Ki Ageng Penggir hanya tersenyum saja dalam menanggapi pertanyaan Ramandika. Tentu hal tersebut membuat Ramandika semakin penasaran saja.Karena belum mendapatkan jawaban yang pasti dari sang guru, maka Ramandika pun memberanikan diri untuk bertanya lagi, "Mohon maaf, Guru. Jika bukan Guru, lantas siapa yang akan mengajari aku jurus pamungkas itu?""Nanti kau akan tahu sendiri, sekarang kau makan saja dulu! Nanti sekitar tengah malam, kita akan pergi ke Lembah Naga," jawab Ki Ageng Penggir bangkit dari duduknya.Tanpa banyak berkata lagi, ia langsung melangkah keluar dari pendapa. Pria paruh baya itu langsung berjalan menuju pondoknya yang berada di sebelah barat dari pendapa tersebut."Siapa kira-kira yang akan mengajarkan aku jurus pamungkas itu? Apakah Ki Bisama atau ada orang lain selain dia?" gumam Ramandika penuh rasa penasaran."Ramandika!" teriak Sena dari halaman padepokan tempat ia berkumpul dengan murid-murid Padepokan Lembah Naga.Ramandika berpaling ke arah sahabatnya itu
Ramandika dan kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepala saja, mereka sangat paham dengan apa yang dituturkan oleh guru mereka.Terlebih lagi Ramandika dan Sena, mereka tentu berpikiran sama seperti apa yang dipikirkan oleh guru mereka, karena keluarnya Dendaka dan Somala dari padepokan tersebut tidak secara baik-baik, mereka diusir karena sudah melakukan tindakan tidak terpuji terhadap Ramandika.Dengan demikian, mereka pun berpikir bahwa Dendaka dan Somala suatu saat nanti akan melakukan balas dendam kepada pihak Padepokan Lembah Naga.Setelah hampir beberapa jam lamanya mereka berbincang-bincang, maka Ki Ageng Penggir pun langsung mengakhiri perbincangan tersebut.Saat itu sudah menginjak waktu tengah malam, saatnya Ki Ageng Penggir mengajak Ramandika berangkat ke Lembah Naga sesuai yang ia rencanakan beberapa waktu lalu."Sebaiknya kalian istirahat saja!" kata Ki Ageng Penggir meluruskan pandangannya ke arah Sena, Sandika, dan Kuntala. "Aku dan Ramandika akan langsung berang
Mendengar suara tersebut, Ramandika sedikit panik, namun ia tetap bertahan dan terus konsentrasi. Ramandika tidak mengindahkan suara itu, meskipun pada saat itu sudah hadir seorang pria berusia senja di hadapannya.Pria senja itu berdiri sambil menatap tajam ke arah Ramandika yang masih duduk bersila dengan mata terpejam."Niat kedatanganmu ke sini untuk apa, Anak muda? Jika kau tidak menyahut seruanku, maka aku akan menghajarmu!" bentaknya dengan nada tinggi.Ramandika tetap diam saja, walaupun suara orang tua itu jelas mengandung kemarahan. Dia yakin seyakin-yakinnya bahwa suara itu bagian dari godaan yang akan menggagalkan tirakatnya malam itu, sehingga dirinya memilih diam dan tidak mau meladeni ocehan orang tua yang ada di hadapannya.Melihat sikap diam yang ditunjukkan oleh Ramandika, orang tua itu semakin gusar saja. Hingga pada akhirnya, dia kembali membentak, "Anak muda! Buka matamu!"Suaranya lebih keras dari sebelumnya, bahkan terasa menyakitkan telinga Ramandika. Seperti a
