Wajah Alana terasa panas. Dia terus menyentuh bibirnya, dan merasa malu. Ia benar-benar tak percaya jika Alden akan jadi orang pertama yang menyentuh bibirnya. Perasaannya yang tadi kacau menjadi tidak karuan. Di dalam kamarnya yang gelap, ia menutup wajahnya dengan bantal. Bayangan wajah Alden yang begitu dekat dengannya membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Harusnya ia marah dengan pria itu. Tapi kenapa Alden malah membujuknya dengan cara yang tak disangka-sangka. Alden, kau benar-benar keterlaluan! Sementara itu, Alden pergi ke markasnya setelah mengantar Alana pulang. Dia tidak menginap, karena menanti informasi tentang Isabella dari Frey. “Setelah Alana yang berbicara kau baru percaya, Alden? Selama ini kau tidak mau menganggapku,” ucap Jessica yang merasa kesal dengan sikap Alden. Alden menggaruk kepalanya yang tak gatal. Selama ini, ia selalu mengabaikan yang dikatakan oleh Jess
Plak! “Alden, sialan! Siapa yang kau pikirkan?” Alden terkejut membuka matanya begitu tamparan mengenai pipinya. Dia langsung mendorong Frey yang sedang berhadapannya. “Apa yang kau lakukan di sini? Jangan berani menyentuhku!” ucap Alden sambil melindungi tubuhnya, seolah-olah Frey ingin berbuat jahat padanya. Frey memutar bola matanya dengan malas. Jika bukan Alden di depannya ini, dia pasti akan menoyor kepalanya. Tapi dia merasa bersyukur karena bisa menampar Alden meski dalam keadaan tidak sadar. “Seharusnya aku yang berkata seperti itu. Apa kau sedang bermimpi bermain dengan wanita seksi, hah? Kau sampai ingin menciumku,” sungut Frey dengan wajah kesalnya. Alden berdeham, merapikan posisi duduknya. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Mana ia sadar jika orang yang datang kepadanya, ternyata Frey. Tadi ia melihat Alana yang keluar dan datang menggodanya. “Apa kau sedang h
Alden baru saja tiba di rumahnya setelah mengantar Alana. Belum sempat dirinya melangkahkan kaki untuk masuk ke rumahnya, suara seseorang memanggilnya. Alden berbalik, mendapati seorang wanita yang kemari ia usir. Ya, Isabella berdiri di hadapannya sekarang dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Benar yang dikatakan oleh Jessica, wanita kembali muncul dengan sendiri sebelum Alden melakukan rencana yang sudah diaturnya. Sepertiny Isabella tak bisa lebih lama menunggu, dan mengabaikan Alden. “Apa kau baru pulang?” tanya Isabella. Alden hanya berdeham saja sebagai jawabannya. Dia kembali melangkah masuk, dan diikuti oleh Isabbela. Kepala pelayan di sana ingin menahan Isabella yang ikut dengan Alden. Tapi tatapan Alden membuatnya mundur secara perlahan, dan kembali ke dalam. Alden ingin tahu sejauh mana wanita itu akan bertindak. Isabella tiba-tiba saja kembali ke negaranya, dan membawakan informasi yan
“Ternyata kau wanita murahan juga, cih!” Alana memandang datar wanita yang tiba-tiba saja memanggilnya itu. Dia tak merespon, dan kembali fokus pada makanannya. Melihat Alana yang mengabaikan kedatangan wanita yang tak diundang itu, membuat pria yang datang bersama Alana itu juga turut bergeming. Dia hanya menatap sekilas wanita itu, dan juga Alana. Wanita itu berdiri di depan Alana dengan senyum sinisnya. Dia melipat kedua tangannya di dada. “Hei, berhati-hatilah pada wanita seperti ini. Asal kau tahu, kau bukan pria satu-satunya bagi dia,” ucap wanita itu sebelum akhirnya pergi meninggalkan Alana dan teman prianya. Pria itu memandang tak suka. Dia berdecih, “Siapa wanita itu?” tanyanya. “Jessica, rekan kerja Alden,” jawab Alana dengan singkat. “Apa dia sudah gila? Bagaimana mungkin aku disuruh berhati-hati pada adikku sendiri,” kata pria itu merasa tak senang. Alana terkekeh m
