“Dante ....”
Suara familiar menyapa telinga Dante. Lambaian tangan seorang perempuan dengan jeans belel dan kaos merah polos sontak membuat Dante mau tidak mau mengulas senyuman yang sempat hilang barang sejenak. Padahal baru saja semalam mereka melakukan video call, tapi ... ah sudahlah. Intinya Dante dilanda rindu.
“Kamu selalu saja membuatku cemas. Apa penerbangannya delayed?” tukasnya.
Olivia menggeleng. “Aku ke toilet dulu.”
“Satu jam? Perutmu bermasalah?”
Olivia menggeleng lagi. “Aku memang sengaja membuatmu menunggu kok.”
“Apa?!?”
“Aduuh, kalian ini.” Ambar menyela di antara obrolan sepasang kekasih itu. “Tadi Bude yang habis dari toilet, Dante.”
“Ya ampun sampai lupa kalau ada Bude. Bude Ambar sehat?” kata Dante sembari mencium punggung tangan perempuan paruh baya di depannya.
Ambar menepuk punggung Dante kemudian berkata. “Keadaanmu sudah benar-benar pulih, Dante?”
Dante mengan
Tautan tangan Dante disela jemari Olivia sama sekali tidak ingin Dante lepaskan begitu saja. Bahkan ketika keduanya telah tiba di depan pintu apartemen Olivia sekalipun tampaknya Dante masih enggan melepaskan Olivia secara cuma-cuma. Padahal Dante tahu persis jika perempuannya itu capeknya bukan kepalang melewati satu hari ini. “Mau minum teh dulu nggak?” sahut Olivia menawarkan ketika akhirnya pintu apartemen berhasil dibuka dengan salah satu tangannya yang masih bertautan erat dengan Dante. Dante sepertinya serius tidak ingin membiarkannya pergi meski hanya untuk membuka pintu. “Kamu duduk dulu deh,” sahut Olivia lagi sembari menarik lembut tangan Dante agar laki-laki itu mau duduk disebelahnya. “Cerita sama aku apa yang membuatmu nggak puas, hm? Sejak tadi tampaknya kamu nggak rela melepaskan tanganku ini. Seingatku aku nggak mengoleskan lem atau apapun itu. Kenapa bisa jadi lengket begini ya.” Dante menghela napas penjangnya kemudian berkata. “Aku benci h
Dante bersama kedua orang tuanya datang ke rumah Ambar dua hari berikutnya. Begitu banyak bingkisan yang dibawakan Martha hingga membuat Olivia merasa tidak enak sendiri. “Kok jadi repot-repot segala sih, Tante?” tukas Olivia ketika membawa beberapa bingkisan dikedua tangannya. Ada lebih dari lima bingkisan yang Olivia terima hari ini. “Ini cuma makanan, Sayang. Lagipula Tante nggak enak dong datang kemari dengan tangan kosong.” Dada Olivia menghangat ketika Mama Dante itu memanggil Olivia dengan sebutan ‘Sayang’. Artinya Olivia benar-benar telah diterima dengan baik oleh mereka. Acara perkenalan kedua keluarga berlangsung secara intimate yang akhirnya merujuk pada kesepakatan bahwa dua bulan ke depan akan dilangsungkan pernikahan. Tanpa adanya acara pertunangan dan lain sebagainya karena dari calon mempelai pria yang tidak memiliki cukup kesabaran menahan segala prosesinya. Dua bulan akan menjadi waktu tersingkat untuk Olivia serta keluarganya mempersiapkan
Tepat dihari keempatbelas Olivia bersama dengan Lussi mengunjungi mall tempat biasanya mereka berdua dulu datangi. Jadwal terakhir sebelum dipingit adalah membeli seserahan. “Maaf ya, aku terpaksa mengajak mereka berdua. Mama Elok sedang nggak di rumah.” “It’s Ok. Malahan aku yang heran jika kamu nggak mengajak mereka. Aduh, gembulnya Anti. Aro sama Ara sehat ?” sapa Olivia kepada Si Kembar. Si Kembar tertawa bersamaan sembari menghambur ke pelukan Olivia. “Aduh, Anti nggak kuat kalau menggendong kalian berdua sekaligus, Sayang. Kita gandengan tangan saja ya.” Si Kembar mengangguk bersamaan lalu bergelayut manja dikedua tangan Olivia. Kemudian beberapa toko mulai mereka masuki satu per satu. Dimulai dari toko sepatu dan tas hingga toko pakaian dalam juga tak luput dari pandangan dua sahabat itu. Sejenak Olivia terhibur dari rasa lelahnya. “Sudah ada kabar dari Dante belum?” tanya Lussi saat mengembalikan menu pesanan pada waitress. Mereka bere
