Gigitan roti panggang dengan nutella melumer di mulut Olivia. Pagi itu benar-benar menjadi pagi yang sempurna bagi Olivia. Dante duduk di depannya sembari mengedipkan mata. Laki-laki itu sepertinya belum bisa menghilangkan kelakuannya yang suka tidak pandang tempat jika ingin bermain mata. Untung saja hanya ada Elok yang menemani mereka berdua di meja makan karena Lussi dan Reihan jelas baru saja terlelap menjelang subuh setelah memergoki mereka berdua semalam. Ah … Olivia benar-benar malu sekali dibuatnya.
“Apa
“Tolong jangan bilang siapapun ya, Mbak.” Olivia tidak bisa mengartikan tatapan Lana di depannya. Lana terdiam mematung saat Yusa tersungkur setelah pukulan cukup keras ditengkuknya. Lana membawa Olivia ke ruangannya di mana hanya ada mereka berdua saja yang tersisa di kantor. Lana meremas tangan Olivia seerat mungkin. Olivia tahu betapa Lana juga takut hal buruk yang paling ditakutkan terjadi kalau saja ia tidak masuk ke ruangan Yusa saat itu. “Biadab itu memang pantas menerimanya,” tukasnya penuh kebencian. “Besok kamu nggak perlu datang kemari lagi, Via. Ini demi keselamatanmu, ok?” Olivia mengangguk pelan sembari merapikan pakaiannya yang berantakan. “Terus nasib Yusa, gimana? Mbak akan membiarkannya begitu saja di sana?” “Selagi dia nggak mati, itu bukan masalah besar. Lebih baik kamu pulang sekarang, Via.” Olivia pun mengangguk tanpa membantahnya lagi. *** Dante menunggunya tepat di parkiran. Tidak ada angin, tida
Pemandangan yang Olivia lihat pertama kalinya adalah senyuman hangat milik Ambar dengan garis-garis wajah yang terbilang sudah tidak muda lagi. Ambar mengusap kepalanya lembut dengan mata yang masih basah oleh bekas airmata. Olivia tidak mengerti kenapa Ambar bisa menangis sesunggukan saat melihatnya membuka mata. Ditambah lagi kenapa juga ia bisa berada di atas ranjang rumah sakit. Olivia tidak paham apa yang menimpanya. Tiba-tiba rasa sakit datang menyerang kepala Olivia. Olivia menoleh sejenak, dan menemukan selang infus yang menempel manis di punggung tangannya dengan balutan perban dipergelangan tangan. Ada apa ini? Batin Olivia. “Bude—" Suara Olivia terdengar parau persis seperti orang yang habis menangis. “Bude, kenapa Via bisa ada di sini?” “Harusnya Bude yang tanya sama kamu. Kenapa kamu nekat mengiris pergelangan tanganmu sendiri? Apa yang membuatmu nekat melakukan itu, Via?” Olivia mengamati perban di pergelangan ta
Lima tahun lalu … Perpustakaan kampus tampak sepi pengunjung hari ini. Cuaca di luar yang terlihat mendung sehingga membuat siapapun malas dan memutuskan betah di kosan masing-masing. Namun tidak berlaku dengan mahasiswa tahun akhir seperti Olivia. Hari itu bertepatan dengan hari terakhir perpustakaan dibuka karena musim liburan tiba. Olivia harus bergegas mengambil buku referensi yang akan ia gunakan untuk tambahan materi penelitiannya kelak. Buku yang dipinjam Olivia terbilang cukup banyak peminatnya, untuk itu Olivia sengaja menitipkannya ke salah seorang teman dan rencananya akan ia ambil setelah perpustakaan ini tutup. Olivia meregangkan punggungnya yang lelah. Sedari pagi hingga petang, tidak ada satu paragraf pun yang berhasil ia ketik di layar notebook. Rasanya tumpukan buku di depannya sekalipun tidak bisa membantunya menemukan inspirasi untuk memulai tulisan. Ponsel Olivia tiba-tiba berdering. Nama ‘Alicia’ muncul di sana. “Eh, sudah mau tutup? Ok, ok, aku