Alana membuka matanya perlahan. Dia meringis, memegang kepalanya yang terasa pening. Melihat sekitarnya yang berbeda, dia terperanjat kaget dan langsung bangun dari tidurnya. Dia memandangi sekelilingnya, dan mencoba mengingat kemana dirinya pergi tadi. Saat tahu di rumah Alden, dia menghela napas lega. Dia mengambil ponselnya, dan seketika itu matanya membulat. “Apa ini? Kenapa sudah malam saja, apa yang kulakukan dari tadi?” tanyanya pada dirinya sendiri. Tak ingin ambil pusing, Alana turun dari tempat tidur. Dia kembali terdiam, melihat pahanya yang terekspos. Refleks tangannya menyentuh pakaian yang digunakan. Dia baru sadar jika bajunya telah berganti. Perasaannya sedikit kacau, mencoba mengingat apa yang sudah terjadi tadi. Tapi, sialnya kepalanya sakit dan tak bisa mengingat apa pun. “Oke, coba kau ingat pelan-pelan, Alana,” gumamnya. Dia mondar-mandiri di kamar Alden dengan mengguna
Alden memanggil Alana yang tak kunjung keluar dari kamarnya. Pria itu dengan setia menunggu seorang gadis yang sejak tadi bersemayam di dalam kamar mandinya. “Kamu masih lama, Alana? Apa kau baik-baik saja di dalam sana?” panggil Alden sekali lagi disaat merasa tak ada jawaban. Alden hendak menerobos masuk, tapi Alana lebih dulu membuka pintu kamar mandi. Netra kedua orang itu bertemu. “Aku mandi sebentar,” jawab Alana dengan nada suara yang pelan dan terdengar malu-malu. Alden cepat menyadarkan dirinya. Dia mengangguk, dan mengajak Alana untuk turun makan malam. Meski masih terasa canggung, Alana tetap mengikuti Alden. Sangat berbeda sekali dengan pria itu, Alden tampak tenang seolah tak terjadi apa-apa pada mereka. “Kenapa sepi sekali?” tanya Alana yang menyadari tak ada pelayan di sana. Biasanya rumah megah bak istana itu diramaikan oleh para pelayan yang sibuk memberishkan tiap sudut ru
Begitu tiba di apartemen Alana, kedua orang itu sama-sama terdiam ketika melihat ada seorang pria yang berdiri di depan pintu kamar Alana. Alden reflek menarik Alana agar berdiri di belakangnya. “Siapa kamu?” tanya Alden dengan nada suara yang dingin. Pria yang sedang memainkan ponselnya itu menoleh. Dia melihat Alden, Alana yang berada di belakang Alden. “Oh, maaf. Aku salah kamar,” ucap pria itu sebelum akhirnya berlalu pergi melewati Alden dan Alana. Alden menatap tajam kepergian pria itu hingga dia tak terlihat lagi. Sementara Alana hanya diam, tak berkata apa-apa. “Dia mencurigakan sekali,” kata Alden sembari menghela napasnya. “Tidak apa-apa. Mungkin dia memang salah kamar,” sahut Alana yang kini masuk lebih dulu ke dalam kamarnya. Alden masih bergeming. Dia tak bisa menerima alasan yang diucapkan pria itu, karena dia sendiri melihat bagaimana pria itu menunggu di depan kamar Alana.
“Alana.” Sontak Alana yang baru saja hendak beranjak dari duduk, terkejut saat seseorang membuka pintu ruang kerjanya dengan tiba-tiba. Dia memegang dadanya yang berdebar tak karuan karena kaget. “Apa? Kenapa kau datang tiba-tiba begini? Mengangetkanku saja,” sungut Alana kesal. Frey menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Maaf, Alana. Aku tidak sengaja. Tapi, apa tidak ada Alden datang kemari?” tanyanya. “Tadi ada, dan sekarang sudah tidak ada,” sahut Alana dengan santai sambil berjalan melewati Frey yang masih melongo mendengar jawabannya. “Apa kau tahu dia kemana?” tanya Frey lagi sembari mengikuti Alana yang berjalan menuju dapur. “Aku memintanya ke dermaga. Memangnya dia tidak memberitahumu, ya?” Alana mengambil botol minum di dalam kulkas, dan menuangkannya ke dalam gelas. “Aku tahu, tapi saat aku ke sana dia tidak ada,” ucap Frey. Alana meletakkan kembali gelas yang airnya s
Alden terdiam sejenak, meresapi kata-kata Zane dengan serius. Tidak hanya Zane yang mengingatkannya pada tanggung jawabnya terhadap Alana, tetapi juga hatinya yang penuh dengan keraguan dan kebingungan."Aku tidak akan mengecewakannya," ujar Alden dengan mantap, meskipun terasa seperti dia lebih mencoba meyakinkan dirinya sendiri daripada Zane.Zane hanya mengangguk sekali lagi, ekspresinya tetap serius dan agak ragu. Keduanya saling bertukar pandang sebentar, sebelum akhirnya Zane berbalik dan meninggalkan ruangan.Alden duduk kembali di tempatnya, membiarkan kata-kata Zane meresap dalam pikirannya. Dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan Alana saat ini.Dengan perasaan yang membara, Alden bangkit dari kursinya dengan langkah-langkah mantap. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mendalam. Dia tidak bisa membiarkan orang yang telah menyentuh Alana dengan kasar itu lepas begitu saja.Langkah Alden yang cepat menuntunnya keluar dari ruangan. Dengan pandangan tajam,
