“Aku akan segera kembali. Tolong jangan bilang pada Kak Zane,” ucap Alana sebelum akhirnya pergi dengan cepat. Alden dan Frey belum sempat bertanya, Alana sudah lebih dulu pergi. Gadis itu berlari cukup cepat, entah kemana. “Aku akan pergi mengikutinya,” ucap Frey dan diangguki oleh Alden. Dari kejauhan Jennifer memperhatikan ketiga orang itu tanpa mereka sadari. Tatapan Jennifer sangat datar, tak bisa dijelaskan. Setelah ditinggalkan oleh Frey dan juga Alana, Alden yang sendiri meninggalkan tempat itu. Matanya melirik ke arah Jennifer yang masih melihat dirinya. Smirik di wajah Alden terlihat mengerikan, tapi dia tak berbalik. Alden terus berjalan menuju ke mobilnya tanpa berkata apa-apa lagi. Dalam perjalanan menuju kantornya, Alden mengatur rencana. Sekarang waktu yang baik untuk balas dendamnya. Targetnya mulai menampakkan diri, dan ia tak boleh menyia-nyiakannya. Begitupun dengan usaha
Alana masih terpaku di tempat, matanya terbelalak menangkap setiap detail di hadapannya. Alden berdiri di ruangannya bersama seorang wanita yang dirasa tidak asing baginya. Mata Alana memerah, dan detak jantungnya berdegup cepat. Dia mencoba meresapi kata-kata Alden, meskipun hatinya sudah dipenuhi rasa sakit dan kecewa.“Alana, ini tidak seperti yang kau lihat,” ucap Alden memberi penjelasan.Saat ini Alana tak bisa berpikir dengan jernih. Tatapan matanya masih mengarah pada seorang wanita yang baru saja mengenakan bajunya itu.“Sayang, aku pergi dulu.” Wanita itu berpamitan pada Alden dan melewati Alana begitu saja dengan senyum sinis di wajahnya.Seketika itu ekspresi di wajah Alana berubah. Senyum cerianya menghilang, dan dia memaksakan untuk tersenyum pada Alden.Alden memandang Alana, melihat perginya wanita itu menyisakan kebingungan dan ketidaknyamanan. Seiring langkahnya yang menjauh, Alana berusaha menyembunyikan kekecewaannya di balik senyum tipisnya."Alden, jangan khawat
Situasi di ruangan tersebut menjadi tegang seketika. Pelayan tersebut, seorang wanita paruh baya dengan seragam rumah tangga yang rapi, menatap keduanya dengan mata terbelalak. Ruangan itu seketika menjadi sunyi, hanya terdengar napas berat Alana dan sang pelayan yang cemas."Mengapa kalian berdua bisa bertengkar seperti ini di rumah ini?" tanya pelayan itu dengan suara gemetar, mencoba menenangkan situasi.Alana menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya yang tumpah ruah. "Maaf, aku kehilangan kesabaran. Tapi, dia..." Dia menunjuk wanita di depannya dengan pandangan tajam.Wanita yang dituduh itu, dengan rambut cokelatnya yang terurai, menatap Alana dengan mata yang penuh tantangan. "Jangan salahkan saya atas tindakan impulsifmu, Alana," balasnya dingin.“Sudahlah, Nona Alana. Kau sudah terluka seperti ini, jangan diteruskan lagi. Tuan Zane akan marah nanti.” Pelayan itu menengahi keduanya.Elise menatap Alana dengan dingin, dan senyuman sinis menghiasi wajahnya. Dia b
