Jikalau kita melihat sebuah bangun ruang berbentuk kubus dengan mudah kita akan mengukur panjang rusuknya. Dari situ akan mudah pula menghitung volume 'isi/ruang' dari kubus tersebut.
Berbeda dengan sebongkah hati manusia. Bahkan panjangnya saja tak bisa kita kira, apalagi untuk mengetahui seberapa banyak 'isi' yang mampu ditampungnya.
Entah isi itu berupa rasa bahagia, sedih, benci maupun cinta. Kamu dapat mengetahui geometri sebuah bangun ruang namun tak dapat menerka geometri ruang hatimu. Ckckck. Sedih.
***
“Guys. Lihat arah jam sepuluh. Pak Ricky itu,”
“Mana mana?”
“Ugh... Ya Allah, ganteng banget,”
“ So cool. Ganteng pula,”
“Item manis, macho pokoknya,”
“Hooh, kayak Babang Rio Dewanto,”
“Muka dinginnya ya Allah, pengin rasanya aku lelehkan sama cintaku,”
“Semoga
“Lily Sayang. Cepat keluar, Nduk!” Lengkingan maut Mama mulai menyapa pagi hariku.“Iya, Mama. Kenapa sih? Masih jam setengah 6 juga. Lagian Lily masih dandan ini,” Sahutku sedikit kesal.“Cepetan! itu udah ditunggu,” Suara mama terdengar dari ambang pintu kamar.“Ditunggu Papa kan’? Kayak enggak biasa ditunggu Papa sarapan aja,”“Udah cepetan gih ke ruang tamu, jangan lama-lama!” Mama langsung pergi setelah menyuruhku ke ruang tamu.Heran. Kenapa wajah Mama tampak berseri seperti mendapat jatah bulanan lebih dari Papa. Aku pun segera mengakhiri aktivitas dandan dan segera menyambar tas punggung kesayangan.Niatnya mau berangkat pagi sekali biar tidak jadi dijemput. Semalaman aku tak bisa tidur nyenyak memikirkan apa yang dikatakan Ricky. Aku takut. Karena aku tahu dia itu sangat nekat orangnya.Sesampainya di ruang tamu, aku kaget. Shock. Kenapa orang yang bar
“Jadi bapak/ibu guru demikianlah manfaat bapak/ibu jika menabung atau mengajukan kredit bersama kami. Kami akan memberikan diskon sebanyak 9% untuk setiap peminjaman. Sekaligus souvenir cantik dari kami,” Demikian presentasi dari pegawai sebuah bank swasta terkenal yang ada di daerahku.Wow, speechless. Ini Mutia yang itu kan? Hohoho... Bagaimana caranya seorang lulusan pendidikan Matematika jadi pegawai bank? Kok aku jadi kepo ya? Tau ah. Pusing.Aku melirik melalui pantulan kaca yang bertengger di mejaku, cermin itu mengarah ke belakang. Kenapa dia? Bukannya harusnya senang, ceweknya dateng. Tapi lihat, mukanya tetap datar saja. Ckckck. Tak mau berlama-lama di ruangan dengan dua mantan, dimana yang satu mantan pacar dan yang satu lagi mantan pepacor 'perebut pacar orang'.Aku segera keluar ruangan menuju kantin. Lapar guys. Mumpung jam kosong, aku ke kantin bersama Resa dan Mbak Ning. Kami bertiga memutuskan memak
“Apa? Jadi kalian pernah pacaran? Kenapa kamu enggak bilang sama aku?” Resa mencecarku dengan berbagai pertanyaan.“Kenapa? Enggak penting juga!” jawabku ketus.Saat ini kami sedang berada di halaman belakang rumahku. Di area ini banyak ditumbuhi berbagai sayuran yang sengaja di tanam oleh Mama. Dan terdapat sebuah gazebo mungil tempat kami berkumpul dan bersenda gurau.“Aku enggak percaya. Bisa-bisanya kamu bersikap biasa aja kayak baru pertama ketemu. Dua bulan, Lily! Dua bulan dan kamu enggak cerita sama aku,” Ucap Resa sewot.“Bisa enggak sih jangan bahas mantan. Namanya mantan ya dibuang lah, kenapa harus disimpan? Enggak penting!” jawabku tak kalah sewot.“Tapi kenapa putus? Apa jangan-jangan karena Mutia ya sampai kalian putus? Ah, sayang banget. Eh ... tapi sekarang aku paham. Pantes setiap aku lihat Pak Ricky lagi natap kamu tuh ya, tatapannya itu dalem banget. Aku bisa lihat di dalamny
