“PIIP PIIP PIIP PIIP PIIP PIIP, CKLEK!”
Spontan, aku menoleh ke arah lorong yang menghubungkan ruang tengah dengan pintu depan. Bunyi barusan adalah bukti autentik bahwa seseorang di luar sana sedang memasukkan enam digit passcode dengan benar dan membuat kunci pintu apartemenku terbuka. Benar saja. Tak lama kemudian, aku mendengar suara pintu yang baru dibuka.
Dari etikanya, aku cukup yakin kalau si tamu kurang ajar bukanlah Zean. Meskipun pria itu tahu passcode apartemenku, ia tidak pernah langsung nyelonong masuk seperti tamuku kali ini. Dan dari semua orang yang kukenal dan pernah berkunjung kemari, hanya satu oran
Biasanya, aku suka melihat hal yang indah, tidak terkecuali senyuman pria tampan. Namun, kali ini ada pengecualian. Yup! Ini gara-gara adik bungsuku yang sedang dalam mode bawel tanpa jeda.Begitu Zean tiba di apartemenku tadi, aku segera meminta penjelasannya. As expected of Zean, ia berhasil menjawab dengan kalimat yang … lebih meneduhkan hati. Sama sekali berbeda dengan Chris yang membuatku makin tersulut emosi. At least, aku bisa lebih bisa menerima keikutsertaan bocah itu dalam perjalanan ke Jepang kali ini.Sayangnya, adik bungsuku itu tidak membuat situasi membaik.Oke. Ia memang menjadi penurut dan sangat kooporatif saat ada Zean
Sebenarnya aku sudah memikirkan beberapa kemungkinan yang akan menjadi jawaban Zean. Namun, aku ingin mendengarkan langsung dari mulutnya, sekedar memastikan apakah otakku berhasil membaca kode Zean, atau justru aku yang besar kepala.“Feel free to buy some dresses for the party with it.”Oh. ternyata aku yang besar kepala. Beruntung, aku tadi bertanya lebih dulu. Jadi, aku tidak akan bertingkah bodoh karena salah paham.“I have my own card, Zean. It’s ok. I’ll buy my dress with my own money,” tolakku halus.“Kak Eka,” panggil Chris tiba-tiba.
Sinar matahari begitu terik. Namun, semangat para penonton di tribun sama sekali belum reda. Bahkan, mereka semakin bersemangat karena pertandingan sudah memasuki inning terakhir dengan kedudukan yang hanya selisih dua run. Situasi semakin memanas ketika sang batter bertubuh kecil itu berhasil memukul bola menukik hingga membentur pagar pembatas dengan kencang. Otomatis, aku pun ikut bersorak, ketika pelari di base tiga berhasil mencapai home, sementara pelari setelahnya dan juga si batter barusan mengisi base ketiga dan kedua. Pertandingan semakin memanas ketika p
Pakaiannya kasual. Ia mengenakan kaos polos berwarna putih di balik jaket denim dengan celana berwarna senada dengan jaketnya. Jika dibandingkan orang-orang yang mengantri di sekitarnya, ia tergolong pria yang tinggi. Punggungnya yang tegap, kulitnya yang putih, rambut hitamnya yang dipotong pendek dan rapi, serta sisi wajahnya yang terlihat ketika ia menoleh, semuanya benar-benar membuatku teringat pada pemuda sok sibuk yang sampai sekarang belum membalas email terakhir yang kukirimkan. “Udah mati kali tuh orang.” Itulah komentar dari beberapa teman kampusku tentang seseorang yang dulunya selalu ada, tetapi mendadak tidak pernah memberikan kabar. Bisa jadi mereka komentar begitu karena saat itu topik pembicaraan kami mengarah tentang para pelaku gho
