“Aku akan mengurus Bang, please jangan bilang sama mama dulu. Aku menerima pernikahan ini dan aku juga yang akan menyelesaikannya.” Yudith berkata pelan pada Galuh yang berdiri di ambang pintu ruang kamar rawat Rajendra. Setelah menjalani sepuluh hari perawatan di rumah sakit, Rajendra diperbolehkan pulang. Mama dan ibu mereka begitu marah dan terus bertanya apakah pelaku sudah ditangkap atau belum. Rajendra mengatakan jika ia sudah melaporkan dan sedang di cari. Di hari kepulangan, Galuh ikut datang karena diminta mama Yudith membantu Rajendra. “Iya iya ... kamu memang sudah dewasa.” Galuh mengacak rambut Yudith di bawah tatap Rajendra yang sedari tadi memperhatikan mereka. “Kamu harus langsung bilang aku kalau kupret itu bertingkah, ok?” Galuh mengatakannya berbisik, namun Rajendra masih dapat mendengar dengan jelas. Yudith mencubit lengan sepupunya yang tertawa akan ucapannya. Mereka pulang dengan diantar
“Ibu telepon aku kenapa aku enggak ikut kamu ke rumah, kamu ke tempat ibu?” berondong Yudith saat Rajendra sampai rumah pukul tujuh malam. “Iya tadi balik dari kantor, hanya sebentar karena ibu bilang sedang pusing. Aku pikir kamu lembur lagi,” jawab Rajendra. “Ibu sakit?” Yudith menegakkan punggungnya yang sedang menikmati potongan buah di ruang TV. “Hanya pusing saja, pas aku datang sudah baik. Ini dibawakan lauk sama ibu.” Rajendra meletakan rantang susun di hadapan Yudith. “Syukurlah, kamu sudah makan di tempat ibu kan? aku sudah makan di luar.” Yudith membawa rantang lauk dari ibu mertuanya ke dapur. “Aku belum makan, biarkan saja di sana nanti aku akan makan setelah mandi.” Rajendra berlalu menuju kamarnya. Yudith menghubungi ibu Rajendra saat suami membersihkan diri, bertanya keadaannya dan mengatakan jika esok akan ke rumah. Namun ibu mertuanya justru mengatakan nanti
“Serangan jantung, Ma.” Yudith mengatakan pada mamanya yang datang menjenguk sang besan. “Ya Tuhan .... “ Yudith dan suami membawa ibu ke rumah sakit begitu jatuh pingsan usai menganiaya anaknya sendiri. Rajendra masih terpekur di samping ranjang ibunya yang belum sadarkan diri setelah berada lima jam di ruang ICU. Selama itu juga anak dan menantunya hanya berdiam diri dengan penuh rasa penyesalan. Mama Yudith membelai punggung dan bahu Rajendra yang masih duduk terpekur di kursi memegangi telapak tangan dingin ibunya. Mereka semua diliputi kesedihan mendalam, sedangkan Rajendra selain merasa sangat sedih, ia juga sangat marah dengan Clara yang melanggar kesepakatan untuk tidak menemui ibunya sebelum masalahnya dengan Yudith selesai. “Bagaimana ini?” lirih Yudith.Rajendra menyugar rambutnya. “Aku akan memikirkan secepatnya, setelah ibu sadar ya. Aku sekarang enggak bisa berpikir.” Yudith meng
Yudith ditarik sang mama pulang setelah mengabaikan permohonan maaf dari menantunya. Tanpa berpamitan pada besan yang selama ini amat ia hormati karena kebaikannya. Rajendra masih terpekur di lantai sepeninggal istri dan mertuanya. Ia terperanjat saat mendengar suara mesin berdering kuat, ibunya kolaps. “Kembali ke rumah hari ini juga. Mama akan temani ambil semua pakaian kamu. Bawa saja pakaian, lainnya tidak perlu,” tegas mama. “Hanya sedikit yang di rumah itu, selebihnya di apartemen abang.” Yudith menjawab dengan tangan di kemudi, mereka berada di jalan menuju rumah Yudith. Mama kaget dengan penuturan Yudith, menoleh dan kembali bertanya melalui tatap matanya. “Galuh tahu?” tanya mama. Yudith menggigit kuat bibir bawahnya, ia kelepasan bicara dan otomatis tidak mungkin berbohong. Yudith mengangguk pelan melirik sang mama yang menghela nafas panjang dengan menutup mata. Yudith hanya terdi