Orang tua itu hanya tersenyum saja tanpa menjawab pertanyaan Ramandika. Hal tersebut, membuat Ramandika semakin penasaran saja melihat sikap pria senja yang tiba-tiba mendatanginya di tempat sunyi itu."Mohon maaf, Ki. Sebenarnya Aki ini siapa?" Ramandika mengulang pertanyaan yang belum dijawab oleh orang tua tersebut.Orang tua tersebut menatap tajam wajah Ramandika yang diselimuti rasa penasaran. Lalu menjawab sambil tersenyum-senyum, "Aku ini Banyu Geni,"Setelah mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya, Ramandika langsung merangkapkan kedua telapak tangannya seraya membungkukkan badan penuh hormat."Aku Ramandika," kata Ramandika memperkenalkan diri."Tidak perlu kau sebutkan, aku sudah tahu semua tentang jati dirimu. Nama dan asal muasalmu, aku tahu semua. Bahkan, aku pun sudah tahu niat dan tujuanmu datang ke tempat ini." Ramandika mengerutkan keningnya, seketika itu dalam benaknya berpikir, 'Kenapa orang tua ini tahu jati diriku dan juga tahu akan niat dan tujuanku?'"Kita m
Dengan demikian, Ramandika langsung menuruti saran orang tua itu, ia menahan napas dan berkata dalam hati, 'Turun.' Maka dengan sendirinya, tubuh Ramandika kembali meluncur ke bawah, mendarat dengan sempurna di hadapan Ki Bayu Geni."Mohon maaf, Ki. Tadi itu jurus apa namanya?" tanya Ramandika setelah berada di hadapan Ki Bayu Geni.Ki Bayu Geni mengangkat tangan kanannya lalu meletakkan telapak tangannya di atas pundak Ramandika."Itu jurus meringankan tubuh, yang biasa disebut dengan jurus Kapuk Hampang," jawab Ki Bayu Geni lirih. "Boleh kau gunakan jurus tersebut jika kau dalam keadaan terdesak oleh musuh," sambungnya.Jurus pamungkas ternyata bukan hanya satu jurus saja, ada sekitar lima jurus yang disebut jurus pamungkas yang malam itu berhasil dipelajari langsung oleh Ramandika.Tidak mudah bagi pendekar mana pun untuk dapat menguasai jurus tersebut dengan mudah, jika saja dalam diri mereka tak ada kekuatan tertentu yang dapat menerima jurus tersebut merasuk ke dalam tubuh.Sela
Setelah itu, ia bergegas melangkah menuju pulang ke padepokan. Jarak dari Lembah Naga menuju ke Padepokan Lembah Naga memang tidak terlalu jauh."Bulan depan, aku akan kembali ke desa Singkur. Semoga saja, aku bisa segera membebaskan warga desa tersebut dan juga semua penduduk kerajaan Gurusetra yang selama ini hidup dalam kezaliman pemerintahannya," gumam Ramandika sambil melangkah.Setibanya di depan pintu gerbang padepokan, tiga orang pemuda yang kebetulan malam itu sedang berjaga-jaga, langsung menyambut kedatangan Ramandika dengan sikap hormat mereka.Hal itu sangat canggung sekali dirasakan oleh Ramandika, sehingga dirinya pun bertanya kepada rekan-rekannya itu, "Kenapa kalian bersikap seperti ini?""Saat ini kau sudah berada beberapa tingkat lebih tinggi dari kami, wajar saja jika kami menghormatimu, Ramandika." Salah seorang dari mereka menjawab sambil merangkapkan kedua telapak tangannya."Kalian tahu dari mana?" Ramandika bertanya lagi sambil tersenyum-senyum."Guru sudah me
Ki Ageng Penggir terus memandang wajah Ramandika, entah kenapa? Tiba-tiba saja, air matanya menetes. Seakan-akan ada rasa sedih mulai menyelimuti jiwa dan perasaannya.Melihat sikap gurunya seperti itu, Ramandika tampak bingung, lantas ia pun bertanya, "Guru kenapa?" "Aku tidak apa-apa, Ramandika. Aku hanya terharu saja," jawab Ki Ageng Penggir.Pria berjanggut putih itu menarik napas dalam-dalam. Seperti ada sesuatu yang menyelimuti jiwa dan pikirannya kala itu, semua terlihat jelas dari raut wajahnya."Kau sudah memiliki kekuatan untuk mengabdikan diri kepada jalan kebenaran, rakyat Gurusetra sangat membutuhkan pendekar sepertimu. Untuk itu, aku minta agar kau segera kembali ke Gurusetra," kata Ki Ageng Penggir dengan suara berat."Baik, Guru. Aku berjanji akan menjadi seorang pendekar yang selalu melindungi kaum lemah, dan aku juga berjanji akan membayar lunas penderitaan kedua orang tuaku dan juga orang-orang yang dianiaya karena membelaku!" tegas Ramandika."Berangkatlah sendiri