Hidup itu adalah sebuah pilihan. Terdengar mudah, kan? Tapi nyatanya tidak. Memilih tidak semudah itu untuk Olivia. Keinginan terdalamnya tidak semudah itu dikabulkan oleh Sang Maha Kuasa. Setelah peristiwa tragis itu, kehidupan Olivia tidaklah sama. Ia menutup semua komunikasi dengan siapapun. Olivia bahkan tidak sudi bertatapan muka dengan lawan jenis. Tragisnya lagi ia akan menjerit dan berteriak membabi buta apabila anggota tubuhnya tidak sengaja disentuh. Bahkan yang lebih ekstrimnya, Olivia pernah mencoba bunuh diri dengan menyayat nadinya berulang kali. Tidak hanya sekali, tapi berulang kali. Sampai-sampai pihak rumah sakit harus mengikat kedua tangannya di tempat tidur. Kenyataannya korban pemerkosaan tidak banyak yang melapor ke pihak yang berwajib atau ke badan hukum lainnya. Kenapa? Karena mereka malu dengan tatapan masyarakat yang seolah mencemooh, menyalahkan diri Si Korban yang seharusnya butuh pertolongan. Secara mental mereka terguncang. Secara fisik mereka h
Yogyakarta menjadi salah satu tujuan yang sengaja dipilih Olivia untuk menyendiri. Setelah memberikan uang fee pada petugas yang mengantarkan mereka menuju kamar villa, Olivia meletakkan tas yang sedari tadi menempel dipundaknya di atas meja bundar tidak jauh dari posisinya berada. Keheningan sekaligus indahnya kota Yogyakarta di malam hari yang dilihat Olivia dari balik pintu geser, seolah-olah menyeret jiwa terdalam Olivia untuk ikut melebur dalam bayangan malam. Olivia sama sekali tidak banyak bicara sejak pesawat hengkang dari Surabaya menuju ke Yogyakarta. Olivia benar-benar tidak ingin membahas apapun saat ini, detik ini, bahkan tidak ingin terlibat apapun lagi nantinya setelah pikirannya sempat berlari pada kenangan pahit yang telah lama tersimpan bertahun-tahun lamanya. Olivia pun tahu. Tinggal menunggu waktu saja sampai Dante berhasil menemukannya. Jujur saja Olivia tidak ingin pergi dengan cara seperti ini. Jika memang harus berpisah, Olivia ingin perpisahannya kali ini di
Olivia mengaduk-aduk teh di depannya berulang kali. Olivia gugup. Apalagi saat ini sudah ada Iko, Papa Dante yang dengan begitu lahap menikmati semangkuk mie instan buatannya dalam diam. Iko kemudian mendongak memandang ke arah Olivia penuh heran. “Kamu nggak suka teh buatan Om?” tanya Iko memecah keheningan. “Ah ... ng ... nggak ... bukan begitu, Om,” timpal Olivia gelagapan lalu memilih menyeruput segelas teh itu karena merasa tidak enak hati sendiri. “Kamu nggak perlu merasa gugup begitu. Om hanya ingin ngobrol santai denganmu,” lanjut Iko lalu menyudahi santapannya. “Dan terima kasih ya sudah membuatkan Om mie instan.” Olivia hanya menjawabnya dengan mengangguk pelan. “Om langsung pada intinya saja. Jadi kapan kami bisa menemui keluargamu secara resmi?” Mata Olivia seketika melebar pertanda tidak percaya.“Maksud, Om?” Olivia balik bertanya. Iko menghela napas sembari melipat kedua lengannya didada. “Om sudah tahu semuanya,
