"Ini cucu menantu saya yang kedua, istrinya Bagas." Eyang kakung mengenalkan Nawang.
"Loh Bagas yang anaknya Bagus tho mas. Wah cantik." Puji Eyang Sundari sepupu Eyang kakung. Pembawaannya kalem dan ningrat sekali.
"Kamu sudah isi Nduk?" tanyanya.
"Minta doanya Eyang?"
"Berapa lama nikahnya?"
"Sepuluh bulan."
"Kamu yakin Nduk, lagi gak isi ini?"
"Maksud Eyang?"
"Ini perutmu kok beda? Yakin belum isi?"
"Eh. Itu?" Nawang mengingat-ingat kalau dua bulan ini dia sudah tidak menstruasi.
Mata Nawang melotot, mungkinkah?
Dia memandang kepada Eyang kakung dan Eyang Sundari."Kita telepon Bu Titik bidan desa."
Eyang kakung meminta Maman memanggil Bidan Titik. Dan setelah memeriksa Nawang, Bidan Titik keluar dengan wajah semringah. Selamat Juragan Binawan, cucunya hamil perki
"Aduh!" pekik Nawang. Dia terpeleset dan kedua kakinya seperti akan split namun Nawang reflek menekankan kedua tangannya menyentuh lantai. Sehingga tubrukan antara pantatnya dan lantai bisa dihindari."Ya Allah Den? Den Nawang gak papa. Maafin Juminten ya Den."Bagas segera keluar dari kamarnya mendengar teriakan Nawang."Kenapa?" tanyanya khawatir.Juminten ketakutan melihat ekspresi Bagas. Bagas melihat lantai yang basah habis di pel."Bukannya kamu sudah ngepel? Kenapa ngepel lagi?" tanya Bagas dingin."I-ini tadi kotor. Den Seruni menjatuhkan makanan buat Den Bisma." Juminten berkata sambil menunduk takut."Mas." Nawang berusaha meredakan amarah Bagas sambil mengelus-elus punggungnya."Ada apa ini?" tanya Eyang putri dingin."Gak papa Eyang," sahut Nawang.Bagas hanya diam saja tapi matanya menatap marah pada Juminten dan Seruni yang baru saja datang bersama yang lain. Rupanya teriakan Nawang terdengar sampai
Bestari mengintip ke dalam ruang ICU, dimana Bagas tengah tak sadarkan diri. Air mata mengucur deras dari matanya. Bestari memasuki ruangan setelah menggunakan pakaian khusus. Dibelainya wajah sang cucu dengan sayang. Bestari menggigil ketakutan mengingat kejadian 30 tahun yang lalu. Dimana seseorang dengan wajah yang mirip dengan Bagas terbujur kaku dan tak bernyawa."Hei. Kamu mau tidur terus? Apa kamu tidak takut aku atau orang lain akan mencelakakan anak istrimu lagi? Ayo bangun karena aku tak akan tinggal diam saja," ucap Bestari lirih ditelinga sang cucu yang tak sadarkan diri.Setelah mengucapkan hal demikian, Bestari keluar dari ruangan Bagas.1 menit2 menit3 menit4 menit5 menitKemudian jari Bagas bergerak, tiba-tiba napasnya seperti sesak. Suster yang berjaga segera mendekati Bagas dan menekan tombol untuk meminta pertolongan. Dokter segera melakukan tindakan penyelamatan.Tindakan memacu jantung dilakukan kare
"Masih sakit Mas?""Gak.""Beneran? Kok meringis begitu.""Gak papa. Anak kita gimana?""Dia baik. Kangen dia ditengokin sama ayahnya.""Yang kangen anaknya apa ibunya?""Hehehe.""Ish. Isteri mas sekarang ya?""Tapi suka kan?""Sukalah."Bagas memeluk tubuh sang istri penuh sayang. Sudah satu minggu Bagas dirawat setelah bangun dari koma. Hari ini niatnya Bagas akan pulang, tergantung bagaimana diagnosa dari dokter setelah visit nanti siang."Mas kangen kamu. Kamu tahu gak sih!""Lah ini Nawang di sini."Seruni memasuki kamar rawat Bagas bersama Bowo. Tentu saja Seruni melihat bagaimana mesranya Bagas dan Nawang. Sungguh menyebalkan dan membuat iri saja."Mas," panggil Bowo."Eh Wo. Baru datang," ucap Bagas tanpa melepas pelukan tangannya pada bahu Nawang. Mereka tengah duduk di atas ranjang pasien."Iya Mas. Ini aku sama Mbak Seruni."Nawang menatap Seruni dengan