Lembaran tissue menyumbat hidung Olivia telah berganti dengan kapas yang diberikan dokter UGD untuk menghentikan darah yang tidak kunjung berhenti. Tidak ada sesuatu yang bahaya seperti dugaan Lussi. Semua murni hanya mimisan biasa akibat kepanasan. Elok menatap dua perempuan yang baru saja menginjakkan kaki di depan pintu rumahnya. Elok tidak bertanya apa-apa, namun sebagai gantinya ibu dari teman kecilnya itu mencarikan lembaran daun sirih untuk menyumbat kedua hidungnya. Kalau boleh jujur mata Olivia memang terasa panas, tapi ia baik-baik saja. Sungguh. Kata-kata itulah yang selalu diucapkan Olivia untuk meyakinkan sahabatnya itu. “Benar-benar kamu ini ya. Selalu saja membuat Tante jantungan,” kata Elok mengusap lembut pucuk kepala Olivia setelah mendapat laporan dari Lussi. Sahabat Olivia yang satu itu memang paling jago soal lapor-melapor. Hansip kompleks saja kalah. “Terakhir kali Tante melihat kamu mimisan itu sewaktu SMA. Kenapa bisa begini lagi? Kamu sedang
“Saya terima nikah dan kawinnya Olivia Zurkena binti Zurkeino Atmaja dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Bagaimana, SAH?” “SAAAHH ….” Senyuman Olivia terukir begitu indahnya di dalam pantulan kaca saat momen ijab dan kabul yang diucapkan dengan lantang oleh Dante terngiang kembali ditelinga. Olivia tahu betapa groginya Dante satu hari sebelum akad nikah. Bahkan Reihan harus turun tangan langsung untuk menenangkannya. Dan sekarang, disaat mereka berdua telah resmi menjadi pasangan suami istri wajar saja senyuman terus menghiasi wajah Dante yang memang amat tampan itu. “Kenapa sih kamu kok pelit banget mengizinkan aku masuk?” Terdengar bentuk protes Dante dari ruangan sebelah karena keinginannya untuk menemui istri tercinta dihalang-halangi oleh sepupunya Lussi. “Bahkan setelah Olivia menjadi istriku pun kamu masih mau ikut campur. Are you kidding me, Lu?” tambah Dante semakin tidak terima. “Sumpah demi Tuhan, Dante. Penan
Pagi harinya Olivia terbangun tanpa Dante disisinya. Sisi kiri tempat tidur disebelahnya terasa dingin menandakan jika laki-laki itu tidak tidur di sana semalaman. Tidak ada yang berubah di dalam ruangan ini. Hanya ada jas yang dikenakan Dante semalam tersampir dipunggung sofa, selebihnya tidak ada lagi. Ini mungkin salahnya. Olivia telah melakukan kesalahan yang fatal semalam. Sekarang apa yang harus dia katakan saat bertemu dengan Dante nanti? “Kamu sudah bangun rupanya.” Sapaan itu terdengar manis ditelinga Olivia, tapi terlihat pahit disaat Dante masih mengenakan kemeja yang sama dengan kemarin. “Semalaman kamu ke mana ?” “Aku cari angin di luar dan kebetulan bertemu teman di sana.” Olivia mencium adanya kebohongan di kata-kata Dante. “Apa karena penolakanku? Apa karena alasan itu kamu nggak sudi tidur denganku?” “Nggak, Via. Aku hanya sedikit lupa waktu karena bertemu teman dan—” “Karena perlakuanku semalam hingga membuatm
