“Apa yang sudah kau temukan?” Alden dan Frey terus berdiri di TKP itu tanpa berkata apapun dengan para polisi. Mereka terlihat sedang menyelidiki sesuatu hingga mayat wanita itu melewatinya. “Dibunuh,” ucap Frey dengan suara yang pelan. “Aku tahu. Apa kau mendapatkan petunjuknya?” Alden bertanya lagi, dan Frey menyahutinya dengan deheman yang pelan. “Kita bicarakan ini nanti, Tuan. Lihat saja dulu mereka, aku akan mengurus satu hal yang lain terlebih dulu,” ucap Frey berpamitan pada Alden. Kini hanya Alden yang berdiri di sana memperhatikan sekitarnya. Tak hanya itu, para polisi itu pun tak luput dari pandangannya. Alden bahkan masih mendengar bisik-bisik namanya yang disebut sebagai dalam dari kematian wanita itu. Entah mereka mendapatkan kabar dari mana sampai dirinya menjadi sumber fitnah. Namun, Alden sama sekali tidak peduli akan hal itu. Dia takkan menjawab pertanyaan wartawan, sampai
Alden semakin berang sebab Isabella meludahinya. Dia mengeret wanita itu dengan menarik rambutnya hingga keluar dari ruangan serba putih itu. Dia membawanya ke ruangan penyiksaan lain yang langsung berhubungan dengan fisik. Selama ini, Alden membiarkan wanita itu tanpa hukuman fisik meski sudah tahu kesalahan fatal yang sudah dilakukannya. “Wanita murahan sepertimu memang tidak pantas diberi kesempatan!” ucap Alden dengan emosi. “Lepaskan, Alden.” Isabella berontak, tapi tenaganya kalah jauh dengan Alden. “Ikat dia!” titah Alden kepada pengawalnya. Tanpa banyak bertanya, para pengawal itu langsung mengerjakan tugas dari Alden. Mereka menarik dengan kasar Isabella, dan mengikat tangannya ke atas. Sehingga postur tubuh wanita itu tertarik ke atas, membuatnya seperti menggantung. “Kau memang brengsek, Alden!” Isabella masih bisa berteriak dengan sisa tenaganya. “Kau tahu itu dengan baik,” sahu
Malam berlalu begitu saja, tanpa menunggu persiapan. Alden masih setia berdiri di balkon kamarnya menatap langit yang sebentar lagi akan disinari oleh mentari pagi. Sesekali helaan napas panjang keluar dari mulut Alden. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, dan sekali lagi menghela napas kasar. Pikirannya masih terpaut pada ucapan Mr. William dan Jessica semalam. Dia benar-benar tak menyangka jika para petinggi organisasinya akan terpecah belah seperti sekarang. Mereka sudah tak sependapat lagi. Yang lebih mengejutkan lagi, ucapan Jessica tentang kebenaran yang selama ini ditutupi. Entah mengapa Jessica baru mengatakannya semalam disaat si pelaku baru menampakkan wajahnya. Jujur saja, sampai saat ini Alden masih meraba jalan untuk menemukan orang-orang yang telah diberitahu oleh Alana. Ketika Jennifer menampakkan wajahnya, tapi kenapa masalah lainnya malah muncul, terlebih dari internal organisasinya.Apa mereka tidak tahu tuju
Alana tidak memberikan ruang kepada wanita yang mengaku sebagai kekasih saudaranya itu. Dia mengunci pintu kamar, dan bersiap-siap untuk pergi. Ah, tidak. Ia tidak akan meninggalkan rumahnya, melainkan meminta seseorang untuk datang. Sementara itu, Alden yang baru tiba di lokasi pemotretan untuk bisnisnya yang dimodeli oleh Jennifer. Dia hanya diam memperhatikan sekitarnya, sembari memastikan sesuatu. Frey belum juga muncul dari semalam. Dia masih menanti kabar terbaru yang dibawa oleh asistennya itu. Sembari menunggu, Alden mengerluarkan ponselnya. Dia melihat beberapa pesan dari Alana. Dia membacanya satu per satu, hingga pesan terakhir Alana membuatnya terdiam beberapa saat. “Satu lagi datang,” gumamnya pelan. Alden memasukkan kembali ponselnya ke dalam kantung celanannya. Dia beranjak dari tempat duduknya, dan meninggalkan tempat itu. “Mr. Alden, tunggu!” Langkah Alden terhe
