Siang harinya, Hakam sudah sedikit lebih hidup dibanding sebelumnya. Dia mau bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke halaman belakang rumah orang tuanya.Saat ini, Dharma yang melihat putranya duduk sendirian dibawah kursi kayu itu, berinisiatif datang mendekat."Apa yang kamu lakukan?" Tanyanya dan duduk tepat di sebelah Hakam.Hakam terkejut sesaat, kemudian menyesuaikan ekspresi wajah dah tersenyum. "Tidak ada. Anginnya terasa sejuk, siang ini tidak terlalu terik. Aku ingin berlama-lama disini.""Papa minta maaf," Dharma akhirnya berani mengatakan ini secara langsung. Dia meninggalkan ego dan gengsinya jauh di belakang. Yang dia inginkan hanyalah berdamai dengan sang putra dan menjadi orangtua bijak untuk semua anggota keluarganya.Hakam sendiri terkejut. Belum cukup dengan kalimat lembut yang dikatakan Dharma ketika dia baru bangun dari pingsan, kini permintaan maaf itu benar-benar keluar dari bibir lelaki yang seakan tidak pernah mengaku kalah. Ayahnya memiliki ego yang besar,
Sudah satu minggu sejak Puspa datang ke desa ini. Dia sudah beradaptasi dengan cukup baik dan mengenal banyak orang baik disini. Termasuk Fajar Swara, yang begitu murah hati memberinya pekerjaan di toko sayurnya.Ya, tiga hari lalu, Puspa mulai mengeluh bosan lantaran tidak memiliki kegiatan apapun di rumah selain makan dan tidur. Dia berinisiatif datang ke warung Fajar dan menanyakan pekerjaan. Awalnya Puspa tidak berpikir untuk melamar kerja disana, dia hanya ingin bertanya dimana tempat yang sekiranya sedang membutuhkan pegawai baru.Namun, tanpa di duga-duga, Fajar malah menawarkan pekerjaan sebagai kasir sekaligus pengurus di warung sayurnya. Pagi ini hari ke empat Puspa bekerja disana, dia sudah siap dengan pakaian sopan. Kini sedang menguncir rambut di depan cermin dan memoles wajahnya dengan sedikit bedak. "Kamu kelihatan semangat," Elisha masuk kedalam kamar Puspa dan bertanya. Sejujurnya dia agak was-was, takut jika Puspa nanti pergi dari sisinya. Tetapi, ketika melihatnya
Keesokan harinya, Fajar langsung bertanya pada Puspa sambil menata sayuran di atas rak."Aku?" Puspa menunjuk hidungnya dengan wajah kaget. Barusan, dia dengar Fajar bertanya tentang suaranya, maksudnya apa dia suka bernyanyi? Fajar mengangguk, "Ya, aku cuma tanya apa kamu suka menyanyi?""Uh," Puspa menggaruk pipinya yang tak gatal. Sebenarnya dia memang suka bernyanyi, tetapi ibunya melarang. Jadi, sejak kecil Puspa hanya bisa diam-diam bersenandung ketika berada di luar area rumah.Puspa cukup percaya diri dengan suaranya. Dia bahkan berpikir bahwa ibu kandungnya mungkin seorang penyanyi yang memiliki suara luar biasa. "Yah, aku memang suka menyanyi. Tapi untuk bagus atau tidaknya, tergantung orang yang menilai." Puspa tertawa, bagaimanapun juga, dia tidak bisa begitu saja langsung mengklaim suaranya indah. Apalagi mengingat pekerjaan Fajar sekarang juga berkaitan dengan musik. "Kalau gitu, bisa coba bernyanyi? Aku pengen dengar!" Fajar jadi antusias. Tetapi Puspa malah gugup,
"Kamu setuju?" Tanya Fajar dengan antusias. Dia dan Puspa sedang menata sayuran segar ke dalam rak seperti biasa.Puspa mengangguk, "Tapi semua keputusan tetap ditanganmu. Kalau kamu tidak suka ya jangan di paksakan. Nilai aku secara objektif.:"Oke, tentu saja aku akan melakukannya. Btw, kamu sudah coba menyanyikan lagunya sendiri?" Tanya Fajar yang langsung mendapat anggukan dari Puspa."Sudah. Dan ada beberapa part yang sulit untuk di nyanyikan. Tapi aku akan berusaha semampuku. Jangan khawatir."Fajar tersenyum, "Tidak masalah. Projek kali ini memang cukup serius, karena nantinya promosi yang akan aku lakukan juga sedikit lebih baik dari sebelumnya. Aku sebisa mungkin menciptakan lagu yang bagus untuk dinikmati semua orang.""Aku harap kali ini berhasil. Kalau bisa, kamu harus masuk televisi juga!" Puspa tertawa, kemudian keduanya kembali fokus mengerjakan pekerjaan masing-masing hingga siang tiba.Karena Fajar tidak sabar, dia memutuskan untuk menutup warung sayur lebih cepat dar
