Hari ini adalah hari penentuan bagi karir Dean di perusahaan. Layak tidaknya dia naik jabatan, akan ditentukan oleh berhasil tidaknya dia memenangkan proyek kerjasama. Pukul sembilan pagi, dia sudah tiba di PT. Erafood Internasional, tbk. Ini adalah perusahaan yang akan ditawarkan proyek kerjasama dengan perusahaan tempatnya bekerja. Dean dipersilahkan masuk ke ruangan rapat dan segera disambut oleh para petinggi perusahaan. Dia bukan satu-satunya perwakilan yang akan melakukan presentasi hari ini. Ada beberapa perwakilan perusahaan lain yang juga ingin melakukan kerjasama. Mereka akan bersaing secara sehat untuk memenangkan proyek kerjasama yang cukup besar dan menguntungkan. Dean mendapat kesempatan sebagai perwakilan pertama yang akan melakukan presentasi. Dia sedikit gugup, tapi bisa mengendalikan diri dengan baik dan bersikap profesional. Dia memulai presentasinya dengan tenang dan mengakhirinya tanpa kendala sama sekali. Beberapa pertanyaan yang diajukan, berhasil dia jaw
Nauna berencana pergi ke kantor Rudy lagi dan membuntutinya seperti kemarin siang. Akan tetapi, dia tidak punya alasan yang bisa dikatakan pada para iparnya agar diizinkan pergi ke luar. Pergi diam-diam juga terlalu beresiko. Dia tidak mau mereka mencurigainya. Dia terus memikirkan alasan yang masuk akal sambil mengerjakan semua pekerjaan rumah. Saat sedang menyapu lantai ruang tengah, dia melihat Lusi berjalan masuk ke dalam kamar sambil menempelkan ponsel di telinga. Tanpa pikir panjang, Nauna langsung mengambil handsfree yang selalu dia bawa di dalam saku dan memasangkannya di telinga. Suara Lusi terdengar jelas, sedang berbicara dengan nada kesal. “Jadi, bagaimana, Mas? Kapan kamu dan Jeremy bisa bertemu? Kenapa dia selalu sibuk dan nggak bisa bertemu setelah memegang surat-surat penting dan sertifikat rumah ini?”Nauna langsung mengerti arah pembicaraan iparnya. Sepertinya, Rudy lagi-lagi tidak bisa bertemu dengan Jeremy hari ini. Lusi pasti sangat kesal. Sedangkan Nauna mer
Rasa kagetnya belum hilang, tapi Nauna sudah diseret keluar dari kafe. Dia dibawa ke dekat mobilnya sendiri dan didorong sampai membentur pintu mobil. Masker yang menutupi wajahnya ditarik dengan kasar. Nauna tidak bisa mengelak lagi. Dia benar-benar telah tertangkap basah. Lusi menatapnya dengan tajam dan berkata, “Ternyata benar, kamu memang memata-matai kami!” Dia terlihat sangat marah. Nauna menggeleng dan mencoba membela diri “Aku nggak bermaksud begitu. Aku hanya—”“Hanya apa?” Lusi menyela dengan sengit. “Jelas-jelas kamu mengikutiku ke sini. Apanya yang nggak bermaksud begitu, hah?!”“Kamu memang sangat berani, Nauna.” Suara lain tiba-tiba terdengar di antara mereka. Nauna menoleh ke samping dan tersentak kaget. Dia melihat Rudy berjalan mendekat dan bersandar di pintu mobil. Ekspresinya terlihat jauh lebih tenang daripada Lusi. “Bukan hanya mencoba membuntuti kami, kamu juga menyadap pembicaraan kami.” Rudy berkata dengan tenang. Nauna membelalakkan mata. Dia benar-bena
Nauna mengira, Rudy dan Lusi akan membawanya ke suatu tempat yang jauh agar tidak mengacaukan rencana mereka. Dia mungkin akan dibuang atau diasingkan. Kemungkinan yang lebih buruk adalah dia akan dihabisi. Dia sudah pasrah dengan apapun yang akan terjadi, tetapi sepertinya pikirannya terlalu berlebihan. Rudy dan Lusi ternyata justru membawanya pulang ke rumah. Lusi membuka pintu mobil dan menariknya turun dengan paksa. Dia tidak melawan dan membiarkan dirinya diseret masuk ke dalam rumah. “Kamu harus menanggung akibat dari kenekatanmu sendiri!” Rudy berkata dengan ketus. Lusi mendorongnya hingga jatuh tersungkur di lantai ruang tengah. Yoga, Daniel, Tari dan Tika sudah berkumpul di sana. Mereka pasti sudah tahu tentang apa yang sedang terjadi. “Benar kan dugaanku? Dia hanya berpura-pura bersikap baik! Sebenarnya, dia sudah punya taktik untuk membongkar rencana kita!” Yoga berkata dengan sinis. Nauna meliriknya sekilas. Laki-laki ini pasti merasa sangat bangga sekarang, karena d
