Alden menatap dengan tajam ke arah halaman rumahnya, matanya meneliti setiap gerak-gerik yang terjadi di sana. Meskipun terlihat tenang, namun keberadaan seseorang atau sesuatu yang mencurigakan membuatnya tetap waspada.Dia memperhatikan sosok yang bergerak di balik semak belukar dengan hati-hati. Meskipun jaraknya cukup jauh, Alden bisa merasakan adanya kehadiran yang tidak diinginkan di halaman rumahnya."Dia pikir aku takkan menyadarinya," gumam Alden sambil memperhatikan gerak-gerik individu yang mencurigakan itu. Wajahnya menunjukkan ketegasan dan kehati-hatian yang khas.Dengan gerakan yang cepat, Alden mengambil binokular dari atas meja di dekatnya. Dia menyelipkan binokular itu ke mata dan mulai memperbesar gambar yang ada di halaman rumahnya."Benar, dia pikir aku takkan menyadarinya," ucap Alden sambil tersenyum tipis, matanya masih tertuju pada sosok yang mencurigakan di halaman rumahnya.Meskipun belum pasti siapa atau apa yang sedang terjadi di sana, Alden sudah merencan
“Jangan gegabah. Dia adalah Alden, bukan sembarang orang. Kau pikir mudah untuk membunuhnya, heh? Kau benar-benar bodoh!” “Ck, diamlah. Aku tidak butuh nasihat darimu.” “Kau bodoh, hah? David saja tidak bisa melenyapkannya secara langsung, apalagi dirimu yang hanya seperti kutu busuk saja dilihat oleh Alden!” Wanita itu menggertakkan giginya. Matanya melotot dengan tajam, tapi dia tak bisa menyahut.Wanita itu merasa semakin terpojok oleh argumen pria yang ada di hadapannya itu. Tatapannya yang tajam mencerminkan ketegangan di antara mereka. Namun, ia tak mau menyerah begitu saja."Aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku punya rencana sendiri untuk menangani Alden. Kau hanya perlu mengikuti perintahku," ujarnya dengan nada tegas.Pria itu menggelengkan kepala dengan penyesalan. "Kau memang keras kepala, Jennifer. Tapi ingatlah, Alden bukan lawan yang bisa dianggap remeh. Kau akan membawa dirimu ke dalam masalah yang lebih besar jika ter
Alden menoleh ke arah Alana, senyum tipis terukir di wajahnya saat melihat wanita itu masuk ke ruangannya. Dia merasa lega melihat kehadiran Alana, meskipun ada kekhawatiran yang terselip di benaknya.“Alana, malam ini aku harus menyelesaikan beberapa urusan penting. Tapi aku senang kau datang,” ucap Alden dengan suara yang hangat, meskipun tatapannya tetap serius.Alana mengangguk, memahami bahwa Alden memiliki tanggung jawabnya sendiri yang harus diselesaikan. Namun, ada ketegangan yang terasa di udara, membuat suasana menjadi canggung di antara mereka.“Apa yang terjadi dengan Jessica?” tanya Alana, mencoba mencairkan suasana.“Aku tidak yakin. Dia memiliki urusan yang mendesak, sepertinya,” jawab Alden, mencoba menjawab pertanyaan Alana dengan singkat.Alana mengangguk, meskipun tetap merasa tidak yakin dengan jawaban Alden. Namun, dia memilih untuk tidak mendalami lebih jauh. Ada sesuatu yang lebih penting yang ingin dia sampaikan.“Alden, aku ingin membantumu. Apa pun yang kau b