“Mama ikut, yakin? Mama masih lemah.” Yudith bertanya cemas setelah ia memberitahukan mamanya bahwa ibu Rajendra meninggal dunia, ia akan ke pemakaman sementara mama akan dijaga Galuh. “Tidak mungkin Mama enggak ke sana, beliau besan Mama. Terlepas dari apa pun itu, Mama akan pakai kursi roda karena masih lemas. Galuh kamu cepat izinkan ke dokter,” titah mama tidak ingin dibantah. Maka di sinilah Yudith, mama dan Galuh, di pemakaman ibu Rajendra dengan mama duduk di kursi roda serta masih mengenakan infus. Rajendra masih jongkok menundukkan kepala dengan celana, lengan baju yang kotor dengan tanah usai memakamkan ibunya. Tidak ada tangisan atau air mata, Rajendra hanya menunduk diam di samping pusara ibunya. Yudith di sampingnya juga diam, setelah pembacaan doa selesai, satu persatu pengantar jenazah pulang. Menyisakan mereka berempat, dan masih tidak ada percakapan sama sekali. “Mama ... lebih baik kembali ke rumah sakit,
“Tunggu 40 hari,” jawab Yudith. Rajendra menoleh kaget mendengar jawaban Yudith setelah ia mengatakan apa pesan terakhir dari almarhum ibunya untuk Yudith dan untuk dirinya tanpa ia kurangi atau ia tambah. “Tunggu sampai 40 hari setelah almarhum ibu adakan selamatan terakhir. Aku akan penuhi permintaan ibu,” tambah Yudith. “Kenapa harus tunggu 40 hari? bukankah kamu sangat ingin dipercepat?” tanya Rajendra. “Iya, jika bisa hari ini juga akan aku lakukan hari ini. Tapi sangat tidak etis memenuhi permintaan almarhum ibu bahkan saat tanah makamnya masih basah. Kamu tidak perlu berpikir kenapa aku menunda, aku enggak menunda, tapi aku sungguh-sungguh menyayangi ibu seperti mama aku sendiri. Ibu menyayangi aku juga terlepas bagaimana rupa kamu sama aku, aku akan menjadi menantunya sampai beliau 40 hari ke depan. Dan kamu tinggal menyetujuinya saat nanti panggilan dari pengadilan agama. Aku yang mengajukan gugata
“Aku memaafkan kamu ... memang sedari awal aku menyetujui juga. Aku ingin tutup buku mengenai semua yang terjadi kemarin, kamu tentu tahu bukan hal mudah melupakannya. Jadi mari kita lanjutkan hidup kita masing-masing.” Yudith memandang wajah suram mantan suaminya. Rajendra mengangguk, ia tentu saja tidak dapat memberikan bantahan mengenai hal itu. Ia sudah sangat tertampar dengan kepergian ibu tercintanya yang hanya ia miliki. Penyesalannya tiada dapat diceritakan dengan perkataan apa pun jua. Yudith menolak jabat tangan Rajendra dengan memberikan anggukan kecil sebelum meninggalkan tempat bicara mereka. Yudith tidak ingin memberikan sedikit saja celah mengasihani sosok Rajendra. Ia mungkin pernah salah paham dengan perasaannya sendiri, namun kini ia menegaskan bahwa itu hanyalah perasaan semunya.** “Yudith ... bagaimana kamu membawa ini ke depan saya?” Desah kecewa terlepas dari seorang paruh baya yang duduk berhadapan de
“Minum dulu, Dek.” Galuh memberikan botol air mineral dingin yang sudah ia buka tutupnya pada Yudith yang telentang di sofa tanpa blazer dan tanpa heels. Kedua barang tersebut yang biasanya melekat rapi pada badan Yudith, kini teronggok di lantai sembarangan. “Tarik nafas ... tarik nafas dulu yang panjang .... “ Satu kantor langsung tahu saat Yudith yang biasanya tegas berwibawa sampai mengamuk sedemikian besar. Alasannya hanya satu, saat ia tengah menginterogasi empat mata dengan Carlos, ia menerima pesan singkat dari asisten Mr Brahma yang mengatakan akan mengkaji ulang kerja sama mereka. Arti dari mengkaji ulang bagi pebisnis kelas kakap seperti Mr Brahma adalah hampir 80% Yudith yakin batal, gagal total. Dan ia sedari awal mengendus kebohongan Carlos yang menjelaskan bagaimana ia meletakan dokumen dengan map sama di mejanya. “Mr Brahma bilang akan mengkaji ulang kerja sama kita, Abang. You know i mean ar
