“Kamu hanya menakutiku kan Nad, aku tahu kamu hanya ingin agar aku meragukanmu.”
“Kenapa kamu begitu ingin mempertahanku Zayn, bahkan jika hanya ada 1 laki-laki dunia. Lebih baik hidup sendiri dari pada harus kembali hidup sama kamu. Sekali selingkuh, maka ke depannya kamu akan mengulangnya lagi. Aku ke sini hanya ingin memastikan semua tuntutan yang aku minta terpenuhi. Hanya itu.”
“Kamu sudah berubah, Nad.”
“Ya, kamu yang mengubahnya.”
Nada memilih kembali duduk dan menatap lurus ke depan, mengingat hakim sudah memasuki ruangan. Pertanda sidang akan segera di mulia. Bahkan, di detik terakhir Zayn masih saja berusaha untuk mencari kesempatan agar sidang ini ditunda.
Namun, Nada yang saat itu sudah mempersiapkan semua bukti perselingkuhan yang tentunya semakin memberatkan Zayn, membuat hakim akhirnya memutuskan gugatan itu dimenangkan oleh Nada.
Pada akhirnya Zayn terpaksa mengucap t
“Jangan bicara omong kosong! Kamu pikir aku akan percaya!”“Karena, kamu bodoh dan lugu, makanya sangat mudah ditipu. Kamu pikir kenapa ibu selalu membiarkan aku merebut semua hal yang menjadi milikmu? Dia bahkan hanya diam saja dan enggak pernah membelamu? Itu, karena dia hanya, karena demi menebus dosa besarnya.”Gavin terduduk di lantai, sembari mengusap darah segar yang keluar dari sudut bibirnya, pria itu mengambil kesempatan untuk bangkit dengan bertumpu pada bangku di depan meja rias.“Kamu benar Zayn, di antara kita memang harusnya ada yang mati. Kamu atau aku! Ayo selesaikan di sini sekarang juga! Sudah lama aku menunggu untuk hari ini.”Saat itu, Gavin sudah sempoyongan. Ia bahkan harus menyeret tubuhnya hanya untuk mendekati Zayn yang masih berdiri kokoh. Aroma khas khamr memenuhi ruangan. Gavin memang senang sekali mabuk.Bukannya bertobat, karena kehilangan keluarga. Ia justru semakin brutal
“Kamu selalu begini padaku, apa maksudnya?” tanya Zayn.“Tugas kita hanya membesarkan Arnav, menjadi orang tua yang baik untuknya, selain itu aku pikir enggak ada yang perlu kita bicarakan.”“Kamu bahkan enggak mau jadi temanku?”“Kenapa kita harus berteman?”“Oke, Nad. Aku akan pergi dari sini, tetapi terima kasih karena telah mencintaiku setulus itu di masa lalu. Meskipun, sampai hari ini aku yakin kamu belum benar-benar melupakanku. Rasanya terlalu cepat menghapus semua kenangan yang kita ciptakan dulu.”“Kalau, enggak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Aku harus pergi, masih banyak hal yang harus aku kerjakan. Kamu boleh duduk di sini, jika mau.”Nada bangkit dari tempatnya, sedang Zayn benar-benar melakukan seperti apa yang Nada perintahkan. Duduk tenang di bangku sambil menatapnya menata bunga-bunga. Bahkan, kehadirannya benar-benar seperti tak berarti untuk
Nada begitu menikmati pemandangan di depannya. Sambil terus memasukkan tusuk demi tusuk sate ke dalam mulutnya. Sesekali tawanya pecah, melihat bagaimana anak-anak remaja perempuan begitu antusias dengan Ali.Padahal, pria itu sudah beranjak 40 tahun, Nada mulai mempertanyakan apakah selera remaja zaman sekarang sudah berubah haluan, menjadi pria matang yang bahkan lebih cocok menjadi ayahnya.Tidak terasa, 40 tusuk sate telah habis. Namun, sepertinya Nada masih saja ingin mengunyah sesuatu. Ia sedikit mual, karena terlalu banyak memakan daging. Sebagai pencuci mulut. Nada meneruskan kembali memakan salad buahnya yang masih tersisa banyak.“Bang bungkus 3 porsi lagi!” ucapnya.Sungguh kali ini setelah minum perutnya benar-benar merasa penuh. Jadi setelah pesanannya selesai dibuat. Ia memutuskan untuk berkeliling sebentar setelah menunaikan salat magrib.Namun, ia benar-benar kalap. Di festival pesta rakyat ini, banyak