Aku senang ternyata janji Resa untuk tidak ember kemana-mana perihal hubunganku dengan Ricky, ia tepati. Jadi, hanya Resa, Mbak Ningsih dan Mas Tama saja yang tahu. Tapi justru sekarang aku harus menyiapkan mental dan hati menjadi bahan kejahilan bagi mereka bertiga.Seperti saat ini. Aku terpaksa duduk manis bersama Ricky menuju kawasan wisata Dieng, Wonosobo.Demi apa coba? Kenapa justru aku harus satu bus dengan pengantin baru. Awalnya aku duduk dengan Mbak Ning. Namun, ketika bus baru berjalan sekitar setengah jam, Mbak Ning ijin duduk bersama suami dengan alasan mau bobo manja di bahu suami.Sungguh, aku tak percaya dengan alasan itu. Kenapa aku merasa, mereka seperti berkomplot dibelakangku?Kegelapan menyelimuti sepanjang jalan. Dikarenakan kami berangkat pukul 01.00 pagi. Perjalanan menuju Dieng kurang lebih membutuhkan waktu tiga jam.Selama perjalanan, hanya keheningan yang tercipta. Aku ingin tidur ya Allah, tapi aku takut, kebiasaan jel
“Duh. Yang kemarin kemana-mana selalu berdua. Romantisnya,” ucap Resa dengan nada meledek.“Apa yang romantis? Orang rame-rame kok’,”“Lah ini apa coba?” Resa menunjukkan foto di HP-nya.Mataku membelalak. Ini kan’ foto saat Ricky menggenggam tanganku dan membawanya ke arah dadanya? Huhuhu. Wajahku merona. Ini siapa lagi yang jadi paparazi?“Kamu dapat dari siapa?” tanyaku.“Mbak Ningsih,” Senyum jahilnya masih nampak.“Ish. Kurang kerjaan Mbak Ning,”“Hahaha... Mukanya enggak usah merah kali Non,” Aku malas menanggapi omongan Resa. Saat ini kami sedang berada di perpustakaan. Ngadem. Mumpung sepi dan jam kosong bagi kami.“Itu kan’ Mutia?” celetuk Resa.Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Resa. Iya itu kan dia? Demi apa coba dia bolak balik kesini? Setahuku memang tidak ada seorang guru atau karyawan pun yang
“Angga, nanti jangan lupa bilang sama anak PMR buat menyiapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan regu pramuka selama kemah.”“Siap, Bu Lily,” sahut Angga.“Bu. Nanti Ibu ikut mendampingi kami kan? Bu Laras kayaknya enggak bisa dampingi regu putri?” tanya Melda salah satu regu putri pramuka.“Kita lihat nanti,” ucapku pendek.Aku pun berpamitan kepada regu pramuka setelah selesai mengecek persiapan perlengkapan pertolongan pertama yang dibutuhkan untuk acara pelantikan pramuka bagi kelas 10. Aku segera bergegas menuju parkiran motor. Rasanya hari ini aku lelah, ingin cepat sampai di rumah, mandi lalu rebahan.Sekolah nampak sepi karena sebagian besar siswa sudah pulang. Hingga saat aku akan menyalakan motorku, seseorang mengambil kuncinya dengan sengaja.“Apa-apaan sih, Pak? Tolong kunci saya. Saya ingin segera pulang!”“Kamu kenapa, Ly? Aku merasa seminggu ini kamu men