Mobil yang menjemput mereka telah sampai di hotel berbintang lima tempat acara nanti malam. Sambutan hangat dari seorang bellboy serta welcome drink menghapus penat siang itu. Dante menggeret dua koper dalam bentuk sedang ke arah kapsul lift sambil memastikan nomor kamar sebelum menekan tombol lift. “Kamar kita di lantai berapa ?” tanya Olivia sembari ikut-ikutan melirik tulisan yang tertera di kartu. “Kalau di lantai tertinggi kita minta ganti kamar ya?” katanya lagi. Kamar tempat mereka menginap berada di lantai 10. Kamar dengan pemandangan teramat menakjubkan cukup membuat suasana hati Olivia senang hari ini. Bahkan laut juga terlihat meskipun berjarak cukup jauh. Masih ada waktu beberapa jam sebelum acara nanti malam. Cardigan yang menutupi tubuh Olivia sedari teronggok begitu saja di lantai meninggalkan gaun bermotif bunga bertali spagetti yang bersembunyi dibaliknya. Olivia mengambil botol lotion berspf dan mengolesnya dilengan serta lehe
“Kenapa kalian bisa ada di sini ?” pekik Dante. Selayaknya pasangan yang sedang berbulan madu, berbagai tempat tak luput menjadi spot foto untuk mengabadikan momen. Dante mengubah bussiness trip menjadi honeymoon trip selepas acara anniversary yang pada akhirnya tidak dihadiri olehnya. Di saat keduanya sedang merajut kasih sambil menikmati pemandangan pantai, Reihan tiba-tiba bersama dengan Lussi muncul di depannya. Membuat suasana hati Dante yang sedang berbunga-bunga mendadak bergemuruh karena menahan kesal. “Lo memasang pelacak di badan gue?” kata Dante lagi-lagi tidak terima. Reihan tertawa. “It’s been a while we didn’t spend time together, Bro.” “W-What?!” “Si Kembar mana ?” Olivia ikut menimpali. “Ikut Mamaku ke Bandung. Makanya aku bisa terbang ke sini sama Reihan,” kat Lussi panjang lebar. “Aku nggak akan bertanya apa-apa setelah melihat kalian berdua. Agak kaget juga sih Si Dante tiba-tiba memperpanjang cutinya.” “Dasa
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Rasanya berlalu begitu cepat. Olivia menengadah menatap langit biru dengan pemandangan laut disekelilingnya. Sepuluh tahun belakangan ini berlalu penuh dengan emosi dan airmata. Begitu banyak yang Olivia curahkan, begitu banyak pula yang Olivia tinggalkan, termasuk hubungannya dengan Dante. Olivia seketika teringat bagaimana dulu pertemuannya dengan Dante dan bagaimana mereka akhirnya menjalin kasih yang berlanjut pada sebuah perpisahan. Berat sekali rasanya sampai-sampai Olivia tidak ingin merasakannya lagi. Olivia mendadak tersenyum ketika merasakan ada sepasang tangan yang terulur memegangi sebelah pahanya yang telanjang tanpa penutup apa-apa. Olivia menurunkan pandangan lalu beradu pandang pada sosok mungil yang menengadah menatapnya. “Kok sendirian? Papa mana?” tanya Olivia. Pemilik sepasang tangan itu adalah seorang gadis kecil dengan wajah bak pinang dibelah dua oleh laki-laki yang Olivia panggil denga
Dante marah besar saat tahu Yusa kembali menghubungi Olivia. Emosinya yang meluap-luap membuat Olivia harus memberikan pengertian pada suaminya itu. “Nggak. Aku nggak mau dengar apapun, Via. Dan jangan pernah memaksaku untuk bersikap tenang disaat aku tahu Yusa kembali mendekatimu. Apa perlu aku menghajarnya sampai mati dulu baru dia mau melepaskanmu? Fine! Akan aku kabulkan.” See? Kecemburuan Dante membutakan mata sekaligus hatinya. Belum ada sepatah kata yang Olivia lontarkan untuk pembelaan, Dante sudah membombardirnya dengan setuja serangan. “Yusa nggak mencoba mendekatiku lagi, Dante. Dia hanya ingin bicara. Lagipula dia bersedia kemari kalau aku memang mengizinkannya.” Dante melebarkan matanya. “Kamu memberitahunya kalau kita di Bali?! Buat apa?” Kecemburuan Dante sudah membuatnya menjadi tidak waras. Semua seolah menjadi hitam dihadapannya. “Via—” “Yusa ingin bicara sesuatu yang penting. Aku nggak tahu itu apa, tapi dia