“Dante ....” Suara familiar menyapa telinga Dante. Lambaian tangan seorang perempuan dengan jeans belel dan kaos merah polos sontak membuat Dante mau tidak mau mengulas senyuman yang sempat hilang barang sejenak. Padahal baru saja semalam mereka melakukan video call, tapi ... ah sudahlah. Intinya Dante dilanda rindu. “Kamu selalu saja membuatku cemas. Apa penerbangannya delayed?” tukasnya. Olivia menggeleng. “Aku ke toilet dulu.” “Satu jam? Perutmu bermasalah?” Olivia menggeleng lagi. “Aku memang sengaja membuatmu menunggu kok.” “Apa?!?” “Aduuh, kalian ini.” Ambar menyela di antara obrolan sepasang kekasih itu. “Tadi Bude yang habis dari toilet, Dante.” “Ya ampun sampai lupa kalau ada Bude. Bude Ambar sehat?” kata Dante sembari mencium punggung tangan perempuan paruh baya di depannya. Ambar menepuk punggung Dante kemudian berkata. “Keadaanmu sudah benar-benar pulih, Dante?” Dante mengan
Tautan tangan Dante disela jemari Olivia sama sekali tidak ingin Dante lepaskan begitu saja. Bahkan ketika keduanya telah tiba di depan pintu apartemen Olivia sekalipun tampaknya Dante masih enggan melepaskan Olivia secara cuma-cuma. Padahal Dante tahu persis jika perempuannya itu capeknya bukan kepalang melewati satu hari ini. “Mau minum teh dulu nggak?” sahut Olivia menawarkan ketika akhirnya pintu apartemen berhasil dibuka dengan salah satu tangannya yang masih bertautan erat dengan Dante. Dante sepertinya serius tidak ingin membiarkannya pergi meski hanya untuk membuka pintu. “Kamu duduk dulu deh,” sahut Olivia lagi sembari menarik lembut tangan Dante agar laki-laki itu mau duduk disebelahnya. “Cerita sama aku apa yang membuatmu nggak puas, hm? Sejak tadi tampaknya kamu nggak rela melepaskan tanganku ini. Seingatku aku nggak mengoleskan lem atau apapun itu. Kenapa bisa jadi lengket begini ya.” Dante menghela napas penjangnya kemudian berkata. “Aku benci h
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Rasanya berlalu begitu cepat. Olivia menengadah menatap langit biru dengan pemandangan laut disekelilingnya. Sepuluh tahun belakangan ini berlalu penuh dengan emosi dan airmata. Begitu banyak yang Olivia curahkan, begitu banyak pula yang Olivia tinggalkan, termasuk hubungannya dengan Dante. Olivia seketika teringat bagaimana dulu pertemuannya dengan Dante dan bagaimana mereka akhirnya menjalin kasih yang berlanjut pada sebuah perpisahan. Berat sekali rasanya sampai-sampai Olivia tidak ingin merasakannya lagi. Olivia mendadak tersenyum ketika merasakan ada sepasang tangan yang terulur memegangi sebelah pahanya yang telanjang tanpa penutup apa-apa. Olivia menurunkan pandangan lalu beradu pandang pada sosok mungil yang menengadah menatapnya. “Kok sendirian? Papa mana?” tanya Olivia. Pemilik sepasang tangan itu adalah seorang gadis kecil dengan wajah bak pinang dibelah dua oleh laki-laki yang Olivia panggil denga
Dante marah besar saat tahu Yusa kembali menghubungi Olivia. Emosinya yang meluap-luap membuat Olivia harus memberikan pengertian pada suaminya itu. “Nggak. Aku nggak mau dengar apapun, Via. Dan jangan pernah memaksaku untuk bersikap tenang disaat aku tahu Yusa kembali mendekatimu. Apa perlu aku menghajarnya sampai mati dulu baru dia mau melepaskanmu? Fine! Akan aku kabulkan.” See? Kecemburuan Dante membutakan mata sekaligus hatinya. Belum ada sepatah kata yang Olivia lontarkan untuk pembelaan, Dante sudah membombardirnya dengan setuja serangan. “Yusa nggak mencoba mendekatiku lagi, Dante. Dia hanya ingin bicara. Lagipula dia bersedia kemari kalau aku memang mengizinkannya.” Dante melebarkan matanya. “Kamu memberitahunya kalau kita di Bali?! Buat apa?” Kecemburuan Dante sudah membuatnya menjadi tidak waras. Semua seolah menjadi hitam dihadapannya. “Via—” “Yusa ingin bicara sesuatu yang penting. Aku nggak tahu itu apa, tapi dia
