Nenek masuk ke kamar tamu dengan mengendap-endap, memanfaatkan waktu saat semua orang sedang sibuk makan di dapur. Menutup pintu dengan hati-hati, agar tak menimbulkan suara, hingga Miranti memergoki mereka.
Wanita itu membawa makanan yang sudah dibuatnya subuh tadi, untuk puteranya. Karena pagi ini mereka berniat untuk tidak datang ke meja makan.
"Huft. Apa harus begini, Nek?" tanya Pramana bimbang.
"Heem." Nenek mengangguk. "Apa kamu mau tinggal di kantor saja? Atau menyewa rumah dekat kantor?" tanya Ibu Pramana itu penuh pertimbangan.
Lagi, Pramana mendesah panjang. Ia merasa lelah jika harus menghindari istrinya sendiri. Kalau saja boleh, sedari semalam pria paruh baya itu ingin memperjelas semuanya dengan bicara. Hingga ia tahu apa yang sebenarnya terjadi?
Namun, sakit yang ia miliki memaksanya menghindar dan menjauhi Miranti, sebagai sumber penyakit baginya sekarang. Hal itu sejalan dengan yang ibunya katakan. Bahwa, ia harus menjauhi sumber
Saat sedang asik menyuap makanan di meja makan, tatapan Miranti digagalkan oleh bayangan berkelebat di ruang tamu yang dihubungkan oleh ruang tengah tanpa pintu. Karena posisi wanita menghadap ke ruang tamu, jadi bisa melihat apa yang ada di depan hanya dengan mendongak."Hem? Apa itu tadi?" gumamnya sendirian.Tak ada orang lain, sebab Qinara atau pun Dewa sudah kembali ke kamar. Hanya ada si Mbak yang senantiasa menemaninya, dan siap kapan saja kala majikannya itu memerlukan bantuan."Masa Dewa, sih? Kalau iya, kenapa juga dia mengendap-endap ke luar? Qinara? Apalagi dia? Dia kan sedang hamil. Nenek ...? Hem, bisa saja. Tapi masa iya Nenek? Kayanya lebih gembul." Wanita paruh baya itu, berpikir yang bukan-bukan, hingga akhirnya memutuskan bangkit dari duduknya untuk melihatnya.Miranti berjalan cepat, meninggalkan dapur, menyusuri lantai marmer di ruang tengah, lalu ke ruang tamu.Namun, terlambat ... baru saja kakinya menjejak ruang tamu, deru m
Kalila keluar kamar mandi dengan langkah gontai. Ada rasa nyeri yang menjalar di salah satu bagian tubuhnya."Aneh, kenapa rasanya lemas begini? Padahal aku sudah mandi dua kali," keluhnya sambil memegangi handuk di kepala yang nyaris jatuh.Tidak seperti mandi pertama yang terburu-buru, kali ini bisa bergerak dengan santai karena Dareen tak lagi mengincarnya. Langkah wanita itu kemudian berjalan ke depan cermin besar hotel yang berdiri di samping lemari.Tak lama, Dareen pun keluar dari kamar mandi. Tampak segar, meski yang ia rasa tak jauh beda dari Kalila. Kalila melirik dengan menyembunyikan malu. Menahan senyumnya karena merasa bahagia.Wanita baru tahu, bahwa melampiaskan cinta bisa membuatnya sesenang sekarang.Pria itu berjalan lebih dulu ke lemari mencari pakaian ganti. Ia ingin menggoda Kalila, tapi entah ke mana sebagian gairah hidupnya menghilang.Ia mereasa begitu lelah. Rasanya Dareen ingin segera menyudahi aktivitasnya dan kem