Sepanjang perjalanan, aku sudah membayangkan kalau akan ada perbedaan signifikan dari pesta bisnis yang selama ini kami hadiri. Nyatanya, memang banyak. Yang paling mencolok adalah bahasa yang digunakan.Sebenarnya aku cukup cemas karena Kobayashi-san, wanita cantik yang dipekerjakan Zean sebagai bodyguard dan juga interpreter untukku sejak kami menginjakkan kaki di Jepang, dilarang sang boss untuk menghadiri pesta ini. Padahal, sepanjang pengamatanku, ada beberapa tamu yang didampingi penerjemah.Well, Zean memang bilang kalau aku tidak perlu penerjemah selama aku bersamanya. Namun, kalau memang begitu, bukankah itu artinya ia menyuruhku untuk menempelinya sepanjang pesta? L
"Kak, ke Disneyland, yuk!"Aku melirik Chris sekilas, kemudian kembali fokus menyantap sarapanku."Sorry, not today, Brother. Siang nanti aku mau nonton pertandingan.""Baseball lagi?" tebaknya.Aku mengangguk, dan terdengarlah suara helaan napas panjang dari arah pemuda yang duduk di seberangku. Ia terdengar kecewa, tetapi aku tidak ambil pusing."Kak Eka nggak seru," oloknya tiba-tiba yang ⏤tentu saja⏤ aku abaikan.Menurutku, ia sudah cukup dewasa untuk melancong sendirian. Kalaupun ia memang per
Menjadi seorang kakak memang tidak mudah. Terlebih, jika menjadi kakak seorang Chris Reefhitch.Bukannya tidak bersyukur, tetapi menghadapi Chris memang agak menyusahkan. Terutama saat harus menanggapi "perhatian"-nya yang kadang ditunjukkan dengan cara yang … agak menyebalkan.Mungkin bagi sebagian orang, membuat kesal saudaranya adalah hal yang biasa. Well, kuakui, aku pun kadang-kadang melakukannya juga untuk membalas keusilan kedua saudara laki-lakiku. Namun, aku merasa kalau aku tidak pernah melakukan hal itu sesering yang dilakukan kak Naki dan Chris terhadapku.Apakah ini efek karena DNA papa Ian yang dominan di tubuh mereka?Well
"Lho?"Aku menoleh, lalu menatap Chris heran. "Kenapa, Chris?"Pemuda itu menunjukkan layar gawainya ke arahku."Tumben Kak Zean telepon aku," gumamnya ikut heran sambil mengusap lingkaran hijau ke tengah layar agar telepon tersambung. Kemudian, ia menekankan logo pengeras suara sehingga aku juga bisa mendengarkan."Hallo, Kak.""Hai, Chris. Apakah sekarang Anna bersamamu?"Chris langsung menoleh ke arahku, dan aku langsung tahu maksudnya."Ya, Zean. Aku di sini. Ada apa?""Anna? Do you lose your phone?"
Netra biru itu melebar sekilas. Ia menatapku tidak percaya. Lebih tepatnya, ia terlihat seperti tidak menyangka kalau aku akan mengaku secepat ini. Tepat ketika Zean mengalihkan pandangan sambil menghela napas panjang, aku sudah mulai menyiapkan hati untuk omelan yang lebih panjang. "HAHAHAHA!" Bukannya omelan, yang terdengar setelah helaan napas yang dramatis itu justru tawa lepas Zean. Otomatis, dahiku langsung mengernyit. Tak kuasa, aku menatap Zean heran separuh bingung. Bukankah tadi dia sedang marah? Kenapa sekarang Zean malah tertawa? Memangnya ada yang lucu? Sayangnya, alih-alih menjawab keheranan yang terpancar di wajahku, si tampan di layar gawaiku itu malah menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ekspresinya menunjukkan seolah ia sedang berusaha keras menahan tawa saat netra birunya menatapku. Yang lebih parah, tawa Zean tidak juga berhenti setelah lima detik penuh, meskipun tawanya sudah agak reda. Wah! Ini benar-benar rekor! Pasalnya, Zean yang aku kenal selama ini