Jayamanik langsung surut ke belakang. Sementara Ki Sewu, maju beberapa langkah. Dia tampak siap untuk menghadapi ketiga orang pria tersebut. "He, Ki sanak! Sebaiknya kau jangan ikut campur! Ini urusan kami, bukan urusanmu!" bentak salah seorang dari ketiga orang pria jahat itu menatap tajam wajah Ki Sewu. Ki Sewu tertawa dingin mendengar bentakan pria tersebut, dua bola matanya yang tajam balas menatap wajah pria itu yang merupakan anggota komplotan perampok yang selama ini sangat meresahkan masyarakat yang melintas di jalur itu. "Aku sudah muak dengan ulah kalian. Kalian ini seperti benalu yang menempel di dahan pohon!" kata Ki Sewu sinis, "Kehadiran kalian sama dengan hama yang selalu merusak, dan itu perlu disingkirkan secepat mungkin!" sambungnya membentak keras. "Bedebah kau! Jangan banyak bicara, hadapi saja aku!" bentak pria yang tengah berhadap-hadapan dengan Ki Sewu. "Jangankan kau seorang diri, mau maju semuanya pun pasti aku ladeni!" Ki Sewu balas membentak keras. Tanp
Beberapa hari kemudian ....Ramandika dan Senapati Sena langsung kembali ke istana bersama lima ratus prajurit yang baru saja selesai melaksanakan tugas mereka—menumpas kelompok pendekar sayap timur.Setibanya di istana, Ratu Rinjani dan Lasmina menyambut hangat kedatangan Ramandika dan pasukannya."Syukurlah, Kakang bersama para prajurit dalam kondisi baik-baik saja," kata Ratu Rinjani sambil tersenyum lebar.Begitu juga dengan Lasmina, meskipun kapasitas dirinya hanya sebagai istri kedua Ramandika. Namun, Lasmina tak kalah mesra dari sang ratu dalam menyambut kedatangan suaminya itu."Ada kabar baik untuk Kakang," kata Lasmina sambil tersenyum-senyum.Ramandika mengerutkan kening sambil memandangi wajah istri keduanya itu. "Kabar baik apa, Nyimas?" tanya Ramandika penasaran.Lasmina masih tersenyum-senyum, kemudian dia menoleh ke arah Ratu Rinjani. "Kanda Ratu saja yang menyampaikan kabar baik ini!" pinta Lasmina.Ratu Rinjani tersenyum lebar, dia mengatur napas sejenak sebelum meny
Mendengar pertanyaan pendekar itu, Panglima Dumaya tampak geram sekali. "Apakah kau ingin mati konyol? Silakan saja jika kau ingin tetap di sini! Aku dan yang lain akan segera meninggalkan tempat ini," pungkas Panglima Dumaya. Demikian juga dengan para pendekar lainnya, mereka sudah merubah haluan. Mereka sudah jera dan tidak mau lagi bertempur melawan pasukan kerajaan Gurusetra Jaya. Para pendekar itu sadar dengan kondisi kekurangan mereka. "Ayo, mundur!" teriak Panglima Dumaya. Dengan demikian, maka para pendekar itu langsung mundur meninggalkan arena pertempuran. Panglima Dumaya tidak ingin anak buahnya berguguran terlalu banyak, karena dia sadar dengan jumlah pasukannya yang semakin berkurang saja. "Kurang ajar!" geram Silaka, "kalian pengecut!" sambungnya berteriak keras. Namun, Panglima Dumaya dan para pendekar lainnya tidak mengindahkan teriakan Silaka. Demikianlah, maka Silaka langsung memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk beralih ke arah timur demi menghin
