Hampir dua jam Alden berkutat dengan pekerjaannya. Tapi pikirannya terus melayang pada ucapan Frey pagi tadi. Sebagaimanapun Alden ingin melupakannya, tapi dia tak bisa. Mana mungkin dia jatuh hati pada wanita ceroboh itu. Dia hanya senang menggodanya saja. Lama Alden terdiam dengan pikirannya yang berkecamuk, seorang wanita datang tiba-tiba mendekat padanya. Alden tersentak kaget saat tangan wanita itu menyentuhnya. “Apa yang kau lakukan?” Suara Alden meninggi dan mendorong wanita itu agar menjauh darinya. “Dari tadi aku memanggilm, Mr. Alden. Tapi kau dia melamun. Apa yang sedang kau pikirkan, hem?” Seakan tak takut dengan kemarahan Alden, wanita itu kembali mendekat ke arah Alden. Dia memasang wajah tanpa dosa, dan terkesan menggoda. “Clara, keluar dari sini atau aku panggil penjaga untuk menggeretmu!” ucap Alden dengan tegas. Wanita itu mengerucutkan bibirnya. “Mr. Aku hanya bertanya pa
Alden tersenyum kecut. "Maaf, mungkin aku terlalu impulsif. Tapi, kau setuju, kan?"Alana menggelengkan kepala sambil tersenyum, "Terserah kau saja.”Suasana menjadi canggung di antara mereka berdua. Alden menghela napas panjang, dan beranjak dari duduknya kembali ke mejanya.Sementara itu, Alana merapikan rambutnya yang berantakan karena ulah Clara. Dia sedikit mendengus kesal. Pasalnya, rambutnya sedikit sensitif akhir-akhir ini, dan dia belum sempat pergi untuk memperbaikinya.Sebenarnya Alana bisa saja membalas wanita itu tadi. Tapi, entah kenapa dia malah hanya diam saja, terlebih ketika Alden keluar membelanya.Ting...ting...tingBunyi pesan masuk ke ponsel Alana yang terus-menerus, membuat wanita itu mengalihkan pandangannya. Wajahnya yang kesal, seketika berubah menjadi serius. Dahinya sedikit mengkerut, dan menghela napas pelan.“Ada apa, Alana?” tanya Alden yang menyadari ada sesuatu yang salah dari rekan kerjanya itu.“Ah... ini hanya pesan dari teman kantor. Ada sedikit ma
Alana mengatupkan amplop dengan hati-hati, menyadari bahwa langkah-langkahnya selanjutnya akan menentukan jalannya kasus ini. Dia memandang sekeliling, mencari petunjuk pertama yang bisa membawanya pada jejak sang pembunuh.Langit malam semakin gelap, menciptakan suasana dramatis di sekitar hotel yang megah itu. Alana bergerak dengan gesit, melewati kerumunan tanpa menarik perhatian. Detektif itu tahu bahwa dalam dunia ini, keberhasilan terkadang terletak pada kemampuan untuk menjadi bayangan yang tidak terlihat.Saat Alana memasuki lorong gelap yang diindikasikan dalam amplop, dia merasakan napas dingin mengalir di lehernya. Langkah-langkahnya bergema di antara dinding batu tua. Lorong ini penuh dengan bayangan, dan setiap langkah mengingatkannya pada betapa rapuhnya kebenaran di balik kisah ini.Setelah menelusuri lorong-lorong yang tersembunyi, Alana menemukan pintu yang tampaknya tidak digunakan. Dengan hati-hati, dia membukanya dan menemukan ruangan gelap yang dipenuhi dengan bau