"Kami sudah menangkap teman tersangka Pak.""Baik, dimana dia?""Mari saya antar."Genta mengikuti anak buahnya dan menemui rekan Santoso."Kamu Dianto, 'kan?""Iya benar.""Kamu tahu siapa yang menyuruh Santoso untuk mencelakai saudara Bagas.""Tidak. Orang itu hanya menelepon kemudian mengantarkan uangnya di tempat yang sudah dia tentukan.""Benarkah?""Dia laki-laki atau perempuan.""Yang menelepon suara perempuan.""Hem ... Dari suaranya kira-kira usiannya masih muda atau sudah tua?""Suaranya melengking.""Melengking. Baiklah."Genta berpikir, suara melengking dalam keluarga Bagas hanya dimiliki oleh ... Ya Ampun. Mungkinkah?****"Kamu kenapa, Wo?""Gak papa, Bu. Bowo cuma kecapean."
Duka menyelimuti keluarga Atmaja. Terutama bagi Binawan dan Bestari. Tampak sekali kesedihan pada raut muka keduanya. Mereka tak menyangka nasib cucunya begitu menyedihkan, mati ditangan ibunya sendiri, Betty."Bagaimana bisa, Betty membunuh darah dagingnya sendiri?" lirih Bestari."Kamu bisa tanyakan nanti padanya," ucap Binawan sambil menghembuskan napas.Bisik-bisik para tetangga dan keluarga mengiringi upacara pemakaman Bowo. Bahkan suara mereka sungguh terlalu keras. Seruni tidak ikut mengantar Bowo ke liang lahat karena harus dirawat setelah mendapatkan banyak luka fisik dari Betty. Betty sendiri tengah diinterogasi di kantor polisi.Bagas menatap gundukan tanah yang terdapat nisan bertuliskan Prabowo Putra Atmaja. Dia masih duduk di atas kursi ditemani Budi dan Wanto. Sementara keluarga lain sudah kembali ke rumah. Nawang sendiri tidak ikut, karena dia sedang hamil. Kata orang tua, ibu hamil tidak boleh ikut ke acara pemakaman katanya takut kena 's
Bagas masih membanting apapun yang ada di dalam kamarnya. Sedangkan Nawang hanya bisa menangis sambil memegangi perutnya."Hiks ... hiks ... Mas Bagas. Hentikan. Nawang mohon ...," lirih Nawang."Kenapa mereka kejam Nawang, apa salah Ayah dan Ibuku. APA!"Prang ... Prang ..."Mas ... Aw ... Mas ...."Bagas menatap Nawang, tiba-tiba dia sadar ketika melihat perut Nawang yang mulai membuncit."Nawang ... kamu kenapa?"Bagas memutar roda dan mendekati sang istri. Bagas mengulurkan tangannya ke perut Nawang. Wajah Bagas pias. Dia baru sadar jika dia bertindak brutal dan labil."Naw ....""Ssssttt ... diam." Nawang mengarahkan tangan Bagas pada perut bagian bawah.Bagas terkesiap, Nawang sendiri tersenyum sumringah."Dia .... " Bagas tak mampu melanjutkan kata-katanya."Dia menendang Mas. Pertama kalinya menendang. Diusia kehamilan ke dua puluh empat minggu."Bagas menatap Nawang dengan