“Ada acara dansanya,” bisik Rajendra usai menemui pemilik acara dan mengucapkan selamat, mereka duduk di salah satu kursi tamu-tamu. “Oh ya?” tanya Yudith.Rajendra mengangguk. “Mau turun nanti?” Yudith memicingkan mata dengan mengulum senyum, mengendus maksud tersembunyi laki-laki di sebelahnya. “Aku enggak mau terjadi tragedi gaun atau kaki terinjak dan jatuh di atas pasir.” Yudith menjawab dengan masih menahan senyum pada bibir merahnya.Rajendra berdecap. “Kamu pikir aku seamatir itu? jadi mau ya, indah sekali sunsetnya pasti romantis deh. Ini semacam acara pernikahan dari pada acara peresmian perusahaan ekspor.” “Antimainstream pemiliknya,” jawab Yudith lugas. “Rajendra .... “ “Iya.” Rajendra menoleh ke arah wanitanya ketika mendengar panggilan. “Aku yang enggak bisa dance,” kekeh Yudith. Rajendra meraih tangan Yudith, menggenggam lembut
“Besok kita belanja saja kebutuhan mandi kamu, menumpang mandi kok setiap hari. Harum badan kamu jadi kaya aku karena pakai sabun aku.” Yudith membawa hair dryer karena melihat rambut basah dengan harum sampo miliknya yang dipakai Rajendra. Rajendra melepas tawa, pindah duduk ke bawah sofa bersandar kaki sofa. Membiarkan rambutnya dikeringkan oleh Yudith yang duduk di sofa. “Aku seperti cium diri sendiri,” canda Yudith. “Sabun sampo kamu enak segar harumnya, jadi enggak masalah aku wangi sabun kamu. Besok pulang kerja saja ya beli sabunnya, eh tapi besok aku ada tender di Senopati pasti sampai malam. Kamu belikan saja bagaimana?” Rajendra memejamkan mata saat bisingnya hair dryer menyeruak di antara mereka. “Mana uangnya?” tanya Yudith iseng. Rajendra membalikkan badan, kembali memejamkan mata dengan melingkarkan kedua lengan pada kaki Yudith sementara sang wanita mengeringkan rambut depann
“Yudith ... sudah jam satu, aku pulang ya.” Rajendra membelai kepala Yudith dalam pelukan, keduanya meringkuk dalam kamar sang wanita yang sudah berubah warna menjadi coklat muda. Yudith tidak menjawab namun mengeratkan pelukannya, berhimpitan meringkuk di balik selimut tebal. “Besok Subuh saja pulangnya,” lirih Yudith. “Boleh memangnya menginap di sini?” Pertanyaan Rajendra dijawab anggukan dengan mata terpejamnya. “Nanti digerebek enggak? aku takut dipenggal Galuh,” tukas Rajendra. “Enggak akan, diamlah ... aku mengantuk.” Yudith menggesekkan hidung pada dada bidang Rajendra. “Baiklah ... mari tidur, benar-benar tidur.” Rajendra daratkan kecupan pada kepala Yudith sebelum turut memejamkan matanya. Yudith terlelap dengan cepat, setelah beberapa hari ia mengalami kesulitan tidur, malam ini ia benar-benar pulas bahkan tidak terbangun sekalipun hingga pagi tiba
“Berhenti melihat aku begitu, Sayang. Nanti kamu menyesal,” kekeh Rajendra.Yudith melepas tawa kecil. “Ok ... aku memilih mengizinkan kamu memanggil sayang dari pada aku nanti menyesal.” “Kenapa sih enggak mau sekali dipanggil sayang? maunya apa memang? baby? Honey? Sweety?” tanya Rajendra. “Entahlah enggak ada alasan spesifik.” Yudith menaikkan kedua bahunya acuh. “Teringat aku memanggil wanita lain ya?” terka Rajendra. Yudith menarik kedua sudut bibirnya samar, namun dapat tertangkap indra mata Rajendra dari balik kemudi. “Ya sudah aku panggil Yudith saja biar kamu enggak ingat-ingat lagi.“ Rajendra memanjangkan tangannya membelai pipi kanan Yudith dengan punggung tangannya. Yudith menahan tangan hangat tersebut, mengaitkannya sesaat sebelum ia tepuk punggung tangan Rajendra dua kali. “Ke rumah?” Tawaran Yudith yang sangat amat jarang terlepas dari bibirny
“Masa iya Bu Yudith mau ya sama laki-laki doyan sama banyak wanita begitu? cantikan juga ibu Yudith, sudah pasti kaya tujuh turunan juga.” Ucap seorang wanita berpakaian rapi dengan sepatu merah pada sudut lobi kantor. “Mungkin sudah cinta mati? Atau jangan-jangan bu Yudith kena guna-guna?” timpal wanita lainnya di depan si sepatu merah. “Ah jaman seperti sekarang masih ada guna-guna? Enggak mempan ah, apa mungkin alasan mereka dulu bercerai karena suaminya banyak wanita lain ya? tapi kalau iya, masa mau diulang sama laki-laki seperti itu?” jawab wanita sepatu merah. Yudith berdehem sekali, kedua wanita di sana langsung menoleh ke belakang punggung mereka. Mata mereka melebar sempurna dan keduanya langsung menganggukkan kepala dengan wajah pucat pasi melihat wajah dingin atasan yang mereka gunjingkan sedari tadi. “Eh selamat siang Ibu Yudith,” sapa si sepatu merah terbata-bata. “Kalian suda
