Lucca Alonzo menelengkan kepala, memindai area sekitar dan menatap deretan wanita yang berkerumunan di bagian terjauh sel. Abigail menundukkan kepala diantara semuanya. "Aku datang untuk membawa istriku kembali," ucapnya dingin. "Aku tidak akan menoleransi luka sekecil apapun yang dia dapat di sini. Kalian akan menerima akibatnya." Tatapan tajamnya menghunus ke pasangan penjahat itu dan berteriak, "BAWA ABIGAIL SEKARANG JUGA!!" Semuanya tercengang,terutama para penjahat itu karena tidak menyangka jika mereka memang tanpa sengaja menculik istri dari penguasa Italia yang benar-benar datang saat mereka berlayar di atas Samudra, jauh dari Napoli. Tamatlah riwayat mereka sekarang yang tidak bisa berkutik. Lucca Alonzo berdiri layaknya dewa kematian yang membawa vonis mati pada mereka saat itu juga. ******* Kedatangan Lucca yang menyelamatkannya di manapun dia berada menyadarkan Abigail akan suatu hal yang seharusnya sudah lama dia sadari. Sejak memutuskan rela mengikuti lelaki yang be
Semuanya memekik akan tembakan Lucca yang tiba-tiba ke lelaki penjaga yang sebelumnya mengacuhkan Abigail saat meminta obat yang langsung menembus jantungnya dan jatuh tidak bergerak. Para penjahaat itu langsung mundur ketakutan. "DI MANA DIA?!" teriaknya murka. Lelaki itu menoleh ke kekasihnya yang ketakutan, "Bawa wanita itu." Meski takut dan gemetaran, wanita itu mengangguk, bergegas keluar yang langsung diikuti salah satu anak buah Lucca. "Kami tidak tahu jika salah satu wanita yang kami bawa adalah istrimu. Ini murni kesalahpahaman. Jika kau mau membawanya pergi, silahkan. Kami tidak akan menghalangi tapi tolong—” laki-laki itu mencoba bernegosiasi dengan Lucca yang sedang murka. "Lepaskan kami." "Lepaskan?" Lucca tersenyum smirk. "Kau pikir semudah itu melepaskan kalian setelah mengganggu di wilayahku. Apa kau tidak tahu akibatnya jika berurusan dengan The Black Rose?" Laki-laki itu menelan salivanya, tahu kalau dia sudah tidak punya harapan. Kekasihnya masuk dengan seoran
Lucca menghempaskan laki-laki itu begitu saja, segera berdiri, menembak rantai pengunci pintu sel dan mendorongnya terbuka dengan kakinya. Para wanita di sana jelas memekik ketakutan setengah mati, tapi Lucca tidak peduli. Dia tetap berjalan menghampiri Abigail yang sedang menatapnya hingga wanita-wanita itu menyingkir dengan sendirinya memberi jalan sampai di depan Abigail di samping Rhea yang tercengang.Abigail mengigit bibirnya kuat saat Lucca melipat satu kakinya, bersimpuh di depannya. Bertanya-tanya dalam hati apakah dia akan mendapatkan amarah pelampiasan Lucca nanti karena berani-beraninya kabur. Tertegun saat melihat Lucca mengulurkan tangan untuk menyentuh wajahnya dan mengusap air matanya yang mengalir dengan lembut. Memperhatikan dengan seksama setiap inci wajahnya, dan menggertakkan gigi saat melihat beberapa lebam yang di dapatnya. Jemarinya membelai lembut bibir Abigail yang bergetar seakan-akan mengatakan kalau dia rindu."Jangan gigit bibirmu seperti itu, sayang. Kau
Abigail berdiri diam menatap punggung Rhea yang menjauh sampai dia tersentak kaget saat Lucca menariknya cepat dalam pelukannya yang erat. Bertahan tanpa kata-kata selama beberapa waktu, meresapi irama jantung masing-masing yang seperti saling merindukan."Tidak peduli sekalipun kau akan semakin membenciku, aku tidak bisa membiarkan kau pergi, Abigail."Lucca mundur, Abigail tidak bisa berkata-kata. Tersenyum lembut, menarik genggaman tangannya yang tidak memegang senjata dan membawanya pergi. Kaget saat Lucca berbalik sebelum melalui pintu, "Apapun yang terjadi, jangan jauh-jauh dariku."Abigail mengangguk, Lucca mengecup punggung tangannya dan mengangkat senjatanya, keluar bersama Abigail di balik punggungnya dan membawanya berjalan di sepanjang dek kapal. Bunyi tembakan terdengar bersahut-sahutan di bagian lain kapal, juga ledakan yang entah berasal dari mana. Abigail mencengkram erat tangan Lucca yang waspada, sembari mengedarkan pandangan ke segala arah. Meyakinkan dirinya sendir