Kesibukan Bagas mengurusi pabrik dan perkebunan kian bertambah apalagi Bagas sudah mulai memasarkan hasil teh dari pabriknya sampai negeri tetangga seperti Malaysia, Singapura, China, dan Brunai. Budi sendiri masih sibuk mengurusi cafenya.Setelah bercerai dengan Seruni, Bisma memilih menenggelamkan dirinya pada kegiatan berlatih membatik. Hasil kerajinannya sedikit-sedikit dipasarkan dengan bantuan Bagas.Kehamilan Nawang sudah menginjak sembilan bulan. Tinggal menunggu sinyal dari buah hatinya yang diperkirakan berjenis kelamin laki-laki.Binawan tak bisa menyembunyikan bahagianya. Calon cicitnya adalah sumber kekuatannya untuk berjuang tetap hidup hingga melihatnya lahir ke dunia.Sementara kehidupan keluarga Atmaja mulai tenang. Tidak dengan Seruni. Ambisinya mendapatkan Bagas kian menggebu. Hampir setiap hari dia melakukan teror dengan selalu mengirim chat mesra kepada Bagas. Bagas sama sekali tak menggubrisnya. Bahkan setiap Seruni datang ke p
Bagas sedang mengamati beberapa sertifikat tanah hasil warisan sang Eyang. Bukannya senang tapi Bagas justru terlihat enggan.Sebuah sentuhan menyadarkannya bahwa di ruang itu ada Nawang."Mas kenapa?""Mas capek Dek.""Mau Nawang peluk?""Boleh."Bagas membaringkan diri dan menaruh kepalanya di pangkuan sang istri. Sengaja mukanya menghadap perut sang istri dan seperti biasa Bagas mengobrol dulu dengan jagoannya. Obrolan aneh yang akan membuat Nawang tertawa.Setelah mencium perut Nawang, Bagas mencoba memejamkan mata. Tak lupa tangannya melingkar di perut sang istri. Nawang membelai lembut rambut suaminya. Ia tak banyak bicara karena tahu Bagas sedang lelah dan butuh istirahat.Sementara itu, di salah satu bagian rumah, Budi sedang menatap marah hasil pembagian warisan dari Eyangnya."Ck. Kenapa Bowo harus dapat juga? Dia kan udah mati. Agghhhh ... sial. Mana mungkin aku ngambil bagian Mas Bisma sama Bagas. Pasti ketah
Aku hanya bisa menahan kekesalanku. Demi Allah, ingin rasanya meluapkan segala amarahku tetapi aku memilih diam. Aku tak mau mempermalukan diriku sendiri. Cukup dia yang tidak tahu malu, bukan aku.Saat ini sedang diadakan reuni angkatan matematika beberapa angkatan. Mas Ricky tentu saja datang bahkan dialah ketuanya. Aku, ikut datang tentu saja. Selain karena di rumah aku tidak ada kegiatan apa-apa, aku juga rindu sama ketiga anakku.Ina sekarang menjadi dosen di almamaterku. Iya, dia jadi dosen kimia. Sementara adiknya Ana, kini sedang menempuh S2 matematika. Sementara Gamma, dia kuliah di Undip ambil teknik kimia. Eh, aku lupa bilang ya, kalau aku udah jadi nenek-nenek. Udah punya cucu cowok satu usianya kini tiga tahun. Meski udah beruban dan kerutan dimana-mana tetep gerakanku masih gesit. Makanya cucuku manggil aku neli alias nenek lincah."Dek. Kok gak makan?" Sebuah suara terdengar dan sedikit mengagetkanku."Males.""Eh, itu so
Aku baru saja memarkirkan motorku di halaman rumah. Kulirik jam tanganku, pukul lima lewat lima menit. Segera saja aku masuk ke dalam rumah.Aku mengedarkan pandang mata. Tumben sepi, ngomong-ngomong duo krucilku mana? Mungkin sedang jalan-jalan dengan Eyang Kakung dan Eyang Putrinya. Jadi, aku memutuskan ke kamar dan segera mandi.“Bunda,”Aku tersenyum menatap ke arah dua gadis cilik, mereka langsung berlari ke arahku. Si sulung sampai lebih dulu, adiknya pun menyusul.“Bunda, Ina kangen,” ucap si sulung yang kini berusia tujuh tahun.“Ana juga kangen, bunda,” ucap si nomer dua. Alkana Betania Mehrunissa adalah nama yang kami berikan untuk putri kedua kami yang kini berusia tiga tahun.“Bunda juga kangen sama kalian,” ucapku dan memeluk keduanya.Kami bertiga masih berpelukan seperti Telletubies. Pelukan kami terhenti karena suara salam dari satu-satunya lelaki dalam keluarga ini.