Panglima Birnaka dan para prajuritnya hanya mengangguk sambil menjura hormat kepada sang perdana menteri."Nanti aku dan Senapati Sena akan menyusul kalian," kata Ramandika, "aku sarankan, kalian jangan melakukan serangan hari ini. Lebih baik lakukan serangan besok saja, untuk hari ini kalian cukup memantau pergerakan mereka," sambungnya."Baik, Gusti," jawab Panglima Birnaka menjura kepada sang perdana menteri."Setelah kalian tiba di tengah hutan Jati, kalian harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan perkemahan. Pastikan tempat tersebut aman dan jauh dari markas para pendekar dari kelompok sayap timur!" kata Ramandika."Hamba akan menyampaikan saran ini kepada semua prajurit." Panglima Birnaka berkata sambil menjura penuh rasa hormat kepada sang perdana menteri Setelah mendapatkan pencerahan dari Ramandika, Panglima Birnaka dan pasukannya langsung bergerak memasuki hutan Jati yang menjadi sarang para pendekar dari kelompok sayap timur.Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Birn
Pagi harinya, di beberapa desa yang ada di wilayah kepatihan Putra Jaya, tampak geger dengan hilangnya beberapa orang tokoh masyarakat dan para pemuda.Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya langsung mendatangi para prajurit yang bertugas di wilayah kademangan Jati Darma. Mereka melaporkan bahwa anggota keluarga mereka sudah hilang secara misterius.Tentu, kejadian tersebut kembali menghebohkan dan merubah suasana dan kondisi yang semula aman menjadi kembali genting. Para penduduk pun mulai takut keluar rumah pada malam hari, bahkan di siang hari pun aktivitas penduduk mulai surut, mereka tak lagi pergi ke ladang atau ke tempat-tempat lain yang jauh dari pemukiman, karena mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.Senapati Sena tampak geram sekali dengan peristiwa tersebut, ia sudah menduga bahwa itu murni perbuatan kelompok pendekar sayap timur pimpinan Panglima Dumaya. Namun, semua harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum mengambil ke
Para penduduk itu terus berbincang-bincang sambil menikmati waktu, hingga pada akhirnya perbincangan mereka bergeser ke hal lain yang bersangkutan dengan kelompok pendekar sayap timur."Apakah kalian percaya jika Panglima Amerya dari kelompok pendekar sayap timur itu sudah tewas?" timpal seorang pria paruh baya bertanya kepada semua yang ada di tempat tersebut.Seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah segera menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Menurut kabar yang aku dengar dari ki kuwu, kabar kematian Panglima Amerya itu memang benar. Dia sudah tewas di tangan Panglima Gurma.""Baguslah kalau memang kabar itu benar, itu tandanya kita akan aman. Walau bagaimanapun, Panglima Amerya adalah otak di balik semua kekacauan di wilayah ini."Beberapa tanggapan telah muncul di antara para penduduk kadipaten Dembaga Pura dan juga dari pihak kelompok pendekar sayap timur. Ada yang percaya bahwa Panglima Gurma telah membunuh Panglima Amerya, adapula yang beranggapan bahwa Panglima Amer
Beberapa orang dari kelompok pendekar sayap timur, saat itu sudah berada di dalam hutan yang ada di pinggiran desa Sengkolo di wilayah kadipaten Dembaga Pura—kepatihan Putra Jaya.Para sandera yang beberapa hari terakhir mereka tawan, hari itu sudah mereka lepaskan. Namun, mereka masih menahan belasan orang yang merupakan para pejabat penting dari beberapa kademangan yang ada di wilayah kadipaten Dembaga Pura.Setibanya di kepatihan Putra Jaya, Perdana Menteri Ramandika bersama para prajuritnya langsung bergabung dengan pasukan yang sudah lebih dulu tiba di wilayah tersebut.Kehadiran sang perdana menteri tentu disambut hangat oleh rakyat yang ada di daerah tersebut, bahkan sang patih pun turut menyambut kedatangan Perdana Menteri Ramandika bersama pasukannya."Aku tidak melihat para pejabat kadipaten Dembaga Pura, di mana mereka?" tanya Ramandika kepada Patih Karmala."Mohon maaf, Gusti Perdana Menteri. Hamba belum mengetahui informasi lebih lanjut tentang keberadaan Adipati Tunaraka
