Jihan pun segera ke luar dari kamarnya, lalu melangkah menuju ke dalam kamar utama. Wajahnya terlihat sedikit khawatir. Butiran-butiran keringat mulai berjatuhan dari kedua pelipisnya.
"Sial! Apa yang harus ku lakukan sekarang? Dasar bajingan kau Ningsih!" marahnya dalam hati.Jihan pun mulai mendekati meja rias ibunya. Untuk mencari sesuatu yang dapat dirinya jadikan bukti, jika dia tak bersalah sama sekali.Senyum penuh kelicikan tergambar sempurna di raut wajahnya karena Jihan telah menemukan apa yang dirinya cari-cari dari tadi."Ha-ha-ha! Ternyata keberuntungan masih bepihak kepadaku!" senangnya dalam hati.Jihan lalu melangkah kembali ke dalam kamarnya sambil membawa botol parfum yang sama dengan botol parfum yang ada pada maid Ningsih.Tentu saja dengan mudah Jihan menemukan parfum yang sama persis seperti yang dipakai oleh Nyonya Lisda. Karena parfum itu memang yang dirinya curi dari kamar sang ibu.Jihan segera menyodorkan parfum itu di hadapan Maid Ningsih."Ini botol parfumnya, Maid. Tolong periksa sendiri," serunya dengan wajah tenang."Parfum ini wanginya sama persis," ucap Ningsih."Apakah Anda masih menuduh saya, Maid? Jelas-jelas bukan saya yang mencuri barang-barang pribadi milik Anda. Akan tetapi Mama yang melakukannya!" tegas Jihan penuh semangat."Tidak mungkin Nyonya Lisda melakukan itu!" bela Maid Ningsih."Lho, kenapa menjadi tidak mungkin? Mama akan bercerai dengan Papa. Pasti Mama membutuhkan uang yang banyak untuk biayai perceraiannya!" Jihan terus saja menyudutkan ibu kandungnya, dan berharap Maid Ningsih peraya dengan semua bulannya.Akan tetapi Maid Ningsih tidaklah bodoh. Malah dia semakin yakin jika Jihan lah yang mencuri barang-barang berharganya.Air matanya kembali mengalir menatap wajah tanpa dosa yang dari tadi ditampilkan oleh Jihan."Nona Jihan sangat lihai bersandiwara. Ternyata dia memang benar-benar pembohong dan pencuri ulung! Yang bersembunyi di balik wajah lugunya!" Maid Ningsih pun memberikan penilaian buruk terhadap Jihan.Maid Ningsih tak habis pikir dengan tingkah Jihan tersebut. Sang art terus saja menangis dan mencoba membujuk Jihan untuk mengembalikan barang-barang miliknya yang telah hilang. Namun gadis itu tetap bersikeras jika bukan dirinya yang mencuri.Lalu tiba-tiba ponsel Maid Ningsih berdering, pertanda ada panggilan telepon yang masuk di ponselnya. Dia pun segera mengangkatnya. Ternyata telepon itu berasal dari kampung. Yang mengabarkan jika anaknya baru saja dilarikan ke rumah sakit karena demam tinggi.Hati Maid semakin hancur mendengar jika anaknya harus dirawat di rumah sakit."Nona, sepetinya saya harus pulang kampung dengan segera," tuturnya sedih."Lho ... memangnya kenapa, Maid?" tanya Jihan pura-pura prihatin."Anak saya dirawat di rumah sakit. Saya permisi dulu, Non. Mau bersiap-siap," serunya lagi. Lalu buru-buru ke luar dari kamar Jihan.Seketika gadis itu tersenyum puas."Keberuntungan benar-benar telah bernaung kepada diriku. Tanpa ku usir. Maid Ningsih malah pergi dengan sendirinya!" sorak Jihan dalam hatinya.Setelah merapikan semua pakaiannya di dalam dua koper besar. Maid Ningsih pun mulai ke luar dari dalam rumah megah itu. Sebelum naik ke dalam taksi yang akan membawa ke stasiun kereta api, sekali lagi Ningsih memandang rumah mewah itu.Begitu banyak kenangan tercipta sejak dirinya mulai merantau ke ibu kota Jakarta sampai saat ini, begitu