"Ish, kenapa harus wudhu lagi, sih?" Kalila menggerutu.Bibirnya mencebik seolah kesal karena perlakuan Dareen. Walau sebenarnya Kalila sendiri menyukainya.Perempuan itu bukannya cepat menyempurnakan wudhu, ia malah mematut diri di depan cermin. Kalila melakukan itu, karena sadar kopernya belum datang. Dipegangi bibir merah miliknya sambil tersenyum."Jadi begini rasanya?"Ingatannya berputar saat bersama Dewa dulu. Beberapa kali pria itu berusaha menciumnya. Tak dipungkiri saat jatuh cinta pada Dewa, ia sangat menginginkannya juga. Untung saja, setiap kali hal itu terjadi ada saja gangguan, dan Kalila bisa menghindarinya.Dia bersyukur mengenal Islam, hingga bisa berhati-hari dan menjaga diri dari pergaulan yang Tuhannya haramkan. Meski pun keduanya sudah menetapkan tanggal pernikahannya, tetap saja belum halal melakukan apa saja.Kalila kembali tersenyum, menatap pantulan bayangan di cermin. Seorang wanita cantik yang masih memegangi bibi
"Kenapa?" tanya Dareen.Pasti ada alasan kenapa Kalila melarangnya mentransfer uang pada Dewa. Dan tentu saja akan berbeda dengan alasannya yang ingin memberi pelajaran pria sombong itu."Karena aku gak mau kehilangan, Mas," jawabnya lemah, karena kecemasan tengah memenuhi hatinya."Hah?" Mata Dareen melebar dengan dua alis terangkat. Kalila sekarang menggantikan perannya jadi bucin."Kalila," panggilnya kemudian."Ya?" sahutnya cepat."Jadi kamu masih mau lagi?" Pria itu merasa, ucapan wanitanya adalah sebuah kode."Hah?" Kalila menarik kepala, melihat pada Dareen yang tengah menatap tegang ke arahnya.Wanita itu tertawa kecil. Kemudian mencubit pipi yang ditumbuhi jambang halus milik kekasihnya dengan gemas. Pria itu benar-benar punya otak mesum!"Apaan, sih, Mas? Ini aja masih selimutan kita!" ketusnya. Tangan Kalila mnyubit selimut yang menutupi tubuh mereka dan mengangkat ke atas sebagai penegasan."Ah, ya. K
Dewa turun tangga dengan bersungut-sungut. Mulai merasa frustasi menunggu kabar dari Dareen. Entah, apa rencananya kali ini akan berhasil?"Sial! Dia memang sengaja mempernainkanku! Katanya mau transfer tapi malah tak ada kabarnya sampai pagi," ucap pria yang kakinya menapaki anak-anak tangga.Pria yang selalu berpakaian rapi itu tengah menuju lantai bawah. Untuk menemui Nenek yang selama ini terlihat berpihak pada Dareen."Yah jelas saja ibu tua itu lebih berpihak pada Dareen, pria kaya yang memiliki segalanya. Bukan Dewa yang hanya rakyat jelata," gumamnya kesal.Saat kakinya baru saja menjejak di lantai bawah, matanya menangkap sosok Qinara yang tengah menenangkan Mamanya. Wanita paruh baya itu seperti tengah menangis kehilangan sesuatu."Ada apa?" tanya Dewa penasaran.Bukannya menjawab Qinara melirik pria itu dengan kesal. Mamanya tak peduli, pada keberadaan Dewa. Pria yang sejak awal tak ia sukai.Miranti lebih sibuk memikirkan
"Kamu tahu, karena banyaknya permintaanmu, dan mama ikut-ikutan, Papamu jantungan dan Nenek meminta Papa menceraikan Mama!" Pengakuan Miranti membuat Qinara membeliakkan mata .Ia bertanya dalam benak. Apa maksud mamanya? Kenapa tiba-tiba menyalahkannya? Apa ini tanda wanita itu mulai sadar dan berbalik menentang semua kemauan dan rencana besar yang sudah mereka susun bersama?"Apa maksud Mama? Kenapa Mama tiba-tiba marah padaku?" Qinara bertanya heran."Karena kamu sudah menghancurkan semuanya Qinara. Cinta, hubungan keluarga, hubungan mama dengan nenek dan juga hubungan dengan papamu!" Suara Miranti dipenuhi emosi."Kamu tahu ... Papamu jantungan Qinara, kita harus menghentikan ini Qinara." Meski ia silau terhadap uang, tapi Miranti memiliki perasaan yang dalam pada suaminya. Pria yang selama ini mencintainya dengan tulus.Berbeda dengan kebanyakan pria di luar sana.Pramana satu-satunya pria yang mau menerimanya apa adanya."Heh."
