Ada perasaan cemas yang terus berkecamuk di dalam dada Alfin. Ada perasaan bersalah yang selalu mengingatkan: seharusnya kamu enggak ngelakuin ini, Fin. Tapi ada gairah menggelora yang tak dapat ditahan lagi.
Wanita yang dicintainya tergolek dalam posisi terbuka. Alfin melepaskan celana panjangnya. Kini hanya menyisakan bokser berwarna hitam. Jessie bukan perempuan pertama dalam petualangannya bercinta. Tapi ia tak berani menyentuh gadis itu. Kulitnya yang kuning langsat – sekarang agak pucat – seolah begitu rapuh untuk disentuh.
Sekujur tubuh Alfin cenat-cenut. Ia merebahkan diri di sisi Jessie yang terpejam. Perlahan tangannya mengelus pipi lembut sahabatnya – sahabat yang dicintainya. Bibirnya yang merekah seolah memanggil-manggil kelelakian Alfin untuk segera beraksi.
Gejolak liar laki-laki muda milik Alfin menjerit ingin pelampiasan. Laki-laki itu mengernyit – mencoba menahan dirinya. Bisa saja ia segera melucuti seluruh pakaian Jessie, bercinta lalu mengenaka
“Dia mau ketemu kamu. Pengin mendekatkan diri terlebih dulu. Biar besok pas pakansi kalian nggak canggung gitu,” kata Jeng Ries.Tante Clarrisa melengak. “Katanya piawai dengan macam-macam wanita. Masa baru ketemu langsung kencan bisa bikin canggung? Klienmu itu beneran orang kaya nggak, tuh? Jangan-jangan kekayaannya cuma tipu-tipu aja?”Pagi tadi Jeng Ries menghubungi Tante Clarrisa. Pak Burhan – klien yang menyewa Tante Clarrisa sebagai teman kencan untuk pakansi di beberapa hari ke depan minta ketemuan. ‘Makan siang nanti kita keluar. Aku jemput kamu. Kita ketemu dengan Pak Burhan. Klien ingin double-check teman kencannya untuk mengurus akomodasi.'“Kenapa dadakan?” protes Tante Clarrisa ketika Jeng Ries tiba. Jeng Ries begitu heboh. Pakaiannya warna-warni. Gelang mahalnya berkemerincing. Tante Clarrisa sendiri sampai merasa malu melihat teman arisanya begitu norak – ya, sih, memang sebelum-sebelumnya juga sudah sangat norak.“Anu, Jeeng, hehe….” Alih-ali
Dada Tante Clarrisa bergemuruh. Pak Burhan ternyata jauh lebih cakep dari bayangannya. Laki-laki itu terlihat tua dan matang. Rahangnya tegas. Gurat-gurat keriput di wajahnya menyiratkan kesan ramah. Senyumnya tulus. Giginya putih dan rapi. Suaranya… berat namun juga empuk dan berwibawa.“Sel… selamat siang, Pak Burhan,” balas Tante Clarrisa.Pak Burhan berpaling ke arah Jeng Ries. Perempuan itu sepertinya tahu kode yang diberikan kliennya.“Hei, Jeeng, aku tinggalkan kalian berdua dulu, ya? Aku ada perlu sedikit di luar sana.” Jeng Ries menyenggol lengan Tante Clarrisa seolah memberi kode. Tangannya menyibak bagian bawah dress Tante Clarrisa – dilakukannya seolah-olah tanpa sengaja.“Eeh? Mau ke mana, Jeng?” tanya Tante Clarrisa mulai panik.“Nanti aku segera balik, kok. Tenang ajaa. Lagian, Pak Burhan ini orangnya baik. Nggak akan nggigit – hihihi. Kecuali kalau sudah dipersilakan.”Pak Burhan hanya tersenyum. Laki-laki itu menyilangkan kaki. Si
Monica mematut-matut di diri. Dandanannya bold – mencoba menyembunyikan samar kerutan usianya. Lipstiknya merah menyala – sengaja dipilihnya warna itu untuk menunjukkan cintanya yang menggelora untuk Adam tersayang.Betapa ia sebenarnya sudah letih dengan hubungan ini. Adam dipenjara. Bisa keluar dengan uang jaminan yang besar. Monica tahu Adam bisa mengakses uangnya tapi tak dilakukannya. Monica harus merogoh kocek dalam-dalam untuk membayar uang jaminan, membayar makan siang, mem-booking hotel dan lain-lain. Beruntungnya Burhan –suaminya – tergolong royal. Kerap memberinya uang dalam jumlah besar.Monica berhenti bersolek. Sebuah kesadaran baru menyentak batinnya. “Jangan-jangan Burhan sudah mencium perselingkuhanku?” gumamnya pelan. “Ah, masa bodoh. Kalau pun Burhan tahu, toh ia sendiri juga gemar bersenang-senang di luaran sana. Toh yang penting ia masih mau mencurahiku duit dalam jumlah besar.”Hari itu Monica telah mengambil keputusan. Ia akan menyudahi hubun