banyak kenangan tercipta di rumah megah itu.Semua berakhir tragis. Jihan telah mencuri semua hasil kerja kerasnya selama bekerja di Jakarta. Hati Ningsih sangat sakit saat ini. Namun dirinya tidak ada bukti untuk mengusut lebih lanjut jika Jihan yang mencuri perhiasan dan uangnya."Nona Jihan, hanya Tuhan yang tahu jika kamu adalah pencuri yang sesungguhnya. Cepat atau lambat kebenaran akan terungkap! Kamu pasti akan mendapatkan ganjaran yang setimpal atas semua perbuatan jahatmu! Karena karma itu nyata!" tangisnya dalam hati.Ningsih pun masuk ke dalam taksi itu yang mulai melaju meninggalkan rumah majikannya.Ternyata Jihan mengintip kepergian Maid Ningsih dari jendela kamarnya. Setelah mengetahui jika taksi yang membawa sang art telah pergi jauh. Gadis itu pun mulai bersorak kegirangan saat ini."Hore! Hore! Hore! Akhirnya aku bebas! Aku jadi kaya mendadak!" teriaknya senang sambil mulai melompat-lompat di atas kasurnya.Lalu Jihan mengeluarkan perhiasan dan uang yang dirinya curi dari Maid Ningsih kemudian memindahkannya ke dalam sebuah tas kecil.Gadis itu berencana menjual beberapa perhiasan itu lalu mentraktir kedua temannya.Fabi dan Salma, kedua sahabat Jihan baru saja sampai di sebuah restoran yang ada di dalam mall di bilangan Jakarta Selatan."Fabi, Lo dihubungi Si Jihan juga?" tanya Salma penasaran."Tentu, dong! Mana mau gue rugi!" serunya sambil mulai mengisap rokok elektrik miliknya.Salma juga melakukan hal yang sama, gadis itu terlihat beberapa kali mengisap rokok elektrik. Sepertinya kedua gadis ini telah mahir dalam merokok."Yang gue dengar dari teman gue yang sekelas dengan Jihan. Dia kena sanksi berat dari sekolah karena ketahuan mencuri! Jangan-jangan uang untuk mentraktrik kita sore ini dari uang hasil Jihan mencuri!" tukas Salma."Ya biarin saja. Itu dosanya, kan Jihan yang mengajak kita nongkrong!" seru Fabi."He-he-he! Iya juga, sih." ujar Salma."Lagian ya, kita kan hanya berpura-pura berteman dengan Jihan! Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan!" Fabi berucap sejujurnya. Karena mereka berdua memang hanya berpura-pura untuk menjadi temannya."Setuju banget, Fabi! Gue juga mana sudi berteman sama pencuri kayak dia. Bisa-bisa kita ikut terkontaminasi dengan kelakuannya yang sangat bobrok itu!" Salma mengatakan semua itu dengan penuh cibiran yang mengarah kepada Jihan.Tenyata keduanya hanya berpura-pura berteman dengan Jihan karena gadis itu suka mentraktir mereka barang-barang mewah. Padahal semuanya berasal dari perbuatan Jihan yang mencuri barang milik orang lain."Salma, hati-hati dompet Lo nanti isinya bisa dicuri sama Jihan, Si panjang tangan!" sergah Fabi."Ih ... dompet Lo juga kali, Fabi! Bisa-bisa berpindah tempat kepada pencuri ulung! Mukanya aja cantik. Tapi kelakuan kayak nenek sihir!""Ha-ha-ha!" Tawa keduanya memenuhi restoran itu, untung saja pengunjungnya hanya mereka berdua."Ibaratnya omongan SiJihan itu, kayak parfum isi ulang." seru Salma."Kok jadi parfum isi ulang, sih?""Yeh ... masa Lo nggak tahu?"Fabi segera menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda dirinya memang tidak tahu."Dengerin ya, baik-baik. Semua yang ada pada sosok Jihan itu seperti parfum isi ulang. Wangi tapi palsu! Ha-ha-ha-ha!" Keduanya kembali tertawa.Mereka tak henti-hentinya menghina Jihan dan kebodohannya karena telah diperalat oleh keduanya.Jihan sama sekali