"Silakan Nyonya Dareen yang cantik." Dareen menarik kursi untuk Kalila.Dikulum senyum manis sebagai refleksi hati Dareen.Jangankan hanya menggeser kursi, menggeser hotel pun akan dilakukan jika Kalila yang meminta.Wanita ayu di hadapannya menoleh, matanya menangkap bibir tipis suaminya yang melengkung. Ia pun membalasnya tak kalah manis. Dalam waktu singkat, senyuman yang tulus akan menerbitkan senyum tulus lainnya.Bagi Kalila, tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan, selain menimbulkan senyum di wajah orang lain, terutama wajah yang kita cintai."Makasih, Mas."Wanita itu tersipu. Selain lucu dan menyebalkan, Dareen juga bisa bersikap sangat manis untuknya.Keduanya telah saling jatuh cinta, meski Kalila tak pernah mengucapkannya. Jatuh cinta adalah perasaan terbaik yang mereka alami dalam hidup.Namun di sisi lain, perasaan itu kadang menyiksa wanita itu. Jantung berdebar tak karuan, kepala tak karuan rasanya saat melih
Nenek kembali meletakkan ponsel di atas nakas lalu berjalan ke kamar Miranti."Kenapa dia terus di kamar? Apa dia sakit setelah mendengar ucapanku?"Walau bagaimana, mereka selalu akrab selama ini. Layaknya ibu dan anak. Tiba-tiba bertengkar seperti ini, membuat perasaan nenek tak nyaman."Sepi sekali." Wanita itu mengedarkan pandang ke ruang tengah yang lengang lalu ke atas. Matanya memicing ketika melihat Qinara berdiri di depan kamarnya. "Makin hari kenapa makin mencurigakan anak itu.""Sedang apa dia? Masa iya menguping di kamarnya sendiri."Nenek menghela napas. Rasanya akan sulit kalau berhadapan atau pun bernegosiasi dengan Qinara. Sejak awal mereka tak dekat.Bukan hanya tak dekat secara emosional, tapi mereka juga dipisahkan jarak. Cucu bungsunya itu lebih suka tinggal di indekost ketimbang rumahnya sendiri.Ia pun melanjutkan langkah ke kamar menantunya.Lengang sekali.Penasaran, wanita tua itu menempelkan tel
“Nenek … Nenek … Nenek …” tak hanya Kalila, satu pasukan dikerahkan mencari keberadaan sang nenek.Satu perumahan ditelusuri. Dari rumah ke rumah yang kebanyakan sepi karena menjelang siang hari. Langkah kaki yang berlari kecil seiring keringat yang mengalir di sekujur tubuh. Semakin lama kaki terasa berat melangkah.Kecuali Kalila yang pasca melahirkan, dia hanya berjalan santai menyusuri gang rumahnya saja, sementara yang lain berjalan ke arah gang sebelah. Gang demi gang ditelusuri Qinara, dewa dan Dareen. Pastinya capek dan sangat melelahkan.Entah terlintas begitu saja di kepala Kalila, pikiran tentang seseorang yang tinggal di depan perumahannya. Kontan wanita berhijab ceruty itu mendekati suaminya yang hanya tiga meter darinya.“Mas, bisa bawa mobil? Antarin aku ke depan sekarang,’ titah wanita itu.“Buat apa?” tanya
Rasa kantuk menghadang membuat Kalila tak kuat membuka lebar kelopak matanya. Kedua matanya terasa berat sekali, dua lengannya terasa lemas seolah hawa dingin menyerang tubuhnya hingga rasanya ingin sekali rebahan. Malam yang melelahkan hingga akhirnya wanita itu memejamkan mata sesaat.“Kalila! Kalila!” Seorang wanita yang tak asing memanggilnya.“Eh …” Kalila membuka mata dengan lilir melihat siapa wanita yang menepuknya sedari tadi.“Bayimu! Zubair” Mama menepuk lengannya berkali-kali dengan menautkan dua alisnya.Mendengar nama bayinya langsung melebarkan mata sempurna. Ingat kalau dirinya tengah menyusui putranya hingga tidur tertunduk. Tak menyadari Zubair di pangkuannya.“Zubair!” Kontan Kalila menegakkan tubuhnya sembari kepalanya menunduk untuk melihat putranya.Ternyata Zubair ketindihan tubuh b