“Sekarang?!” Olivia mengerjapkan matanya berulang kali. Pasalnya baru tiga hari ke depan Olivia diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dante mengulas senyuman ketika melihat ekspresi terkejut Olivia. Wajar saja! Belum ada satu hari Dante mengungkapkan keinginannya pada Reihan untuk berlibur, tapi hari ini laki-laki itu telah benar-benar melaksanakannya. Reihan yang kebetulan ikut berkunjung mengantarkan kue kiriman Lussi untuk Olivia pun juga terngaga tak percaya. “Bro, baru juga kemarin siang lo bilang rencana ini ke gue, kenapa jadi gini?” protes Reihan. “Lo yang bilang akan handle semuanya. Kenapa sekarang malah protes?” Dante membalas. “Iya sih, tapi nggak hari ini juga. Gue sama sekali nggak ada persiapan. Ini nih yang nggak gue suka dari lo. Suka meledak-ledak kayak ABG.” “Sialan, lo!” umpat Dante tidak terima. “Pokoknya semua file yang perlu lo handle sudah gue kirim by email. Lo tinggal cek dan hubungi klien kita kalau semisal ada komp
Silaunya lampu membuat Olivia memicingkan matanya. Olivia tahu dirinya di mana saat ini. Selimut yang menyelimuti tubuhnya, perban dikepala yang Olivia rasakan, dan juga siapa laki-laki yang tengah tertidur dengan menangkupkan kepalanya dikedua lengan, semuanya dapat menjadi petunjuk bahwa saat ini ia telah berada di salah satu kamar di rumah sakit. Punggung tangan Olivia terulur, mengusap lembut pucuk kepala laki-laki yang terlelap dengan perlahan. Dante mengeliat sesaat karena sentuhannya, berharap supaya laki-laki itu terbangun namun malah membuat laki-laki itu semakin tenggelam ke alam mimpi. Olivia kembali memejamkan matanya. Sangat sulit melupakan kejadian mengerikan itu. Apalagi … astaga! Olivia ingat akan satu hal yang hampir saja ia lupakan. Bagaimana keadaan bayinya? “Hei!” Olivia menoleh saat tahu siapa yang tengah menyapanya. Bahkan dengan wajah bangun tidur pun Dante terlihat sangat menawan. Dante beranjak dari kursi yang ia duduki lalu beralih ke bibir
“Pak Dante, kita harus segera menolong Ibu Via sebelum terlambat.” Dante mengeraskan rahangnya ketika mendengar Olivia juga disekap oleh orang yang sama. Orang yang sama juga pernah meneror mereka beberapa hari yang lalu dengan bangkai tikus. Sejenak Dante terdiam. Teror bangkai tikus itu adalah peringatan yang diperuntukkan untuk kedua keponakannya. Betapa bodohnya Dante tidak bisa membaca segala kemungkinan yang akan terjadi. “Sekarang katakan padaku, Sumi. Gimana keadaan Via di sana?” Mendadak Sumi menangis karena teringat apa yang telah Olivia lakukan untuknya supaya bisa kabur. “Mereka menjambak rambut Ibu Via, Pak. Bahkan terkadang mereka juga menamparnya.” Darah Dante langsung mendidih mendengarnya. Olivianya disiksa. Dan itu sudah cukup Dante jadikan alasan untuk segera menghabisi komplotan itu dengan tangannya sendiri. “Apalagi yang kamu tahu, Sumi? Apalagi yang telah mereka lakukan pada Via? Ceritakan tanpa ada yang terlewat.