Frey mengangguk patuh pada perintah Alden, menyeret pria tua itu menjauh dari kerumunan. Sedangkan Alden, dengan Alana yang masih tidak berdaya di pelukannya, bergerak cepat menuju kendaraannya.Saat mereka menjauhi tempat itu, Alden merasa beban yang mengendap di dadanya semakin berat. Dia tak bisa menerima bahwa Alana telah menjadi target musuh-musuhnya. Namun, dalam keadaan genting seperti ini, dia harus memprioritaskan keselamatan Alana di atas segalanya.Setelah meletakkan Alana di dalam mobilnya, Alden segera memacu kendaraannya menjauh dari tempat itu. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran dan pertanyaan tentang siapa di balik serangan itu, dan bagaimana mereka bisa menemukan solusinya.Sementara itu, Frey beserta orang-orangnya mulai melakukan penyerangan balik. Dia memang sudah mendapatkan informasi terkait mobil Alden yang dikejar oleh orang hingga berakhir di sebuah desa itu.Suara pukulan dan tembakan salih sahut di tengah kesunyian malam. Entah sudah berapa banyak korba
Namun, sebelum Alden bisa bereaksi, seseorang menarik tangannya dari belakang. Frey telah tiba di tempat kejadian dengan ekspresi serius di wajahnya."Tuan, kita harus pergi sekarang!" seru Frey sambil menarik Alden menjauh dari kerumunan. Alden mengangguk singkat, masih terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi.Dia segera mengikuti Frey, meninggalkan keributan di belakang. "Ada apa, Frey? Siapa mereka semua?" tanya Alden begitu mereka jauh dari kerumunan.Frey menghela napas. "Aku akan jelaskan semuanya di perjalanan. Tapi sekarang, kita harus cepat pergi dari sini."“Baiklah, kita jemput Alana dulu,” ucap Alden yang kemudian berlari menuju ke gubuk tua tempat mereka singgah di sana.Frey juga mengikutinya dari belakang sambil sesekali dia memerhatikan sekitarnya, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Dia juga menatap kepergian pria bertopeng itu mulai menjauh dari keributan yang telah terjadi.“Sial!”Frey sedikit terkejut saat Alden keluar dengan marah-marah. Raut waja
Alana berbaring di atas tempat tidur yang beralaskan tikar. Sementara Alden tidur di lantai yang juga beralaskan tikar.Dibandingkan kata rumah, ini lebih disebut sebagai gubuk yang sudah terbengkalai. Tapi, apa boleh buat. Mereka berdua tidak punya pilihan selain beristirahat di sana.Hari semakin gelap, dan mereka belum bisa menghubungi orang lain termasuk Frey. Alden masih memikirkan cara untuk segera keluar dari desa itu, agar tidak mengganggu warga jika mereka ketahuan berada di sana.“Alden,” panggil Alana dengan suara yang pelan.Gadis itu sama sekali tidak bisa menutup matanya. Dia memandangi langit-langit kamar yang sudah reyot itu.“Ada apa?” tanya Alden.“Aku penasaran dengan temanmu itu. Kenapa dia memakai topeng aneh?” tanya Alana tanpa basa-basi.Ya, sejak tadi Alana terus kepikiran tentang teman Alden itu. Terlihat pria itu tak berbicara dengannya, dia juga memakai topeng yang membuatnya terlihat mencurigakan.“Kenapa kau bertanya tentang dia, hem?” Alden kembali bertan
Alden merasakan adrenalinnya meningkat saat situasi semakin tegang. Meskipun ia cemas dengan tindakan Alana yang terlalu berani, namun juga mengagumi keberaniannya.“Baiklah, tapi sebaiknya kau cepat,” ujar Alden sambil menekan tombol untuk membuka atap mobilnya. Suara peluru semakin keras saat menembus bodi mobil.Alana tidak membuang waktu. Begitu atap mobil terbuka, ia segera menarik pelatuk senjata api yang dipegangnya.Dor!“Cepat, kita harus keluar dari sini!” seru Alana, mata Alden memandanginya dengan campuran kekaguman dan ketegangan. Tanpa ragu, Alden menuruti perintahnya, memacu mobil dengan cepat meninggalkan tempat kejadian.Mobil mereka melaju dengan cepat, melewati jalanan yang semakin sepi dan sunyi. Sementara Alana masih berpegang teguh pada senjatanya, siap menghadapi segala kemungkinan di sepanjang perjalanan.Alden, sementara itu, berusaha mempertahankan ketenangannya meskipun hatinya berdegup kencang. Dia merenung tentang keberanian Alana, bagaimana wanita itu tib