“Dek ikut aku.” Galuh menarik tangan Yudith saat berpapasan di depan resepsionis untuk segera menaiki lift khusus pemilik perusahaan. “Ada apa astaga pelan-pelan Abang, sepatu aku hari ini tujuh senti,” gerundel Yudith. Galuh tetap menarik Yudith hingga pintu lift tertutup, membuka ponselnya dan memperlihatkan sebuah gambar pada sang adik sepupu. Mata Yudith melebar saat melihat sebuah foto. Foto Rajendra tengah berbaring dengan badan atas tanpa pakaian dan selimut hanya menutupi sampai pinggang. Bukan perkara tidurnya yang menjadi masalah melainkan siapa wanita di samping Rajendra, Clara. Bukan hanya satu foto itu, melainkan ada satu lagi foto lainnya. Posisi duduk namun Rajendra tengah memeluk leher wanita di sampingnya dengan pipi di cium, Reina. “Kok bisa ada foto itu di hp Abang?” desah Yudith. “Ini dari grup kantor, Dek,” geram Galuh. “Hah? bagaimana? grup kantor yang mana? siapa yang
“Maksud kamu?” tergagap Reina bertanya dengan posisi sudah berdiri tegak di balik gaun membalut lekuk tubuhnya. “Bukankah kalian sudah bercerai? Tidak mungkin informan aku salah memberikan laporan.” Reina masih menyerukan ketidakpercayaannya. “Benar kok, informan kamu enggak salah kasih informasi. Hanya kurang lengkap saja yang dia cari tahu. Saya menemui kamu untuk bilang satu hal, kamu dan saya tidak ada hubungan apa pun lagi sejak bertahun silam. Jadi saya tegaskan jangan melakukan kebodohan berulang. Kami akan segera menikah, kamu salah memilih lawah jika masih mengusik Yudith.” Rajendra berkata dengan tatap tertuju pada wanita berambut panjang tergerai indah. “Kamu hanya bercanda seperti tahun-tahun lalu, right? Aku sangat mengenal kamu, Rajendra. Kamu hanya sedang bermain-main saja seperti sebelumnya.” Reina bersikukuh bahwa apa yang ia lihat bukanlah kebenaran.Yudith menghela nafas panjang. “Kamu selesaikan saja s
Yudith menunjukkan layar ponsel Rajendra kepada pemiliknya, sang pemilik mengerutkan kening membaca deretan pesan di sana. “Aku enggak tahu dia dapat nomor aku dari mana, blokir saja sudah.” Rajendra mengambil ponsel dari tangan Yudith akan tetapi Yudith mengelak justru meminta Rajendra membuka ponselnya. “Paswordnya tanggal lahir kamu. Balas apa saja terserah kamu,” tukas Rajendra tidak ingin repot-repot membalas sendiri. “Kamu enggak ada keinginan bilang sama dia? jelaskan sampai dia berhenti?” tanya Yudith lengkap dengan senyum tipis.Rajendra membalas tatap Yudith sesaat. “Sini, aku telepon balik.” Yudith berdiri di hadapan Rajendra dengan tatap tenang namun dalam, menunggu apa yang hendak laki-lakinya ucapan pada perempuan kegenitan bernama Reina. “Hallo Rei ... kabar baik, dapat nomor dari mana? oh ... bertemu? Boleh, besok siang ya di PIK jam makan siang. Ok.” Rajendra memutuskan pan
“Aurora cantik .... aunty datang.” Yudith berseru lantang memasuki rumah Galuh di minggu pagi pukul sembilan. “Hai aunty, aku sedang sarapan.” Mama Aurora balas menyapa hangat penuh senyuman, duduk berhadapan dengan si cantik Aurora yang duduk di babychair mengenakan bib silikon dan mulut celemotan. Aurora berseru Aunty lengkap kaki dan tangannya bergerak-gerak semangat meminta diangkat dari kursi tingginya. Yudith melepas tawa, meletakan tentengan di meja makan depan keponakan dan mamanya untuk menunduk mencium pipi gembil Aurora sebelum duduk. “Nanti ya gendongnya, makan dulu sampai habis. Nanti kita main, Aurora sama mama sehat?” Yudith mendaratkan tempel pipi pada mama si cantik seraya bertanya. “Sehat Aunty, hanya Aurora sedang tumbuh gigi sekali dua. Jadi makannya agak susah. Mamanya juga sehat, Aunty sehat? kok enggak sama om Jendra?” Mama Aurora membiarkan Yudith mengambil alih menyuapi si kecil yang masih tidak sabar ingin bangun dari baby chair. “Oh ya? geraham?” Yudith