"Aku tadi lewat restoran langganan kita. Aku inget kamu, jadi aku beliin ravioli kesukaan kamu." Ia mengangkat sedikit paper bag di tangannya untuk menunjukkan kalau ia benar-benar membawa sesuatu untuk Gama. Gama sama sekali tidak berminat, bahkan untuk melirik apa yang ditenteng perempuan di hadapannya itu. "Dari mana kamu tau aku tinggal di sini? Kak Beta?" Harusnya Gama tidak perlu pusing-pusing menebak, karena pasti kakaknya yang memberi tahu perempuan itu. "Gam. Aku cuma pengen kita tetep jadi temen baik meskipun hubungan kita udah berakhir." "Buat apa aku nurutin keinginan kamu kalau keinginanku dulu juga nggak pernah kamu turutin." "Sorry, Gam. I'm really sorry.Can we talk about it? Aku bisa nemenin kamu makan malam sambil--" "Ada calon istriku di dalam. Dan aku nggak mau dia salah paham." Gama menyentuh kotak sensor di handle pintu, hampir menekan pin sebelum ia berpesan sekali lagi kepada perempuan itu. "Jangan pernah lagi datang ke sini! Cuma calon istriku yang bebas ke
“Aku ingetin sekali lagi! Jangan muncul lagi di depanku atau keluargaku.”Yang pertma kali Gama lakukan begitu masuk ke dalam kamarnya adalah menghubungi seseorang yang sudah hampir satu tahun belakangan tidak pernah dihubunginya.Di awal hubungan mereka berakhir, Gama masih beberapa kali menghubungi Arabella. Banyak hal yang mendorongnya untuk melakukan tindakan seimpulsif itu, seperti mabuk, atau yang paling mengerikan adalah … hanya ingin mendengarkan suara Arabella saja. Sebagian besar sambungan teleponnya dulu terputus tanpa mereka bicara sesuatu yang bermakna.“Jauh sebelum kamu ngenalin aku sebagai pacarmu ke ibu kamu, aku udah kenal Ibu kamu sebagai ibunya Beta. Apa aku nggak boleh ketemu ibu sahabatku?”“Iya, aku nggak suka kamu ketemu ibuku. Terserah kalau kamu masih mau ketemu sama Kak Beta, tapi nggak dengan anggota keluargaku yang lain! Aku nggak yakin sama apa yang akan aku lakukan kalau kamu muncul lagi di depanku!”“Kita kerja di bidang yang sama, kayaknya nggak mungki
“Are you ok, Leen? Nggak ngerasa awkward atau apa kan?” tanya Gama begitu mereka mendapatkan kursi dan menunggu pemutaran film dimulai. Beruntung itu bukan film yang diproduksi Gama, atau Aileen harus duduk sendiri, membiarkan Gama untuk naik panggung dan mempromosikan filmnya.“Nggak sih, fine-fine aja, aku kan cuma nemenin kamu.”“Makasih, Sayang,” ucap Gama sambil mengusap pelan pipi Aileen.Andai tidak ada orang di sekitar mereka, Aileen pasti akan memukul Gama atau setidaknya membentak Gama. Namun, karena beberapa orang tengah memperhatikan mereka, Aileen terpaksa memasang senyumnya untuk Gama.Gama balas tersenyum, tahu kalau Aileen tidak bisa membalasnya selama mereka berada di depan umum.“Aiiish, show off banget mentang-mentang dateng sama pasangan.”Gama menoleh ke asal suara dan hanya terkekeh membalas sindiran dari Kemala—yang malam itu hadir mewakili kantor model agency and artist managemenet tempatnya bekerja.“Mala! Sini aja.” Aileen merasa terselamatkan dengan kehadira