"Apakah seharusnya aku tidak mengingat lagu itu?" Sengaja, kuungkapkan salah satu prasangkaku. Selama beberapa detik, tidak ada jawaban dari tempat Zean. Namun, saat aku akan memeriksa layar gawaiku, memastikan bahwa telepon masih tersambung, tiba-tiba terdengar suara tawa. Ya. Zean memang tertawa, tetapi entah kenapa aku merasa kalau tawa Zean terdengar sedih. "Bukan begitu, Anna. Aku justru senang Anna mengingatnya, karena aku sendiri hampir melupakannya." Kali ini Zean terdengar tulus. Sama sekali tidak berusaha menutupi nada sedih seperti beberapa detik yang lalu. "Terima kasih karena masih mengingat dan menyanyikan lagu itu untukku, Anna. I think I'll have a really nice dream tonight." Kedua ujung bibirku tak kuasa terangkat. Dalam benak, aku membayangkan Zean, dengan wajah letihnya, sedang tersenyum saat mengatakannya. "Istirahatlah, Zean. Thank you for the best present ever. Good night. Sleep tight." "My pleasure, Princess. Good night." ***** "Ma," panggilku lirih
"HOAAEEEMM!" Tiba-tiba Zean menguap. "Can we talk about it next time, Anna? Please?" mohonnya dengan nada lelah. Apakah Zean sedang berusaha menghindar? "Karena ini akan jadi pembahasan yang panjang, Anna. Dan menurutku, akan lebih baik jika aku menjelaskannya secara langsung padamu. Bagaimana?" "Lagipula, aku juga tidak ingin menyita waktu istirahatmu lebih lama dari ini," imbuh Zean lagi setelah jeda sedetik. Usai menimbang keputusan selama beberapa saat, aku mengangguk pelan. Ketika aku melihat jam dinding, ternyata sudah jam dua subuh. Pantas saja tadi Zean bicara begitu. "Baiklah. Ini sudah terlalu larut, dan kamu juga perlu beristirahat." Diam-diam, aku menghela napas panjang. Menyesali kebodohan dan tingkahku yang tidak tahu diri. Bisa-bisanya aku sempat berpikir untuk menginterogasi Zean saat ini juga demi memuaskan rasa penasaranku. "Should I sing you a lullaby?" tanya Zean tiba-tiba. Setelah berkedip dua kali dan mencerna kata-katanya, aku spontan tertawa. "Kan
Aku menyipitkan mata menatap Papa. “Papa tidak percaya pada kemampuanku? Atau Papa tidak suka aku magang di sana?” Sejujurnya, aku sedikit terluka dengan cara Papa mengucapkannya. Aku tak kuasa merasa bahwa Papa meremehkanku. Atau memang sejak awal, Papa tidak memiliki ekspektasi apa pun padaku? Karena itu, ia berpikir kalau kepercayaan diri tentang hasil studiku adalah hal yang menggelikan? Papa menatapku sekilas, lalu menggeleng. “Maksudku bukan begitu.” Ia berdehem sekilas, lalu melanjutkan bicara. "Aku yakin kau akan diterima magang di sana. Hanya, aku tidak yakin kau akan betah magang di sana." Alisku berkedut. Dahiku mengernyit. "Memangnya kenapa?" "Sayang? Astaga! Ternyata kau ada di sini!" Seketika, pembicaraan kami terputus. Fokus mata kami beralih pada sosok yang baru saja memasuki dapur. Dengan langkah lebar dan wajah penuh kelegaan, perempuan cantik yang mengenakan camisole dress dengan motif yang sama dengan piyama Papa itu menghampiri kami. Ia menarik kursi di samp
Papa mengangguk santai."Ada 'Tikus' di perusahaan yang membawa kabur dana perusahaan dengan jumlah yang cukup besar. Sialnya, ternyata dia cukup cerdik dan licin karena butuh waktu yang agak lama untuk menangkapnya," cerita Papa sambil mengambil lagi sepotong puding mangga ke dalam mangkuknya."Kebetulan, peristiwa itu juga terjadi pada saat kondisi keuangan perusahaan sedang tidak bagus. Jadi, efeknya cukup berat, dan tuntutan dari para pemegang saham membuat situasi menjadi lebih buruk lagi."Papa diam sejenak sambil menatapku beberapa saat, seolah sedang memeriksa reaksiku. Jadi, aku balas menatapnya dengan tatapan menyimak."Lalu, apa yang terjadi?" tanyaku.Papa menarik salah satu ujung bibirnya dan membentuk seringai s