tidak tahu jika dirinya hanya sedang membeli pertemanan bersama Salma dan Fabi. Yang pada kenyataannya, kedua gadis itu tidak pernah mau untuk menjadi temannya. Karena telah mengetahui semua keburukan sikap dan tingkah Jihan selama ini."Hai semuanya! Sudah lama nungguin gue?" celutuk Jihan yang baru saja datang."Tumben lama." tukas Fabi."Sorry jalanan macet!" Lalu Jihan pun mulai mengarang cerita indah yang tentu saja semua adalah kebohongan semata."Jihan, kita nongkrong di mana hari ini?" Salma mulai memancing Jihan.Keduanya saling mengirim kode rahasia antara dirinya dan Fabi. Hari ini mereka berencana untuk membuat Jihan jatuh miskin. Karena baik Salma maupun Fabi telah mendapat aduan dari salah seorang teman sekelasnya, jika Jihan telah mencuri semua barang-barang temannya dan tidak mau mengakui perbuatannya."Hari ini, gue traktir kalian sepuasnya! Makanlah sesuka hati kalian. Setelah itu kita shopping!" seru Jihan antusias."Yeah! Hore! Jihan is the best!" ujar Salma."Jihan memang keren!" Fabi juga turut memuji gadis itu. Walaupun semuanya hanya lah kepalsuan semata.Kemudian kedua gadis tersebut memesan menu yang paling mahal di restoran itu padahal mereka baru saja makan tadi.Fabi dan Salma sengaja mel
Jihan mulai melangkah menjauhi tokoh perhiasan itu. Kemudian dia berjalan lagi mengitari mall besar tersebut untuk mencari toko perhiasan lainnya yang mau membeli beberapa barang berharga hasil curiannya dari Maid Ningsih.Setelah berkeliling lama, akhirnya, Jihan menemukan toko perhiasan di dalam mall yang mau membeli semua perhiasan itu. "Nona, apakah benar semua perhiasan ini milik ibu Anda yang telah lama meninggal?" tanya salah seorang karyawan toko perhiasan tersebut."Iya, Mbak. Masa saya bohong? Saya adalah anak yatim piatu, orang tua saya telah lama meninggal. Saya menjual semua perhiasan ini, untuk biaya sekolah saya, Mbak. Minggu depan ujian tengah semester akan dimulai di sekolahan, jadi semua siswa diwajibkan untuk melunasi semua tunggakkan yang berhubungan dengan biaya sekolah." Jihan menceritakan semua bualannya untuk membuat para karyawan toko perhiasan itu, berbelas kasihan kepadanya. Bahkan dengan sengaja sang gadis mengatakan jika kedua orang tuanya telah lama men
Jihan baru saja sampai di depan rumahnya. Namun alangkah terkejutnya dia saat melihat beberapa orang berseragam salah satu bank, ditemani oleh pihak berwajib yang berjumlah lima orang sedang melakukan penyegelan di rumahnya.Beberapa tetangga terlihat juga ikut menonton aksi dari pihak bank. Untung saja Jihan sedang memakai topi sehingga wajahnya tidak kelihatan.Karena takut ketahuan dan diminta pertanggungjawaban kepadanya, Jihan pun mulai meninggalkan tempat itu.Samar-samar dia dapat mendengar dari omongan orang yang berkerumun di situ. jika rumahnya disita karena kedua orang tuanya tidak sanggup lagi membayar cicilan untuk melunasi utang-utang mereka di bank.Setelah agak jauh dari rumahnya. Jihan pun berteduh di sebuah halte bis. Dia lalu merogoh sakunya untuk memeriksa berapa lagi uang yang tersisa kepadanya. Ternyata tinggal dua ribu rupiah."Sial! Gue benar-benar apes sekarang!" kesalnya dalam hati."Apa yang harus gue lakukan sekarang?" Jihan pun menjadi bingung sendiri.La