Alden mengendikkan bahunya acuh, seolah tak peduli pada Alana yang meprotesnya. Dia malah menarik tangan gadis itu, mengajaknya kembali ke mobil dan meninggalkan tempat itu. “Kenapa kau menahanku? Tanganku sudah gatal ingin mencabiknya!” ucap Alana dengan kesal. “Tanganmu yang mana? Yang ada kau yang dicabik olehnya,” sahut Alden dengan tak berperasaan. Alana mendengus sebal, “Kau pikir aku selemah itu, huh? Dia bahkan bukan tandinganku!” Alden berdeham sambil mengangukkan kepalanya. Dia tak mau lagi menyahut karen akan semakin panjang.Alana merasakan getaran kekesalan yang semakin memenuhi dirinya. Tatapan matanya menyiratkan ketegasan dan tekad yang kuat."Aku bisa menghadapinya sendiri, Alden. Aku tidak perlu diatur seperti anak kecil," ucap Alana dengan suara yang menunjukkan keyakinan diri.Alden menatap Alana dengan serius, memperhatikan ekspresi gadis itu. Dia bisa merasakan keinginan Alana untuk membuktikan diri send
Dalam kegelapan yang semakin menyelimuti, suara-suara gelisah dan teriakan marah menyatu menjadi sebuah irama yang mengganggu. Seseorang terlihat bingung, geram, dan frustrasi, mencoba mengungkap misteri menghilangnya mayat wanita yang baru saja dibunuh oleh Alden.Dengan gerakan kasar, dia membanting gelas hingga pecah, menciptakan dentuman yang menyedot perhatian seluruh pengunjung bar. Mata-mata tertuju padanya, memperlihatkan kebingungan dan kepanikan yang mengalir di antara mereka.Tetapi dia tidak peduli. Kemarahannya memuncak, menciptakan aura yang menakutkan di sekitarnya. Dia tidak ingin menerima kenyataan bahwa targetnya telah menghilang begitu cepat, menyisakan kekacauan dan pertanyaan yang menggantung di udara gelap."Diamlah, sialan!" teriaknya dengan penuh amarah, suaranya bergema di dalam ruangan, memotong keheningan yang kembali menyelimuti bar setelah kejadian tragis yang baru saja terjadi.Bugh!Dengan satu pukulan telak yang mengenai titik vitalnya, orang tersebut r
Alden menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya meskipun amarahnya membara di dalam dirinya. Dia tahu bahwa menunjukkan reaksi berlebihan hanya akan merugikan dirinya sendiri. Dengan sikap yang tenang dan dingin, dia memperhatikan situasi di sekitarnya dengan lebih cermat.Percakapan itu memberinya informasi yang berharga. Sekarang, Alden memiliki kejelasan mengenai siapa yang menjadi otak di balik semua ini. Tapi dia juga menyadari bahwa dia tidak bisa bertindak gegabah.Kegelapan malam memberinya kesempatan untuk berpikir dan merencanakan langkah selanjutnya dengan hati-hati. Dalam keheningan yang mendalam, Alden mengatur pikirannya dan menyusun strategi.“Ayo pergi!”Alden sadar dari lamunannya ketika seseorang menepuk bahunya. Orang itu sudah lebih dulu berjalan meninggalkannya.Alden menyempatkan diri melihat sekelilingnya terlebih dulu, sebelum akhirnya mengikuti orang itu. Mereka berdua menaiki mobil yang berbeda, dan tanpa sepengatahuan orang lain, keduanya menin
Tetapi Jessica tidak gentar meskipun Frey semakin mendorongnya dengan kuat. Dia menatap Frey dengan tatapan tajam, menunjukkan ketegasannya.“Aku tidak peduli berapa lama kita bersama. Aku tidak akan terima jika kau mengganggu rencanaku,” kata Jessica dengan suara yang dingin dan tegas.Frey menahan nafasnya sejenak, mengukur kemungkinan konsekuensi dari tindakannya. Dia tahu betul bahwa Jessica tidak akan ragu-ragu untuk menggunakan kekuatannya jika diperlukan.Setelah beberapa saat tegang, Frey akhirnya melepaskan pegangannya dan mundur beberapa langkah. Dia tahu bahwa pertengkaran dengan Jessica tidak akan menghasilkan apa pun selain masalah yang lebih besar.“Baiklah, jika itu maumu. Maka aku tidak akan sungkan lagi!” ucap Frey penuh penekanan.Pria itu berdiri dengan tangannya yang terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia melayangkan tangannya dengan kuat, hingga wanita itu tersungkur jatuh ke lantai.Plak!Bunyinya sangat nyaring, membuat suasana hening malam itu terd