“Duh, kenapa gak diangkat lagi. Astaghfirullah … sabarkan yaa Allah.” Kalila melipat dua bibirnya sembari memainkan dua jempol tangannya. Terlihat kecemasan di raut wajahnya.Jam dinding menunjukkan jam 5 lebih di sore hari menjelang maghrib. Angin sepoi-sepoi menembus jendela kamar wanita itu.Bayi Zubair yang sedari tadi terlelap, tiba-tiba saja menangis begitu saja. Kalila spontan terhenyak dari lamunannya. Tak tega mengdengar bayinya yang bersuara lebih kencang. Dia akhirnya mendekati box bayi, menggendongnya perlahan. Wanita itu merebahkan bokongnya sembari memangku lembut sang bayi yang akhirnya terdia. Mengeluarkan jusur jitu asi favorit putranya.“Kemana kabar abamu sayang,” gumam Kalila sembari mengecup kening putranya.Sejak tadi malam hingga sekarang Dareen susah dihubungi. Lebih tepatnya jarang menghubungi Kalila hingga sekarang. Terakhir kabar dari Dareen h
Dareen berbalik arah dan meraih handuk yang menggantung di samping kamar mandi. Digulung-gulungnya ke telapak tangan kanannya. Kemudian pria itu berbalik arah. Dan dengan cepat mendorong kuat lengan kiri wanita itu hingga menabrak dinding.Ini satu-satu cara agar menyentuhnya tanpa tersentuh. Dareen sangat memahami bahwa haramnya menyentuh yang bukan mahramnya. Bahkan Hadost riwayat Thobroruni menjelaskan kalau ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.“Argh!” Wanita blesteran merintih kesakitan kala lengannya mendapat tekanan kuat dari sang pria di depannya.Mata elang pria itu menyorot tajam seolah kemarahan berkobar di sepasang netranya. Sementara Clara menelan saliva sembari membalas tatapan Dareen dengan berani meski masih terlihat aura ketakutan di matanya.Pandangan Dareen beralih pada tangan kanan wanita di hadapannya itu tengah merogoh sesuatu. Pria i
“Mari kita mulai. Mana kontrak baru kalian. Aku mau baca. Hem.” Mr. Richard menaikkan dua alisnya.Dareen melirik Dewa, mengkodenya untuk menaruh berkas map yang sedari tadi dibawanya.Meja makan yang awalnya penuh dengan piring dan gelas, kini kosong melompong. Pelayan wanita itu sebelumnya telah sepenuhnya membereskannya. Wajar, Dewa segera menunjukkan berkas itu tanpa sungkan.Dareen menyandarkan punggungnya sambil menyilangkan dua tangannya ke dada. “Silahkan. Nyambi ngopi juga bisa. Saya panggilkan, Hahaha …” Pria itu mencoba berkelakar mencairkan suasana. Dia tersenyum percaya diri.Begitulah Dareen cara meyakinkan lawan mainnya. Kata-katanya yang seolah membuatnya tebar pesona, sikap percaya dirinya juga turut jadi daya tarik yang tentu menjadi poin penting dalam berbisnis. Karakter pria yang satu ini memang kharismatik.“Hihihi … Mas Dareen itu yang kusuka darimu.” Clara terkekeh sembari men