Alden mengendurkan pegangannya pada kerah pakaian Hugo, mencoba meredakan kemarahannya. "Jangan bermain-main denganku. Sampaikan siapa yang berada di belakang ini, atau kau akan menyesal."Hugo masih tetap diam, meski wajahnya sudah berdarah dan bibirnya tergores. Alden memahami bahwa pria ini mungkin telah melalui pelatihan untuk menahan interogasi."Sudahlah, Hugo. Kita bisa membuat ini lebih mudah atau lebih sulit bagimu," kata Alden dengan nada tegas.Hugo tersenyum sinis, "Kalian semua hanya orang-orang kecil yang dipekerjakan oleh bosku. Kalian tidak tahu apa-apa."Alden mencoba mengontrol kekesalannya. "Kami akan menemukan dia, satu atau lain cara. Jadi, lebih baik kau bicara sekarang juga."Hugo tertawa terbahak-bahak, seperti menikmati situasi ini. "Dia tidak bisa dihentikan. Kalian semua akan tahu rasa takut yang sejati."Tanpa memberikan jawaban yang jelas, Hugo terus merendahkan mereka dengan kata-kata yang menantang. Alden dan Frey bertukar pandang, menyadari bahwa mereka
“Bukankah sudah kubilang, itu hal mudah untukku lakukan. Menyingkirkan satu wanita tak berguna itu, tak perlu banyak tenaga.” “Tuan, tapi wajahmu terlihat. Alden bisa saja mengetahuimu dengan mudah.” “Tidak mungkin, akan kupastikan wanita itu mati!”*** Matahari sudah berada di atas, tapi tak ada tanda-tanda Alana akan membuka matanya. Alden masih dengan setia menemani bersama pria berseragam polisi itu. Keduanya sama-sama diam tak bersuara. Pikiran aneh terus berputar di otak Alden. Dia memikirkan kemungkinan terburuk yang terjadi pada Alana. Sialnya, dia tak bisa berpikira positif dalam situasi seperti ini. Frey baru saja memberikan kabar, jika wanita yang memberi tugas pada Alana akan ditempatkan di tempat yang sama dengan Hugo. Mengingat wanita itu, Alden menoleh pada pria berseraga polisi yang hanya diam menatap ke arah Alana. Mereka berada di unit yang sama, pasti akan mudah untuk menemukan dalan
Alden terus memperhatikan interaksi Alana bersama Zane. Kedua orang itu terlihat sangat dekat. Bahkan Alana tak ingin Zane berada jauh darinya. Meski hanya ada keheningan di antara mereka di dalam ruangan itu, tapi suasananya sangatlah berbeda. Alana terus menggenggam tangan Zane, sementara Alden hanya diam di sisi ranjangnya sebelahnya.Rasa cemburu dan rasa keterasingan mulai menghampiri hati Alden, tetapi dia mencoba menyembunyikannya dengan baik. Dia memang tak jadi pulang setelah kesadaran Alana, tapi situasi seperti ini semakin membuat perasaanya tak nyaman.“Kak Zane,” panggil Alana lirih dengan matanya yang menutup.“Iya, ada yang sakit?” balas Zane dengan nada suara yang begitu lembut.Tangan Zane yang sebelahnya terus mengusap lembut kepala Alana. Sementara tangan yang satunya menggenggam tangan Alana. Jarak mereka begitu dekat.“Kenapa dia melakukan ini padaku?” Suara Alana benar-benar terdengar lirih, dan ingin menangis.“Jangan dipikirkan dulu masa
Mendengar keributan dari luar, Zane keluar melihatnya. Beberapa orang berbaju hitam berbaris dengan rapi di depan ruang rawat Alana. Tatapan Zane tertuju pada seorang wanita yang berpakain seksi dengan rambutnya yang digerai, sedang memberi intruksi. “Siapa kalian ini?” tanya Zane membuat wanita itu menoleh. Dia berjalan ke arah Zane yang sedang berdiri di depan pintu. Tatapan Zane begitu tajam, tapi terlihat tenang. “Perkenalkan aku Jessica. Kami diutus oleh Alden ke sini,” ucap wanita itu sembari menyodorkan tangannya kepada Zane. Zane menyambutnya uluran tangannya dengan ramah. “Tapi untuk apa?” tanya Zane lagi. “Tentu saja untuk berjaga-jaga,” jawab Jessica dengan singkat. Zane mengerutkan keningnya. Dia kembali memperhatikan sekitarnya, dan ruangan tempat Alana dirawat terlihat mencolok. “Tidak perlu, kalian balik saja,” ucap Zane menolak dengan halus. “Tidak bisa. Kau buka