Alana menatap pria paruh baya itu dengan sikap tegas, tidak gentar meski dihadapkan pada intimidasi."Rasa terima kasih? Bagi apa? Bagi apa kamu memaksaku masuk ke dalam situasi yang bahaya? Kau harusnya tahu,aku tidak akan membiarkan siapapun memperlakukan diriku dengan semena-mena, termasuk kamu!"Pria paruh baya itu menahan kemarahannya, menyadari bahwa Alana tidak akan mundur begitu saja. Namun, ekspresi wajahnya masih penuh dengan ketidaksenangan."Ini bukan masalah terima kasih, Alana. Ini tentang keselamatanmu juga. Alden tidak akan selalu ada untuk melindungimu."Alana menahan napasnya sejenak, menimbang kata-kata pria itu dengan hati-hati. "Aku tahu bagaimana mengurus diriku sendiri, dan aku juga tahu kapan harus meminta bantuan. Jadi, jangan membuat kamu menjadi alasan mengapa aku harus bersyukur."Dengan tatapan tajam, Alana meninggalkan pria paruh baya itu sendirian dengan pikirannya. Dia tidak akan membiarkan dirinya dipermainkan atau dikuasai oleh siapapun, bahkan dalam
Alden terdiam sejenak, meresapi kata-kata Zane dengan serius. Tidak hanya Zane yang mengingatkannya pada tanggung jawabnya terhadap Alana, tetapi juga hatinya yang penuh dengan keraguan dan kebingungan."Aku tidak akan mengecewakannya," ujar Alden dengan mantap, meskipun terasa seperti dia lebih mencoba meyakinkan dirinya sendiri daripada Zane.Zane hanya mengangguk sekali lagi, ekspresinya tetap serius dan agak ragu. Keduanya saling bertukar pandang sebentar, sebelum akhirnya Zane berbalik dan meninggalkan ruangan.Alden duduk kembali di tempatnya, membiarkan kata-kata Zane meresap dalam pikirannya. Dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan Alana saat ini.Dengan perasaan yang membara, Alden bangkit dari kursinya dengan langkah-langkah mantap. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mendalam. Dia tidak bisa membiarkan orang yang telah menyentuh Alana dengan kasar itu lepas begitu saja.Langkah Alden yang cepat menuntunnya keluar dari ruangan. Dengan pandangan tajam,
Frey mengangguk patuh pada perintah Alden, menyeret pria tua itu menjauh dari kerumunan. Sedangkan Alden, dengan Alana yang masih tidak berdaya di pelukannya, bergerak cepat menuju kendaraannya.Saat mereka menjauhi tempat itu, Alden merasa beban yang mengendap di dadanya semakin berat. Dia tak bisa menerima bahwa Alana telah menjadi target musuh-musuhnya. Namun, dalam keadaan genting seperti ini, dia harus memprioritaskan keselamatan Alana di atas segalanya.Setelah meletakkan Alana di dalam mobilnya, Alden segera memacu kendaraannya menjauh dari tempat itu. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran dan pertanyaan tentang siapa di balik serangan itu, dan bagaimana mereka bisa menemukan solusinya.Sementara itu, Frey beserta orang-orangnya mulai melakukan penyerangan balik. Dia memang sudah mendapatkan informasi terkait mobil Alden yang dikejar oleh orang hingga berakhir di sebuah desa itu.Suara pukulan dan tembakan salih sahut di tengah kesunyian malam. Entah sudah berapa banyak korba