"Kumar, cukup! Kamu jangan memukulinya lagi!" tegur Tante Irawati, yang juga merupakan saudara kandung dari Paman Kumar.Sementara Mama Lisda hanya melihat saja saat anak kandungnya dipukuli oleh adiknya. Demikian halnya dengan Papa Raka yang juga tidak memberi komentar apapun saat melihat Jihan babak belur karena dipukuli oleh adik iparnya.Kedua orang tua Jihan telah tahu betul bagaimana tabiat sang anak yang suka mencuri dan pintar berbohong. Jadi bagi mereka, hal itu sudah biasa. Bahkan mereka terlihat senang saat Jihan ketahuan mencuri. Biar dia kapok dan malu.Namun Paman Kumar tidak mempedulikan perkataan kakaknya. Dia terus menendang Jihan.Melihat cucunya yang terus menjerit kesakitan, Nenek Omas segera berkata, "Nini! Tegur suamimu! Apakah kalian mau masuk penjara jika Jihan mati karena dipukuli oleh Kumar?" Mendengar ucapan sang ibu mertua, membuat Nini segera menegur suaminya untuk menghentikan aksinya yang sedang memukuli Jihan.Paman Kumar segera berhenti memukuli Jiha
"Apa? Nenek yang akan mengurusku? Dengan menyuruh-nyuruhku begitu kah? Tentu saja aku tidak mau!" Lagi-lagi Jihan menggerutu di dalam hatinya."Aku harus mencari cara untuk ke luar secepatnya dari rumah ini! Tapi aku harus mengumpulkan modal dulu!" Berbagai rencana-rencana jahat mulai berseliweran di dalam pikiran Jihan saat ini.Setelah mendapatkan pakaian baru dari Tante Nini. Jihan pun disuruh mandi dan membersihkan dirinya oleh Tante Irawati.Selama tinggal di rumah sang nenek. Jihan akan tinggal satu kamar dengan Tante Irawati yang masih terlihat sendiri tanpa pasangan, karena memutuskan untuk tidak menikah sampai akhir hayatnya. Setelah selesai mandi, Jihan pun memilih duduk di teras rumah neneknya sambil kembali menghubungi Salma dan Fabi. Namun kedua temannya itu malah telah memblokir nomor ponselnya.Jihan dan Fabi kok jadi berubah begini, sih? Kesambet apa mereka?" kesalnya dalam hati.Lalu Jihan pun mulai mencoba membuka media sosial miliknya dan melihat jika banyak pember
"Makanya kasi tahu gue, berapa." Ilham malah menantang Jihan.Mendengar ucapan sang pria, Jihan pun mulai melangkah mendekati Ilham seraya berkata,"Jika Lo mau menikmati tubuh suci gue, setidaknya Lo sediakan uang sebesar lima ratus juta!""Apa? Nggak salah Lo, Jihan? Busyet ... mahal amat Lo?""Iya, dong! Gue masih ting-ting Ilham! Sudah ah! Gue cabut dulu! Lo kebanyakan bacot!" seru Jihan lalu benar-benar pergi dari hadapan sang pria."Parah banget Jihan! Mahal banget tarifnya!" tutur Ilham kecewa."Dari mana gue mendapatkan uang sebanyak itu? Jika semua perhiasan ibu gue jual, masih belum cukup untuk membeli tubuh Jihan!" ujarnya kesal dalam hati."Gue harus jadi orang pertama yang mencicipi tubuh Jihan!" ucap Ilham dari kesungguhan hatinya.Jihan pun tiba di rumah sang nenek. Semua orang terlihat sedang duduk di ruang makan. Ternyata hari sudah gelap dan waktunya makan malam telah tiba."Dari mana kamu!" tegur Paman Kumar kepada sang keponakan. "Saya baru dari warung Bu Narti, P
Tak berapa lama, Tante Irawati mulai sibuk mempersiapkan pesanan dari Ilham. Kebetulan warung pun mulai sepi.Pria itu tersenyum penuh misteri."Ini waktu yang tepat bagi ku untuk mendekati Jihan," gumamnya senang dalam hatinya.Pria itu pun mulai mendekati Jihan yang sedang pura-pura sibuk."Hai Jihan, apa kabar? Gue butuh Lo untuk memanjangkan senjata gue! Bagaimana cantik?" seru Ilham sambil menggoyang-goyangkan sebuah kalung milik ibunya tepat di depan gadis itu.Jihan yang dari tadi sok sibuk. Mulai terusik dengan kedatangan Ilham yang mencoba untuk merayunya saat ini.Sang gadis segera menatap Ilham dengan sangat tajam."Hei! Idiot! Lo ngapain ke sini?" kesal Jihan."Omongan Lo kok kasar banget, Jihan? Gue ke sini di suruh ibu gue untuk belanja. Lo kok jadi sewot begitu?" Ilham sangat kaget dengan perkataan Jihan yang begitu kasar kepadanya."Sepertinya Jihan harus gue beri pelajaran agar dia bisa lebih sopan sama gue!" tekad Ilham dalam hati."Suka-suka guelah! Lagian ngapain L