Aku meneteskan air mata sedangkan Lala sudah sesenggukan. Kami meratapi, jeerawat.Kami berdua sedang menonton drama Thailand berjudul Kluen Cheewit atau Waves of Life yang dibintangi aktor Print Suparat dan aktris Yaya Urrasaya.Adegan yang kami tonton adalah adegan dimana tokoh Jeerawat atau Jee ditampar oleh ibunya karena mau-maunya tidur bersama Sathit. Adegan ini menguras air mataku.Memang adegannya sedih banget dan disaat yang sama aku juga sedang sedih, jadi menonton drama beginian menjadi alibi untuk menangis. Aku sedang mengingat kejadian yang telah berlalu. Hal itulah yang menyebabkan aku menangis.Lamunanku buyar karena kedatangan Papa. Papa berdecak kemudian berkomentar.“Kenapa pada sesenggukan gitu?” Mama tiba-tiba ikut nimbrung.“Se-Sedih, Ma.” Lala masih sesenggukan.Mama ikut menonton bersama kami. Dan akhirnya tangisnya pun ikut pecah. Kami bertiga ini memang mudah sekali menangis. S
Sepuluh tahun yang lalu, saat itu usiaku masih 15 tahun. Aku baru saja pulang dari les di sekolah karena sebentar lagi ujian nasional. Ketika membuka pintu pagar, aku melihat sebuah mobil terparkir di samping mobil Papa. Mungkin teman Papa datang berkunjung.Aku pun memasuki rumah dengan mengucap salam. Mengulas sebuah senyuman dan menyapa semua orang, menyalami kedua orang tuaku dan pasangan suami istri yang berkunjung. Tak lupa seorang remaja yang masih berseragam SMA disana. Aku pun menyalaminya dan tersenyum padanya.DEG!Ada yang aneh dengan jantungku. Dia berdetak sangat keras terutama saat kulihat sang pemuda mengulas senyum hangatnya. Satu kata untuknya, tampan.“Kenalin, Jeng, anak pertamaku, Lily namanya,” Mama memperkenalkanku pada kedua tamunya.“Ly, ini temen Mama dan Papa. Om Hermawan, rekan seprofesi Papa. Cuma dinasnya di Ajibarang. Baru saja mutasi ke Wangon. Ini istrinya, Tante Rani dan ini anak bungsunya, Ricky,
Aku hanya bisa menahan kekesalanku. Demi Allah, ingin rasanya meluapkan segala amarahku tetapi aku memilih diam. Aku tak mau mempermalukan diriku sendiri. Cukup dia yang tidak tahu malu, bukan aku.Saat ini sedang diadakan reuni angkatan matematika beberapa angkatan. Mas Ricky tentu saja datang bahkan dialah ketuanya. Aku, ikut datang tentu saja. Selain karena di rumah aku tidak ada kegiatan apa-apa, aku juga rindu sama ketiga anakku.Ina sekarang menjadi dosen di almamaterku. Iya, dia jadi dosen kimia. Sementara adiknya Ana, kini sedang menempuh S2 matematika. Sementara Gamma, dia kuliah di Undip ambil teknik kimia. Eh, aku lupa bilang ya, kalau aku udah jadi nenek-nenek. Udah punya cucu cowok satu usianya kini tiga tahun. Meski udah beruban dan kerutan dimana-mana tetep gerakanku masih gesit. Makanya cucuku manggil aku neli alias nenek lincah."Dek. Kok gak makan?" Sebuah suara terdengar dan sedikit mengagetkanku."Males.""Eh, itu so
Aku baru saja memarkirkan motorku di halaman rumah. Kulirik jam tanganku, pukul lima lewat lima menit. Segera saja aku masuk ke dalam rumah.Aku mengedarkan pandang mata. Tumben sepi, ngomong-ngomong duo krucilku mana? Mungkin sedang jalan-jalan dengan Eyang Kakung dan Eyang Putrinya. Jadi, aku memutuskan ke kamar dan segera mandi.“Bunda,”Aku tersenyum menatap ke arah dua gadis cilik, mereka langsung berlari ke arahku. Si sulung sampai lebih dulu, adiknya pun menyusul.“Bunda, Ina kangen,” ucap si sulung yang kini berusia tujuh tahun.“Ana juga kangen, bunda,” ucap si nomer dua. Alkana Betania Mehrunissa adalah nama yang kami berikan untuk putri kedua kami yang kini berusia tiga tahun.“Bunda juga kangen sama kalian,” ucapku dan memeluk keduanya.Kami bertiga masih berpelukan seperti Telletubies. Pelukan kami terhenti karena suara salam dari satu-satunya lelaki dalam keluarga ini.