Namun, sebelum Alden bisa bereaksi, seseorang menarik tangannya dari belakang. Frey telah tiba di tempat kejadian dengan ekspresi serius di wajahnya."Tuan, kita harus pergi sekarang!" seru Frey sambil menarik Alden menjauh dari kerumunan. Alden mengangguk singkat, masih terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi.Dia segera mengikuti Frey, meninggalkan keributan di belakang. "Ada apa, Frey? Siapa mereka semua?" tanya Alden begitu mereka jauh dari kerumunan.Frey menghela napas. "Aku akan jelaskan semuanya di perjalanan. Tapi sekarang, kita harus cepat pergi dari sini."“Baiklah, kita jemput Alana dulu,” ucap Alden yang kemudian berlari menuju ke gubuk tua tempat mereka singgah di sana.Frey juga mengikutinya dari belakang sambil sesekali dia memerhatikan sekitarnya, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Dia juga menatap kepergian pria bertopeng itu mulai menjauh dari keributan yang telah terjadi.“Sial!”Frey sedikit terkejut saat Alden keluar dengan marah-marah. Raut waja
Alana berbaring di atas tempat tidur yang beralaskan tikar. Sementara Alden tidur di lantai yang juga beralaskan tikar.Dibandingkan kata rumah, ini lebih disebut sebagai gubuk yang sudah terbengkalai. Tapi, apa boleh buat. Mereka berdua tidak punya pilihan selain beristirahat di sana.Hari semakin gelap, dan mereka belum bisa menghubungi orang lain termasuk Frey. Alden masih memikirkan cara untuk segera keluar dari desa itu, agar tidak mengganggu warga jika mereka ketahuan berada di sana.“Alden,” panggil Alana dengan suara yang pelan.Gadis itu sama sekali tidak bisa menutup matanya. Dia memandangi langit-langit kamar yang sudah reyot itu.“Ada apa?” tanya Alden.“Aku penasaran dengan temanmu itu. Kenapa dia memakai topeng aneh?” tanya Alana tanpa basa-basi.Ya, sejak tadi Alana terus kepikiran tentang teman Alden itu. Terlihat pria itu tak berbicara dengannya, dia juga memakai topeng yang membuatnya terlihat mencurigakan.“Kenapa kau bertanya tentang dia, hem?” Alden kembali bertan
Alden merasakan adrenalinnya meningkat saat situasi semakin tegang. Meskipun ia cemas dengan tindakan Alana yang terlalu berani, namun juga mengagumi keberaniannya.“Baiklah, tapi sebaiknya kau cepat,” ujar Alden sambil menekan tombol untuk membuka atap mobilnya. Suara peluru semakin keras saat menembus bodi mobil.Alana tidak membuang waktu. Begitu atap mobil terbuka, ia segera menarik pelatuk senjata api yang dipegangnya.Dor!“Cepat, kita harus keluar dari sini!” seru Alana, mata Alden memandanginya dengan campuran kekaguman dan ketegangan. Tanpa ragu, Alden menuruti perintahnya, memacu mobil dengan cepat meninggalkan tempat kejadian.Mobil mereka melaju dengan cepat, melewati jalanan yang semakin sepi dan sunyi. Sementara Alana masih berpegang teguh pada senjatanya, siap menghadapi segala kemungkinan di sepanjang perjalanan.Alden, sementara itu, berusaha mempertahankan ketenangannya meskipun hatinya berdegup kencang. Dia merenung tentang keberanian Alana, bagaimana wanita itu tib
Dia melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah yang tegas. Pikirannya dipenuhi dengan keputusan untuk menegaskan batas-batas pribadinya, tanpa campur tangan dari siapapun, termasuk Sophia.Dalam perjalanan keluar dari kantor, Alden memikirkan rencana untuk menyelesaikan masalah ini. Dia tidak akan membiarkan campur tangan dari luar mengganggu hubungannya dengan Alana. Kepercayaan dan kebebasan adalah harga yang mahal baginya, dan dia tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya.Alden pergi ingin menemui Alana. Dia juga tak sempat memberitahu gadis itu karena perasaannya yang benar-benar dibuat kesal oleh ucapan Sophia.Saat Alden tiba di kafe, dia melihat Alana masih duduk di sana dengan Zane. Dia menemui mereka dengan langkah mantap, wajahnya terlihat serius namun terkontrol."Alana," panggil Alden, membuat Alana dan Zane menoleh ke arahnya.Alana merasa kaget melihat Alden datang, terutama setelah percakapan singkat dengan Sophia yang masih membekas di pikirannya. Namun, dia me