“Apa yang kalian lakukan?” Alana dengan cepat mendorong tubuh Alden yang berada di atasnya saat mendengar suara orang yang dikenalnya. Dia lansung berdiri dengan tegang menatap Zane yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan tatapan dingin. Sementara itu, Alden terlihat sangat santai. Dia bahkan menjilat bibirnya sendiri saat menatap saudara laki-laki Alana dan seorang wanita muncul dari balik pintu. “Kau lihat sendiri kelakuan adikmu itu, Zane,” ucap Elise memanasi suasana yang ada di dalam sana. Alana sama sekali terdiam tak bisa berkata apa-apa. Dia hanya menunduk, menatap lantai tanpa menyahut. Alden melirik Alana yang hanya diam itu. Sesekali dia juga melihat Zane yang tak berkata apa-apa. “Aku sudah memperingatinya tadi.” Elise kembali berkata membuat Alden memutar bola matanya dengan malas. “Oh, ayolah. Kau bahkan tinggal serumah dengan Zane. Aku dan Alana tidak melakukan apa pun d
Alana menatap Alden dengan ekspresi campuran antara keterkejutan dan kesal. Alden sangat tahu cara membuatnya sakit hati.“Sudahlah, jangan dipikirkan. Mari kita pergi,” ajak Alden yang kemudian lebih dulu berjalan keluar dari rumah miliki Zane itu.Alana menghela napasnya, dan melangkah gontai menyusul Alden. Tak ada yang bisa dilakukannya sekarang, selain menunggu rencana dari Adlden.Ketika keduanya berjalan menuju mobil yang terparkir di depan rumah Zane, suasana di sekitar terasa tegang. Langit mendung seakan mencerminkan keadaan hati Alana. Langkah Alden yang mantap terdengar jelas di atas bebatuan halaman, sementara langkah Alana sedikit ragu namun tetap cepat mengejar.Alden membuka pintu mobil untuk Alana dengan sikap sopan, yang sedikit mengurangi ketegangan di antara keduanya. Namun, senyum tipis di wajah Alana menunjukkan bahwa dia belum sepenuhnya melupakan komentar Alden sebelumnya.Ketika mesin mobil menyala, suasana di dalam mobil terasa semakin tegang. Keduanya saling
“Aku akan segera kembali. Tolong jangan bilang pada Kak Zane,” ucap Alana sebelum akhirnya pergi dengan cepat. Alden dan Frey belum sempat bertanya, Alana sudah lebih dulu pergi. Gadis itu berlari cukup cepat, entah kemana. “Aku akan pergi mengikutinya,” ucap Frey dan diangguki oleh Alden. Dari kejauhan Jennifer memperhatikan ketiga orang itu tanpa mereka sadari. Tatapan Jennifer sangat datar, tak bisa dijelaskan. Setelah ditinggalkan oleh Frey dan juga Alana, Alden yang sendiri meninggalkan tempat itu. Matanya melirik ke arah Jennifer yang masih melihat dirinya. Smirik di wajah Alden terlihat mengerikan, tapi dia tak berbalik. Alden terus berjalan menuju ke mobilnya tanpa berkata apa-apa lagi. Dalam perjalanan menuju kantornya, Alden mengatur rencana. Sekarang waktu yang baik untuk balas dendamnya. Targetnya mulai menampakkan diri, dan ia tak boleh menyia-nyiakannya. Begitupun dengan usaha