“Sekarang?!” Olivia mengerjapkan matanya berulang kali. Pasalnya baru tiga hari ke depan Olivia diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dante mengulas senyuman ketika melihat ekspresi terkejut Olivia. Wajar saja! Belum ada satu hari Dante mengungkapkan keinginannya pada Reihan untuk berlibur, tapi hari ini laki-laki itu telah benar-benar melaksanakannya. Reihan yang kebetulan ikut berkunjung mengantarkan kue kiriman Lussi untuk Olivia pun juga terngaga tak percaya. “Bro, baru juga kemarin siang lo bilang rencana ini ke gue, kenapa jadi gini?” protes Reihan. “Lo yang bilang akan handle semuanya. Kenapa sekarang malah protes?” Dante membalas. “Iya sih, tapi nggak hari ini juga. Gue sama sekali nggak ada persiapan. Ini nih yang nggak gue suka dari lo. Suka meledak-ledak kayak ABG.” “Sialan, lo!” umpat Dante tidak terima. “Pokoknya semua file yang perlu lo handle sudah gue kirim by email. Lo tinggal cek dan hubungi klien kita kalau semisal ada komp
Silaunya lampu membuat Olivia memicingkan matanya. Olivia tahu dirinya di mana saat ini. Selimut yang menyelimuti tubuhnya, perban dikepala yang Olivia rasakan, dan juga siapa laki-laki yang tengah tertidur dengan menangkupkan kepalanya dikedua lengan, semuanya dapat menjadi petunjuk bahwa saat ini ia telah berada di salah satu kamar di rumah sakit. Punggung tangan Olivia terulur, mengusap lembut pucuk kepala laki-laki yang terlelap dengan perlahan. Dante mengeliat sesaat karena sentuhannya, berharap supaya laki-laki itu terbangun namun malah membuat laki-laki itu semakin tenggelam ke alam mimpi. Olivia kembali memejamkan matanya. Sangat sulit melupakan kejadian mengerikan itu. Apalagi … astaga! Olivia ingat akan satu hal yang hampir saja ia lupakan. Bagaimana keadaan bayinya? “Hei!” Olivia menoleh saat tahu siapa yang tengah menyapanya. Bahkan dengan wajah bangun tidur pun Dante terlihat sangat menawan. Dante beranjak dari kursi yang ia duduki lalu beralih ke bibir
“Pak Dante, kita harus segera menolong Ibu Via sebelum terlambat.” Dante mengeraskan rahangnya ketika mendengar Olivia juga disekap oleh orang yang sama. Orang yang sama juga pernah meneror mereka beberapa hari yang lalu dengan bangkai tikus. Sejenak Dante terdiam. Teror bangkai tikus itu adalah peringatan yang diperuntukkan untuk kedua keponakannya. Betapa bodohnya Dante tidak bisa membaca segala kemungkinan yang akan terjadi. “Sekarang katakan padaku, Sumi. Gimana keadaan Via di sana?” Mendadak Sumi menangis karena teringat apa yang telah Olivia lakukan untuknya supaya bisa kabur. “Mereka menjambak rambut Ibu Via, Pak. Bahkan terkadang mereka juga menamparnya.” Darah Dante langsung mendidih mendengarnya. Olivianya disiksa. Dan itu sudah cukup Dante jadikan alasan untuk segera menghabisi komplotan itu dengan tangannya sendiri. “Apalagi yang kamu tahu, Sumi? Apalagi yang telah mereka lakukan pada Via? Ceritakan tanpa ada yang terlewat.