Pertengahan bulan Maret datang dengan cepat. Proses syuting memakan waktu lebih dari tujuh hari, meski begitu, tidak ada kendala sama sekali. Semuanya lancar, kecuali sedikit adaptasi dari Puspa yang nampak takut di depan kamera. Ini sudah tanggal 14 Maret, yang mana jika tidak ada kendala dalam proses pengeditan. Music video akan resmi diluncurkan pada akhir bulan. "Terimakasih semuanya! Kalian semua luar biasa!" Fajar bertepuk tangan keras untuk mengakhiri syuting music video itu. Semua orang pun balas bersorak dan tertawa, merasa lega karena akhirnya berhasil menyelesaikan projek dengan baik tanpa kendala yang berarti. Puspa langsung duduk di kursinya dan meneguk habis setengah botol air mineral. Dia yang saat ini masih memakai gaun putih, tidak bisa menahan gerah lantaran lokasi syuting berada di luar ruangan.Untungnya, Fajar menyadari itu dan dengan cepat meminta staf perempuan membantunya berganti pakaian."Terimakasih," Puspa tersenyum pada dua orang wardrobe yang membantun
Keesokan harinya, Puspa tidak berniat bangun dari tempat tidur. Dia langsung cuci muka dan sikat gigi, kemudian tengkurap di atas ranjang dan membuka yutub di ponsel barunya. Ya, Puspa memang baru membeli ponsel pintar. Namun, untuk alasan tertentu, dia belum tertarik mencaritahu soal Hakam.Seperti katanya di awal, agar lebih fokus untuk mencapai tujuannya, Puspa tidak akan menyentuh masalah itu dulu. Entah Hakam akan berpikir seperti apa nantinya, dia tidak peduli. Yang terpenting adalah dia harus sukses, baru bisa melakukan apa yang dia mau.Membuka aplikasi berwarna merah itu, Puspa langsung mengetikkan kata kunci 'Swara Entertainment'. Sebuah channel dengan penggemar lebih dari 700 ribu orang langsung berada di urutan paling atas pencarian. Melihat satu video anyar yang baru di unggah beberapa menit lalu, Puspa jadi gugup. Terutama ketika melihat thumbnail video itu adalah wajahnya sendiri. "Ini … benar-benar aku, ya?" Puspa menghela napas. Tidak menyangka jika pada akhirnya, d
"Kamu akhir-akhir ini sibuk sekali," Elisha menggerutu sambil memasak sarapan. Puspa yang baru bangun tidur menguap lebar. "Memang sibuk. Tapi tidak apa-apa, selagi gaji Puspa naik.""Kamu suka dengan Fajar?" Tanya Elisha, yang seketika itu juga berhasil membuat Puspa tersedak. "Ibuk, jangan asal bicara! Mas Fajar sudah kuanggap seperti kakak sendiri!"Elisha yang tidak percaya, hanya tersenyum kecil. "Asal kamu tahu, ibu-ibu pada bergosip kemarin. Mereka bilang kalau kamu lagi dekat dengan Fajar. Mereka juga bilang, kamu sering keluar naik mobilnya yang bagus itu.Puspa memutar mata, andai saja dia bisa mengatakan bahwa itu keperluan pekerjaan. Sayang, dia tidak bisa atau rencananya akan gagal."Terus ibuk langsung percaya gitu? Haduh, mereka itu cuma penggosip yang asal bicara. Jangan di dengarkan!"Elisha berbalik sambil meletakkan piring berisi nasi goreng diatas meja. "Kalau betulan juga tidak apa-apa. Lagipula sudah saatnya kamu memikirkan pasangan hidup. Jangan terus-terusan
Puspa merasa semakin kesal dengan sikap perempuan itu yang semakin tidak sopan. Dia tidak peduli apapun tentang latar belakangnya, yang jelas dia merasa menjadi korban dalam insiden ini."Tidak ada hubungannya dengan latar belakangku. Kamu yang salah dan harusnya minta maaf!" Puspa membalas dengan tegas, merasa perlu membela diri.Namun, perempuan itu justru semakin memperlihatkan sikapnya yang kasar dan merendahkan Puspa. "Ah, anak kota yang lemah lembut seperti kamu hanya bisa mengeluh saja. Kalau begitu, kamu harus berterima kasih padaku karena memberimu pelajaran tentang cara hidup di pedesaan yang sesungguhnya."Puspa merasa semakin tidak nyaman dan kesal dengan sikap perempuan itu. Namun, dia tahu tidak ada gunanya untuk terus bertengkar dan membuang-buang waktu. Dia memilih untuk mengangkat sepedanya dan berjalan menjauh dari perempuan itu.Kakinya masih terasa sakit dan sedikit sulit untuk berjalan, tapi Puspa tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan perempuan itu. Dia me
Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n
"APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu
"Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m
Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det
Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,
Puspa dan kedua orangtua Fajar bergegas ke kantor polisi. Mobil hitam itu melesat kencang menuju kantor polisi terdekat. Mereka hanya bisa berharap pihak kepolisian bisa dengan mudah membantu rencana mereka."Ada yang bisa kami bantu?" Tanya salah seorang polisi kepada ketiga orang itu.Puspa mengangguk, "Ini sangat mendesak. Saya harap bapak mau mendengarkan."Pak polisi mengangguk, kemudian mendengarkan dengan seksama laporan dari ketiga orang di depannya. Begitu mereka selesai menjelaskan, ia terkejut. Terutama ketika ia mendengar rekaman yang baru saja di putar."Apa rekaman ini asli?" Tanya polisi itu.Kali ini, ibu fajar mengangguk. Ia langsung menjelaskan secara lebih rinci tentang permasalahan yang mereka hadapi. Sementara itu, Puspa merasa semakin gelisah. Telapak tangannya berkeringat, pikirannya kacau. Berada di kantor polisi tidak membuatnya merasa tenang sama sekali.Ia takut hal ini akan membawa keluarga Fajar berada dalam masalah. Tetapi masalahnya, ia juga tidak yakin
Setelah Anton kembali, Fajar berbasa-basi sejenak, kemudian berpamitan dan langsung pergi ke studio untuk berdiskusi dengan Puspa."Apa? Kenapa?" Puspa kebingungan ketika Fajar tiba-tiba datang dengan ekspresi aneh. Dia langsung menutup pintu rapat-rapat dan membawa Puspa duduk di atas sofa.Fajar terdiam sejenak, terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. "Itu ...""Apa? Apa yang itu?" Puspa mengerutkan kening."Ada hal penting yang harus aku katakan. Tapi ... ""Jangan buat aku penasaran!" Puspa yang tidak tahan, reflek memukul pundak Fajar.Fajar langsung duduk tegap, kemudian agak takut melihat ekspresi yang dipasang oleh Puspa saat ini. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya berani membuka mulutnya."Aku tidak yakin bisa mengatakannya, sebaiknya kamu mendengarnya secara langsung." Fajar langsung memasangkan earphone ke telinga Puspa dan memutar rekaman yang baru saja ia dapatkan.Puspa awalnya bingung, karena tidak ada suara apapun selama beberapa saat. Itu karena Fajar sedang m
"Aku sudah curiga sejak awal, tapi masih terasa sakit mendengarnya langsung dari orang lain." Puspa mengusap air mata di pipinya. Dia masih tidak menyangka jika sang ibu tega melakukan hal jahat demi uang."Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Apalagi ibumu bukan ibu kandung, kan? Bukan maksudku menjelek-jelekkan ibumu. Tetapi itu mungkin karena kalian berdua tidak memiliki ikatan darah."Puspa tidak setuju, "Seharusnya lebih daripada itu. Jika memang hanya karena alasan hubungan darah, sejak kecil aku tidak mungkin mendapat kasih sayang darinya. Ini pasti ada alasan lain mengapa Ibuk mau bekerja sama dengan Zara. Mungkin Zara mengancamnya.""Mengancam dengan apa?" Tanya Fajar penasaran.Puspa menggeleng, "Aku juga belum tahu, tetapi akan segera aku caritahu kebenarannya.""Tetapi kamu akan sibuk akhir-akhir ini. Bagaimana mungkin kamu punya waktu untuk menyelidiki sesuatu yang jauh disana?""Entahlah," Puspa tertawa, "Aku yakin pasti ada jalan jika memang takdirku mengatakan ha