Dalam hati, Alana merasa frustrasi dengan pertemuan tersebut. Meskipun dia yakin dengan keputusannya untuk mempertahankan kemandiriannya, namun sikap Sophia membuatnya merasa kesal. Dia tidak suka jika ada orang yang berusaha mengatur hidupnya atau meragukan kemampuannya untuk membuat keputusan sendiri."Sialan! Dia pikir aku tidak tahu siapa dirinya, heh? Menyebalkan!" desis Alana dalam hati, menyesali percakapan yang baru saja terjadi. Meskipun dia berusaha memaklumi kekhawatiran Sophia, tapi cara Sophia menyampaikan pesannya membuatnya merasa tersinggung.Dengan wajah yang tegang, Alana mengambil tegukan panjang dari kopi hangatnya, berusaha menenangkan diri. Dia tahu bahwa dia harus tetap tenang dan tegar menghadapi situasi ini.Dering ponselnya, menglihkan perhatian Alana. Dia menghela napas panjang, sebelum menjawab telepon tersebut. “Aku sedang di kafe,” jawab Alana singkat.Namun, belum selesai dia berbicara, telepon itu lebih dulu terputus. Alana berdecak sebal, t
“Apa yang sebenarnya kalian ributkan?” Alden bertanya disaat dia sedang berdua dengan Frey. Mendengar alasan kedua eldernya itu tak membuat sepenuhnya percaya. Alden tahu betul bagaimana sosok Frey selama bekerja dengannya.Frey menatap Alden dengan tatapan yang penuh pertanggungjawaban. Dia merasa tegang menyadari bahwa dia harus memberikan penjelasan yang meyakinkan kepada Alden.“Tuan, ini bukanlah masalah besar. Kami hanya memiliki perbedaan pendapat kecil yang berujung pada pertengkaran. Itu sudah selesai dan tidak akan mengganggu kinerja kami di masa mendatang,” jawab Frey dengan suara yang berusaha tenang.Alden menyimak penjelasan Frey dengan cermat, tetapi ada keraguan yang masih menghantui pikirannya. Dia tahu betul bagaimana dinamika kerja di dalam organisasinya, dan dia tidak akan percaya begitu saja tanpa memastikan semuanya benar-benar terselesaikan.“Apa sekarang kau menutupi sesuatu dariku, Frey?” Alden kembali mendesak.Frey menelan sal
Alana menatap pria paruh baya itu dengan sikap tegas, tidak gentar meski dihadapkan pada intimidasi."Rasa terima kasih? Bagi apa? Bagi apa kamu memaksaku masuk ke dalam situasi yang bahaya? Kau harusnya tahu,aku tidak akan membiarkan siapapun memperlakukan diriku dengan semena-mena, termasuk kamu!"Pria paruh baya itu menahan kemarahannya, menyadari bahwa Alana tidak akan mundur begitu saja. Namun, ekspresi wajahnya masih penuh dengan ketidaksenangan."Ini bukan masalah terima kasih, Alana. Ini tentang keselamatanmu juga. Alden tidak akan selalu ada untuk melindungimu."Alana menahan napasnya sejenak, menimbang kata-kata pria itu dengan hati-hati. "Aku tahu bagaimana mengurus diriku sendiri, dan aku juga tahu kapan harus meminta bantuan. Jadi, jangan membuat kamu menjadi alasan mengapa aku harus bersyukur."Dengan tatapan tajam, Alana meninggalkan pria paruh baya itu sendirian dengan pikirannya. Dia tidak akan membiarkan dirinya dipermainkan atau dikuasai oleh siapapun, bahkan dalam