disambut hangat oleh rakyat yang ada di daerah tersebut, bahkan sang patih pun turut menyambut kedatangan Perdana Menteri Ramandika bersama pasukannya."Aku tidak melihat para pejabat kadipaten Dembaga Pura, di mana mereka?" tanya Ramandika kepada Patih Karmala."Mohon maaf, Gusti Perdana Menteri. Hamba belum mengetahui informasi lebih lanjut tentang keberadaan Adipati Tunaraka
Sebulan setelah berdirinya kerajaan Gurusetra Jaya. Tiba-tiba saja, penduduk yang ada di perbatasan wilayah kerajaan Gurusetra Jaya diserang oleh sekelompok orang tak dikenal.Mereka adalah kelompok pendekar sayap timur yang masih bertahan di wilayah tersebut, dan mereka masih loyal terhadap pihak pemerintah kerajaan Gurusetra pimpinan Prabu Mahesa.Meski posisi mereka sudah terhimpit oleh pasukan kerajaan Gurusetra Jaya, namun mereka masih berusaha menganggu dan memberikan teror-teror terhadap pihak kerajaan Gurusetra Jaya dan rakyat kerajaan tersebut.Ada banyak penduduk di wilayah tersebut yang dibantai dan diculik oleh para pendekar jahat dari kelompok sayap timur. Bahkan, mereka disiksa habis-habisan oleh para pendekar itu. Hanya sedikit orang yang berhasil kabur menyelamatkan diri.Radisa dan Janeja merasa kecolongan dengan adanya peristiwa tersebut. Mereka baru mengetahuinya setelah mendapat kabar dari salah seorang penduduk yang berhasil lolos dari cengkraman para pendekar say
Keesokan harinya ....Ramandika sudah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menjemput kedua istrinya. Lasmina yang berada di desa Singkur dan Rinjani di bukit Sancang."Semua anggota kelompok kita harus semuanya ikut ke sini! Mulai hari ini kita akan membangun wilayah kepatihan ini secara mandiri, karena wilayah ini secara resmi sudah terpisah dari wilayah Gurusetra," kata Ramandika di sela pembicaraannya dengan Radisa dan Janeja yang ia beri tugas untuk menjemput kedua istrinya dan juga semua anggota kelompok Halimun yang masih ada di desa Singkur dan bukit Sancang."Baik, Ketua. Kami akan segera bersiap untuk berangkat ke sana," kata Radisa sambil merangkapkan kedua telapak tangannya. Begitu juga yang dilakukan oleh Janeja, bersikap penuh hormat terhadap Ramandika.Setelah itu, mereka bangkit dan bersiap untuk segera berangkat ke desa Singkur dan bukit Sancang. Radisa dan Janeja langsung berbagi tugas."Aku dan para prajuritku akan menjemput Nyimas Raden Rinjani, dan kau bersa
Dengan penuh rasa percaya diri, Panglima Darsaka dan ratusan prajurit yang masih bertahan, langsung melangkah mendekati pasukan Halimun, mereka kembali melakukan perlawanan. Sudah tidak ada pilihan lain lagi, selain melawan untuk mempertahankan diri.Para prajurit kelompok Halimun telah menggenggam senjata mereka masing-masing, dan bersiap menyambut serangan dari pasukan kerajaan Gurusetra yang jumlahnya sudah semakin berkurang.Pada saat itu, Ramandika terpaksa harus membunuh Patih Amukaraga, karena dia tak mau bertekuk lutut. Sejatinya, Ramandika tak berniat melakukan tindakan seperti itu, namun Patih Amukaraga yang terus melakukan serangan berbahaya terhadap dirinya, sehingga Ramandika memutuskan untuk membinasakan sang patih.Sorak sorai para prajurit Halimun terdengar bergemuruh, mereka merayakan kemenangan. Seiring dengan tewasnya Patih Amukaraga di tangan Ramandika—pemimpin mereka. Selain itu, Panglima Darsaka dan para prajuritnya pun sudah berhasil ditangkap dalam keadaan hidu