Frey menatap aneh Alden yang baru saja kembali dengan wajah kesalnya. Di belakang Alden banyak pengawal yang juga ikut kembali, beserta Jessica. Dia mengikuti pria itu masuk ke ruangannya, karena penasaran apa yang membuat hati tuannya itu tergores. “Kau kenapa, Tuan?” tanya Frey yang tak bisa membendung rasa keinginantahunya. “Dia berkelahi dengan Alana,” sahut Jessica dengan santai sembari meminum air dari botol yang dipegangnya. “Berkelahi? Kenapa?” Frey kembali bertanya, dan kini berfokus pada Jessica. Wanita itu pasti akan memberikan jawaban padanya. Sementara Alden, masih diam saja. “Kurasa karena cemburu dengan pria yang bersama Alana itu. Dia marah karena Alana tak memberitahu hubungannya,” sahut Jessica lagi. “Apa maksudmu Zane?” Kali ini Jessica hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Alden hanya mendengus kesal, tanpa berniat menjawab atau membela dirinya. Dia menyandarka
Alden mengikuti perkataan Frey dan memasuki ruang perawatan intensif di mana Alana berada. Dia melihat Alana yang terbaring di ranjang, wajahnya pucat namun tampak tenang dalam tidurnya.Dengan langkah hati-hati, Alden duduk di sisi ranjang Alana. Dia meraih tangan Alana dengan lembut, merasa bersyukur bahwa cobaan ini tidak berakhir tragis.Alana terbangun dengan pelan, matanya memandang Alden dengan ekspresi campuran antara kelelahan dan kelegaan. "Alden...""Aku di sini, Alana," ucap Alden dengan lembut. "Dokter bilang kau butuh banyak istirahat. Aku minta maaf, ya.”Alana menarik sudut bibirnya, dan tersenyum tipis. Perlahan matanya kembali terpejam, merasakan ketenangan disaat Alden terus mengelus puncak kepalanya.Alden melihat Alana yang tersenyum tipis dan merasa lega melihat reaksi positif dari gadis itu. Meskipun merasa bersalah karena situasi yang terjadi, Alden bersikap tenang dan tekun dalam memberikan dukungan pada Alana."Dengar, Alana," ucap Alden dengan lembut. "Aku a
Mereka berdua keluar dari ruangan, meninggalkan Alana yang tertidur pulas. Langkah mereka membawa mereka ke lorong yang sepi, tempat di mana mereka bisa berbicara tanpa diperhatikan orang lain.Alden tetap berusaha memahami arti dari kata-kata misterius Zane. "Bunga mimpi apa yang kau maksud?" tanya Alden dengan suara yang penuh keingintahuan.Zane memandang Alden dengan serius sejenak sebelum akhirnya mengungkapkan apa yang sudah diketahuinya. “Menurutmu siapa orang yang paling bertanggung jawab dari kejadian ini?” Zane balik bertanya pada Alden. “Bukankah pembunuh itu? Dia sudah kutangkap,” jawab Alden. “Benar, tapi tidak juga. Bukan dia, tapi...” Zane menarik dalam napasnya, dan diembuskannya secara kasar. “Istrimu!” Alden mendelikkan matanya terkejut, dan tak percaya. “Apa maksudmu Vivian?” tanyanya. Zane menganggukkan kepalanya. “Benar sekali. Vivian, dia adalah orang yang menyuruh pembunuh itu untuk menyingkirkan Alana.