“Sah!” Seruan itu bergema di dalam ballroom yang pagi itu menjadi tempat perhelatan akad nikah antara Aileen dan Gama. Gama menarik tangannya yang masih gemetar setelah genggaman tangan dari lelaki yang kini sah menjadi mertuanya terlepas. Ia melirik ke perempuan yang duduk di sebelahnya, yang masih menunduk. Untaian doa masih terucap oleh penghulu dan diaminkan para tamu undangan. Dan di antara semua orang itu, Aileen mungkin adalah orang yang paling serius melantunkan doa. Ini pernikahan yang mungkin tidak diawali dengan cinta menggebu seperti jutaan pasang pengantin di luar sana, tetapi boleh kan kalau Aileen tetap berharap jika pernikahannya akan membawa kebahagiaan dan (kalau bisa) bertahan seumur hidup? Selesai dilantunkannya doa, Aileen dan Gama masih harus menandatangani beberapa dokumen yang disodorkan penghulu. Aileen sama sekali tidak menoleh ke Gama, meskipun dari ekor matanya bisa melihat beberapa kali Gama melirik atau menoleh kepadanya. Dalam hitungan menit, keduan
“Kamu jadi ngundang semua mantanmu?” Aileen benar-benar lupa menanyakannya tadi saat mereka ganti pakaian, hingga saat ini—saat berada di atas pelaminan—Aileen malah teringat dan menanyakannya.“Jadi dong.”“Biar apa coba?”“Biar kayak lagu, ‘Biar mantan tau kisah cintaku kini jauh lebih bahagia’,” jawab Gama sambil menyanyikan lagu yang belakangan ini sering didengarnya.“Norak, Gam.”“Memangnya kamu nggak ngundang?”“Nggak,” jawab Aileen santai. Lagipula ia sudah lama lost contact dengan mantan-mantan pacarnya. Untuk apa membuka percakapan hanya untuk mengundang mereka datang ke pernikahannya.“Itu?” Gama menunjuk seseorang dengan dagunya.Aileen mengikuti arah pandang Gama dan mendapati Bara yang tengah berbicara dengan seorang laki-laki yang Aileen kenal sebagai Direktur Utama Acasa Candra, anak perusahaan dari Candra Group.“Yang ngundang Papa ya. Ya kan kamu tau jabatan dia. Aneh malahan kalo nggak diundang.”“Ada niatan buat kabur sama dia?” tanya Gama penasaran, saat melihat A
“Gam!” Aileen berdiri gelisah di balik pintu kamar mandi. Sekali lagi Aileen memperhatikan isi kamar mandi. Hanya ada satu bath towel dan beberapa hand towel. Berkali-kali pun Aileen cari, tetap tidak ada bathrobe di dalam kamar mandi.Bagaimana ia tidak bingung? Sementara ia lupa membawa pakaian ganti karena buru-buru menahan dress-nya yang tadi hampir lepas.“Iya? Kenapa, Leen? Mau aku masuk?” goda Gama yang sudah siap di depan pintu. Siapa tahu kan Aileen khilaf dan benar-benar mengajaknya masuk.“Baju … baju ganti, aku lupa bawa, boleh minta tolong ambilin?”“Nggak mau ah! Kan ada handuk di dalam.”“Gama!”Gama hanya terkekeh geli, tetapi kemudian berjalan menuju tempat koper Aileen diletakkan. Namun, baru setengah jalan, terdengar teriakan lagi dari Aileen."Gama! Nggak jadi. Bath robe aja, please." Aileen baru ingat kalau di kopernya juga ada beberapa pakaian dalam miliknya. Dan meminta Gama untuk mengambilkan pakainnya, sama artinya dengan memamerkan pakaian dalamnya di dalam k
“Kartu akses buat kamu. Pin di pintu udah kuganti sama tanggal pernikahan kita, tapi ntar kita ganti lagi aja biar aman.”Aileen masih bergeming di depan pintu unit apartemen Gama.“Ayo, masuk.” Gama mendorong koper Aileen lebih dulu, baru kemudian menarik tangan Aileen agar ikut masuk. “Kenapa sih malu-malu? Semalem kan udah tidur bareng.”“Literally tidur ya!” protes Aileen.“Ya kamu langsung merem begitu dipeluk. Udah nyaman banget ya?”Aileen merotasikan kedua bola matanya dengan malas. Bisa dipastikan Gama akan menjadikan hal itu sebagai senjatanya untuk beberapa waktu ke depan.“Lemarinya yang sebelah kanan udah aku kosongin, tapi mungkin nggak akan cukup kalau kamu bawa semua bajumu. Hmm … bawa seperlunya dulu ya. Nanti kalo rumah udah jadi, kamu bebas bawa barang kamu.”“Kamar yang satunya kan kosong, Gam.”“Kan kita udah sepakat nggak pisah kamar.”Aileen terpaksa mengikuti langkah Gama menuju kamar mereka. “Nggak ada guling, Gam?” Ia menatap Gama dengan curiga.“Ada. Ini.” G