“Apa aku menganggumu?” Suara yang sangat familiar di telinganya itu membuat Alana terbangun. Seorang pria dengan wajahnya yang tampan sedang duduk di sisi ranjangnya, tempat Zane biasa berada. “Sejak kapan kau di sini?” tanya Alana tanpa menjawab pertanyaan dari Alden sebelumnya. Dia merasa baru saja memejamkan matanya, tapi Alden sudah ada di tempatnya. Tak ada suara pintu atau pun langkah seseorang yang masuk di dengarnya. Apa dirinya tidur begitu pulas? “Em, aku baru saja ada di sini,” jawab Alden. “Maaf karena mengganggu tidurmu.” Alana menggeleng pelan, “Aku tidak bisa tidur,” katanya. Alden tersenyum mendengar ucapan Alana. Bagaimana dia bilang tidak bisa tidur. Padahal Alden sudah duduk di sana selama 15 menit, sembari menanti Alana yang tertidur pulas. Jika saja suara ponselnya yang tidak terus berbunyi, mungkin gadis itu tidak akan bangun. Sekarang sudah larut, dan seharusnya gadis
Alden terdiam sejenak, meresapi kata-kata Zane dengan serius. Tidak hanya Zane yang mengingatkannya pada tanggung jawabnya terhadap Alana, tetapi juga hatinya yang penuh dengan keraguan dan kebingungan."Aku tidak akan mengecewakannya," ujar Alden dengan mantap, meskipun terasa seperti dia lebih mencoba meyakinkan dirinya sendiri daripada Zane.Zane hanya mengangguk sekali lagi, ekspresinya tetap serius dan agak ragu. Keduanya saling bertukar pandang sebentar, sebelum akhirnya Zane berbalik dan meninggalkan ruangan.Alden duduk kembali di tempatnya, membiarkan kata-kata Zane meresap dalam pikirannya. Dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan Alana saat ini.Dengan perasaan yang membara, Alden bangkit dari kursinya dengan langkah-langkah mantap. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mendalam. Dia tidak bisa membiarkan orang yang telah menyentuh Alana dengan kasar itu lepas begitu saja.Langkah Alden yang cepat menuntunnya keluar dari ruangan. Dengan pandangan tajam,
Frey mengangguk patuh pada perintah Alden, menyeret pria tua itu menjauh dari kerumunan. Sedangkan Alden, dengan Alana yang masih tidak berdaya di pelukannya, bergerak cepat menuju kendaraannya.Saat mereka menjauhi tempat itu, Alden merasa beban yang mengendap di dadanya semakin berat. Dia tak bisa menerima bahwa Alana telah menjadi target musuh-musuhnya. Namun, dalam keadaan genting seperti ini, dia harus memprioritaskan keselamatan Alana di atas segalanya.Setelah meletakkan Alana di dalam mobilnya, Alden segera memacu kendaraannya menjauh dari tempat itu. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran dan pertanyaan tentang siapa di balik serangan itu, dan bagaimana mereka bisa menemukan solusinya.Sementara itu, Frey beserta orang-orangnya mulai melakukan penyerangan balik. Dia memang sudah mendapatkan informasi terkait mobil Alden yang dikejar oleh orang hingga berakhir di sebuah desa itu.Suara pukulan dan tembakan salih sahut di tengah kesunyian malam. Entah sudah berapa banyak korba