POV LilyTiga bulan sudah aku berstatus menjadi seorang istri dari Alfaricky Ramadhan. Alhamdulillah aku bahagia. Walaupun masalah rumah tangga selalu ada, tapi sampai saat ini kami masih bisa melewatinya.Kami dalam perjalanan ke Purwokerto, mau memeriksakan diri ke dokter. Seminggu ini Mas Ricky mengalami gejala mual-mual parah setiap pagi. Tak ada sesendok nasi pun yang bisa masuk. Kalau dipaksa pasti muntah. Bahkan bubur ayam yang biasanya menjadi sarapan favoritnya ditolak mentah-mentah.Akhirnya kami memaksanya ke dokter. Saat di bawa ke dokter yang praktek di Jatilawang, beliau malah menyarankan aku untuk diperiksa. Bahkan memberikan rujukan dokter siapa saja yang bisa aku hubungi. Karena menurut dugaan dokter Anwar, suamiku terkena gejala 'ngidam' alias aku hamil.Setelah itu, aku langsung memborong 5 testpeck dan paginya kucoba semua dan hasilnya dua garis semua. Alhamdulilah. Karena itulah hari ini kami dalam perjalanan ke dokter k
POV RickyDini hari aku terbangun. Kurasakan seseorang berada dalam dekapanku. Istri tercinta sekaligus cinta pertamaku. Seorang gadis istimewa yang membuatku jatuh cinta sampai gagal move on.Pikiranku berkelana ke masa lalu. Bagaimana pertemuan pertama kami, hingga kami bisa pacaran lalu akhirnya putus. Semua masih terekam jelas dalam memori ingatan.Kuingat hari-hari setelah putus dengannya adalah hari terberat bagiku. Salahku juga, kenapa aku lebih perhatian pada Mutia daripada pacarku sendiri. Ini semua karena permintaan Tante Fania. Seorang janda yang rumahnya masih satu kompleks dengan rumahku. Hanya karena rasa simpati yang berlebihan justru jadi bumerang untukku.Mutia sangat gencar menemuiku dan memintaku jadi pacarnya setelah aku putus dari Lily. Bahkan beberapa kali memohon sambil berurai air mata. Aku menolak dengan tegas bahkan menjauhinya. Apalagi setelah mengetahui sifat asli dari Tante Fani
Aku menggeliat mencoba membuka mata. Merasakan ada seseorang yang menyentuhkan tangannya pada pipiku.“Bangun, Sayang.”“Hem,” Aku menatap suamiku yang masih bertelanjang dada. Ya Tuhan nikmat-Mu sungguh luar biasa.“Bangun. Tuh denger suara ngaji di masjid sudah kedengaran. Bentar lagi subuh. Ayok mandi junub!” Dia membangunkanku sambil memainkan hidung mancungnya pada ujung hidungku. Geli sekali.Akhirnya aku bangun dan mencoba duduk, sedikit meringis. Kemudian menatap sekeliling kamar. Berantakan sekali, baju yang semalam kami pakai berantakan di lantai, kertas tissu yang menumpuk di tempat sampah bahkan ada sedikit yang bernoda merah, belum lagi rambutku yang awut-awutan. Ah, malu sekali.“Kenapa hem? Masih sakit?”Aku hanya menggeleng.“Mandi yuk! Mau bareng apa mau sendiri-sendiri?” tanyanya dengan seringai menggoda.“Sendiri aja, Mas.”“