“Sembilan tujuh koma enam FM. Radio Siul, radionya kawula muda.” Jessie bersiul sesuai pakem Radio Siul. “Tiga jam sudah kita bersama. Jessie temani kamu menikmati lagu-lagu manca yang lagi hits! Thanks, yaa, curhat-curhatnya yang sudah masuk. Jessie jadi seneng banget. Senin depan kita ketemu lagi! Masih di STM – Siaran Tengah Mala! Selalu stay tune di sini!”Bambang memutar satu tembang dari Braian Adams yang berjudul Please, Forgive Me.Jessie menguap lelah. Ia berterima kasih karena Bambang selalu ada membantunya siaran. Meski jam siaran dari empat jam telah diganti hanya menjadi tiga jam, tak terbayang setiap malam harus siaran sendiri. Kalau ada apa-apa gimana?“Oke, Mbak. Santai saja.”Bambang juga bersiap pulang. Malam ini tak ada Reni datang ke kantor. Jessie pun merasa lebih tenang saat siaran.“Ngomong-ngomong, akhir-akhir ini Mbak Jessie terlihat lebih semangat,” ungkap Bambang. “Kayak ada yang beda dari biasa-biasanya.”Jessie meringi
Suara musik berjedag-jedug mendentum-dentum dari arah pantai. Gelak tawa orang-orang yang bahagia. Suara minuman dituang – free flow - nikmati sepuasmu! Kemeretak bara api ketika udang yang telah dimarinasi dan dioles madu diletakkan di atas pemanggang. Kudapan manis, kudapan gurih-asin, steak dari daging terbaik, aroma basil – oregano – parsley dan yang sejenisnya menguar di udara bebas. Debur ombak terdengar membikin aroma party malam minggu itu semakin menyenangkan. Agak jauh dari sana terkobar api unggun dengan tak jauh di sebelahnya lima ekor kambing guling. Siapa saja yang berkenan silakan nikmati.“Ah, kamu di sini rupanya.”Jessie mendongak. Ia nyengir begitu melihat Erika menyapanya. Temannya yang baik itu mengambil tempat duduk di sebelah. Ia memesan sepiring nasi goreng sea-food porsi jumbo.“Aku laper banget,” katanya.“Kok enggak gabung di sana aja?” tanya Jessie.“Kamu sendiri kenapa enggak gabung ke sana juga?” balas Erika. Ia menerima pe
Tante Clarrisa hampir saja menjatuhkan gelasnya. Ia seperti melihat Jessie berjalan bersama Om Wisman menuju lobi penginapan. Dengan tangkas ia kembali menahan sehingga gelas minumannya tidak jatuh dan pecah.“Ada apa, Clarrisa?” tanya Pak Burhan.“Oh, tid – tidak apa-apa. Tanganku cuma sedikit basah. Kena embun es di permukaan gelas. Hampir saja tergelincir, tapi tidak apa-apa,” jawabnya dengan tersenyum manis.Pak Burhan mengangguk. Ia kembali pada pembicaraan ringan tentang bisnis villa dan penginapan di pulau ini. Sepertinya menjanjikan. Pak Burhan juga ingin mendirikan penginapan tapi menurutnya selama setahun ke depan lebih ia melakukan investasi terlebih dulu saja.Tante Clarrisa kembali melayangkan pandangan. Ia tak lagi melihat keponakannya. Jalanan menuju lobi hotel dipenuhi oleh tamu-tamu hilir mudik yang tak dikenalnya. ‘Mungkin aku kecapekan,’ batin Tante Clarrisa letih. Ia menenggak mojito-nya. Ia mengernyitkan wajah lalu merasakan kemepyar yang