Langit di luar sana masih gelap. Angka yang berfungsi sebagai penunjuk waktu di layar gawaiku juga menegaskan bahwa sekarang masih tengah malam. And here I am, tiduran di atas tempat tidur dengan benak dan mata yang masih terjaga seratus persen. Jadi, daripada aku membuang waktu tidak jelas karena tidak bisa tidur, lebih baik aku membuat susu hangat. Well, rencananya sih begitu. Tetapi ketika aku membuka pintu lemari es, hatiku langsung dicobai. Bagaimana tidak? Padahal tadi pagi aku cek lemari es ini hanya berisi sayur dan buah-buahan. Sama sekali tidak ada camilan. Namun, di depanku sekarang ada dua kotak besar dengan logo toko dessert kesukaanku yang ditata bersisian di sab tengah. "TUNGGU DULU! Jangan-jangan ini puding dan fruit cake yang Mama bilang tadi?" Daripada bimbang terlalu lama, aku nekat mengeluarkan salah satu kotak dan memeriksanya. Kalau memang isinya bukan dessert yang kuinginkan, aku tinggal mengembalikan ke tempat semula, 'kan? Dengan hati-hati, aku letakka
Dari segala situasi yang pernah kualami, saat ini adalah momen terlangka dalam hidupku. Bagaimana tidak? Orang yang selama ini berkoar-koar akan selalu memihakku, malah berada di seberang, tempat "lawanku" berpijak. Sementara sosok yang selama ini kupikir sama sekali tidak menyukai eksistensiku, malah mengeluarkan statement seolah ia berada di pihakku. Well, secara keseluruhan, yang diucapkan Papa Ian memang terdengar normal. Netral. Tidak berpihak. Namun, pada saat yang sama, aku merasa sedang dibela. "Kau sudah makan malam?" Pertanyaan Papa Ian kemudian membuatku kembali terkejut.
Suasana di sekitarku perlahan menjadi senyap. Sambil menatapnya menyimak, aku berusaha fokus mendengarkan suara Zean.“Lho? Kak Eka sudah pulang?”ASTAGA!Seketika aku terlonjak kaget. Kemudian, aku segera menoleh ke arah asal suara.Rencananya, aku hendak memarahi adik bungsuku karena memanggilku tiba-tiba dan membuat Zean mengurungkan penjelasannya. Namun, ketika aku melihat Chris yang sedang berjalan ke arahku sambil memberiku tatapan bingung, aku langsung membatalkan niatku.Memarahinya di lokasi yang masih bisa didengar oleh Papa Ian tidak akan memberikan kesan yang baik pada reuni kami. Jadi, aku hanya menghela napas panjang, berusaha menenangkan jantungku yang masih berdegup kenca
Awalnya, aku memang ingin menyerah untuk menebak hadiah dari Zean. Sayangnya, rasa penasaranku jauh lebih besar. Jadi, meskipun aku terus berusaha mengalihkan pikiran, imajinasiku selalu kembali memikirkan segala kemungkinan yang bisa menjadi hadiah pria itu.“Kamu nggak kasih hadiah yang berbahaya ‘kan, Zean?” tanyaku curiga seraya melirik Zean tajam ketika kami berdiri di depan pintu rumahku.Pria yang berdiri di sampingku itu langsung menahan tawa setelah mendengar pertanyaanku.“Kalau Anna memang sepenasaran itu, bagaimana kalau kuberitahu saja apa hadiahnya?” tawarnya sambil menatapku menggoda.Segera, aku menggeleng tegas. “Nggak! Nggak usah! Jangan spoiler