Alana masih terpaku di tempat, matanya terbelalak menangkap setiap detail di hadapannya. Alden berdiri di ruangannya bersama seorang wanita yang dirasa tidak asing baginya. Mata Alana memerah, dan detak jantungnya berdegup cepat. Dia mencoba meresapi kata-kata Alden, meskipun hatinya sudah dipenuhi rasa sakit dan kecewa.“Alana, ini tidak seperti yang kau lihat,” ucap Alden memberi penjelasan.Saat ini Alana tak bisa berpikir dengan jernih. Tatapan matanya masih mengarah pada seorang wanita yang baru saja mengenakan bajunya itu.“Sayang, aku pergi dulu.” Wanita itu berpamitan pada Alden dan melewati Alana begitu saja dengan senyum sinis di wajahnya.Seketika itu ekspresi di wajah Alana berubah. Senyum cerianya menghilang, dan dia memaksakan untuk tersenyum pada Alden.Alden memandang Alana, melihat perginya wanita itu menyisakan kebingungan dan ketidaknyamanan. Seiring langkahnya yang menjauh, Alana berusaha menyembunyikan kekecewaannya di balik senyum tipisnya."Alden, jangan khawat
Alden terdiam sejenak, meresapi kata-kata Zane dengan serius. Tidak hanya Zane yang mengingatkannya pada tanggung jawabnya terhadap Alana, tetapi juga hatinya yang penuh dengan keraguan dan kebingungan."Aku tidak akan mengecewakannya," ujar Alden dengan mantap, meskipun terasa seperti dia lebih mencoba meyakinkan dirinya sendiri daripada Zane.Zane hanya mengangguk sekali lagi, ekspresinya tetap serius dan agak ragu. Keduanya saling bertukar pandang sebentar, sebelum akhirnya Zane berbalik dan meninggalkan ruangan.Alden duduk kembali di tempatnya, membiarkan kata-kata Zane meresap dalam pikirannya. Dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan Alana saat ini.Dengan perasaan yang membara, Alden bangkit dari kursinya dengan langkah-langkah mantap. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mendalam. Dia tidak bisa membiarkan orang yang telah menyentuh Alana dengan kasar itu lepas begitu saja.Langkah Alden yang cepat menuntunnya keluar dari ruangan. Dengan pandangan tajam,
Frey mengangguk patuh pada perintah Alden, menyeret pria tua itu menjauh dari kerumunan. Sedangkan Alden, dengan Alana yang masih tidak berdaya di pelukannya, bergerak cepat menuju kendaraannya.Saat mereka menjauhi tempat itu, Alden merasa beban yang mengendap di dadanya semakin berat. Dia tak bisa menerima bahwa Alana telah menjadi target musuh-musuhnya. Namun, dalam keadaan genting seperti ini, dia harus memprioritaskan keselamatan Alana di atas segalanya.Setelah meletakkan Alana di dalam mobilnya, Alden segera memacu kendaraannya menjauh dari tempat itu. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran dan pertanyaan tentang siapa di balik serangan itu, dan bagaimana mereka bisa menemukan solusinya.Sementara itu, Frey beserta orang-orangnya mulai melakukan penyerangan balik. Dia memang sudah mendapatkan informasi terkait mobil Alden yang dikejar oleh orang hingga berakhir di sebuah desa itu.Suara pukulan dan tembakan salih sahut di tengah kesunyian malam. Entah sudah berapa banyak korba