POV LilyTiga bulan sudah aku berstatus menjadi seorang istri dari Alfaricky Ramadhan. Alhamdulillah aku bahagia. Walaupun masalah rumah tangga selalu ada, tapi sampai saat ini kami masih bisa melewatinya.Kami dalam perjalanan ke Purwokerto, mau memeriksakan diri ke dokter. Seminggu ini Mas Ricky mengalami gejala mual-mual parah setiap pagi. Tak ada sesendok nasi pun yang bisa masuk. Kalau dipaksa pasti muntah. Bahkan bubur ayam yang biasanya menjadi sarapan favoritnya ditolak mentah-mentah.Akhirnya kami memaksanya ke dokter. Saat di bawa ke dokter yang praktek di Jatilawang, beliau malah menyarankan aku untuk diperiksa. Bahkan memberikan rujukan dokter siapa saja yang bisa aku hubungi. Karena menurut dugaan dokter Anwar, suamiku terkena gejala 'ngidam' alias aku hamil.Setelah itu, aku langsung memborong 5 testpeck dan paginya kucoba semua dan hasilnya dua garis semua. Alhamdulilah. Karena itulah hari ini kami dalam perjalanan ke dokter k
POV RickyDini hari aku terbangun. Kurasakan seseorang berada dalam dekapanku. Istri tercinta sekaligus cinta pertamaku. Seorang gadis istimewa yang membuatku jatuh cinta sampai gagal move on.Pikiranku berkelana ke masa lalu. Bagaimana pertemuan pertama kami, hingga kami bisa pacaran lalu akhirnya putus. Semua masih terekam jelas dalam memori ingatan.Kuingat hari-hari setelah putus dengannya adalah hari terberat bagiku. Salahku juga, kenapa aku lebih perhatian pada Mutia daripada pacarku sendiri. Ini semua karena permintaan Tante Fania. Seorang janda yang rumahnya masih satu kompleks dengan rumahku. Hanya karena rasa simpati yang berlebihan justru jadi bumerang untukku.Mutia sangat gencar menemuiku dan memintaku jadi pacarnya setelah aku putus dari Lily. Bahkan beberapa kali memohon sambil berurai air mata. Aku menolak dengan tegas bahkan menjauhinya. Apalagi setelah mengetahui sifat asli dari Tante Fani
Aku menggeliat mencoba membuka mata. Merasakan ada seseorang yang menyentuhkan tangannya pada pipiku.“Bangun, Sayang.”“Hem,” Aku menatap suamiku yang masih bertelanjang dada. Ya Tuhan nikmat-Mu sungguh luar biasa.“Bangun. Tuh denger suara ngaji di masjid sudah kedengaran. Bentar lagi subuh. Ayok mandi junub!” Dia membangunkanku sambil memainkan hidung mancungnya pada ujung hidungku. Geli sekali.Akhirnya aku bangun dan mencoba duduk, sedikit meringis. Kemudian menatap sekeliling kamar. Berantakan sekali, baju yang semalam kami pakai berantakan di lantai, kertas tissu yang menumpuk di tempat sampah bahkan ada sedikit yang bernoda merah, belum lagi rambutku yang awut-awutan. Ah, malu sekali.“Kenapa hem? Masih sakit?”Aku hanya menggeleng.“Mandi yuk! Mau bareng apa mau sendiri-sendiri?” tanyanya dengan seringai menggoda.“Sendiri aja, Mas.”“