Percikan air membangunkan Olivia dari pingsannya. Olivia menyipitkan mata karena silaunya lampu yang menerangi ruangan yang terbilang asing untuknya itu. Rasa sesak mulai dirasakan Olivia akibat debu dan minimnya sirkulasi udara. Olivia memeriksa sekeliling dengan matanya. Ia mencoba menerka serta mencari tahu di mana lokasinya saat ini. Nihil. Tidak ada informasi yang bisa Olivia dapatkan. Kalau begini caranya akan sulit bagi Olivia menyelinap dan meminta bantuan orang sekitar. Pintu besi yang sedari tadi tertutup terbuka lebar. Seringai menjijikkan milik laki-laki brengsek itu mendadak membuat Olivia ingin muntah dihadapannya. Yogan berjongkok, menarik dagu Olivia mendekat. Kemudian tanpa Olivia sadari Yogan sudah melumat bibir Olivia begitu rakus seolah bibir Olivia adalah oase di padang pasir. Olivia memberontak, tapi tangan yang beralih fungsi mencengkram tengkuk Olivia saat ini amat begitu kuat. Yogan menjelajah begitu dalam sehingga mengambil kesempatan Olivia untuk m
Tangan yang menggenggam tangan Olivia berkeringat ketika Dante menceritakan semuanya pada Lussi dan Reihan. Olivia tidak peduli aibnya terbongkar dihadapan kedua sahabatnya itu. Di dalam pikiran Olivia saat ini hanyalah keselamatan Devandro dan Deliandra semata. Kedua bocah gembul itu sama sekali tidak pantas menerima perlakuan karena ulahnya terdahulu. Lussi memutar posisi duduknya menghadap Olivia. Genangan airmata terlihat di sana. “Kenapa kamu nggak bilang, Via? Kenapa kamu bungkam padaku selama ini.” Olivia menepuk punggung tangan Lussi. “Sudah berlalu, Lu. Nggak perlu diungkit-ungkit lagi. Sekarang yang terpenting anak-anakmu. Yogan sudah mengenali Si Kembar dua kali.” “Kalau gitu untuk sementara Si Kembar nggak usah ke sekolah dulu.” Reihan mengambil alih topik obrolan. “Aku pikir itu adalah solusi paling aman.” “Nggak, Rei. Kalau Si Kembar nggak ke sekolah seperti biasanya, maka Mama Elok akan curiga. Mama sudah tua dan aku nggak mau k
Terjadi. Ancaman Yogan pada Olivia benar-benar terjadi. Sebuah paket diperuntukkan untuk Olivia datang bertubi-tubi. Lima paket yang sama di lima hari yang berbeda datang untuknya. Dengan gemetaran Olivia menerima paket dari seorang tangan kurir suruhan Yogan. Anehnya lagi Olivia tidak pernah merasa pernah memberikan alamat tinggalnya pada laki-laki gila itu. Dan hari ini adalah puncak dari kiriman paket yang tidak pernah Olivia buka sama sekali. Kali ini sebuah nomor tidak dikenal mengirim Olivia sebuah pesan singkat dan memintanya untuk melihat isi dari kotak yang dikemas rapi itu. Olivia menjerit lalu terduduk lemas di lantai ketika membuka isi kotak yang ternyata adalah dua ekor bangkai tikus. Sejenak Olivia teringat akan sesuatu. Mungkinkah tikus ini melambangkan Si Kembar? Batin Olivia. Olivia memberingsut menjauh. Olivia ketakutan ditengah sepinya rumah. Hingga tiba-tiba saja Dante muncul dari pintu depan dan tampak kaget dengan apa yang ditem
Wajah Olivia yang memucat jelas mengundang segudang pertanyaan untuk Lussi. Tidak ada yang bisa Olivia katakan untuk mengungkapkan perasaannya sekarang. Olivia cuma ingin tiba di rumah secepatnya dan bertemu Dante. “Via, kamu nggak apa-apa?” Lussi tiba-tiba bertanya. Sayangnya niat Olivia untuk menjawab benar-benar sirna. Olivia tidak ingin membuka mulutnya sampai tiba di rumah. “Via, please bilang sama aku. Aku bisa dimarahi Dante kalau memulangkanmu dalam keadaan seperti ini.” Kembali Olivia tidak menggubris. Tatapannya menerawang jauh tak terselami. Olivia sejenak larut kembali dalam lamunan tidak menyenangkan. Olivia masih tidak bisa melupakan wajah dan senyum seringai milik Yogan. Tidak ada yang berubah, hanya guratan luka di pipinya saja yang berbeda. Ah … masa bodoh! Bukan itu yang Olivia risaukan. Olivia takut kehadiran Yogan malah justru akan mengusik kebahagiaannya atau bahkan menghancurkannya lagi. Mobil Olivia masuk ke pekarangan rumah. De