Namun, sebelum Alden bisa bereaksi, seseorang menarik tangannya dari belakang. Frey telah tiba di tempat kejadian dengan ekspresi serius di wajahnya."Tuan, kita harus pergi sekarang!" seru Frey sambil menarik Alden menjauh dari kerumunan. Alden mengangguk singkat, masih terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi.Dia segera mengikuti Frey, meninggalkan keributan di belakang. "Ada apa, Frey? Siapa mereka semua?" tanya Alden begitu mereka jauh dari kerumunan.Frey menghela napas. "Aku akan jelaskan semuanya di perjalanan. Tapi sekarang, kita harus cepat pergi dari sini."“Baiklah, kita jemput Alana dulu,” ucap Alden yang kemudian berlari menuju ke gubuk tua tempat mereka singgah di sana.Frey juga mengikutinya dari belakang sambil sesekali dia memerhatikan sekitarnya, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Dia juga menatap kepergian pria bertopeng itu mulai menjauh dari keributan yang telah terjadi.“Sial!”Frey sedikit terkejut saat Alden keluar dengan marah-marah. Raut waja
Alana berbaring di atas tempat tidur yang beralaskan tikar. Sementara Alden tidur di lantai yang juga beralaskan tikar.Dibandingkan kata rumah, ini lebih disebut sebagai gubuk yang sudah terbengkalai. Tapi, apa boleh buat. Mereka berdua tidak punya pilihan selain beristirahat di sana.Hari semakin gelap, dan mereka belum bisa menghubungi orang lain termasuk Frey. Alden masih memikirkan cara untuk segera keluar dari desa itu, agar tidak mengganggu warga jika mereka ketahuan berada di sana.“Alden,” panggil Alana dengan suara yang pelan.Gadis itu sama sekali tidak bisa menutup matanya. Dia memandangi langit-langit kamar yang sudah reyot itu.“Ada apa?” tanya Alden.“Aku penasaran dengan temanmu itu. Kenapa dia memakai topeng aneh?” tanya Alana tanpa basa-basi.Ya, sejak tadi Alana terus kepikiran tentang teman Alden itu. Terlihat pria itu tak berbicara dengannya, dia juga memakai topeng yang membuatnya terlihat mencurigakan.“Kenapa kau bertanya tentang dia, hem?” Alden kembali bertan
Alden merasakan adrenalinnya meningkat saat situasi semakin tegang. Meskipun ia cemas dengan tindakan Alana yang terlalu berani, namun juga mengagumi keberaniannya.“Baiklah, tapi sebaiknya kau cepat,” ujar Alden sambil menekan tombol untuk membuka atap mobilnya. Suara peluru semakin keras saat menembus bodi mobil.Alana tidak membuang waktu. Begitu atap mobil terbuka, ia segera menarik pelatuk senjata api yang dipegangnya.Dor!“Cepat, kita harus keluar dari sini!” seru Alana, mata Alden memandanginya dengan campuran kekaguman dan ketegangan. Tanpa ragu, Alden menuruti perintahnya, memacu mobil dengan cepat meninggalkan tempat kejadian.Mobil mereka melaju dengan cepat, melewati jalanan yang semakin sepi dan sunyi. Sementara Alana masih berpegang teguh pada senjatanya, siap menghadapi segala kemungkinan di sepanjang perjalanan.Alden, sementara itu, berusaha mempertahankan ketenangannya meskipun hatinya berdegup kencang. Dia merenung tentang keberanian Alana, bagaimana wanita itu tib
Dia melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah yang tegas. Pikirannya dipenuhi dengan keputusan untuk menegaskan batas-batas pribadinya, tanpa campur tangan dari siapapun, termasuk Sophia.Dalam perjalanan keluar dari kantor, Alden memikirkan rencana untuk menyelesaikan masalah ini. Dia tidak akan membiarkan campur tangan dari luar mengganggu hubungannya dengan Alana. Kepercayaan dan kebebasan adalah harga yang mahal baginya, dan dia tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya.Alden pergi ingin menemui Alana. Dia juga tak sempat memberitahu gadis itu karena perasaannya yang benar-benar dibuat kesal oleh ucapan Sophia.Saat Alden tiba di kafe, dia melihat Alana masih duduk di sana dengan Zane. Dia menemui mereka dengan langkah mantap, wajahnya terlihat serius namun terkontrol."Alana," panggil Alden, membuat Alana dan Zane menoleh ke arahnya.Alana merasa kaget melihat Alden datang, terutama setelah percakapan singkat dengan Sophia yang masih membekas di pikirannya. Namun, dia me
