“Sudah selesai,” ujarku ketika berhasil melepas sehelai benang yang nyangkut di kalung itu. Tetapi aku tidak langsung menjauh begitu saja. Karena melihat kulit halus itu dengan jarak sedekat ini, darahku mendidih dan tanganku masih gatal ingin menyentuhnya.“Pak?” Puspa tiba-tiba memanggil dan menyadarkan lamunanku yang berbahaya. Aku terkesiap dan seketika mundur beberapa langkah. Kulihat Puspa berbalik dan menatapku sambil menutupi bagian depan tubuhnya menggunakan kedua tangannya. “Saya …” Puspa terlihat sangat gugup saat ini. Kulihat dia menggigit bibirnya sambil menundukkan kepala. Aku juga ingin mengatakan sesuatu, namun bibirku hanya mampu terbuka selama beberapa saat, kemudian menutup lagi dengan sendirinya.“Itu … kamu lanjutkan saja.” Aku akhirnya berkata dengan berat hati. Entahlah, walau niat awalku memang ingin berduaan dengan Puspa didalam sini, tetapi pikiranku langsung berubah ketika melihat reaksi gadis itu yang terlihat sangat gugup. ‘Mungkin aku terlalu buru-buru,
Namun, Hakam sedang diburu waktu dan hanya bisa menolak gagasan Puspa. “Aku harus berangkat sekarang. Kalau kamu mau menyusul, pakai saja mobil yang ada di bagasi. Maaf, aku harus berangkat sekarang.”Tidak menunggu jawaban Puspa, lelaki itu secepat kilat berlari keluar dengan mengendarai mobilnya seperti orang kesetanan.“Aduh, ini susah sekali!” Karena terlalu panik, Puspa sampai lupa cara mengikat tali jubah mandi di pinggangnya dengan benar. Setelah masalah sepele itu diselesaikan, dia langsung berlari kencang menuju kamarnya dan mengenakan pakaian secara acak.Untunglah, dia bukan tipe perempuan yang lambat berpakaian, dan itu sangat membantunya ketika sedang berada dalam situasi genting seperti ini. “Oke, aku siap!”Puspa berlari ke kamar Hakam dan melihat dua kunci tergantung rapi. Yang satu kunci mobil, sementara yang lain adalah kunci sepeda motor yang sering dipakai Bi Asih bepergian untuk keperluan belanja. Tanpa pikir panjang, Puspa langsung menyambar kunci motor dan berla
Bukan hanya itu, dia juga sudah menyiapkan beberapa orang yang nantinya siap mengangkut Puspa secara paksa, yang saat ini sedang berkendara sendirian menuju mall. Bukannya ini sempurna? Zara bahkan berpendapat bahwa Tuhan membantu rencananya karena membantunya memisahkan kepergian Hakam dan Puspa, sehingga memudahkannya untuk melakukan rencananya sekaligus membuat dongeng palsu buatannya semakin terlihat nyata.Zara berdiri di depan monitor yang menampilkan dua ruangan yang sudah terpantau kamera. Dari layar itu, dia bisa melihat Elisha sibuk mengacak-acak semua barang dan mengambil apapun yang dianggap sebagai barang berharga.“Ibu yang begitu menyayangi anaknya,” gumam Zara sambil tersenyum sinis. Setelah benda-benda berharga dirumah ini berhasil diambil, Zara akan membuat Puspa menghilang bagai ditelan bumi. Sementara itu, dia akan membuat Hakam percaya bahwa kepergian Puspa memanglah disengaja, seakan-akan kabur setelah puas merampok isi rumahnya.Melihat dari layar monitor Elisha
Zara tersenyum senang, “Bagus, langsung bawa ke tempat yang sudah aku tentukan.” Jawabnya, kemudian melihat Elisha keluar dengan koper butut berisi semua pakaian milik Puspa.“Sudah siap?” Tanya Zara pada Elisha yang baru masuk kedalam mobil.Wajah perempuan itu terlihat tidak ikhlas, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa selain bekerja sama dengan Zara. Perempuan licik itu memiliki titik kelemahannya. Elisha tidak bisa lagi kehilangan orang yang dia cintai. Alasan kedua, Puspa adalah penebusan dosanya. Dia merasa sangat menyesal atas perbuatannya sendiri di masa lalu, sehingga cara satu-satunya agar rasa bersalahnya berkurang adalah dengan menemani gadis itu sampai dia nanti memiliki pasangan.Suatu saat, Elisha siap dibenci oleh Puspa. Namun untuk sekarang, dia masih belum siap. Dia masih ingin terus bersamanya, sehingga yang dia lakukan sekarang adalah bentuk keegoisannya untuk menutupi kesalahannya pada Puspa. Elisha tau dia telah melakukan kesalahan besar, namun sekarang ini dia k