Alden merasa kepedihan Alana meresap dalam dirinya. "Sabar, Alana. Dokter sudah memberikan obat untuk meredakan rasa sakitmu. Ini hanya sementara, kau pasti akan segera sembuh.”Dengan penuh kehati-hatian, Alden terus mengelus perut Alana, mencoba memberikan dukungan dan kenyamanan sebisa mungkin. Wajahnya penuh perhatian dan keprihatinan.Alana merasa hangat dengan kehadiran Alden di sisinya. Meskipun fisiknya masih terasa sakit, kelembutan dan perhatian Alden membawa sedikit ketenangan dalam kekacauan yang sedang mereka hadapi."Terima kasih, Alden," ucap Alana dengan lembut, mencoba tersenyum meskipun raut wajahnya masih mencerminkan rasa sakit.*** Hari-hari terus berlalu, Alana sudah mulai pulih dan diperbolehkan pulang. Karena Alden tak bisa menjemput gadis itu, Alana pulang bersama Zane. Alden sedang ada pekerjaan yang tak bisa ditinggalkannya. Dia kini bersama Frey sedang berada di dalam sebuah ruangan tengah menyidang seseorang yang diduga melakukan ko
“Kau mau ngapain, Alana?”Alana baru saja hendak membuka pintu ruang kerjanya, suara dingin seseorang mengintrupsinya. Sambil menahan rasa sakit yang masih terasa dari luka di perutnya, Alana menoleh dengan senyuman kecil. Dia menggaruk pipinya yang tak gatal saat berhadapan dengan sosok pria yang kini menatapnya dengan tajam.“A-aku hanya ingin melihat...”“Tidak usah banyak tingkah, lebih baik kau istirahat dan lupakan pekerjaanmu dulu,” potong pria itu sebelum Alana menyelesaikan ucapannya.“Tapi...”“Aku tidak suka dibantah, Alana!”Pria itu kembali memotong ucapan Alana dengan dingin. Alana hanya bisa diam, dan pasrah ketika pria itu membawanya kembali untuk duduk di sofa yang ada di ruang tengah. Dia menghela napas pelan, tak bisa menjawab Alden dalam kondisi seperti ini.Pria itu memang Alden, tak seorang pun berani membantahnya. Terlebih saat ini, dia telrihat dalam suasana hati yang tidak baik.Biasanya Alana akan menyahutinya, tapi untuk saat ini dia sedang tidak
“Bodoh! Kalian semua benar-benar bodoh! Bagaimana bisa semua tertangkap begitu saja oleh Alden, hah?” Prang! Semua barang di atas mejanya dilempar hingga pecah. Dia begitu marah pada anak buahnya yang tidak becus. “Dia terlalu percaya diri untuk tidak membuat gadis itu mati, dan sekarang tertangkap. Sialan! Dia benar-benar naif, arghh!” teriaknya marah. Wanita dengan model rambut bob berwarna pirang itu melotot dengan tajam. Rahanganya mengeras, menatap foto Alana di layar monitornya. “Kau gadis beruntung, tapi keberuntunganmu tidak akan lama lagi, Sayang. Tunggu sebentar, akan kubuat pria yang kau cintai itu bertekuk lutut padaku!” gumamnya dengan tawa sinis. Wanita pirang itu mengambil ponselnya, dan menghubungi seseorang. “Aku menginginkannya sekarang!” ucapnya penuh penekanan dan perintah. Tak lama setelah wanita pirang itu menelepon, suara ketukan pintu terdengar. Seorang pria dengan k
Alden hanya bisa menatap kepergian mobil Zane yang membawa Alana pergi. Dia tak bisa mengikuti begitu saja mobil Zane, sebab tahu siapa sosok priaa itu. Dalam situasi ini, Alden hanya bisa pasrah dan mengalah untuk sementara waktu. Dilihat dari cara berbicara Zane, seperitnya saudara Alana itu sedang menyembunyikan sesuatu. Untuk sekarang, Alden akan bekerja sendiri tanpa Alana. Entah berapa lama Alana akan dibawa pergi oleh Zane. Ia juga tidak tahu kemana gadis itu akan dibawa. Alden menghela napas panjang, dan mengambil mobilnya. Ia pun meninggalkan apartemen Alana, dimana dirinya selalu berdiam diri si sana. Mobil Alden menuju ke markas utamanya. Kasus yang tengah menimpa Alana belum selesai. Karena tidak akan kejelasan, maka ia akan menyelesaikannya sendiri sekarang. Ah, ia hampir melupakan keberadaan Isabella yang masih dalam tahanannya. Mobil Alden baru saja tiba di markasnya. Di sana sudah ada Frey yang menunggunya. Entah