"Aku mau nyari beberapa barang di supermarket," ucap Arabella begitu mereka sampai di mall."Kita pisah di sini kalo gitu. Aku sama istriku mau nyari keperluan pribadi."Aileen menoleh pada Gama dan menatap laki-laki di sampingnya itu dengan bingung. Mereka kan tadinya juga berniat untuk ke supermarket."Inget, kamu mau nyariin sesuatu untukku dan aku nyariin sesuatu untuk kamu. Barang yang aku cari tempatnya bukan di supermarket."Pada akhirnya Aileen mengangguk. Sudah cukup rasanya menghabiskan waktu dengan mantan suami selama dalam perjalanan dari apartemen ke mall."Nggak apa-apa kita pisah di sini kan, Ra?" tanya Aileen basa-basi."Iya, iya, nggak apa-apa. Makasih ya tumpangannya. Bye Leen, Gam."Aileen mengangguk singkat menanggapi salam perpisahan dari Arabella, sementara Gama sama sekali tidak bereaksi dan malah melingkari pinggang Aileen dengan tangannya. Biasanya Aileen memiliki pengendalian diri yang baik di depan umum, jadi Gama yakin kalau Aileen tidak akan mengamuk meski
"Kamu serius?" Gama mengernyitkan kening setelah mendengar permintaan Aileen sore itu. Aileen mengangguk dengan wajah penuh harapnya. "Kenapa tiba-tiba?" Gama masih belum bisa menghilangkan rasa herannya. Meski memang sejak ada seorang putri menggemaskan di tengah-tengah mereka, Aileen jadi lebih lembut dan … hopeless romantic—kalau bisa Gama simpulkan dengan sebuah frasa. Dan Gama tidak pernah keberatan menghujani Aileen dengan keromantisan seperti yang diinginkan Aileen. "Pengen aja, Gam. Nggak mau ya?" Aileen tidak sadar kalau ia memperlihatkan rasa kecewanya karena Gama seakan menolak ajakannya. "Bukan nggak mau. Tapi semuanya pasti udah beda. Nggak bakal sama kayak dulu. Udah puluhan tahun kan." "Ya nggak apa-apa. Sekalian olahraga. Ya?" rengek Aileen. "Jarak segitu mana bisa disebut olahraga, Cinta. Kalau dulu aja kita kuat apalagi sekarang." "Tapi kan—” Aileen langsung terdiam saat Gama berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri. Ia akhirnya bisa terseny
“Kakek juga punya villa di Bandung, ngapain kita nginep di hotel?” Aileen mengerucutkan bibir kala mobil yang dikendarai sopir berhenti di depan sebuah hotel. Ya meskipun ia juga salah satu bisnis di bawah jaringan Candra Group, tetap saja ia lebih nyaman jika menginap di villa kakeknya. “Villanya Kakek lagi direnov kata Mama.” “Hah? Renov? Apanya?” “Cuma dirapi-rapiin aja dikit. Nanti kita ke sana kok, Mama minta tolong aku buat sekalian ngelihat hasilnya. Tapi sekarang kamu mesti istirahat dulu. Villa Kakek masih ke atas lagi kan, sekitar satu jam dari sini. Kita udah empat jam di perjalanan. Aku nggak mau kamu kecapekan, jadi kita mesti istirahat dulu.” “Iya kita lama di perjalanan itu karena kamu berkali-kali nyuruh sopir buat pelan-pelan.” “Kan biar Kakak nggak keguncang-guncang.” Aileen mengernyitkan kening. Kadang ia masih bingung dengan panggilan ‘Kakak’ yang disebut Gama. Pasalnya dari kecil pun ia dipanggil ‘Kakak’ oleh semua anggota keluarganya, termasuk mama dan papan