“Siapa?”Saat itu bukannya menjawab. Ali justru hanya mengukir senyum.“Kepo!” katanya.“Sudahlah, lupakan saja! Kamu sendiri, kenapa makan begitu rakus? Apa perceraian itu membuatmu sakit hati, sampai-sampai melampiaskannya pada makanan? Kamu ini wanita macam apa? Di mana-mana orang galau itu enggak mau makan, bukan tambah nafsu.”“Enggak begitu, aku hanya sudah lama enggak mencicipi makanan ini.”“Hah? Apa suamimu segitu pelitnya sampai sate pun enggak sanggup dia belikan. Sini ayo! Aku ajak kamu makan 100 tusuk lagi!”“Ck, sudahlah. Kamu ini meledek terus, kamu pikir lambungku sebesar apa?"“Lah, memang besar ‘kan?”“Nyebelin ih, lagi serius masih saja bahas sate. Zayn bukannya enggak pernah membelikanku makanan ini dan itu. Hanya saja, kami memang jarang punya waktu untuk makan di luar?”“Kenapa?”&ldquo
“Siapa juga yang menunggu kamu, ck! Kepedean!” kata Ali.Tangan pria itu bergerak membuka kemasan teh, dan mulai mengecek 1persatu kantong di dalamnya. Tak puas dengan itu, Ali bahkan menghidu aromanyadengan sangat teliti.“Syukurlah, kalau dugaanku salah. Aku hanya takut, kamu semakintua, lalu memutuskan untuk tidak menikah.”“Memangnya kalau enggak menikah, kenapa?” kata Ali.Kali ini ia sambil memfokuskan pandangannya pada manik mata Nada.“Apa alasanmu, sampai enggak mau menikah?”“Aku sudah bilang, sedang menunggu seseorang. Kalau, orang itu enggakmau menikah, kemungkinan aku juga enggak akan menikah.”“Jangan mengharamkan sesuatu yang sudah Allah halalkan untukmu.”“Aku enggak tahu ada perintah seperti itu,” kata Ali, sambilmengalihkan pandangannya.Lantas, kembali mengecek teh-teh itu dengan lebih detail.“Boleh aku bu
“Yas, sana temani Ali! Nanti kalau ngantuk bahaya!” pinta Nada.“Enggak kamu aja, Mbak?”“Ish, kamu ini. sana! Mbak sama Abah dan Aira aja.”Nada sedikit mendorong Ilyas agar ia mau pindah mobil. Saat itu sambil mengisi bensin, mereka juga menyempatkan beristirahat di rest area. Ali tampak berbeda hari ini, jika biasanya ia nyaman dengan pakaian serba gelap.Malam ini ia memakai sweater berwarna denim, juga jeans dengan warna senada.Ia bahkan, hanya memakai masker wajah, sebagai upaya perlindungan diri, dari serangan fans yang mungkin akan meminta foto.“Kenapa lihat-lihat? Awas nanti naksir,” sindir Ali, sembari menarik sudut bibirnya ke atas.“Ya ampun, memang aku akui tingkat kepercayaan dirimu sudah di atas rata-rata. Ya, namanya juga artis!”“Lah, memang kenyataannya kamu lihat aku terus, ngaku aja sih!”“Cie, Mba