Dia melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah yang tegas. Pikirannya dipenuhi dengan keputusan untuk menegaskan batas-batas pribadinya, tanpa campur tangan dari siapapun, termasuk Sophia.Dalam perjalanan keluar dari kantor, Alden memikirkan rencana untuk menyelesaikan masalah ini. Dia tidak akan membiarkan campur tangan dari luar mengganggu hubungannya dengan Alana. Kepercayaan dan kebebasan adalah harga yang mahal baginya, dan dia tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya.Alden pergi ingin menemui Alana. Dia juga tak sempat memberitahu gadis itu karena perasaannya yang benar-benar dibuat kesal oleh ucapan Sophia.Saat Alden tiba di kafe, dia melihat Alana masih duduk di sana dengan Zane. Dia menemui mereka dengan langkah mantap, wajahnya terlihat serius namun terkontrol."Alana," panggil Alden, membuat Alana dan Zane menoleh ke arahnya.Alana merasa kaget melihat Alden datang, terutama setelah percakapan singkat dengan Sophia yang masih membekas di pikirannya. Namun, dia me
Dalam hati, Alana merasa frustrasi dengan pertemuan tersebut. Meskipun dia yakin dengan keputusannya untuk mempertahankan kemandiriannya, namun sikap Sophia membuatnya merasa kesal. Dia tidak suka jika ada orang yang berusaha mengatur hidupnya atau meragukan kemampuannya untuk membuat keputusan sendiri."Sialan! Dia pikir aku tidak tahu siapa dirinya, heh? Menyebalkan!" desis Alana dalam hati, menyesali percakapan yang baru saja terjadi. Meskipun dia berusaha memaklumi kekhawatiran Sophia, tapi cara Sophia menyampaikan pesannya membuatnya merasa tersinggung.Dengan wajah yang tegang, Alana mengambil tegukan panjang dari kopi hangatnya, berusaha menenangkan diri. Dia tahu bahwa dia harus tetap tenang dan tegar menghadapi situasi ini.Dering ponselnya, menglihkan perhatian Alana. Dia menghela napas panjang, sebelum menjawab telepon tersebut. “Aku sedang di kafe,” jawab Alana singkat.Namun, belum selesai dia berbicara, telepon itu lebih dulu terputus. Alana berdecak sebal, t
“Apa yang sebenarnya kalian ributkan?” Alden bertanya disaat dia sedang berdua dengan Frey. Mendengar alasan kedua eldernya itu tak membuat sepenuhnya percaya. Alden tahu betul bagaimana sosok Frey selama bekerja dengannya.Frey menatap Alden dengan tatapan yang penuh pertanggungjawaban. Dia merasa tegang menyadari bahwa dia harus memberikan penjelasan yang meyakinkan kepada Alden.“Tuan, ini bukanlah masalah besar. Kami hanya memiliki perbedaan pendapat kecil yang berujung pada pertengkaran. Itu sudah selesai dan tidak akan mengganggu kinerja kami di masa mendatang,” jawab Frey dengan suara yang berusaha tenang.Alden menyimak penjelasan Frey dengan cermat, tetapi ada keraguan yang masih menghantui pikirannya. Dia tahu betul bagaimana dinamika kerja di dalam organisasinya, dan dia tidak akan percaya begitu saja tanpa memastikan semuanya benar-benar terselesaikan.“Apa sekarang kau menutupi sesuatu dariku, Frey?” Alden kembali mendesak.Frey menelan sal
Alana menatap pria paruh baya itu dengan sikap tegas, tidak gentar meski dihadapkan pada intimidasi."Rasa terima kasih? Bagi apa? Bagi apa kamu memaksaku masuk ke dalam situasi yang bahaya? Kau harusnya tahu,aku tidak akan membiarkan siapapun memperlakukan diriku dengan semena-mena, termasuk kamu!"Pria paruh baya itu menahan kemarahannya, menyadari bahwa Alana tidak akan mundur begitu saja. Namun, ekspresi wajahnya masih penuh dengan ketidaksenangan."Ini bukan masalah terima kasih, Alana. Ini tentang keselamatanmu juga. Alden tidak akan selalu ada untuk melindungimu."Alana menahan napasnya sejenak, menimbang kata-kata pria itu dengan hati-hati. "Aku tahu bagaimana mengurus diriku sendiri, dan aku juga tahu kapan harus meminta bantuan. Jadi, jangan membuat kamu menjadi alasan mengapa aku harus bersyukur."Dengan tatapan tajam, Alana meninggalkan pria paruh baya itu sendirian dengan pikirannya. Dia tidak akan membiarkan dirinya dipermainkan atau dikuasai oleh siapapun, bahkan dalam