Bruk! Alden dengan penuh tenaga mendorong Isabella, hingga wanita itu jatuh tersungkur ke lantai. Dia menatap tajam, dengan emosi yang sudah menguasainya. “Kau pikir kau siapa, hah? Berani sekali menyentuhku dengan tangan kotormu. Dasar jalang tidak berguna!” umpat Alden penuh emosi. Isabella yang masih terduduk di lantai memadang Alden dengan sayu. Dia hendak bangun, namun kaki Alden lebih dulu menendangnya. “Jangan berharap kau bisa keluar dari sini, Isabella! Aku akan membuatmu lebih menderita dari ini!” kata Alden penuh penekanan sebelum akhirnya meninggalkan ruangan penyiksaan Isabella itu. Setelah keluar dari ruangan penyiksaan Isabella, Alden kembali melangkahkan kakinya menuju ruang penyiksaannya yang lain. Di sana sudah ada Frey yang sedang mengurus pembunuh yang telah mencelakai Alana itu. Setelah pembunuh itu, dia akan mengeksekusi wanita yang telah menjebak Alana. satu per satu para pengkhi
Alden terdiam sejenak, meresapi kata-kata Zane dengan serius. Tidak hanya Zane yang mengingatkannya pada tanggung jawabnya terhadap Alana, tetapi juga hatinya yang penuh dengan keraguan dan kebingungan."Aku tidak akan mengecewakannya," ujar Alden dengan mantap, meskipun terasa seperti dia lebih mencoba meyakinkan dirinya sendiri daripada Zane.Zane hanya mengangguk sekali lagi, ekspresinya tetap serius dan agak ragu. Keduanya saling bertukar pandang sebentar, sebelum akhirnya Zane berbalik dan meninggalkan ruangan.Alden duduk kembali di tempatnya, membiarkan kata-kata Zane meresap dalam pikirannya. Dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan Alana saat ini.Dengan perasaan yang membara, Alden bangkit dari kursinya dengan langkah-langkah mantap. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mendalam. Dia tidak bisa membiarkan orang yang telah menyentuh Alana dengan kasar itu lepas begitu saja.Langkah Alden yang cepat menuntunnya keluar dari ruangan. Dengan pandangan tajam,
Frey mengangguk patuh pada perintah Alden, menyeret pria tua itu menjauh dari kerumunan. Sedangkan Alden, dengan Alana yang masih tidak berdaya di pelukannya, bergerak cepat menuju kendaraannya.Saat mereka menjauhi tempat itu, Alden merasa beban yang mengendap di dadanya semakin berat. Dia tak bisa menerima bahwa Alana telah menjadi target musuh-musuhnya. Namun, dalam keadaan genting seperti ini, dia harus memprioritaskan keselamatan Alana di atas segalanya.Setelah meletakkan Alana di dalam mobilnya, Alden segera memacu kendaraannya menjauh dari tempat itu. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran dan pertanyaan tentang siapa di balik serangan itu, dan bagaimana mereka bisa menemukan solusinya.Sementara itu, Frey beserta orang-orangnya mulai melakukan penyerangan balik. Dia memang sudah mendapatkan informasi terkait mobil Alden yang dikejar oleh orang hingga berakhir di sebuah desa itu.Suara pukulan dan tembakan salih sahut di tengah kesunyian malam. Entah sudah berapa banyak korba