“Tanganmu dingin, jangan takut aku hanya membantumu berdiri, ayo!” ucap Zayn.Ia mengulurkan tangannya, sayangnya saat itu Nada hanya diam, ia memang tak terbiasa dengan suhu sedingin ini.“Untuk apa aku menyakitimu, Nad?”“Lalu, kamu pikir aku akan berpikir positif. Apa yang kamu lakukan ini enggak benar. Kamu datang bawa aku ke tempat sepi, kalau hanya ingin bicara kamu bisa datang baik-baik di rumah.”“Bagaimana kalau Abah dan Ilyas mengusirku.”“Itulah kenapa aku lebih memilih mengakhiri hubungan pernikahan di antara kita. Kamu selalu saja tidak tegas, kamu selalu takut pada hal-hal yang belum kamu coba. Bagaimana kamu bisa yakin, pada hal-hal yang kamu sendiri belum mencobanya?”Zayn memang tidak pernah mencoba untuk datang langsung ke rumah Ilyas, sejak perpisahan terjadi. Bukan apa-apa, ia hanya takut penolakan.“Seharusnya kalau memang kamu benar-benar ing
sudah terkulai lemas. Zayn bisa melihat satu detik sebelum wanita itu menutup matanya, ia sempat bertemu pandang dengannya.“Bawa dia ke bawah! Apa kalian ingin melihatnya mati kedinginan!” teriak Zayn.Ia bahkan masih saja memedulikan Nada dari pada kondisi tubuhnya yang terluka cukup parah.Zayn mencoba berdiri dengan bertumpu pada batang pohon, sayangnya baru saja ia mampu menegakkan tubuhnya, Ilyas justru mendorongnya.“Bangsat! Peduli apa kamu! kamu hanya pria mesum, kalau dia sampai mati. Kamu adalah orang yang harus bertanggung jawab! Kamu yang membawanya ke sini. Enggak ada otak!”Sekalilagi Ilyas menendang perut Zayn. Hilang sudah rasa hormatnya pada mantan kakak iparnya itu. Barulah ketika ia merasa puas dengan amarahnyapada Zayn, Ilyas segera membantu menggendong Nada. Ia tahu Nada tidak suka tubuhnya di sentuh laki-laki lain kecuali mahramnya.Jadi ia dan Abah berusaha menggotongnya sampai ke b
Tak pernah terbayangkan aku akan sesakit ini mendengar kabar pernikahan Nada dengan Ali yang disampaikan langsung oleh Arnav. Putraku tak lagi menentang hubungan mereka. Aku tidak tahu, kapan tepatnya anak it berubah pikiran. Padahal, jelas saat ia datang untuk membantu acara tahlilan ibu, aku melihatnya begitu antusias menjodohkanku kembali dengan Bundanya.Bagaimana bisa ia berubah secepat itu?Ia bahkan mengatakan padaku, jika akan jadi pengantar pengantin, kala Bundanya menikah. Bahkan, yang lebih menyakitkan adalah ia mengatakan itu semua dengan bangga.Aku yang menghidupinya selama ini. Kenapa ia malah lebih percaya pada orang lain yang justru baru ia kenal.Sejujurnya aku masih tak percaya jika Nada benar-benar menikah. Jadi, hari di mana akadnya dilangsungkan aku mendatangi hotel tersebut. Sayangnya tak sembarangan orang bisa masuk ke acara pernikahannya. Penjagaannya cukup ketat. Aku bahkan harus check in hanya untuk mendapatkan in
“Aku mengizinkannya Al, lakukan saja!”“Terima kasih Nad. Kalau, kamu masih bingung mau pilih yang mana. Besok staff yang menjual perhiasannya akan datang ke rumahmu. Pilih saja yang kamu suka.”“Bagaimana kalau seleraku enggak sesuai sama kamu?”“Aku yakin pilihanmu pasti yang terbaik.”“Baiklah. Aku akan pilih yang termurah kalau begitu.”“Nad, yang benar saja. Aku akan meminta staff untuk enggak mencantumkan harganya.”Aku sampai dibuat terkekeh dengan kepanikan Ali. Ada apa dengannya, padahal aku hanya bercanda.“Kenapa malah ketawa? Aku serius juga.”“Uangmu pasti banyak sekali Al, sampai-sampai membuangnya dengan begitu mudah.”“Siapa juga yang sedang membuang uang, jelas-jelas aku sedang membelikanmu mahar. Apa kamu akan membuang mahar setelah akad berlangsung? Enggak mungkin ‘kan.”