Pakansi Jessie kali ini tidak berjalan dengan lancar. Ia hanya ngendon di kamar. Om Wisman keluar sesuai keperluan, lalu kembali menghabiskan waktu dengan kekasih gelapnya.“It’s okay…,” katanya santai. “Rencana tidak harus berjalan sesuai kenyataan. Lagian, aku sudah sering liburan. Agak-agak gagal begini, kan, membikin pakansi kali ini jadi agak-agak berwarna.”Jessie merasa tidak enak. Tapi, kalau dipikir-pikir bukan salahnya juga kalau Tante Clarrisa dan Pak Burhan berada di tempat yang sama. Om Wisman tidak menyebut apa-apa tentang Clarrisa. Laki-laki itu juga tidak menyebut apa-apa tentang Pak Burhan. Jessie pun memilih untuk tidak bertanya padahal sebenarnya ia sangat penasaran.Mengapa Tante Clarrisa ada di sini? Dengan siapa dia datang – nunut undangan grand-opening party siapa, nih? Jangan-jangan Tante Clarrisa dibawa Pak Burhan?Jessie segera menepis kemungkinan. Sepertinya tidak mungkin kalau Tante Clarrisa dibawa Pak Burhan. Mereka kenal dari man
Jessie berusaha mengingat-ingat siapakah John Burgundy. Ia seperti pernah mendengar nama itu. Ia juga seperti pernah melihat wajah dengan rahang tegas itu. Tapi ia tak ingat sama sekali pernah bertemu di mana. Barangkali hanya sama nama dan sama wajah saja. John Burgundy dengan wajah tegas dan sorot mata disiplin bisa jadi siapa saja. Barangkali manajer di salah satu resort atau villa tempat ia dan Om Wisman berpakansi. Saking banyaknya Jessie tak mampu mengingat satu demi satu dengan detail.“Selamat datang di Flowery-Rose Ice Cream Resto, Nona Jessie,” sambut John dengan ramah. Sorot matanya tulus. Sikapnya begitu mengayomi. “Saya harap Anda mendapatkan banyak ilmu untuk menggantikan posisi saya kelak. Saya sangat bangga bisa membimbing Nona Jessie untuk menjadi yang terbaik.”Mommy terlihat sangat bahagia. Ia senang anak perempuannya akhirnya mau memegang salah satu cabang anak perusahaannya. Resto yang kecil-kecil dulu nggak apa-apa, deh, Jessie sudah mau terlibat sa
Seeerrr….Jessie berhenti di depan pintu toilet. Ia merasakan bulu kuduknya kembali meremang. Ia belum melanjutkan ceritanya tentang patah hati. Tiba-tiba saja ia kebelet pipis. Sehingga meminta jeda pada Bambang. Bambang mengagguk oke bahwa ia setuju. Ketika Jessie melontarkan pertanyaan; sudah siap mendengarkan kisah patah hati Jessie, Bambang segera menimpalinya dengan sebuah lagu. Lagu melankolis baru dari penyanyi yang baru saja muncul di kancah dunia musik. Lady Jaijai dengan lagu barunya yang berjudul Can’t Stop Loving You.Seusai menunaikan hajat Jessie mencuci bersih tangannya. Ia juga mencuci muka agar tak mengantuk. Tak lupa mengusap tengkuknya dengan telapak tangan yang sudah dibasahi air dingin. Matanya kembali melek. Badannya terasa kembali bugar. Ia harus cepat kembali untuk memandu program Siaran Tengah Malam.Seeerrr….Sesuatu berwarna hitam berkelebat lewat pintu kaca yang berbatasan langsung dengan halaman kebun bela
Seerrrr…..Jessie baru saja keluar dari pantry. Ia telah menghabiskan segelas susu hangat. Perutnya tiba-tiba keroncongan. Lapar. Padahal seingatnya sebelum berangkat ke radio tadi ia sudah makan malam. Ah, paling gara-gara udara dingin jadi perutnya gampang sekali kosong.Seerrr….Tengkuk Jessie meremang. Bulu kuduknya merinding. Ia seperti melihat sesuatu berjalan di antara koridor ruang depan kantor. Gadis itu mencoba memeriksa bagian depan. Siapa tahu ada tamu yang kebetulan telah menunggu lama. Atau maling? Wah, semoga aja tidak. Kalau maling ia hanya akan bisa berteriak minta tolong.Ada Bambang di ruangan siaran. Tapi beneran, deh, lebih baik bukan maling. Lebih baik kalau juga bukan setan.Jessie berjalan mengendap. Ia melongokkan kepala di dinding pembatas ruangan.Ruang depan kantor lengang. Tak terlihat ada siapa-siapa di sana. Halaman depan terlihat terang oleh lampu taman. Tak banyak orang lewat di jalanan. L