“Aku mau nikahin Aileen lagi.”Tiga orang di hadapan Gama—Ervin, Yara, dan Kemala—menatap Gama dengan bingung.“Maksudku, aku mau … semacam ngulang acara pernikahanku sama Aileen. Akad nikahnya sih nggak. Cuma perayaannya aja,” terang Aileen saat melihat ketiga orang di hadapannya benar-benar terlihat kebingungan. “Bisa bantu aku? Karena aku maunya ini jadi kejutan buat Aileen, aku nggak bisa nanya langsung dia maunya gimana. Kalian sebagai orang terdekat Aileen, pasti pernah dong denger gimana pernikahan impian Aileen.”“Emangnya itu bakal ngobatin sakit hatinya Kak Aileen?” sindir Ervin terang-terangan.“Mungkin nggak. Tapi aku mau mewujudkan pernikahan impian Aileen.”Gama sudah memikirkannya jauh-jauh hari. Mungkin ia tidak bisa mengobati sakit hati Aileen karena kelakuannya dulu yang menjadikan acara pernikahan mereka sebagai ajang balas dendam kepada mantan kekasihnya. Tapi setidaknya, ia ingin Aileen memiliki kenangan tentang acara pernikahan yang pernah Aileen impikan.“Jadi,
“Kak Beta, ini adeknya bisa dibawa pergi nggak? Apaan sih? Ngomong aneh-aneh,” gerutu Aileen. “Kamu pikir aku sejahat apa sampe bisa gugurin anakku …, kalau bener aku hamil. Aku bukan dia.”Gama menutup mulutnya, begitu juga dengan Beta yang entah mengapa merasa tersindir, padahal Aileen tidak berniat menyindir siapa pun. Ia hanya mengungkap fakta.“Kayaknya kalian perlu ngobrol. Aku tinggal ya, Gam. Kopermu nanti biar dianter orang ke rumahmu.” Beta lantas beralih ke Aileen. “Selamat ya, Leen. Jangan lupa cek lagi ke dokter.”Aileen hanya bisa mengangguk sambil menatap kepergian kakak iparnya itu. Ia masih malas melihat Gama yang ada di hadapannya, padahal berminggu-minggu sebelumnya ia benar-benar ingin bertemu dengan Gama.“Mau ke dokter sekarang? Kak Beta ada jadwal praktek jam dua. Tapi kalo kamu mau ke dokter lain, coba … biar aku tanya ke stafku di kantor, ada yang udah punya anak kok. Siapa tau dokter kandungannya bagus. Atau … tanya Mama—”“Gam.” Aileen menggeleng. “Jangan bi
"Gama!""Hm?"Kemala semakin menggeram kesal mendengar gumaman Gama. Jelas kalau Gama baru saja bangun tidur atau bahkan sekarang pun masih memejamkan mata setengah tidur."Lo tau kan kalo Aileen nggak enak badan? Lo tau kan kalo Aileen muntah-muntah?" sentak Kemala."Hm?""Bangun, Gam! Gue perlu ngomong serius sama lo."Aileen menatap kosong kepada Kemala. Ia sedang mengabaikan kenyataan bahwa Kemala sedang menghubungi suaminya karena ada kemyataan lain yang harus ia hadapi.Gama terkesiap. Ia kini benar-benar dalam mode siaga. "Aileen kenapa, Mal? Lo masih sama dia kan?""Udah gila ya lo? Denger istri lagi begitu bukannya pulang? Nggak mampu beli tiket lo? Apa urusan di sana lebih penting daripada istri lo?""Mal, Aileen kenapa?"Kemala masih berusaha menenangkan diri sambil mengatur napasnya. Di otaknya hanya ada sumpah serapah untuk Gama. Karena itu, ia tidak menjawab apa pun yang ditanyakan Gama. Fokusnya adalah mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada di kepalanya."Pulang lo pagi
“Kamu mau balik, Kak? Ngapain? Di rumah juga nggak ada orang kan.”“Kangen rumah, Pa,” jawab Aileen sembari ikut duduk di samping papanya dan bergelayut manja di lengan sang Papa.“Kangen rumah apa kangen suami? Belum pulang juga tuh si Gama? Emangnya nggak bisa nyempetin waktunya? Weekend gitu, pulang ke Jakarta sebentar. Cuma Kalimantan loh, bukannya Amerika.”“Masalah di tambang belum selesai, Pa. Kalo dia pulang, malah makin lama di sananya nanti,” jawab Aileen menenangkan sang Papa yang sepertinya mulai kesal.Apa itu artinya Aileen tidak kesal dengan suaminya?Jangan salah! Aileen juga kesal setengah mati karena Gama tidak kunjung pulang setelah satu bulan pergi ke Kalimantan. Kadang ia bahkan curiga kalau Gama memiliki perempuan lain di sana. Namun, sleep call yang mereka lakukan setiap malam tidak menunjukkan hal-hal yang mencurigakan."Ajak Bibi, atau Mbak, atau siapa pun dari sini, Kak. Mama sama Papa nggak tenang kalo kamu sendirian di rumah." Rhea menepuk punggung tangan A