Aku menghembuskan nafas lelah. Hari ini capek sekali. Tamu yang datang benar-benar tak ada henti-hentinya.Selepas ashar, banyak teman SD, SMP dan SMA-ku yang datang. Termasuk Fida dengan membawa gandengan baru. Syok aku dibuatnya. Waktu itu dia datang ke rumah dan curhat kalau mau pisah dengan suaminya, padahal mereka sudah punya anak berusia 2 tahun. Alasannya karena tidak ada kecocokan.Selepas isya, kami pun masih kedatangan tamu. Sekarang malah kebanyakan tamunya Mas Ricky. Ada salah satu tamunya yang sangat ganteng. Sama gantengnya dengan suamiku. Bedanya kalau suamiku kulitnya eksotis tapi kelihatan macho, kalau yang ini putih bersih kaya Lee Min Ho, ahohoho.“Bukan muhrim. Enggak usah kayak gitu mandangnya!” Pak suami mulai cemburu.“Habisnya dia ganteng, Mas. Kayak Lee min Ho,” bisikku.Dia menatapku tajam. Aku meringis. Aduh salah ngomong nih.“Oh ya, Ky. Aku rencana mau balik juga ke kampung,” k
Suara berisik di dapur rumah menandakan penghuninya sedang sibuk. Ya, hari ini keadaan di rumahku sibuk sekali. Semua orang nampaknya begitu sibuk.Mama sibuk memberikan instruksi sedangkan Papa menyambut tamu. Bahkan Lala pun sibuk. Iya, sibuk selfi dan pasang segala aktivitas di rumah ke akun sosmednya.Lalu aku? Aku sedang duduk cantik menikmati elusan terampil si ahli henna pada kedua telapak tangan. Ya, besok aku akan menikah. Akhirnya jodohku fixed ketemu di usiaku yang genap ke-26 sebulan yang lalu.Ternyata jodoh memang seunik itu. Aku dan Mas Ricky. Uhuk... Setelah kejadian di pantai beberapa bulan yang lalu dimana tanpa sadar aku memanggilnya 'Mas' jadinya keterusan hingga sekarang.Kalau diingat-ingat konyol sekali. Aku mengenalnya saat usia 15 tahun, pacaran diusia 17 tahun lalu putus setelah 3 tahun pacaran gara-gara kesalah pahaman yang disengaja. Iya disengaja oleh Mutia. Sebel aku kalau ingat sama dia. T
“Uh, seger banget anginnya ya, Ly?”“Heem,” ucapku sambil sesekali mencium pipinya gemas.“Wah, kamu kayaknya seneng banget, Ly? pakai acara cium-cium juga,”“Hehe, habis dianya lucu. Pipinya gembul lagi,”“Ya iyalah, anak aku gitu. Ya kan, Aurora?” Resa mencubit gemas putrinya yang sudah berusia delapan bulan.Saat ini kami sedang menikmati semilir angin di Jetis. Pulang sekolah, aku langsung menuju ke Jetis. Sebelumnya aku ke rumah Resa untuk meminjam bajunya. Malas soalnya kalau harus pakai seragam keki ke pantai.“Noh, lihat,” bisik Resa.“Apa?” Aku pun ikut berbisik.“Ada orang yang kesel rupanya. Kayak pengin nyemprot orang,”“Iya. Kamu yang bakalan disemprot,” Kami terkikik.Aku sesekali melirik Ricky yang memilih duduk sangat jauh dari kami berdua. Jangan lupakan muka kesalnya. Ya. Akhi
Saat ini aku sedang berkutat di dapur, mencoba membersihkan cumi-cumi dari tintanya. Setiap libur, aku sering bereksperimen. Mencoba memasak hal yang aneh-aneh dan agak rumit. Minggu kemarin aku mencoba memasak rica-rica ayam, kali ini aku mencoba memasak cumi saus tiram. Mama sudah tahu kebiasaanku ini.“Nah, gitu. Wanita mau punya jabatan apapun tetep harus bisa masak. Biar suaminya betah,” Mama selalu ngomong begitu, tapi tidak berlaku untuk Lala, karena itu anak selalu punya argumen.Sambil memasak, aku berdendang lagu Caka milik Novi Ayla. Oh, jangan lupakan gerakan seluruh badan, goyang sana-goyang sini. Aseeekkkk. Mama sering menegurku. Katanya ora ilok atau pamali masak sambil nyanyi tapi tak kugubris.Aku pun mematikan kompor setelah yakin rasa masakanku sudah pas, sip. Tinggal eksekusi dan minta saran dari sang koki utama yaitu Mama. Aku pun memasukkan hasil masakanku ke dalam mangkok, berbalik badan dan tara ....