Sementara itu, Hakam yang saat ini sudah berada di mall buru-buru datang ke pusat informasi bersama pak sopir di sebelahnya. “Saya tidak melihat Hamun, pak. Bahkan setiap orang yang keluar gedung sudah saya teliti, namun tetap tidak bisa menemukan keberadaannya.” Hakam mengangguk, “Tidak apa, ini akan jelas ketika kita bertemu dengan Bi Asih.”Mereka berjalan dengan langkah lebar. Ketika sampai di pusat informasi, Hakam bisa melihat sosok Bi Asih sedang menangis tersedu-sedu sambil bertanya kepada setiap pengunjung yang lewat. “Tolong, pak. Apa anda melihat anak setinggi ini dengan baju warna biru langit? Dia sangat imut … dan baik … huhu … Hamun yang malang.” Orang-orang sudah memperhatikan Bi Asih sejak lama, namun perempuan itu seolah tidak peduli dan hanya terus menerus bertanya pada setiap orang yang dia lihat. Ketika Hakam sampai, dia meminta pak sopir menenangkan Bi Asih, sementara Hakam mendatangi satpam yang terlihat sedang berjaga di sekitar Bi Asih.“Saya orangtua dari
“Serius, pak?!” Bi Asih langsung mendapatkan energinya lagi setelah mendengar kabar baik tentang Hamun. Dia langsung berdiri dan memohon pada Hakam. “Ayo pak, jemput Hamun!”Hakam mengangguk, “Biar aku yang pergi membawanya pulang. Kalian pulang saja dan perhatikan jalan. Kemungkinan Puspa sedang menyusul kesini. Jangan lupa beri dia penjelasan yang sesuai, tadi aku meninggalkannya begitu saja dirumah. Dia pasti kebingungan.”Bi Asih mengangguk, “Kalau begitu kami permisi.” Dua orang itu berjalan bersamaan dan pergi meninggalkan Hakam. Sementara Hakam langsung membuat panggilan telepon pada kontak Puspa. Namun, sudah berkali-kali dia ulang, hanya suara operator yang menjawabnya. “Mungkin dia memang dalam perjalanan?” Hakam tidak berpikir macam-macam dan menyerahkan urusan Puspa pada Bi Asih. Saat ini, dia lebih khawatir dengan keadaan Hamun yang membuatnya kelabakan setengah mati.Di parkiran, Hakam menghubungi Zara dan bertanya dimana Hamun sekarang. Begitu tahu anak itu ada di rum
“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?!” Bi Asih terlihat sangat frustasi. Kemudian dia mengingat sesuatu, “Oh, benar. Dimana Puspa?”Pak sopir menggeleng, “Tidak tahu. Dalam perjalanan pulang tadi kita tidak berpapasan dengannya sama sekali.”“Biar aku telepon,” Bi Asih langsung membuat panggilan ke nomor Puspa namun tidak mendapat jawaban sama sekali. “Kok tidak aktif, ya?” “Nomor pak Hakam juga masih belum bisa dihubungi,” pak sopir menggelengkan kepala. “Entahlah, bagaimana bisa kedua orang itu menghilang diwaktu yang bersamaan. Terutama ketika keadaan rumah sedang dalam kondisi berantakan seperti ini.”Bi Asih menghela napas, “Kalau begitu, kenapa tidak menyusul Pak Hakam ke rumah Bu Batari? Daripada menunggu dirumah, aku pikir akan lebih baik jika kita kesana untuk memberi dia kabar secara langsung.”“Itu bagus juga,” pak sopir setuju dan keduanya bersiap untuk pergi keluar lagi. Namun, baru beberapa langkah mereka berjalan, ponsel ditangan Bi Asih berdering dan kontak Bu Zara te
Bi Asih menggeleng, “Dia hanya mengambil kotak perhiasan dan semua koleksi jam tangan pak Hakam. Tetapi anehnya, dia tidak menjamah tempat lain selain kamar bapak.”Ekspresi Hakam berubah aneh, “Aneh sekali, seharusnya kesempatan seperti itu dia gunakan untuk mengambil semuanya, kalau memang pekerjaannya sebagai mencuri.”“Saya juga tidak mengerti,” Bi Asih menggelengkan kepala.Zara melihat celah di percakapan itu, dan dia tidak menyia-nyiakan kesempatan melainkan segera mengangkat nama Puspa. “Ngomong-ngomong, dimana pembantu miskin itu— maksudku, Puspa.”Hakam mengangguk, “Sejak siang aku tidak bisa menghubunginya. Apa dia dirumah?”“Ini juga yang membuat saya bingung,” Bi Asih menghela napas. “Sejak siang, ketika Pak Hakam meminta saya memperhatikan jalan kalau-kalau berpapasan dengan Puspa, kami tidak bertemu dengannya. Kemudian saat sampai dirumah, kami juga tidak melihatnya. Nomor teleponnya bahkan tidak aktif lagi, entah dimana dia sekarang.”“Puspa juga hilang?” Wajah Hakam l
Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n
"APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu
"Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m
Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det
Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,
Puspa dan kedua orangtua Fajar bergegas ke kantor polisi. Mobil hitam itu melesat kencang menuju kantor polisi terdekat. Mereka hanya bisa berharap pihak kepolisian bisa dengan mudah membantu rencana mereka."Ada yang bisa kami bantu?" Tanya salah seorang polisi kepada ketiga orang itu.Puspa mengangguk, "Ini sangat mendesak. Saya harap bapak mau mendengarkan."Pak polisi mengangguk, kemudian mendengarkan dengan seksama laporan dari ketiga orang di depannya. Begitu mereka selesai menjelaskan, ia terkejut. Terutama ketika ia mendengar rekaman yang baru saja di putar."Apa rekaman ini asli?" Tanya polisi itu.Kali ini, ibu fajar mengangguk. Ia langsung menjelaskan secara lebih rinci tentang permasalahan yang mereka hadapi. Sementara itu, Puspa merasa semakin gelisah. Telapak tangannya berkeringat, pikirannya kacau. Berada di kantor polisi tidak membuatnya merasa tenang sama sekali.Ia takut hal ini akan membawa keluarga Fajar berada dalam masalah. Tetapi masalahnya, ia juga tidak yakin
Setelah Anton kembali, Fajar berbasa-basi sejenak, kemudian berpamitan dan langsung pergi ke studio untuk berdiskusi dengan Puspa."Apa? Kenapa?" Puspa kebingungan ketika Fajar tiba-tiba datang dengan ekspresi aneh. Dia langsung menutup pintu rapat-rapat dan membawa Puspa duduk di atas sofa.Fajar terdiam sejenak, terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. "Itu ...""Apa? Apa yang itu?" Puspa mengerutkan kening."Ada hal penting yang harus aku katakan. Tapi ... ""Jangan buat aku penasaran!" Puspa yang tidak tahan, reflek memukul pundak Fajar.Fajar langsung duduk tegap, kemudian agak takut melihat ekspresi yang dipasang oleh Puspa saat ini. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya berani membuka mulutnya."Aku tidak yakin bisa mengatakannya, sebaiknya kamu mendengarnya secara langsung." Fajar langsung memasangkan earphone ke telinga Puspa dan memutar rekaman yang baru saja ia dapatkan.Puspa awalnya bingung, karena tidak ada suara apapun selama beberapa saat. Itu karena Fajar sedang m
"Aku sudah curiga sejak awal, tapi masih terasa sakit mendengarnya langsung dari orang lain." Puspa mengusap air mata di pipinya. Dia masih tidak menyangka jika sang ibu tega melakukan hal jahat demi uang."Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Apalagi ibumu bukan ibu kandung, kan? Bukan maksudku menjelek-jelekkan ibumu. Tetapi itu mungkin karena kalian berdua tidak memiliki ikatan darah."Puspa tidak setuju, "Seharusnya lebih daripada itu. Jika memang hanya karena alasan hubungan darah, sejak kecil aku tidak mungkin mendapat kasih sayang darinya. Ini pasti ada alasan lain mengapa Ibuk mau bekerja sama dengan Zara. Mungkin Zara mengancamnya.""Mengancam dengan apa?" Tanya Fajar penasaran.Puspa menggeleng, "Aku juga belum tahu, tetapi akan segera aku caritahu kebenarannya.""Tetapi kamu akan sibuk akhir-akhir ini. Bagaimana mungkin kamu punya waktu untuk menyelidiki sesuatu yang jauh disana?""Entahlah," Puspa tertawa, "Aku yakin pasti ada jalan jika memang takdirku mengatakan ha