Aku menghembuskan nafas lelah. Hari ini capek sekali. Tamu yang datang benar-benar tak ada henti-hentinya.Selepas ashar, banyak teman SD, SMP dan SMA-ku yang datang. Termasuk Fida dengan membawa gandengan baru. Syok aku dibuatnya. Waktu itu dia datang ke rumah dan curhat kalau mau pisah dengan suaminya, padahal mereka sudah punya anak berusia 2 tahun. Alasannya karena tidak ada kecocokan.Selepas isya, kami pun masih kedatangan tamu. Sekarang malah kebanyakan tamunya Mas Ricky. Ada salah satu tamunya yang sangat ganteng. Sama gantengnya dengan suamiku. Bedanya kalau suamiku kulitnya eksotis tapi kelihatan macho, kalau yang ini putih bersih kaya Lee Min Ho, ahohoho.“Bukan muhrim. Enggak usah kayak gitu mandangnya!” Pak suami mulai cemburu.“Habisnya dia ganteng, Mas. Kayak Lee min Ho,” bisikku.Dia menatapku tajam. Aku meringis. Aduh salah ngomong nih.“Oh ya, Ky. Aku rencana mau balik juga ke kampung,” k
Suara berisik di dapur rumah menandakan penghuninya sedang sibuk. Ya, hari ini keadaan di rumahku sibuk sekali. Semua orang nampaknya begitu sibuk.Mama sibuk memberikan instruksi sedangkan Papa menyambut tamu. Bahkan Lala pun sibuk. Iya, sibuk selfi dan pasang segala aktivitas di rumah ke akun sosmednya.Lalu aku? Aku sedang duduk cantik menikmati elusan terampil si ahli henna pada kedua telapak tangan. Ya, besok aku akan menikah. Akhirnya jodohku fixed ketemu di usiaku yang genap ke-26 sebulan yang lalu.Ternyata jodoh memang seunik itu. Aku dan Mas Ricky. Uhuk... Setelah kejadian di pantai beberapa bulan yang lalu dimana tanpa sadar aku memanggilnya 'Mas' jadinya keterusan hingga sekarang.Kalau diingat-ingat konyol sekali. Aku mengenalnya saat usia 15 tahun, pacaran diusia 17 tahun lalu putus setelah 3 tahun pacaran gara-gara kesalah pahaman yang disengaja. Iya disengaja oleh Mutia. Sebel aku kalau ingat sama dia. T
“Uh, seger banget anginnya ya, Ly?”“Heem,” ucapku sambil sesekali mencium pipinya gemas.“Wah, kamu kayaknya seneng banget, Ly? pakai acara cium-cium juga,”“Hehe, habis dianya lucu. Pipinya gembul lagi,”“Ya iyalah, anak aku gitu. Ya kan, Aurora?” Resa mencubit gemas putrinya yang sudah berusia delapan bulan.Saat ini kami sedang menikmati semilir angin di Jetis. Pulang sekolah, aku langsung menuju ke Jetis. Sebelumnya aku ke rumah Resa untuk meminjam bajunya. Malas soalnya kalau harus pakai seragam keki ke pantai.“Noh, lihat,” bisik Resa.“Apa?” Aku pun ikut berbisik.“Ada orang yang kesel rupanya. Kayak pengin nyemprot orang,”“Iya. Kamu yang bakalan disemprot,” Kami terkikik.Aku sesekali melirik Ricky yang memilih duduk sangat jauh dari kami berdua. Jangan lupakan muka kesalnya. Ya. Akhi
Saat ini aku sedang berkutat di dapur, mencoba membersihkan cumi-cumi dari tintanya. Setiap libur, aku sering bereksperimen. Mencoba memasak hal yang aneh-aneh dan agak rumit. Minggu kemarin aku mencoba memasak rica-rica ayam, kali ini aku mencoba memasak cumi saus tiram. Mama sudah tahu kebiasaanku ini.“Nah, gitu. Wanita mau punya jabatan apapun tetep harus bisa masak. Biar suaminya betah,” Mama selalu ngomong begitu, tapi tidak berlaku untuk Lala, karena itu anak selalu punya argumen.Sambil memasak, aku berdendang lagu Caka milik Novi Ayla. Oh, jangan lupakan gerakan seluruh badan, goyang sana-goyang sini. Aseeekkkk. Mama sering menegurku. Katanya ora ilok atau pamali masak sambil nyanyi tapi tak kugubris.Aku pun mematikan kompor setelah yakin rasa masakanku sudah pas, sip. Tinggal eksekusi dan minta saran dari sang koki utama yaitu Mama. Aku pun memasukkan hasil masakanku ke dalam mangkok, berbalik badan dan tara ....