Sinar mentari pagi menembus gorden, membuat sang penghuni kamar merasa terusik. Namun, matanya tak kunjung terbuka dan dia hanya menggeser tubuhnya saja menghindari sinar mentari itu. Di luar ruangan itu, terlihat seorang pria yang sibuk memanggil pelayan untuk membawakan kunci cadangan. Dia baru saja tiba di kediamannya, dan mengetahui jika kamar saudara perempuannya itu dikunci sejak kemarin sore. “Apa dia tidak makan malam?” tanya pria itu dengan khawatir dan terus mencoba membuka pintu. “Tidak, Tuan. Nona Alana sempat bertengkar dengan Nona Elise, lalu dia masuk kamar dan mengunci dirinya,” jawab pelayan yang berada di sampingnya itu. Zane berdecak, ia sama sekali tak tahu hal itu. Begitu tiba di rumah, ia sudah tak melihat keberadaan Elise. Semalaman ia juga tak pulang, dan tak mendapat kabar apa-apa. “Alana, buka pintunya,” panggil Zane dari luar karena pintunya tak bisa terbuka. Selain Zane, pel
Tubuh Jennifer terhuyung hingga jatuh menyentuh lantai dengan keras. Frey sama sekali bergeming saja melihat wanita itu meringis kesakitan. “Kau... akan kubuat perhitungan padamu!” ancam Jennifer dengan serius. Dia menatap tajam Frey, dan berlalu pergi dengan kemarahan. Frey hanya memandang kepergiannya dalam diam hingga wanita itu tak lagi terlihat. Dia menghela napas panjang, dan melangkah masuk. Tubuhnya yang terasa lelah, direbahkan di atas sofa. Sejak kemarahan Alden memuncak, dan rencana balas dendamnya, dia jarang sekali beritirahat. Sama seperti Alden, dan hampir saja waktu berharganya itu diganggu oleh wanita tidak tahu malu. Dia sebenarnya merasa heran, mengapa mereka dengan berani menampakkan diri di hadapan Alden. Bahkan dengan pedenya menghampiri kediaman Alden. Apa dia tidak tahu jika iblis dalam diri Alden itu kumat, Alden bisa saja langsung mencabut nyawamnya. Entah kepalanya di penggal, atau
“Sudah kubilang, jangan ditinggali sendirian. Kamu keman saja, heh?” “Berhentilah kamu mengomel, kepalaku pusing!” Dua orang itu terus saja berdebat selama perjalanan. Ah, tidak. Hanya wanita saja yang mengomel, dan sesekali Frey menyahutinya ketika mulai jengah. Setelah mendapat kabar jika mobil Alden di serang oleh orang tak dikenal, Frey langsung meninggalkan kediaman Alden. Hal yang membuatnya menyesal adalah menuruti keinginan Jessica yang ingin ikut dengannya. Sekarang dia berkhir dengan mendengar ocehan Jessica yang tak kunjung berhenti. Rasa kepalanya ingin pecah saja. Padahal sekarang sangat genting, tapi wanita itu masih bisa mengomel padanya. Tak lama mereka tiba di tempat mobil Alden berhenti. Di sana sudah tak ada orang lagi, selain mobil hitam milik Alden yang tertinggal. Keduanya turun dari mobil mencari keberadaan Alden, tapi tak ada satu pun orang. Benar-benar sunyi, dan mencengkam kar
“Mau tidur sendiri atau kutiduri?”Ucapan Alden membuat mata Alana melotot. Dengan cepat dia menggelengkan kepalanya, dan meminta Alden untuk segera keluar.Detaknya jatungnya sangat cepat. Alden mengendongnya, dan membawanya ke dalam kamar. Pikirannya sungguh tidak bisa diajak kompromi saat ini.Alden yang melihat wajah Alana memerah seperti buah tomat masak pun hanya terkekeh. Dia tak lagi menggodanya, dan meninggalkan Alana sendirian di dalam kamar itu.Alden melangkahkan kakinya turun. Di bawah sudah ada Frey dan juga Jessica yang memang megikutinya sejak dari rumah sakit tadi.“Kenapa kau membawa wanita itu ke sini, Alden?” tanya Jessica yang tak bisa menahan dirinya lagi.Frey yang mendengar pertanyaan itu hanya menggelengkan kepalanya. Sejak tadi ia sudah berusaha untuk menahan Jessica tidak bertanya ataupun melakukan sesuatu yang aneh selama Alana masih bersama Alden.Tapi rupanya, Jessica tak bisa menahan dirinya lagi. Dia bahkan langsung bertanya saat Alden baru saja turun m