Ali hanya tersenyum saja. Namun, aku bisa melihat ekspresi kelegaan di wajah Abah dan Ilyas.Ya Allah, jika Engkau berkenan menyatukan kami dalam ikatan suci pernikahan. Maka, jadikanlah pernikahan itu sebagai jalan untuk mencapai ridho-Mu.Setelah mendapatkan jawabannya Ali memilih untuk berpamitan.“Besok Ali ke sininya habis dzuhur, ya Bah.”“Oh, baik kami tunggu kedatangan Nak Ali dan keluarga.”Ali mengangguk lagi, sesekali ia tampak melirik padaku.“Kayaknya ada yang mau ngeduluin nih!” sindir Ilyas, begitu Ali sudah meninggalkan rumah dengan kendaraan roda empatnya.“Aku sekali aja belum, Mbak udah mau dua kali aja!” ucap Ali.“Apaan sih kamu, Dek!”“Enggak boleh ngomong gitu, Yas! Memangnya ada yang mau pernikahannya gagal!” ucap Abah.Memang Ilyas ini keterlaluan. Merusak mood saja. Dia pikir enak berpisah, setelah bertahun-tahun menj
“Kamu tahu enggak sih yang kamu bicarain ini apa? Sudahlah Nav,Bunda enggak akan nikah kok. Asalkan kamu di samping Bunda, semua itu udah lebih dari cukup kok. Lagi pula sekarang Bunda sudah punya pekerjaan yang bisa diandalkan. Jadi, seenggaknya kalau suatu hari ayahmu berhenti memberikan uang untuk biaya Pendidikan kamu, kita sudah ada penghasilan lain.”“Nav serius, enggak apa kalau sekarang juga Bunda mau nikah sama Om Ali. Nav enggak akan menghalanginya lagi. Kalian tuh saling mencintai, tetapi Nav malah terus aja mencegah kalian Bersatu. Lagi pula Nav juga kayaknya butuh teman main, kayak Yusuf.”“Nav….”“Bun, sudah cukup Bunda nahan kesedihan sendirian. Nav pengen banget lihat Bunda ketawa terus kayak tadi, mungkin aja Om Alilah jawaban doa-doa Nav selama ini. Nav ‘kan juga minta supaya Bunda bahagia, tetapi Nav malah keliru dengan mendoakan supaya rujuk sama Ayah. Padahal, yang membuat Bunda ba
“Enggak begitu kok, Sayang.”“Sekarang Nav, ngerti bedanya Om Ali sama Ayah.”“Sayang, kalau kamu enggak suka Bunda dekat samam Om Ali, lain kali Bunda akan jaga jarak. Oke? Cuma tadi itu kebetulan mobil pick up Bunda rusak. Om Ali cuma nawarin bantuan, ya udah makanya kami tadi di jalanan. Jangan salah paham dulu!”“Nav enggak tahu, kenapa hubungan orang dewasa seribet ini?”“Enggak ribet kok, nanti kalau Nav dewasa, juga pasti ngerti.”“Nav enggak mau nikah Bun, kalau ujungnya cerai.”“Enggak ada pasangan yang mau pernikahannya gagal di tengah jalan Nak, andai saja mengembalikan kepercayaan itu mudah. Bunda pasti sudah melakukannya buat kamu?”“Memangnya apa yang bikin Bunda sampai enggak mau balikkan sama Ayah? Bukannya aku sudah jelasin semuanya.”“Bunda takut kalau suatu hari sakit dan enggak bisa ngapa-ngapain kayak kemar
“Jagung bakarnya datang!” ucap Zayn dengan sekantong besar di tangannya.“Zayn, aku ngantuk.”Saat itu Zayn dan Arnav yang tengah larut dalam tawa mendadak menatapku dengan aneh.“Kok ngantuk sih Bun, kita baru aja kumpul.”“Hari ini Bunda lagi kurang sehat, apa lagi besok harus kembali ke kota jadi enggak apa-apa ya, Bunda tidur duluan?”“Yah, enggak seru banget sih Bun?”Sata tu aku bisa melihat keduanya tampak kecewa. Namun, aku juga tak bisa membohongi perasaanku. Aku membenci Zayn. Meski, kini seseorang menjelaskan jika semua murni karena rasa terima kasih.Aku yang menyaksikan sendiri bagaimana ketika Zayn menatap Ochi dengan pandangan yang sama saat menatapku. Bagaimana ia bahkan tak membiarkan pria wanita itu pulang sendirian.Aku hanya tak sanggup membayangkan hari-hari selama aku tak ada di sampingya. Mungkin saja keduanya sering kali menghabiskan waktu denga