Lucca membawanya menaiki anak tangga sampai ke dek paling atas, saat Abigail menoleh ke belakang, matanya terbelalak. Seseorang membawa senjata besar di ujung lorong yang kemudian berdesing ke arah mereka."LUCCA!!!" Pekik Abigail, menubruk Lucca dari belakang hingga terhempas ke lantai tepat saat peluru mengerikan itu yang diliputi api berdesing di atas mereka dan menghancurkan dinding kapal di kejauhan. Getarannya menghempas Abigail yang dipeluk Lucca erat hingga terpelanting jatuh ke lantai bawah sementara Lucca tertahan di besi pembatas kapal.Abigail merasakan tubuhnya sakit bukan main saat melihat Lucca berdiri dan berteriak dari pinggir pagar."ABI—TUNGGU DI SANA SAMPAI AKU DATANG."Lucca naik ke pagar pembatas, hendak loncat ke bawah saat seseorang menubruknya hingga terpelanting entah kemana lalu berkelahi. Abi berusaha bangkit, mengedarkan pandangan dan berlari dengan tertatih sampai dia mendengar suara erangan di dekatnya. Terbelalak melihat wanita yang tergeletak di dalam
Wanita itu berusaha mendorongnya hingga tubuhnya hampir keluar dari pagar besi. Dipegangnya pagar kapal dengan erat agar tidak terjatuh ke laut lepas. "Kau pikir aku akan memberitahumu!!!" Tawanya menggema. Dorongannya makin kuat. "Tidak akan!!" "Kau harus memberitahuku!!" Wanita itu mendorong senjatanya di dagu Abigail kemudian berdesis di depannya. "Kau mau tahu apa yang terjadi padanya?" Abigail diam, mencengkram besinya kuat. "Meskipun hatinya terluka karena terpaksa pergi, tapi dia juga bahagia. Dia mendapatkan apa yang dia usahakan selama ini. Alasan yang mengharuskannya pergi sejauh-jauhnya dari Lucca." Abigail mengeryit, wanita itu tersenyum miring sebelum menghembuskan mimpi buruk. "Keturunan Alonzo." DOORR!! Abigail membeku saat itu juga. Tidak menyadari wanita itu menjatuhkan senjatanya dan meluruh jatuh ke bawah setelah mendapatkan luka tembak di punggung. Semua hal yang berada di sekitarnya seperti terhenti. Shock. Tanpa sadar air matanya merebak untuk alasan yang
Abigail berdiri serupa bayangan.Dihadapannya, terlihat begitu dekat namun nyatanya terbentang jarak tak kasatmata yang mencekik pernapasannya, berdiri sosok Lucca Alonzo. Ada perbedaan yang begitu kentara meski yang terlihat di matanya hanya punggung tegap Lucca yang selama ini selalu berdiri tegak menjadi perisainya. Laki-laki itu nampak sedang mendekap sesuatu di dadanya. Napasnya tercekat kala air matanya lebih dulu meluruh jatuh tanpa alasan dengan mulut yang terkatup rapat tanpa daya. Nampaknya, dirinya tidak bisa membuat Lucca berpaling dari sesuatu yang sedang fokus dia curahkan perhatiannya.Kenapa hatinya terasa begitu sakit padahal dia begitu merindukan sosok itu?"Lucca....." suaranya melebur bersama angin dingin, seperti tidak benar-benar diucapkan namun ajaibnya lelaki itu menoleh ke belakang. Abigail sontak mundur dengan pekikan pelan juga hati perih kala melihat suaminya sepenuhnya berbalik menghadapnya hingga bisa memperlihatkan dengan jelas apa yang sejak awal dipan
"Demi Tuhan, aku akan membumihanguskan sekutu mereka sampai ke akar-akarnya kalau berani menjualmu di luar sana,” Ucap Lucca penuh dengan bara amarah meski begitu lembut di telinganya. "Aku bersumpah akan melakukan hal itu saat dalam perjalanan menyusulmu. Apa kau tahu betapa kalutnya aku beberapa minggu ini?" Abigail memeluk Lucca sebagai jawaban, isakannya mulai mereda saat tiba-tiba tubuhnya terangkat, menatap manik mata The Black Rose yang menghanyutkan. "Syukurlah, aku berhasil mendapatkanmu lagi." Keningnya dikecup dengan sangat lembut sembari berjalan membawanya ke arah sofa coklat tidak jauh dari perapian dan mendudukkannya di sana. Lucca ikut duduk di sampingnya, menuangkan teh yang tersaji di atas meja. Abigail berniat menyambut cangkir itu namun Lucca menjauhkan tangannya, mengesampingkan rambut Abigail dan membantu meminumkan teh yang dipegangnya. Abigail menyesapnya, seketika memberi perasaan hangat juga nyaman di tenggorokan dan meminumnya sampai habis membuat Lucca t