Srak! “Shit!” Alden mengumpat, sembari menghindari serangan tiba-tiba ke arahnya itu. Beruntung dia menghindar dengan tepat waktu, sehingga pisau itu melesat mengenai bunga-bunganya. “Siapa kamu, hah?” Brak! Alden mendoronganya dengan cepat hingga orang itu terkunci di dinding. Penampilannya sangat mirip dengan orang-orang yang menyerangnya tadi. Baju serba hitam, dan dia menutup wajahnya. Orang itu berontak, mencoba melepaskan diri dari kuncian Alden. Alden yang geram semakin menekan tangannya. “Kau pikir bisa membuntutiku sampai ke sini, heh? Sampah!” desisnya, mata Alden berkilat penuh kebencian.Orang itu mencoba berkata sesuatu, tetapi Alden hanya merespon dengan ketegasan, "Aku tidak tahan dengan permainan kotor seperti ini. Siapa yang mengirimmu?"Wajah orang itu tetap tertutup, dan dia tetap diam. Alden mulai kehilangan kesabaran. Dengan satu gerakan tiba-tiba, Alden melepaskan ceng
Alden terdiam sejenak, meresapi kata-kata Zane dengan serius. Tidak hanya Zane yang mengingatkannya pada tanggung jawabnya terhadap Alana, tetapi juga hatinya yang penuh dengan keraguan dan kebingungan."Aku tidak akan mengecewakannya," ujar Alden dengan mantap, meskipun terasa seperti dia lebih mencoba meyakinkan dirinya sendiri daripada Zane.Zane hanya mengangguk sekali lagi, ekspresinya tetap serius dan agak ragu. Keduanya saling bertukar pandang sebentar, sebelum akhirnya Zane berbalik dan meninggalkan ruangan.Alden duduk kembali di tempatnya, membiarkan kata-kata Zane meresap dalam pikirannya. Dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan Alana saat ini.Dengan perasaan yang membara, Alden bangkit dari kursinya dengan langkah-langkah mantap. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mendalam. Dia tidak bisa membiarkan orang yang telah menyentuh Alana dengan kasar itu lepas begitu saja.Langkah Alden yang cepat menuntunnya keluar dari ruangan. Dengan pandangan tajam,
Frey mengangguk patuh pada perintah Alden, menyeret pria tua itu menjauh dari kerumunan. Sedangkan Alden, dengan Alana yang masih tidak berdaya di pelukannya, bergerak cepat menuju kendaraannya.Saat mereka menjauhi tempat itu, Alden merasa beban yang mengendap di dadanya semakin berat. Dia tak bisa menerima bahwa Alana telah menjadi target musuh-musuhnya. Namun, dalam keadaan genting seperti ini, dia harus memprioritaskan keselamatan Alana di atas segalanya.Setelah meletakkan Alana di dalam mobilnya, Alden segera memacu kendaraannya menjauh dari tempat itu. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran dan pertanyaan tentang siapa di balik serangan itu, dan bagaimana mereka bisa menemukan solusinya.Sementara itu, Frey beserta orang-orangnya mulai melakukan penyerangan balik. Dia memang sudah mendapatkan informasi terkait mobil Alden yang dikejar oleh orang hingga berakhir di sebuah desa itu.Suara pukulan dan tembakan salih sahut di tengah kesunyian malam. Entah sudah berapa banyak korba