Dalam hati, Alana merasa frustrasi dengan pertemuan tersebut. Meskipun dia yakin dengan keputusannya untuk mempertahankan kemandiriannya, namun sikap Sophia membuatnya merasa kesal. Dia tidak suka jika ada orang yang berusaha mengatur hidupnya atau meragukan kemampuannya untuk membuat keputusan sendiri."Sialan! Dia pikir aku tidak tahu siapa dirinya, heh? Menyebalkan!" desis Alana dalam hati, menyesali percakapan yang baru saja terjadi. Meskipun dia berusaha memaklumi kekhawatiran Sophia, tapi cara Sophia menyampaikan pesannya membuatnya merasa tersinggung.Dengan wajah yang tegang, Alana mengambil tegukan panjang dari kopi hangatnya, berusaha menenangkan diri. Dia tahu bahwa dia harus tetap tenang dan tegar menghadapi situasi ini.Dering ponselnya, menglihkan perhatian Alana. Dia menghela napas panjang, sebelum menjawab telepon tersebut. “Aku sedang di kafe,” jawab Alana singkat.Namun, belum selesai dia berbicara, telepon itu lebih dulu terputus. Alana berdecak sebal, t
“Apa yang sebenarnya kalian ributkan?” Alden bertanya disaat dia sedang berdua dengan Frey. Mendengar alasan kedua eldernya itu tak membuat sepenuhnya percaya. Alden tahu betul bagaimana sosok Frey selama bekerja dengannya.Frey menatap Alden dengan tatapan yang penuh pertanggungjawaban. Dia merasa tegang menyadari bahwa dia harus memberikan penjelasan yang meyakinkan kepada Alden.“Tuan, ini bukanlah masalah besar. Kami hanya memiliki perbedaan pendapat kecil yang berujung pada pertengkaran. Itu sudah selesai dan tidak akan mengganggu kinerja kami di masa mendatang,” jawab Frey dengan suara yang berusaha tenang.Alden menyimak penjelasan Frey dengan cermat, tetapi ada keraguan yang masih menghantui pikirannya. Dia tahu betul bagaimana dinamika kerja di dalam organisasinya, dan dia tidak akan percaya begitu saja tanpa memastikan semuanya benar-benar terselesaikan.“Apa sekarang kau menutupi sesuatu dariku, Frey?” Alden kembali mendesak.Frey menelan sal
Alana menatap pria paruh baya itu dengan sikap tegas, tidak gentar meski dihadapkan pada intimidasi."Rasa terima kasih? Bagi apa? Bagi apa kamu memaksaku masuk ke dalam situasi yang bahaya? Kau harusnya tahu,aku tidak akan membiarkan siapapun memperlakukan diriku dengan semena-mena, termasuk kamu!"Pria paruh baya itu menahan kemarahannya, menyadari bahwa Alana tidak akan mundur begitu saja. Namun, ekspresi wajahnya masih penuh dengan ketidaksenangan."Ini bukan masalah terima kasih, Alana. Ini tentang keselamatanmu juga. Alden tidak akan selalu ada untuk melindungimu."Alana menahan napasnya sejenak, menimbang kata-kata pria itu dengan hati-hati. "Aku tahu bagaimana mengurus diriku sendiri, dan aku juga tahu kapan harus meminta bantuan. Jadi, jangan membuat kamu menjadi alasan mengapa aku harus bersyukur."Dengan tatapan tajam, Alana meninggalkan pria paruh baya itu sendirian dengan pikirannya. Dia tidak akan membiarkan dirinya dipermainkan atau dikuasai oleh siapapun, bahkan dalam