Setelah mengantongi uang yang banyak. Gadis itu pun masuk ke sebuah kafe. Lalu memesan makanan yang sangat banyak. Jihan pun mulai asyik makan enak sendiri tanpa ada gangguan sedikit pun dari siapa pun.Saking senangnya Jihan menikmati hidangan mewah yang telah tersaji di depannya. Dia tidak tahu sama sekali jika di dalam kafe itu, kedua teman palsunya, Fabi dan Salma juga ada di dalam kafe tersebut bersama dengan pacar-pacar mereka, dan juga ada seorang laki-laki lain yang merupakan sahabat dari pacar Fabi yang dari tadi menatap tak berkedip ke arah Jihan.Fabi dan Salma mulai saling berbisik-bisik,"Fab, bukannya itu Jihan?" tanya Salma kepada Fabi."Iya itu, Jihan! Masih hidup juga tuh, anak! Gila!" tukas Fabi."Jihan dapat uang dari mana bisa makan enak di sini? Kafe ini kan terkenal mahal." Salma menjadi curiga."Sepertinya Jihan tidak tahu jika kita juga berada di sini," seru mereka berdua.Lalu Salma pun melihat jika Hendra, teman dari pacar Fabi terus saja melirik ke arah gadi
Pagi itu terasa sangat sunyi dan mencekam di rumah kecil yang ditempati oleh Ilham dan Jihan. Ilham terbangun dengan perasaan gelisah, seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres. Ketika pria itu bangkit dari tempat tidur dan mendekati Jihan yang berbaring di sebelahnya, wajahnya tiba-tiba berubah pucat. Napas Jihan terlihat berat, dan kulitnya mulai kehilangan rona. Tanpa berpikir panjang, Ilham segera mengguncang bahunya dengan lembut."Jihan, Sayang! Apakah kamu baik-baik saja? Kenapa wajahmu sangat pucat sekarang?" Ilham bertanya dengan nada yang sangat cemas.Namun Jihan tidak merespon sama sekali setiap perkataan dari pria itu. Matanya tetap terpejam, dan tubuhnya terasa semakin lemas. Tanpa buang waktu, Ilham langsung mengangkat tubuh Jihan yang lunglai itu dan segera membawanya ke dalam mobil. Pria itu pun dengan cepat mulai melajukan mobilnya ke sebuah rumah sakit yang selama ini merawat Jihan.“Jihan! Ku mohon bertahanlah! Aku sedang memba
Setelah berbulan-bulan menjalani perawatan intensif di sebuah rumah sakit, kondisi Jihan perlahan pun mulai membaik. Gadis berusia belia itu memang masih tampak rapuh, namun kesehatannya jauh lebih stabil dibandingkan ketika dia pertama kali didiagnosis dengan penyakit mematikan tersebut. Setiap minggu, Jihan tidak pernah absen untuk kontrol ke rumah sakit. Dia tahu, meskipun keadaannya sudah tidak separah dulu, namun tubuhnya masih belum sembuh total. Penyakit yang menyerang karena gaya hidupnya yang tidak sehat, kini meninggalkan jejak di tubuhnya, dan Jihan menyadari bahwa dia harus lebih menjaga diri dan waspada mulai sekarang.Namun, Jihan tidak mau larut dalam kesedihan atau rasa bersalah. Sebaliknya, gadis itu memutuskan untuk menggunakan pengalamannya sebagai alat untuk mencegah orang lain terjerumus ke dalam jalan yang sama. Kini, Jihan aktif dalam sebuah organisasi perempuan yang berkampanye tentang bahaya penyakit menular seksual dan gaya hid