Namun, sebelum Alden bisa bereaksi, seseorang menarik tangannya dari belakang. Frey telah tiba di tempat kejadian dengan ekspresi serius di wajahnya."Tuan, kita harus pergi sekarang!" seru Frey sambil menarik Alden menjauh dari kerumunan. Alden mengangguk singkat, masih terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi.Dia segera mengikuti Frey, meninggalkan keributan di belakang. "Ada apa, Frey? Siapa mereka semua?" tanya Alden begitu mereka jauh dari kerumunan.Frey menghela napas. "Aku akan jelaskan semuanya di perjalanan. Tapi sekarang, kita harus cepat pergi dari sini."“Baiklah, kita jemput Alana dulu,” ucap Alden yang kemudian berlari menuju ke gubuk tua tempat mereka singgah di sana.Frey juga mengikutinya dari belakang sambil sesekali dia memerhatikan sekitarnya, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Dia juga menatap kepergian pria bertopeng itu mulai menjauh dari keributan yang telah terjadi.“Sial!”Frey sedikit terkejut saat Alden keluar dengan marah-marah. Raut waja
Alana berbaring di atas tempat tidur yang beralaskan tikar. Sementara Alden tidur di lantai yang juga beralaskan tikar.Dibandingkan kata rumah, ini lebih disebut sebagai gubuk yang sudah terbengkalai. Tapi, apa boleh buat. Mereka berdua tidak punya pilihan selain beristirahat di sana.Hari semakin gelap, dan mereka belum bisa menghubungi orang lain termasuk Frey. Alden masih memikirkan cara untuk segera keluar dari desa itu, agar tidak mengganggu warga jika mereka ketahuan berada di sana.“Alden,” panggil Alana dengan suara yang pelan.Gadis itu sama sekali tidak bisa menutup matanya. Dia memandangi langit-langit kamar yang sudah reyot itu.“Ada apa?” tanya Alden.“Aku penasaran dengan temanmu itu. Kenapa dia memakai topeng aneh?” tanya Alana tanpa basa-basi.Ya, sejak tadi Alana terus kepikiran tentang teman Alden itu. Terlihat pria itu tak berbicara dengannya, dia juga memakai topeng yang membuatnya terlihat mencurigakan.“Kenapa kau bertanya tentang dia, hem?” Alden kembali bertan
Alden merasakan adrenalinnya meningkat saat situasi semakin tegang. Meskipun ia cemas dengan tindakan Alana yang terlalu berani, namun juga mengagumi keberaniannya.“Baiklah, tapi sebaiknya kau cepat,” ujar Alden sambil menekan tombol untuk membuka atap mobilnya. Suara peluru semakin keras saat menembus bodi mobil.Alana tidak membuang waktu. Begitu atap mobil terbuka, ia segera menarik pelatuk senjata api yang dipegangnya.Dor!“Cepat, kita harus keluar dari sini!” seru Alana, mata Alden memandanginya dengan campuran kekaguman dan ketegangan. Tanpa ragu, Alden menuruti perintahnya, memacu mobil dengan cepat meninggalkan tempat kejadian.Mobil mereka melaju dengan cepat, melewati jalanan yang semakin sepi dan sunyi. Sementara Alana masih berpegang teguh pada senjatanya, siap menghadapi segala kemungkinan di sepanjang perjalanan.Alden, sementara itu, berusaha mempertahankan ketenangannya meskipun hatinya berdegup kencang. Dia merenung tentang keberanian Alana, bagaimana wanita itu tib
Dia melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah yang tegas. Pikirannya dipenuhi dengan keputusan untuk menegaskan batas-batas pribadinya, tanpa campur tangan dari siapapun, termasuk Sophia.Dalam perjalanan keluar dari kantor, Alden memikirkan rencana untuk menyelesaikan masalah ini. Dia tidak akan membiarkan campur tangan dari luar mengganggu hubungannya dengan Alana. Kepercayaan dan kebebasan adalah harga yang mahal baginya, dan dia tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya.Alden pergi ingin menemui Alana. Dia juga tak sempat memberitahu gadis itu karena perasaannya yang benar-benar dibuat kesal oleh ucapan Sophia.Saat Alden tiba di kafe, dia melihat Alana masih duduk di sana dengan Zane. Dia menemui mereka dengan langkah mantap, wajahnya terlihat serius namun terkontrol."Alana," panggil Alden, membuat Alana dan Zane menoleh ke arahnya.Alana merasa kaget melihat Alden datang, terutama setelah percakapan singkat dengan Sophia yang masih membekas di pikirannya. Namun, dia me