Namun, sebelum Alden bisa bereaksi, seseorang menarik tangannya dari belakang. Frey telah tiba di tempat kejadian dengan ekspresi serius di wajahnya."Tuan, kita harus pergi sekarang!" seru Frey sambil menarik Alden menjauh dari kerumunan. Alden mengangguk singkat, masih terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi.Dia segera mengikuti Frey, meninggalkan keributan di belakang. "Ada apa, Frey? Siapa mereka semua?" tanya Alden begitu mereka jauh dari kerumunan.Frey menghela napas. "Aku akan jelaskan semuanya di perjalanan. Tapi sekarang, kita harus cepat pergi dari sini."“Baiklah, kita jemput Alana dulu,” ucap Alden yang kemudian berlari menuju ke gubuk tua tempat mereka singgah di sana.Frey juga mengikutinya dari belakang sambil sesekali dia memerhatikan sekitarnya, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Dia juga menatap kepergian pria bertopeng itu mulai menjauh dari keributan yang telah terjadi.“Sial!”Frey sedikit terkejut saat Alden keluar dengan marah-marah. Raut waja
Alana berbaring di atas tempat tidur yang beralaskan tikar. Sementara Alden tidur di lantai yang juga beralaskan tikar.Dibandingkan kata rumah, ini lebih disebut sebagai gubuk yang sudah terbengkalai. Tapi, apa boleh buat. Mereka berdua tidak punya pilihan selain beristirahat di sana.Hari semakin gelap, dan mereka belum bisa menghubungi orang lain termasuk Frey. Alden masih memikirkan cara untuk segera keluar dari desa itu, agar tidak mengganggu warga jika mereka ketahuan berada di sana.“Alden,” panggil Alana dengan suara yang pelan.Gadis itu sama sekali tidak bisa menutup matanya. Dia memandangi langit-langit kamar yang sudah reyot itu.“Ada apa?” tanya Alden.“Aku penasaran dengan temanmu itu. Kenapa dia memakai topeng aneh?” tanya Alana tanpa basa-basi.Ya, sejak tadi Alana terus kepikiran tentang teman Alden itu. Terlihat pria itu tak berbicara dengannya, dia juga memakai topeng yang membuatnya terlihat mencurigakan.“Kenapa kau bertanya tentang dia, hem?” Alden kembali bertan
Alden merasakan adrenalinnya meningkat saat situasi semakin tegang. Meskipun ia cemas dengan tindakan Alana yang terlalu berani, namun juga mengagumi keberaniannya.“Baiklah, tapi sebaiknya kau cepat,” ujar Alden sambil menekan tombol untuk membuka atap mobilnya. Suara peluru semakin keras saat menembus bodi mobil.Alana tidak membuang waktu. Begitu atap mobil terbuka, ia segera menarik pelatuk senjata api yang dipegangnya.Dor!“Cepat, kita harus keluar dari sini!” seru Alana, mata Alden memandanginya dengan campuran kekaguman dan ketegangan. Tanpa ragu, Alden menuruti perintahnya, memacu mobil dengan cepat meninggalkan tempat kejadian.Mobil mereka melaju dengan cepat, melewati jalanan yang semakin sepi dan sunyi. Sementara Alana masih berpegang teguh pada senjatanya, siap menghadapi segala kemungkinan di sepanjang perjalanan.Alden, sementara itu, berusaha mempertahankan ketenangannya meskipun hatinya berdegup kencang. Dia merenung tentang keberanian Alana, bagaimana wanita itu tib
Dia melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah yang tegas. Pikirannya dipenuhi dengan keputusan untuk menegaskan batas-batas pribadinya, tanpa campur tangan dari siapapun, termasuk Sophia.Dalam perjalanan keluar dari kantor, Alden memikirkan rencana untuk menyelesaikan masalah ini. Dia tidak akan membiarkan campur tangan dari luar mengganggu hubungannya dengan Alana. Kepercayaan dan kebebasan adalah harga yang mahal baginya, dan dia tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya.Alden pergi ingin menemui Alana. Dia juga tak sempat memberitahu gadis itu karena perasaannya yang benar-benar dibuat kesal oleh ucapan Sophia.Saat Alden tiba di kafe, dia melihat Alana masih duduk di sana dengan Zane. Dia menemui mereka dengan langkah mantap, wajahnya terlihat serius namun terkontrol."Alana," panggil Alden, membuat Alana dan Zane menoleh ke arahnya.Alana merasa kaget melihat Alden datang, terutama setelah percakapan singkat dengan Sophia yang masih membekas di pikirannya. Namun, dia me