Namun, sebelum Alden bisa bereaksi, seseorang menarik tangannya dari belakang. Frey telah tiba di tempat kejadian dengan ekspresi serius di wajahnya."Tuan, kita harus pergi sekarang!" seru Frey sambil menarik Alden menjauh dari kerumunan. Alden mengangguk singkat, masih terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi.Dia segera mengikuti Frey, meninggalkan keributan di belakang. "Ada apa, Frey? Siapa mereka semua?" tanya Alden begitu mereka jauh dari kerumunan.Frey menghela napas. "Aku akan jelaskan semuanya di perjalanan. Tapi sekarang, kita harus cepat pergi dari sini."“Baiklah, kita jemput Alana dulu,” ucap Alden yang kemudian berlari menuju ke gubuk tua tempat mereka singgah di sana.Frey juga mengikutinya dari belakang sambil sesekali dia memerhatikan sekitarnya, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Dia juga menatap kepergian pria bertopeng itu mulai menjauh dari keributan yang telah terjadi.“Sial!”Frey sedikit terkejut saat Alden keluar dengan marah-marah. Raut waja
Alana berbaring di atas tempat tidur yang beralaskan tikar. Sementara Alden tidur di lantai yang juga beralaskan tikar.Dibandingkan kata rumah, ini lebih disebut sebagai gubuk yang sudah terbengkalai. Tapi, apa boleh buat. Mereka berdua tidak punya pilihan selain beristirahat di sana.Hari semakin gelap, dan mereka belum bisa menghubungi orang lain termasuk Frey. Alden masih memikirkan cara untuk segera keluar dari desa itu, agar tidak mengganggu warga jika mereka ketahuan berada di sana.“Alden,” panggil Alana dengan suara yang pelan.Gadis itu sama sekali tidak bisa menutup matanya. Dia memandangi langit-langit kamar yang sudah reyot itu.“Ada apa?” tanya Alden.“Aku penasaran dengan temanmu itu. Kenapa dia memakai topeng aneh?” tanya Alana tanpa basa-basi.Ya, sejak tadi Alana terus kepikiran tentang teman Alden itu. Terlihat pria itu tak berbicara dengannya, dia juga memakai topeng yang membuatnya terlihat mencurigakan.“Kenapa kau bertanya tentang dia, hem?” Alden kembali bertan
Alden merasakan adrenalinnya meningkat saat situasi semakin tegang. Meskipun ia cemas dengan tindakan Alana yang terlalu berani, namun juga mengagumi keberaniannya.“Baiklah, tapi sebaiknya kau cepat,” ujar Alden sambil menekan tombol untuk membuka atap mobilnya. Suara peluru semakin keras saat menembus bodi mobil.Alana tidak membuang waktu. Begitu atap mobil terbuka, ia segera menarik pelatuk senjata api yang dipegangnya.Dor!“Cepat, kita harus keluar dari sini!” seru Alana, mata Alden memandanginya dengan campuran kekaguman dan ketegangan. Tanpa ragu, Alden menuruti perintahnya, memacu mobil dengan cepat meninggalkan tempat kejadian.Mobil mereka melaju dengan cepat, melewati jalanan yang semakin sepi dan sunyi. Sementara Alana masih berpegang teguh pada senjatanya, siap menghadapi segala kemungkinan di sepanjang perjalanan.Alden, sementara itu, berusaha mempertahankan ketenangannya meskipun hatinya berdegup kencang. Dia merenung tentang keberanian Alana, bagaimana wanita itu tib
Dia melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah yang tegas. Pikirannya dipenuhi dengan keputusan untuk menegaskan batas-batas pribadinya, tanpa campur tangan dari siapapun, termasuk Sophia.Dalam perjalanan keluar dari kantor, Alden memikirkan rencana untuk menyelesaikan masalah ini. Dia tidak akan membiarkan campur tangan dari luar mengganggu hubungannya dengan Alana. Kepercayaan dan kebebasan adalah harga yang mahal baginya, dan dia tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya.Alden pergi ingin menemui Alana. Dia juga tak sempat memberitahu gadis itu karena perasaannya yang benar-benar dibuat kesal oleh ucapan Sophia.Saat Alden tiba di kafe, dia melihat Alana masih duduk di sana dengan Zane. Dia menemui mereka dengan langkah mantap, wajahnya terlihat serius namun terkontrol."Alana," panggil Alden, membuat Alana dan Zane menoleh ke arahnya.Alana merasa kaget melihat Alden datang, terutama setelah percakapan singkat dengan Sophia yang masih membekas di pikirannya. Namun, dia me