Beberapa tahun kemudian,Di sebuah rumah sakit yang sunyi di salah satu sudut Kota Jakarta, yang terdengar di sana hanya suara mesin-mesin medis yang berirama monoton. Jihan, seorang gadis beli yang berpetualang tentang cinta selama ini, hidup bebas tanpa peduli akan konsekuensi dari tindakannya, kini terbaring lemah di sebuah ruang isolasi. Sebelumnya gadis itu adalah seorang pecinta hidup bebas. Bergonta-ganti pasangan ranjang, tanpa menggunakan pengaman sedikitpun, yang membuat imun tubuhnya ikut turun dan mudah terserang sakit, seperti saat ini.Wajah Jihan sangat pucat, tubuhnya kurus, dan tatapannya kosong. Penyakit ganas yang menggerogoti tubuhnya semakin parah, dan harapan hidupnya semakin tipis. Tak ada yang mendampinginya di sana, kecuali Ilham, satu-satunya lelaki yang tulus mencintainya.Ilham duduk di kursi di sebelah ranjang Jihan. Matanya tak pernah lepas dari gadis yang dia cintai sejak lama itu. Meskipun Jihan pernah bersama bany
Jihan merasakan tubuhnya mulai terasa panas dan tidak nyaman setelah membaringkan tubuhnya di kamar hotel. Perasaan panas itu semakin menjadi-jadi, membuatnya merasa tidak nyaman. Tanpa sadar, dia mulai membuka satu per satu kancing bajunya, mencoba meredakan sensasi panas yang terus meningkat.“Panas …. Panas …” lirihnya lemah.Haikal, yang sedang duduk di kursi di dekat ranjang,seketika tercengang melihat sikap Jihan. Matanya memperhatikan setiap gerakan Jihan dengan cermat dan penuh keheranan,karena obat perangsang itu bekerja sangat cepat."Jihan Sayang, apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Haikal dengan suara terkejut, meskipun hanya pura-pura saja.Jihan, yang masih dalam keadaan tidak sadar, hanya menatap Haikal dengan mata yang sayu. "Aku merasa panas, Haikal. Sangat panas," ujarnya dengan suara yang lemah.Haikal segera menyadarkan Jihan akan situasinya. "Jihan, berhenti. Kamu harus berhenti," ujarnya dengan suara
Petugas hotel itu tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja ada, Tuan. Hotel kami masih memiliki beberapa kamar kosong. Silahkan ikuti saya.”Haikal dan Jihan mengikuti petugas tersebut menuju kamar yang telah disediakan. Begitu pintu kamar terbuka, udara segar dan kenyamanan seketika menghampiri mereka.“Ini kamar Anda, Tuan,” ucap petugas hotel itu dengan ramah sambil membuka pintu kamar.Haikal menoleh ke arah Jihan, seraya berkata, “Ayo, Jihan masuklah. Kita bisa istirahat sejenak dan menyegarkan diri sebelum melanjutkan petualangan kita di Kota Bandung,” ajaknya dengan senyum hangat.Jihan tersenyum lega. “Terima kasih, Haikal. Kamu memang selalu tahu apa yang aku butuhkan,” ucapnya sambil mulai memasuki kamar.Setelah melewati aktivitas yang padat di Kota Bandung, Haikal dan Jihan akhirnya sampai di dalam kamar hotel yang nyaman. Udara segar di dalam kamar membuat mereka merasa rileks setelah beraktivitas di luar. Haikal