Dalam hati, Alana merasa frustrasi dengan pertemuan tersebut. Meskipun dia yakin dengan keputusannya untuk mempertahankan kemandiriannya, namun sikap Sophia membuatnya merasa kesal. Dia tidak suka jika ada orang yang berusaha mengatur hidupnya atau meragukan kemampuannya untuk membuat keputusan sendiri."Sialan! Dia pikir aku tidak tahu siapa dirinya, heh? Menyebalkan!" desis Alana dalam hati, menyesali percakapan yang baru saja terjadi. Meskipun dia berusaha memaklumi kekhawatiran Sophia, tapi cara Sophia menyampaikan pesannya membuatnya merasa tersinggung.Dengan wajah yang tegang, Alana mengambil tegukan panjang dari kopi hangatnya, berusaha menenangkan diri. Dia tahu bahwa dia harus tetap tenang dan tegar menghadapi situasi ini.Dering ponselnya, menglihkan perhatian Alana. Dia menghela napas panjang, sebelum menjawab telepon tersebut. “Aku sedang di kafe,” jawab Alana singkat.Namun, belum selesai dia berbicara, telepon itu lebih dulu terputus. Alana berdecak sebal, t
“Apa yang sebenarnya kalian ributkan?” Alden bertanya disaat dia sedang berdua dengan Frey. Mendengar alasan kedua eldernya itu tak membuat sepenuhnya percaya. Alden tahu betul bagaimana sosok Frey selama bekerja dengannya.Frey menatap Alden dengan tatapan yang penuh pertanggungjawaban. Dia merasa tegang menyadari bahwa dia harus memberikan penjelasan yang meyakinkan kepada Alden.“Tuan, ini bukanlah masalah besar. Kami hanya memiliki perbedaan pendapat kecil yang berujung pada pertengkaran. Itu sudah selesai dan tidak akan mengganggu kinerja kami di masa mendatang,” jawab Frey dengan suara yang berusaha tenang.Alden menyimak penjelasan Frey dengan cermat, tetapi ada keraguan yang masih menghantui pikirannya. Dia tahu betul bagaimana dinamika kerja di dalam organisasinya, dan dia tidak akan percaya begitu saja tanpa memastikan semuanya benar-benar terselesaikan.“Apa sekarang kau menutupi sesuatu dariku, Frey?” Alden kembali mendesak.Frey menelan sal
Alana menatap pria paruh baya itu dengan sikap tegas, tidak gentar meski dihadapkan pada intimidasi."Rasa terima kasih? Bagi apa? Bagi apa kamu memaksaku masuk ke dalam situasi yang bahaya? Kau harusnya tahu,aku tidak akan membiarkan siapapun memperlakukan diriku dengan semena-mena, termasuk kamu!"Pria paruh baya itu menahan kemarahannya, menyadari bahwa Alana tidak akan mundur begitu saja. Namun, ekspresi wajahnya masih penuh dengan ketidaksenangan."Ini bukan masalah terima kasih, Alana. Ini tentang keselamatanmu juga. Alden tidak akan selalu ada untuk melindungimu."Alana menahan napasnya sejenak, menimbang kata-kata pria itu dengan hati-hati. "Aku tahu bagaimana mengurus diriku sendiri, dan aku juga tahu kapan harus meminta bantuan. Jadi, jangan membuat kamu menjadi alasan mengapa aku harus bersyukur."Dengan tatapan tajam, Alana meninggalkan pria paruh baya itu sendirian dengan pikirannya. Dia tidak akan membiarkan dirinya dipermainkan atau dikuasai oleh siapapun, bahkan dalam