Dalam hati, Alana merasa frustrasi dengan pertemuan tersebut. Meskipun dia yakin dengan keputusannya untuk mempertahankan kemandiriannya, namun sikap Sophia membuatnya merasa kesal. Dia tidak suka jika ada orang yang berusaha mengatur hidupnya atau meragukan kemampuannya untuk membuat keputusan sendiri."Sialan! Dia pikir aku tidak tahu siapa dirinya, heh? Menyebalkan!" desis Alana dalam hati, menyesali percakapan yang baru saja terjadi. Meskipun dia berusaha memaklumi kekhawatiran Sophia, tapi cara Sophia menyampaikan pesannya membuatnya merasa tersinggung.Dengan wajah yang tegang, Alana mengambil tegukan panjang dari kopi hangatnya, berusaha menenangkan diri. Dia tahu bahwa dia harus tetap tenang dan tegar menghadapi situasi ini.Dering ponselnya, menglihkan perhatian Alana. Dia menghela napas panjang, sebelum menjawab telepon tersebut. “Aku sedang di kafe,” jawab Alana singkat.Namun, belum selesai dia berbicara, telepon itu lebih dulu terputus. Alana berdecak sebal, t
“Apa yang sebenarnya kalian ributkan?” Alden bertanya disaat dia sedang berdua dengan Frey. Mendengar alasan kedua eldernya itu tak membuat sepenuhnya percaya. Alden tahu betul bagaimana sosok Frey selama bekerja dengannya.Frey menatap Alden dengan tatapan yang penuh pertanggungjawaban. Dia merasa tegang menyadari bahwa dia harus memberikan penjelasan yang meyakinkan kepada Alden.“Tuan, ini bukanlah masalah besar. Kami hanya memiliki perbedaan pendapat kecil yang berujung pada pertengkaran. Itu sudah selesai dan tidak akan mengganggu kinerja kami di masa mendatang,” jawab Frey dengan suara yang berusaha tenang.Alden menyimak penjelasan Frey dengan cermat, tetapi ada keraguan yang masih menghantui pikirannya. Dia tahu betul bagaimana dinamika kerja di dalam organisasinya, dan dia tidak akan percaya begitu saja tanpa memastikan semuanya benar-benar terselesaikan.“Apa sekarang kau menutupi sesuatu dariku, Frey?” Alden kembali mendesak.Frey menelan sal
Alana menatap pria paruh baya itu dengan sikap tegas, tidak gentar meski dihadapkan pada intimidasi."Rasa terima kasih? Bagi apa? Bagi apa kamu memaksaku masuk ke dalam situasi yang bahaya? Kau harusnya tahu,aku tidak akan membiarkan siapapun memperlakukan diriku dengan semena-mena, termasuk kamu!"Pria paruh baya itu menahan kemarahannya, menyadari bahwa Alana tidak akan mundur begitu saja. Namun, ekspresi wajahnya masih penuh dengan ketidaksenangan."Ini bukan masalah terima kasih, Alana. Ini tentang keselamatanmu juga. Alden tidak akan selalu ada untuk melindungimu."Alana menahan napasnya sejenak, menimbang kata-kata pria itu dengan hati-hati. "Aku tahu bagaimana mengurus diriku sendiri, dan aku juga tahu kapan harus meminta bantuan. Jadi, jangan membuat kamu menjadi alasan mengapa aku harus bersyukur."Dengan tatapan tajam, Alana meninggalkan pria paruh baya itu sendirian dengan pikirannya. Dia tidak akan membiarkan dirinya dipermainkan atau dikuasai oleh siapapun, bahkan dalam