Pagi menyingsing dengan sinar matahari yang membelai lembut tirai di sebuah apartemen di salah satu sudut Kota Jakarta. Aroma kopi yang harum memenuhi dapur, bercampur dengan bau sedap bahan-bahan sarapan yang tengah dipersiapkan oleh Jihan. Jihan, gadis muda yang ceria, sibuk mengaduk-aduk panci yang berisi bubur ayam hangat. Semangatnya terpancar dalam setiap gerakan. Sebentar lagi, dia akan memberi kejutan untuk Dulah, pacarnya yang masih tidur di dalam kamar.Untuk memuluskan rencananya ke Bandung bersama Haikal. Jihan perlu merayu Dulah. Agar pria itu mau mengizinkannya untuk pergi.Dulah, yang masih terbaring di kasur dengan mata yang masih setengah terpejam, mendengar derap langkah Jihan di dapur. Dia seketika tersenyum. Setiap hari, kehadiran Jihan memberikan semangat baru baginya. Meski kegiatan Dulah di kantor seringkali sangat sibuk. Namun dia selalu menyempatkan waktu untuk sarapan bersama.Sesaat kemudian, Jihan melangkah keluar dari
Setelah pertempuran panasnya dengan Jihan tadi malam, membuat Dulah semakin bersemangat pagi ini. Setelah sarapan roti bakar buatan sang pacar. Dulah pun berpamitan kepada Jihan. “Jihan … Sayangku. Aku mau berangkat ke kantor dulu pagi ini!” ucap Dulah lalu mengecup bibir Jihan dan melumatnya sesuka hatinya. “Sayang! Aku masih menginginkanmu! Kami sangat jago tadi malam. Mampu membuatku melayang sampai ke langit ke tujuh!” puji Dulah kepada sang pacar. “He-he-he! Semua kulakukan untukmu, Sayang,” sahut Jihan. “Ayo … kita lakukan satu ronde pagi ini!” rayu Dulah lalu mulai mengendurkan dasinya. Akan tetapi Jihan segera mencegahnya. “Sayang, tidak sekarang. Kamu harus ke kantor. Bukannya pagi ini kamu ada meeting?” ucap Jihan mengingatkan Dulah. “Oh .. ya ampun! Aku sampai lupa! Baiklah, Sayang. Aku pergi dulu,” pamit Dulah lalu segera keluar dari dalam apartemennya. “Cih
Jihan wanita muda yang bersemangat dan berani. Dia memiliki mata yang cerah dan penuh harapan, senyum yang menawan, dan hati yang penuh dengan kebaikan. Walaupun kebaikan itu hanya kepura-puraan semata demi untuk memuluskan semua rencana busuknya.Sementara Dulah, di sisi lain, adalah pria yang kuat dan berani, dengan hati yang penuh dengan keadilan. Telah jatuh cinta kepada Jihan sampai sejatuh-jatuhnya. Bahkan pria itu tidak tahu jika Jihan sedang mempermainkan perasaannya. Saat ini mereka sedang berdua berada di apartemen Dulah, tempat yang hangat dan nyaman, penuh dengan cahaya lembut dan aroma makanan enak. "Thanks, Dulah," ucap Jihan, matanya berkilauan dengan rasa terima kasih walaupun semua itu hanyalah kepalsuan semata. "Kamu telah membantuku memberi pelajaran kepada Hendra. Dia tidak bisa seenaknya merenggut kesucianku tanpa hukuman." Dulah menatap Jihan dengan penuh cinta. “Semua kulakukan untukmu Sayangku, Jihan. Hendra me
Di jalanan yang sepi, tiga orang anak buah Dulah berdiri di tengah jalan, menghadang mobil yang melaju dengan cepat. Hendra, pria yang telah merenggut kesucian Jihan, sangat terkejut melihat mereka yang sedang berada di depannya. Hendra merasa terkejut dan panik saat melihat ketiga anak buah Dulah menghadang mobilnya di tengah jalan yang sepi. Dia segera menginjak rem dengan keras, mobilnya berhenti tepat di depan mereka. Tatapan ketakutan terpancar dari wajahnya saat Hendra menyadari bahwa situasinya sangat serius.“Sialan! Siapa orang-orang ini?” umpatnya sendiri.Hendra mencoba mempertahankan ketenangannya, akan tetapi jantungnya berdegup sangat kencang saat ini. Dia dapat melihat ketiga pria, dengan tatapan tajam yang penuh dengan kemarahan mengarah kepadanya. Namun Hendra bisa merasakan kekuatan dan keberanian yang mereka miliki.“Mereka ada tiga orang! Bagaimana caraku menghadapi mereka?” Nyali Hendra mulai menciut melihat badan kekar dari orang-orang itu. “Hei! Laki-laki bi