Sebulan setelah berdirinya kerajaan Gurusetra Jaya. Tiba-tiba saja, penduduk yang ada di perbatasan wilayah kerajaan Gurusetra Jaya diserang oleh sekelompok orang tak dikenal.Mereka adalah kelompok pendekar sayap timur yang masih bertahan di wilayah tersebut, dan mereka masih loyal terhadap pihak pemerintah kerajaan Gurusetra pimpinan Prabu Mahesa.Meski posisi mereka sudah terhimpit oleh pasukan kerajaan Gurusetra Jaya, namun mereka masih berusaha menganggu dan memberikan teror-teror terhadap pihak kerajaan Gurusetra Jaya dan rakyat kerajaan tersebut.Ada banyak penduduk di wilayah tersebut yang dibantai dan diculik oleh para pendekar jahat dari kelompok sayap timur. Bahkan, mereka disiksa habis-habisan oleh para pendekar itu. Hanya sedikit orang yang berhasil kabur menyelamatkan diri.Radisa dan Janeja merasa kecolongan dengan adanya peristiwa tersebut. Mereka baru mengetahuinya setelah mendapat kabar dari salah seorang penduduk yang berhasil lolos dari cengkraman para pendekar say
Keesokan harinya ....Ramandika sudah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menjemput kedua istrinya. Lasmina yang berada di desa Singkur dan Rinjani di bukit Sancang."Semua anggota kelompok kita harus semuanya ikut ke sini! Mulai hari ini kita akan membangun wilayah kepatihan ini secara mandiri, karena wilayah ini secara resmi sudah terpisah dari wilayah Gurusetra," kata Ramandika di sela pembicaraannya dengan Radisa dan Janeja yang ia beri tugas untuk menjemput kedua istrinya dan juga semua anggota kelompok Halimun yang masih ada di desa Singkur dan bukit Sancang."Baik, Ketua. Kami akan segera bersiap untuk berangkat ke sana," kata Radisa sambil merangkapkan kedua telapak tangannya. Begitu juga yang dilakukan oleh Janeja, bersikap penuh hormat terhadap Ramandika.Setelah itu, mereka bangkit dan bersiap untuk segera berangkat ke desa Singkur dan bukit Sancang. Radisa dan Janeja langsung berbagi tugas."Aku dan para prajuritku akan menjemput Nyimas Raden Rinjani, dan kau bersa
Dengan penuh rasa percaya diri, Panglima Darsaka dan ratusan prajurit yang masih bertahan, langsung melangkah mendekati pasukan Halimun, mereka kembali melakukan perlawanan. Sudah tidak ada pilihan lain lagi, selain melawan untuk mempertahankan diri.Para prajurit kelompok Halimun telah menggenggam senjata mereka masing-masing, dan bersiap menyambut serangan dari pasukan kerajaan Gurusetra yang jumlahnya sudah semakin berkurang.Pada saat itu, Ramandika terpaksa harus membunuh Patih Amukaraga, karena dia tak mau bertekuk lutut. Sejatinya, Ramandika tak berniat melakukan tindakan seperti itu, namun Patih Amukaraga yang terus melakukan serangan berbahaya terhadap dirinya, sehingga Ramandika memutuskan untuk membinasakan sang patih.Sorak sorai para prajurit Halimun terdengar bergemuruh, mereka merayakan kemenangan. Seiring dengan tewasnya Patih Amukaraga di tangan Ramandika—pemimpin mereka. Selain itu, Panglima Darsaka dan para prajuritnya pun sudah berhasil ditangkap dalam keadaan hidu