Suasana hati Dean seharusnya sedang baik, tetapi perkataan Rudy telah mengubahnya menjadi kacau. Dia tertegun dan terdiam selama beberapa saat. Dia tidak tahu apa yang telah dilakukan Nauna, tetapi situasi tidak nyaman ini mengingatkannya pada kejadian yang sudah berlalu. Itu adalah saat di mana Nauna menyusup ke dalam kamar Rudy dan mencoba membuka brankas. Saat itu, mereka berada dalam situasi yang sama persis seperti saat ini. Perlahan, Dean menoleh pada Nauna. Di luar dugaannya, perempuan itu tampak sangat tenang. Dia berdiri tegak, menatap lurus ke depan dengan raut wajah yang tidak bisa ditebak. Sikapnya saat ini, berbanding terbalik dengan apa yang dia tunjukkan saat itu, ketika berada dalam situasi yang sama. Dean masih ingat betapa panik dan kalapnya Nauna waktu itu. Melihat betapa tenangnya dia sekarang, Dean mulai berpikir dengan jernih. Mungkin ini hanya salah paham yang perlu diselesaikan secara baik-baik. Setelah hening yang cukup lama, Dean mengarahkan tatapan pada
Semua orang terlihat tak percaya dengan keputusan yang Dean ambil. Nauna sampai tercengang dan kehilangan kata-kata. Dia menatapnya lamat-lamat, berharap laki-laki itu tidak serius dengan ucapannya. “Aku mewakili Nauna, meminta maaf pada kalian semua. Aku harap, hubungan persaudaraan kita nggak akan pernah putus.” Dean menundukkan kepala dalam-dalam, sebagai tanda permintaan maafnya yang tulus. Pada saat ini, Nauna bisa melihat perubahan ekspresi di wajah para iparnya. Mereka yang awalnya tertegun, mulai menunjukkan senyum penuh kemenangan. Begitu Dean mengangkat kepala, ekspresi mereka segera kembali seperti semula. Nauna merasa seperti sedang melihat pertunjukan teater dengan para pemain yang begitu pintar mengatur mimik wajah. “Dean, jangan bicara seperti itu. Kamu nggak perlu pergi dari sini. Kami lah yang harus pergi.”Rudy berlagak seperti seorang Kakak yang begitu mengasihi adiknya. Seakan-akan tidak rela, jika Dean yang harus berkorban dan pergi dari rumah ini. Padahal seb
“Dean, kamu salah paham!” Yoga segera menyangkal. Sedari tadi, dia berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk selamat dari situasi ini. Dia tidak mau menjadi pihak yang terpojokkan. Akan tetapi, dia tidak menemukan alasan untuk membela diri. Jadi, hanya bisa mengatakan hal yang tidak masuk akal, “Itu bukan surat wasiat Ibu! Itu palsu!”Tatapan Dean segera mengarah padanya. Laki-laki itu mendengus dan tertawa pendek. “Palsu?” Dia bertanya dengan nada tidak percaya. Yoga mengusap tengkuknya yang lembab karena keringat. Dia mengabaikan tatapan tajam Dean dan berkata dengan lantang, “Nauna dan Rey pasti sudah bekerjasama. Mereka meniru tulisan tangan Ibu dan membuat surat wasiat palsu!”Nauna membuka kelopak matanya lebar-lebar. Tuduhan Yoga sama sekali tidak berdasar. Otaknya pasti sudah tidak dapat berpikir dengan jernih, sehingga tercetus pemikiran tak masuk akal seperti itu. “Untuk apa aku melakukan hal seperti itu?” sangkal Nauna. “Tentu saja untuk menyingkirkan kami dari rumah
Mendengar permintaan Dean yang lugas, Rudy segera mengangkat wajahnya. Dia merasa sangat terkejut hingga tidak bisa berkata-kata. Melihat bagaimana reaksinya, Dean merasa curiga. Dia memicingkan mata dan bertanya dengan dingin, "Kenapa?"Nauna tahu jawabannya. Dia segera berkata, "Mas Rudy sudah menyerahkan semua surat-surat penting dan sertifikat asli rumah ini pada orang lain!""Apa?" Dean terperangah. Dia menatap Rudy dengan ekspresi tidak percaya. "Bagaimana mungkin Mas Rudy menyerahkan semua itu pada orang lain?"Rudy segera berkata, "Aku hanya ingin menyimpannya di tempat yang aman.""Bohong!" Nauna tidak segan menyangkal. "Dia menyerahkan dokumen-dokumen penting itu pada orang yang akan membeli rumah ini. Orang itu juga menjanjikan akan mendapatkan tanda tangan kamu Mas. Entah dengan cara apa."Dean semakin tercengang mendengarnya. Rudy segera mencoba menjelaskan, "Begini. Aku memang menyerahkan dokumen-dokumen penting itu pada orang yang akan membeli rumah ini, tapi tenang saj
Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Apa yang dilakukan perempuan itu di sini tadi? Dia menemuimu?” Alvaro bertanya dengan tajam. Tatapannya mengarah lurus pada Jeremy yang duduk diam di hadapannya. Tidak ada jawaban. Jeremy tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat pandangan yang semula terpaku pada permukaan meja, lalu menatap Alvaro dengan tatapan dingin. Aura suram menguar dari keseluruhan dia pada saat ini. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada saat dia berhadapan dengan Dinara. Alvaro berdecak kesal, tidak suka dengan reaksi Jeremy yang seperti ini. Dia menginginkan jawaban atas pertanyaannya, bukan sorot mata dingin dan mengintimidasi. “Nggak salah lagi, dia pasti datang untuk menemuimu dan kamu pasti bersedia bertemu dengannya.” Alvaro menyimpulkan sendiri, sebab tak kunjung mendapat jawaban. Jeremy masih belum menanggapi, alih-alih membiarkan Alvaro kembali berkata-kata, “Seharusnya, kamu menolak bertemu dengannya, Kak. Dia pasti datang untuk menertawakanmu, kan? Dia pasti senang melihatmu seperti
Hampir tiga puluh menit berlalu sejak tiba di kantor polisi, Dinara masih saja berdiam diri di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya perlu waktu sedikit lebih lama, untuk menyiapkan hati dan meyakinkan diri, sebelum benar-benar pergi menemui Jeremy. Sebab, bukan hal mudah untuk berhadapan dengan Jeremy di ketika ini. Jika kemarin siang saja laki-laki itu bisa menunjukkan kemarahan yang begitu menggebu-gebu terhadap dirinya, lantas bagaimana dengan hari ini? Biar bagaimanapun, ditahannya Jeremy, tidak terlepas dari upaya Dinara yang diam-diam merekam pembicaraan mereka kemarin lalu. Jadi, bukan tidak mungkin dia akan meluapkan kemarahan, jika mereka bertemu nanti. Pemikiran itulah yang membuat Dinara merasa was-was. Namun demikian, dia tidak bisa mundur begitu saja. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertemu dan bicara dengan Jeremy. Bukan sekedar untuk memenuhi permintaan Viola, melainkan juga untuk menuruti kata hatinya sendiri. Pada akhirnya, setelah memeriksa w
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dinara, rekaman suara itu benar-benar bisa menjadi barang bukti yang kuat. Beberapa jam setelah Dean menyerahkannya pada polisi, Jeremy akhirnya resmi di tahan. Rasa kaget dan tak percaya tentu saja menyeruak dalam diri Jeremy, saat polisi menunjukkan surat perintah penahanan terhadap dirinya. Mereka mengatakan, sudah ada bukti yang menguatkan dugaan, bahwa dirinya terlibat dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Rudy. Hal yang membuat Jeremy merasa semakin kalut adalah, polisi menahannya ketika dia sedang memimpin rapat di kantor. Akibatnya, bukan hanya orang-orang yang berada di ruang rapat, tapi hampir semua orang yang ada di kantor melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana dia dibawa pergi oleh polisi. Desas-desus tentang sang CEO yang ditangkap oleh polisi seketika menyebar dengan cepat. Berbagai spekulasi bermunculan. Dalam sekejap, Jeremy telah menjadi perbincangan hangat semua orang di perusahaannya, dan reputasinya benar-benar te
Jeremy menyorot Dinara dengan bias kemarahan di kedua matanya. Aura suram dan mengintimidasi yang menyeruak dari kesuluruhan dia, berhasil membuat mantan istrinya itu menahan napas selama sepersekian detik. “Apa yang sudah kamu katakan pada ibuku?” Sekali lagi, Jeremy mengulang pertanyaan yang sama, namun dengan nada yang lebih ditekan-tekankan dari sebelumnya. Dinara tidak segera menjawab, alih-alih menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dalam diam, dia tengah mengatur debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang, begitu pula dengan ritme pernapasan yang sempat tertahan hingga akhirnya menjadi berantakan. Dinara sepenuhnya mengerti, cara terbaik menghadapi seseorang yang sedang diselimuti emosi seperti Jeremy di ketika ini, adalah dengan bersikap tenang dan hati-hati. Karena itu, Dinara sebisa mungkin menciptakan aura tenang di keseluruhan dirinya, alih-alih menunjukkan ketakutan dan rasa terintimidasi yang kentara. “Kamu bilang padanya tentang kasus pen