Percikan air membangunkan Olivia dari pingsannya. Olivia menyipitkan mata karena silaunya lampu yang menerangi ruangan yang terbilang asing untuknya itu. Rasa sesak mulai dirasakan Olivia akibat debu dan minimnya sirkulasi udara. Olivia memeriksa sekeliling dengan matanya. Ia mencoba menerka serta mencari tahu di mana lokasinya saat ini. Nihil. Tidak ada informasi yang bisa Olivia dapatkan. Kalau begini caranya akan sulit bagi Olivia menyelinap dan meminta bantuan orang sekitar. Pintu besi yang sedari tadi tertutup terbuka lebar. Seringai menjijikkan milik laki-laki brengsek itu mendadak membuat Olivia ingin muntah dihadapannya. Yogan berjongkok, menarik dagu Olivia mendekat. Kemudian tanpa Olivia sadari Yogan sudah melumat bibir Olivia begitu rakus seolah bibir Olivia adalah oase di padang pasir. Olivia memberontak, tapi tangan yang beralih fungsi mencengkram tengkuk Olivia saat ini amat begitu kuat. Yogan menjelajah begitu dalam sehingga mengambil kesempatan Olivia untuk m
Tangan yang menggenggam tangan Olivia berkeringat ketika Dante menceritakan semuanya pada Lussi dan Reihan. Olivia tidak peduli aibnya terbongkar dihadapan kedua sahabatnya itu. Di dalam pikiran Olivia saat ini hanyalah keselamatan Devandro dan Deliandra semata. Kedua bocah gembul itu sama sekali tidak pantas menerima perlakuan karena ulahnya terdahulu. Lussi memutar posisi duduknya menghadap Olivia. Genangan airmata terlihat di sana. “Kenapa kamu nggak bilang, Via? Kenapa kamu bungkam padaku selama ini.” Olivia menepuk punggung tangan Lussi. “Sudah berlalu, Lu. Nggak perlu diungkit-ungkit lagi. Sekarang yang terpenting anak-anakmu. Yogan sudah mengenali Si Kembar dua kali.” “Kalau gitu untuk sementara Si Kembar nggak usah ke sekolah dulu.” Reihan mengambil alih topik obrolan. “Aku pikir itu adalah solusi paling aman.” “Nggak, Rei. Kalau Si Kembar nggak ke sekolah seperti biasanya, maka Mama Elok akan curiga. Mama sudah tua dan aku nggak mau k
Terjadi. Ancaman Yogan pada Olivia benar-benar terjadi. Sebuah paket diperuntukkan untuk Olivia datang bertubi-tubi. Lima paket yang sama di lima hari yang berbeda datang untuknya. Dengan gemetaran Olivia menerima paket dari seorang tangan kurir suruhan Yogan. Anehnya lagi Olivia tidak pernah merasa pernah memberikan alamat tinggalnya pada laki-laki gila itu. Dan hari ini adalah puncak dari kiriman paket yang tidak pernah Olivia buka sama sekali. Kali ini sebuah nomor tidak dikenal mengirim Olivia sebuah pesan singkat dan memintanya untuk melihat isi dari kotak yang dikemas rapi itu. Olivia menjerit lalu terduduk lemas di lantai ketika membuka isi kotak yang ternyata adalah dua ekor bangkai tikus. Sejenak Olivia teringat akan sesuatu. Mungkinkah tikus ini melambangkan Si Kembar? Batin Olivia. Olivia memberingsut menjauh. Olivia ketakutan ditengah sepinya rumah. Hingga tiba-tiba saja Dante muncul dari pintu depan dan tampak kaget dengan apa yang ditem
Wajah Olivia yang memucat jelas mengundang segudang pertanyaan untuk Lussi. Tidak ada yang bisa Olivia katakan untuk mengungkapkan perasaannya sekarang. Olivia cuma ingin tiba di rumah secepatnya dan bertemu Dante. “Via, kamu nggak apa-apa?” Lussi tiba-tiba bertanya. Sayangnya niat Olivia untuk menjawab benar-benar sirna. Olivia tidak ingin membuka mulutnya sampai tiba di rumah. “Via, please bilang sama aku. Aku bisa dimarahi Dante kalau memulangkanmu dalam keadaan seperti ini.” Kembali Olivia tidak menggubris. Tatapannya menerawang jauh tak terselami. Olivia sejenak larut kembali dalam lamunan tidak menyenangkan. Olivia masih tidak bisa melupakan wajah dan senyum seringai milik Yogan. Tidak ada yang berubah, hanya guratan luka di pipinya saja yang berbeda. Ah … masa bodoh! Bukan itu yang Olivia risaukan. Olivia takut kehadiran Yogan malah justru akan mengusik kebahagiaannya atau bahkan menghancurkannya lagi. Mobil Olivia masuk ke pekarangan rumah. De