Flowery-Rose Ice Cream Resto pagi itu terlihat sejuk dan asri. Karyawan yang biasanya bertugas di dapur membantu menyiram tanaman. Tanaman-tanaman hijau di halaman depan terlihat segar dan menyenangkan. Bunga-bunganya mekar dengan baik.“Selamat pagi, Pak…,” sapa si karyawan begitu melihat John berjalan masuk.John Burgundy membalas saaan itu dengan baik. “Selamat pagi.” Ia melanjutkan perjalanannya menuju ruangannya. Hari ini terasa begitu ringan dan membahagiakan bagi John. Laki-laki itu menikmati duduknya di kursi pimpinan yang empuk. Sebentar lagi ia akan cabut dari sini. Segala drama yang berhubungan dengan si Gembel dan lisa akan segera usai. Ia akan menempuh hidup baru. Mengurus perusahaan baru, dan tak lagi perlu repot-repot mengurusi hal-hal sepele seperti cinta dan sebagainya.Cklek klinting…Bel di pintu berdenting. John lupa menahan pintu agar tak kembali menutup. Saat pagi memang pintu itu dibiarkan terbu
John mematut-matut dirinya. Rambutnya telah disisir rapi. Jambangnya yang telah dicukur bersih seminggu lalu kini muncul sedikit-sedikit. Tidak apa-apa. Tidak usah dicukur bersih lagi. Malah bagus begini. Ia terlihat lebih matang dan macho. Rahangnya tegas dan terlihat menawan.Tak ada perempuan yang meragukan ketampanan John Burgundy. Hanya sayangnya satu wanita ini, Lisa, tak juga tergerak hatinya untuk mengakui bahwa John adalah yang terbaik.Malam ini, ya, malam ini keadaan telah berubah. Berbalik 180 derajat. Tentu saja hal ini karena kedermawanan hati John Burgundy. Ia memberi kabar bahwa Si Gembel bekerja di tempatnya. Ia mematuhi perintah Lisa untuk menekan Si Gembel dengan semena-mena memberinya tugas yang tak terkira – meski pada akhirnya John agak sungkan dan tersentil saat Om Wisman bertandang ke resto mereka. Ah, urusan Om Wisman dipikir nanti saja.Kini kembali pada Lisa. John berdebar tak sabar menunggu hingga ketemu dengan gadis cantik itu.
Alfin tergeragap bangun. Ia merasakan ada yang menindih dadanya. Laki-laki melongok lalu kembali merebahkan kepalanya dengan penyesalan yang sangat besar.Lisa tidur pulas. Kedua matanya terpejam erat. Kepalanya berbantalkan dada bidang Alfin. Napasnya teratur. Mereka berdua tidak mengenakan pakaian sama sekali. Tidur hanya bertutupkan selimut lebar.“Ya ampun. Apa yang telah aku perbuat?” Alfin menepuk jidatnya. Ia mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum tepar tidur karena kelelahan ‘bertempur’. “Ah, iya. Aku berniat memanas-manasi Jessie. Gadis itu harus cemburu karena aku kembali akrab dengan Lisa. Alih-alih kesal, gadis itu malah terlihat biasa saja. Ia benar-benar tidak menyukaiku sedikit pun?” gumam Alfin dengan suara serak.Tubuh Lisa semakin dekat dan merapat. Gadis itu merengek pelan – sepertinya hanya mengigau. “Kamu hebat banget, Sayang…,” gumamnya masih dengan suara parau. “Sudah lam