"Mas?" Nauna menahan langkah saat dia dan Dean baru saja keluar dari ruangan tempat bertemu dengan Lusi. Ketika laki-laki itu menoleh dan mengunci tatap padanya, dia segera bertanya dengan hati-hati, "Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Mbak Lusi?"Dean tidak langsung menjawab. Sesaat, dia menatap Nauna dalam-dalam. Sekian detik kemudian, barulah dia buka suara, tapi bukan untuk memberikan jawaban, alih-alih balik bertanya, "Apa aku terlihat nggak bersungguh-sungguh, Nau?""Bukan begitu, Mas." Nauna segera menyangkal. "Aku hanya ingin memastikan. Maksudku... Mbak Lusi sudah melakukan hal yang sangat merugikanmu. Apakah semudah itu dia mendapatkan maaf darimu?"Dean lagi-lagi tidak segera menjawab, alih-alih mengajak Nauna duduk di kursi yang berada tak jauh dari mereka. Setelah duduk, Dean mulai berkata-kata, "Sebenarnya, nggak semudah itu, Nau. Jujur, aku juga merasa berat, tapi..." Dean menggantung sebentar kalimatnya. Setelah menghela napas berat, barulah dia genapkan, "Bagaimanap
"Nau, cepat ganti baju, kita ke kantor polisi sekarang!"Nauna baru saja keluar dari kamar mandi, ketika Dean tiba-tiba berkata dengan nada terburu-buru. "Ada apa, Mas?" Menanyakan itu, Nauna sambil beranjak menuju lemari, kemudian mengambil sehelai baju ganti dari dalamnya. "Mas Rudy dan Mbak Lusi sudah tiba di kantor pusat. Citra juga ada di sana, kita jemput dia sekarang," sahut Dean sebagaimana adanya. Mendengar ucapannya, sepasang mata Nauna terbuka lebar-lebar. Dia sudah menunggu kabar ini sejak tiga hari yang lalu, tepatnya sejak dia dan Dean pertama kali mendapatkan kabar tentang Rudy dan Lusi yang sudah ditangkap oleh polisi. Tanpa bertanya apa-apa lagi, Nauna bergegas berganti pakaian, kemudian mengambil kerudung dan mengenakannya dengan cepat. "Ayo, Mas!" ajak Nauna sembari menyambar tas dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Dean mengangguk. Setelah meraih kunci mobil di atas nakas, dia dan Nauna segera keluar dari kamar dengan langkah tergesa-gesa. "Sudah sejak kapan me
"Ibu, tenanglah!" Viola berkata sembari menyentuh bahu sang ibu sebagai upaya menenangkannya. Meski Viola juga terkejut dengan semua yang dikatakan Dinara, dia masih bisa berpikir dengan jernih. Alih-alih mengusir mantan iparnya itu seperti apa yang dilakukan Jihan, dia justru ingin mendengar penjelasannya lebih banyak lagi. Akan tetapi, Jihan yang begitu emosional, tampaknya tidak mau mendengar apapun lagi. Sepasang matanya menyorot Dinara dengan tajam, kemudian berkata, "Pergilah, Dinara! Jangan katakan omong kosong apapun lagi tentang Jeremy!"Dinara tahu Jihan sedang kalut, karena itu dia sama sekali tidak ambil hati atas sikap dan ucapan wanita itu. Alih-alih angkat kaki seperti apa yang diminta, dia justru tetap duduk di tempatnya. "Bu," katanya dengan nada rendah dan terukur. "Ini nggak ada hubungannya dengan urusan pribadiku dan Mas Jeremy. Semua yang aku katakan ini, semata-mata untuk memberitahu Ibu yang sebenarnya, tentang apa yang sudah dilakukan Mas Jeremy demi mendapat
Setelah meninggalkan kediaman Jihan, Dinara segera mengajak Dean dan Nauna bertemu. Kebetulan, pasangan suami istri itu sedang berada di luar rumah, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe, sekalian makan siang bersama. Dinara tiba lebih dulu, sementara Dean dan Nauna datang sekitar sepuluh menit kemudian. Setelah memesan makanan dan minuman masing-masing, mereka tidak berbasa-basi lagi. Dinara segera menceritakan secara detail semua yang dia dengar dari Jihan, tentang persaingan bisnis antara orang tua Dean dan orang tua Jeremy. Mendengar apa yang diceritakan oleh Dinara, Dean dan Nauna tampak terkejut. "Aku sama sekali nggak tahu tentang ini." Dean berkomentar setelah Dinara benar-benar menyelesaikan ceritanya. "Aku nggak pernah mendengar kalau perusahaan Ayah sampai menyebabkan kebangkrutan untuk perusahaan lain. Mungkin karena saat itu aku masih terlalu muda untuk mengetahuinya."Dinara menghela napas. "Sudah kuduga," ucapnya dengan nada rendah nyaris tenggelam. "Ka