“Kita bisa bicarakan ini lain kali ‘kan? Bukannya tujuan Nav ke sini mau bantuin Ayah, Nav bahkan belum ke makan nenek,” ucapku.Memecah hening yang terlanjur tercipta.“Nah iya, tapi kayaknya Nav juga capek. Mending istirahat dulu.”Saat itu Zayn langsung menarik ransel Zayn, sehingga tubuh anak itu terpaksa mengikuti langkah kaki ayahnya menuju kamar tidur.Ia mendorong tubuh Arnav ke dalam, lantas kembali menutup pintu. Saat itu Zayn masih saja terlihat canggung, tampak ketika ia tersenyum paksa padaku yang masih duduk di kursi tamu.“Astaghfirrullah, Ayah!”Dari arah dalam terdengar teriakan Arnav yang cukup nyaring. Sontak saja, kami langsung menghampirinya untuk memastikan apa yang terjadi.Begitu pintu terbuka, alangkah terkejutnya aku saat melihat keadaan kamar yang antah berantah. Pakaian yang tergeletak dilantai. Buku-buku yang ditumpuk asal, juga tumpahan kopi yang dibiarka
“Caramu salah, Zayn. Kamu membiarkan kebencian tumbuh di hati anak kita, padahal kamu tidak melakukan kesalahan.”“Cuma itu yang bisa aku lakukan untuk terakhir kali. Aku enggak tahu lagi cara apa lagi, selain membuatnya percaya kalau aku sudah menikah.”“Oke, kalau itu memang maumu.”“Jadi ikut, Nad?”Awalnya aku sedikit ragu, melihat bagaimana kami akan menaiki sepeda motor hanya berdua. Namun, melihat dua pria yang sangat kerepotan mengurus acara pemakaman ibunya. Hatiku tak bisa menolak untuk iba.Aku mengangguk tanda setuju. Menaiki sepeda motor berdua, menit pertama kami hanya saling diam. Bahkan, sampai menit-menit selanjutnya. Zayn juga seperti tak tertarik membuka percakapan. Hingga, tiba di mesin ATM, Zayn memintaku turun. Sedangkan, dia akan menunggu di luar. Sambil membeli beberapa minuman dan snack.Aku memperhatikan bagaimana pria itu sedikit kebingungan. Sampai ia kembali dan han
Aku tak mungkin salah mengenali keduanya. Itu Zayn dan Gavin.Aku masih mengikuti iring-iringan itu sampai ke pemakanan. Hingga tiba di mana Zayn mulai mengazani almarhumah, suasana haru kian menyeruak. Hingga prosesi pemakaman selesai, suasana duka turut menyelimuti.Satu persatu orang-orang mulai meninggalkan tempat peristirahatan terakhir almarhumah Bu Utami.Saat itu aku memilih untuk tinggal. Rasanya ada sedikit sesal, karena sejak terakhir kali kami bertemu, kondisinya masih baik-baik saja. Zayn bahkan, tidak pernah menceritakan keadaan Ibu sama sekali.“Dia sudah enggak ada, Nad.”“Maafkan aku Zayn, aku bahkan enggak pernah nengok ibu. Kenapa kamu enggak pernah kasih tahu tentang sakit ibu ke aku?”Saat itu Gavin masih ada di sana. Pria yang biasanya tak tahu diri dan selalu bersikap semena-mena itu hanya terisak sambil menatap pilu nisan ibu, ia bahkan tak menghiraukan keberadaanku.“Apa itu penti