Alfin dan Lisa saling melepaskan diri. Napas mereka terengah-engah. Lisa mengembangkan senyum. Kepalanya sedikit keliyengan karena rasa cinta yang begitu membuncah.“Aku… aku….”Alfin merasa sedikit bingung. Kepalanya juga sedikit pusing. Pesona Lisa begitu memenuhi benak dan pikirannya. Ciuman tadi sengaja ia lakukan hanya untuk memanas-manasi Jessie. Pada mulanya rencana itu ia anggap berhasil. Namun, laki-laki itu terseret oleh pesona Lisa yang dulu pernah dicecapnya. Memori yang kembali hadir menjadi kenyataan; begitu lembut, begitu manis, begitu memabukkan.“Sudah siap memesan, Tuan?” tawar Jessie masih dengan mengembangkan senyum. Ia sudah siap dengan catatan untuk mencatat setiap permintaan Alfin.“Aku… aku….” Alfin masih puyeng. Ia memerhatikan gadis di hadapannya sekali lagi. Lisa membetulkan kembali lipstiknya. Gadis itu bahkan tak perlu merasa sungkan pada Jessie. Tenang saja ia kembali mengoleskan lipstik dan lip-tint-nya untuk membenahi solekannya yang
Alfin menjemput Lisa di coffeshop. Gadis itu mengaku baru saja selesai meeting dengan klien. Tapi melihat dari pakaiannya yang masih bau toko dan make-up-nya yang tebal – terlihat seperti baru saja dari salon.“Kita berangkat sekarang?” tawar Alfin.“Yuk!” Lisa segera bergegas pergi. Ia mencoba menggandeng tangan Alfin. Laki-laki dengan halus menyingkir hingga gandengan tangan Lisa berlalu begitu saja.“Kita naik kendaraan sendiri-sendiri, ya?”Lisa merengut. “Ih! Nggak romantis banget-lah! Masa naik kendaraan sendiri-sendiri!?”“Nanti malam aku sudah ada janji. Nggak bisa antar kamu pulang terlebih dulu. Kudu buru-buru.” Alfin menunggu dengan tidak sabar. “Gimana? Jadi, nggak?”“Oke, deh!” Lisa menyusul Alfin masih dengan cemberut. Gadis itu merasa seperti dimanfaatkan. Tapi mau bagaimana lagi? Ajakan Alfin sore ini terasa seperti hujan di gurun gersang. Lisa selalu mencoba menghubungi laki-laki itu – tapi selalu tak ada tanggapan. Lisa selalu me
Alfin memandangi foto Jessie. Itu foto mereka ketika upacara kelulusan kuliah. Mereka wefie dengan wajah ceria. Senyum yang begitu lebar. Mata yang berbinar-binar. Penolakan Jessie beberapa waktu yang lalu akhirnya membuat hubungan pertemanan mereka menjadi dingin juga renggang. Boro-boro jadian, saling kontak saja sudah tidak pernah lagi. Persahabatan mereka yang baik menjadi turun level menjadi dua orang yang bersikap seolah tidak saling kenal.Seandainya saja malam itu Alfin tidak menuruti keinginannya. Tapi ia sudah tidak tahan lagi. Keinginannya telah begitu besar untuk bisa memiliki Jessie. Alfin sudah mencoba mencari perempuan yang lain. Perempuan yang baik, perempuan yang ceria, perempuan yang cerdas dan tangkas, perempuan yang mampu menjalankan perusahaan dengan baik, bertanggung jawab dan memiliki etos kerja yang tinggi namun juga lembut dan penuh kasih sayang.Perempuan itu ada. Bahkan yang jauh lebih baik dari Jessie juga banyak. Tapi tak ada satu pun yang kl
John Burgundy menahan diri. Rahangnya mengeras. Si Gembel benar-benar mengerjainya. Gadis itu memanfaatkan keadaan dengan baik. Jangan-jangan Om Wisman hari ini datang juga karena aduan Jessie?“Hmm… ya, rasanya enak. Tentu saja,” jawab John. “Itu mengapa menu itu menjadi nomor satu di Flowery-Rose Ice Cream Resto yang sebentar lagi akan Kak Jessie manajeri.”“Hmmm… ya, ya, ya,” tanggap Jessie dengan manggut-mangut. Di dalam hatinya ia menahan geli. John Burgundy mengubah sikapnya hampir 100%. Terbersit rasa heran di dalam hatinya Jessie. Mengapa laki-laki itu seperti begitu menaruh hormat pada Om Wisman.“Kok, tidak dicoba Om es krimnya?” tanya John.“Oh?” Om Wisman yang mengikuti percakapan itu seperti tersadar. “Oh, ya, ya, ya. Aku sedang mengikuti perbicangan kalian berdua. Menarik sekali. Sepertinya Jessie mendapat banyak ilmu yang bermanfaat dari John, ya.”Om Wisman mencoba es krim rekomendasi John.John mendelik ke arah Jessie.