“Dari mana lo yakin dia nggak akan balik lagi?” “Yakinlah, at least untuk sementara.” Kemala mengangguk pasti. “Kontraknya lima tahun. Lama ya tanda tangan kontraknya kalo diitung-itung, hampir satu tahun kan ya, setelah kalian depak dia dulu. Tapi sekarang lo bisa lega kan?” Aileen terkekeh. Memang lebih lama dari yang diperkirakannya. Ia dan Gama juga tidak terlalu mengurus kepindahan Arabella atau apa pun yang berkenaan dengan perempuan itu. Namun, pada akhirnya ada kepastian bahwa Arabella akan berkarir di luar untuk sementara waktu. Meski tidak ada yang namanya kontrak untuk selamanya. Suatu hari nanti, kemungkinan besar Arabella akan kembali lagi. Entah apa yang akan terjadi pada hubungannya dengan Gama ketika hal itu terjadi. Lima tahun lagi, mungkin saja hubungannya dengan Gama jadi lebih erat dengan hadirnya seorang anak. Atau … mungkin juga hubungannya jalan di tempat seperti sekarang karena ia yang masih merasa ragu dengan hubungan rumah tangganya. Ini bukan hanya tenta
“Beneran nggak ada kerjaan urgent?”Aileen mengangguk begitu mendengar pertanyaan Gama yang dilemparkannya berkali-kali sejak suaminya itu memintanya untuk ikut bertemu dengan Adit—suami Beta.“Mas Adit ngebolehin nggak ya kalo aku ngajak Risa ke rumah Ibu?” Gama menggaruk kepalanya yang tidak gatal.Perceraian Beta dan Adit memang masih dalam proses. Tapi karena Adit juga masih harus bekerja dan Adit tidak ingin Risa terkontaminasi dengan kelakuan buruk Beta, maka Adit membawa Risa ke Semarang untuk diasuh oleh orang tuanya. Itu juga yang sedang diperjuangkan Adit—hak asuh Risa.“Nanti kita coba yakinin, kalau niat kita cuma ngobatin kangennya Ibu, bukan mau ngambil Risa dan bikin Risa jauh dari Mas Adit.”Jam makan siang sudah hampir berakhir ketika Gama memarkirkan mobilnya di area parkir sebuah hotel.“Ayo, Mas Adit udah nunggu di lobby.”Benar seperti yang dikatakan Gama, Adit tengah duduk di sofa yang berada di lobby hotel sembari memangku Risa yang masih berumur dua tahun.“Hai
“Iklan yang itu cancel juga, Ra.”Arabella menatap manajernya dengan tatapan nyalang. “Gimana sih kamu? Gitu aja nggak becus! Udah berapa iklan yang cancel? Berapa acara yang juga cancel? Kamu bisa bayangin nggak seberapa besar kerugianku?”Jemmi menggaruk pelipisnya. Ia juga tidak bisa apa-apa ketika klien artisnya itu satu per satu memutuskan untuk mundur. Bukan ia tidak becus, tapi ia sudah mencoba negosiasi ulang, berkali-kali, tetapi tetap saja klien mereka memutuskan untuk membatalkan kontrak, baik yang sudah ditandatangani, atau bahkan yang masih tawar-menawar.“Turunin rate-ku deh,” ketus Arabella. Ia yakin banyak juga artis di luar sana yang menurunkan rate-nya di masa paceklik seperti dirinya sekarang. Ini bukan lagi perkara ‘yang penting dapur ngebul’. Kalau hanya untuk urusan hidup sehari-hari, tabungannya jauh lebih daripada cukup. Tetapi ini masalah eksistensi di dunia hiburan. Jangan sampai orang-orang lantas lupa ada seorang artis yang bernama Arabella.“Sudah, Ra. Kam