Dalam hati, Alana merasa frustrasi dengan pertemuan tersebut. Meskipun dia yakin dengan keputusannya untuk mempertahankan kemandiriannya, namun sikap Sophia membuatnya merasa kesal. Dia tidak suka jika ada orang yang berusaha mengatur hidupnya atau meragukan kemampuannya untuk membuat keputusan sendiri."Sialan! Dia pikir aku tidak tahu siapa dirinya, heh? Menyebalkan!" desis Alana dalam hati, menyesali percakapan yang baru saja terjadi. Meskipun dia berusaha memaklumi kekhawatiran Sophia, tapi cara Sophia menyampaikan pesannya membuatnya merasa tersinggung.Dengan wajah yang tegang, Alana mengambil tegukan panjang dari kopi hangatnya, berusaha menenangkan diri. Dia tahu bahwa dia harus tetap tenang dan tegar menghadapi situasi ini.Dering ponselnya, menglihkan perhatian Alana. Dia menghela napas panjang, sebelum menjawab telepon tersebut. “Aku sedang di kafe,” jawab Alana singkat.Namun, belum selesai dia berbicara, telepon itu lebih dulu terputus. Alana berdecak sebal, t
“Apa yang sebenarnya kalian ributkan?” Alden bertanya disaat dia sedang berdua dengan Frey. Mendengar alasan kedua eldernya itu tak membuat sepenuhnya percaya. Alden tahu betul bagaimana sosok Frey selama bekerja dengannya.Frey menatap Alden dengan tatapan yang penuh pertanggungjawaban. Dia merasa tegang menyadari bahwa dia harus memberikan penjelasan yang meyakinkan kepada Alden.“Tuan, ini bukanlah masalah besar. Kami hanya memiliki perbedaan pendapat kecil yang berujung pada pertengkaran. Itu sudah selesai dan tidak akan mengganggu kinerja kami di masa mendatang,” jawab Frey dengan suara yang berusaha tenang.Alden menyimak penjelasan Frey dengan cermat, tetapi ada keraguan yang masih menghantui pikirannya. Dia tahu betul bagaimana dinamika kerja di dalam organisasinya, dan dia tidak akan percaya begitu saja tanpa memastikan semuanya benar-benar terselesaikan.“Apa sekarang kau menutupi sesuatu dariku, Frey?” Alden kembali mendesak.Frey menelan sal
Alana menatap pria paruh baya itu dengan sikap tegas, tidak gentar meski dihadapkan pada intimidasi."Rasa terima kasih? Bagi apa? Bagi apa kamu memaksaku masuk ke dalam situasi yang bahaya? Kau harusnya tahu,aku tidak akan membiarkan siapapun memperlakukan diriku dengan semena-mena, termasuk kamu!"Pria paruh baya itu menahan kemarahannya, menyadari bahwa Alana tidak akan mundur begitu saja. Namun, ekspresi wajahnya masih penuh dengan ketidaksenangan."Ini bukan masalah terima kasih, Alana. Ini tentang keselamatanmu juga. Alden tidak akan selalu ada untuk melindungimu."Alana menahan napasnya sejenak, menimbang kata-kata pria itu dengan hati-hati. "Aku tahu bagaimana mengurus diriku sendiri, dan aku juga tahu kapan harus meminta bantuan. Jadi, jangan membuat kamu menjadi alasan mengapa aku harus bersyukur."Dengan tatapan tajam, Alana meninggalkan pria paruh baya itu sendirian dengan pikirannya. Dia tidak akan membiarkan dirinya dipermainkan atau dikuasai oleh siapapun, bahkan dalam