“Mana anaknya daddy?” Wajah Dareen terlihat jelas di layar ponsel Kalila.“Lama-lama jadi sugar daddy? Udah ah! Aba aja oke, lebih alim. ” Kalila membujuk dengan mengedipkan mata genit.“Oppa gimana?” Pria itu mengedikkan dua alisnya. “Oppa Dareen Sarange … hahaha …” Dia bertingkah cute dengan suara dimiripin emak-emak yang kesemsem sama actor korea.“ Hahahaha … Mas ihh.” Kalila terpingkal-pingkal dengan tingkah konyol suaminya.Video call yang dari beberapa menit lalu, pagi ini hanya membahas panggilan nama orangtua untuk Kalila dan Dareen.“Appa Amma gimana?” Kalila mengedikkan alisnya sembari melayangkan senyuman manis.“Aa … Aa …” Suara bayi terdengar bangun dari arah belakang wanita itu. kontan Kalila terhenyak dan menoleh ke belakang.“Masya Allah, anaknya jawab tuh.” Mata Dareen berbinar kala Kalil
Dareen kembali ke kamar pasien, mendekati istrinya dengan wajah lesu.“Sayang.” Pria itu duduk di sisi ranjang. Dia menatap lekat istrinya seolah mimikirkan rangkaian kata yang akan diucap. Pria itu merengkuh tubuh Kalila yang ada di sampingnya. Bibirnya mendekat ke telinga wanita itu, “Maaf sayang, aku harus pergi sore ini ke Prancis.”“A-apa?” Kalila segera menarik kepalanya menjauh. Melepas pelukan suaminya.“Perusahaan sedang genting. Mr. Richard menuntut royalty yang tak masuk akal. Aku dan Dewa harus ke sana, membujuknya dan menyutujui kontrak baru.” Dareen kembali melingkarkan lengan ke leher Kalila, memeluk erat, membuat istrinya bersandar di bahunya. Membujuk istrinya untuk meridhoi kepergiannya.“Mr. Richard? Papanya Angela?” Kalila menarik kepalanya. Namun kembali pasrah, tak kuat melepasnya.Dareen perlahan melonggarkan lengannya lalu mengusap kedua lengan istrinya. Di tatapnya
“Masalah perusahaan, apa sudah ada perkembangan? Ku dengar proyek sebelumnya banyak kerugian.” Dewa memulai membuka topik. Pria itu mengaduk gelas cappuchino di depannya sembari menunduk. Pembahasan ini juga terasa berat baginya.Sadar kalau yang ia bahas ini termasuk proyek yang pernah dirusaknya karena suruhan Angela. Sebenanya bisa saja Dewa tak mengikuti Angela. Namun ambisi yang menginginkan posisi yang sama seperti Dareen membuatnya pasrah dan mengikuti kemauan Angela kala itu.Tentunya jelas membawa trouble bagi perusahaan Biantara Group. Berawal Property Hyatt memakai kualitas rendah yang dipesannya dari perusahaan itu. Hingga akhirnya hotel yang di bangun atas kerjasama itu mengalami keretakan hebat.Kini Property Hyatt menuntut mendekor ulang. Padahal jelas tidak bisa karena sudah ada beberapa tamu yang masih check in di sana. Pihak Biantara ingin segera mengosongkan wilayah itu karena berbahaya. Namun Mr. Richard tak bergeming dan tetap ke
“Jatahku mana, sayang?” tanya Dewa sembari langkahnya kian mendekat.Seketika itu tangan Qinara berhenti menata kue-kue yang sedari tadi berserakan di atas meja. Rencana kue-kue itu mau di taruh di toples dan dimasukkan dalam kantung kresek. Wanita itu tertohok, matanya membulat sempurna.‘Kenapa Mas Dewa minta, di saat situasi begini?’Melihat Qinara yang masih terbebani dengan kakaknya yang akan melahirkan. Entah hingga sekarang belum tahu apa yang terjadi dengan Kalila dan bayinya. Tersadar, ponsel wanita itu masih tertancap erat di usb dalam mobil. Belum lagi, tujuan mereka ke sini untuk membawa bekal untuk Kalila dan Dareen yang pastinya akan meningap di rumah sakit beberapa hari di tempat kedua bumil itu sering kontrol kehamilan. Wajar, penasaran Qinara semakin di ubun-ubun karena tak tahu apa sebenarnya yang terjadi pada kakaknya di sana.“Maksudnya?” Qinara menerka maksud Dewa. Perasaan gugup kala menatap dua ma