Aku terbangun, di sebuah rumah yang asing di mataku. "Ssttt ... aduh ...," Aku meringis, merasakan begitu sakitnya semua badanku, terutama di daerah punggung yang seingatku tadi di pukuli pakai sabuk oleh suamiku sendiri. "Kau sudah sadar, Janah?" tanya seorang ibu, yang menghampiriku sambil membawa nampan yang entah berisi apa, di tangannya. "Argh...," aku hendak bangun, tapi rasanya punggungku terasa kebas, sehingga aku hanya bisa meringis merasakannya. "Sudah, Janah. Berbaringlah dulu, tubuhmu penuh dengan luka, biar aku obati dulu dengan ramuan ini," ucapnya. Ternyata yang dibawanya dalam nampan itu adalah obat tradisional untuk membalur luka-lukaku. "Sa ... saya ada di mana, Mak?" tanyaku dengan suara parau. "Kau di rumah ketua adat, Janah. Kemarin kami melihatmu sedang di kejar-kejar oleh Herman suamimu sambil membawa sabuk, tak habis pikirnya awaq, kenapalah suamimu itu kejam sangat?" ucap mak tua yang membuatku mengingat kejadian sebelumnya. Aku hanya bisa menggelengka
Sejak kejadian tempo hari, setelah aku memaafkan dan memberikan kesempatan kepada suami dan ibu mertuaku, aku benar-benar diperlakukan dengan sangat baik oleh mereka. Kini nafkah dari Bang Herman pun, jauh lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Dia juga jadi sangat perhatian dan terasa begitu menyayangiku, sikap kasar dan bringas yang selalu ditampilkannya kini sudah tak nampak lagi di hadapanku. Begitu pun dengan ibu mertua, Dia begitu pengertian sekarang. Ketika aku tak sempat memasak atau sedang tak enak badan, beliau akan datang ke rumah dengan membawa berbagai macam masakan yang di masaknya sendiri, khusus untukku. Begitu bahagianya aku sekarang, selalu kupanjatkan doa semoga Allah senantiasa memberikan hidayahnya untuk kami sekeluarga, dan semoga saja ibu dan Bang Herman istiqamah dalam kebaikan mereka, padaku. "Bang, kepalaku pusing sekali dari semalam badanku juga lemas, bolehkah antar aku ke dokter, Bang?" tanyaku pagi itu ketika menemani suamiku sara
"A ... a ... apa, hamil?" Bang Herman begitu terkejut, mendengar kalau aku sedang hamil. "Iya Man ... istrimu hamil, kalian akan jadi orang tua dan ibu akan menjadi nenek sekarang, Man."Begitu bahagianya raut wajah ibu ketika mengatakan kabar kehamilanku kepada, Bang Herman. "Bang ... Bang Herman, kenapa malah bengong, Bang? apakah Abang tidak suka mendengar kalau Janah hamil, Bang?" tanyaku, sambil menepuk-nepuk pipi Bang Herman yang masih terpaku. "A ... aku, aku, aaaaaaa ... aku akan jadi seorang ayah, ha ha ha. Aku akan menjadi seorang, ayaaahhh ...."Tiba-tiba Bang Herman berlari keluar rumah, sambil berteriak di di halaman rumah dengan wajah yang penuh binar bahagia. Baru kali ini aku melihatnya sebahagia itu, sampai meluapkannya dengan berjingkrak dan tertawa lepas di halaman rumah, macam orang baru gila. "Bang ... jangan berteriak seperti itu, malu di dengar orang!" Ucapku sambil menggamit lengan suamiku, dan mengajaknya masuk kembali kedalam rumah. "Tak apa, Janah! Aku
Sesampainya di rumah, ibu langsung menaruh belanjaan di dapur kemudian beliau pergi begitu saja dari rumahku, tanpa pamit atau mengucapkan salam seperti biasanya. 'Ibu kenapa, ya? kok tiba-tiba aneh sekali tingkahnya, apakah karena aku tadi asik ngobrol sama Imron lalu beliau merasa terabaikan?' batinku bermonolog. 'Ah biarlah, toh aku tidak melakukan apapun dan beliau pun melihatku saat aku berbicara dengan Imron, aku tidak sembunyi-sembunyi juga ngobrolnya, lagipula kami ngobrol pun di tempat umum yang di lihat banyak orang. Biarlah nanti setelah masak aku ke rumahnya, untuk bertanya apa yang sebenarnya menjadi salahku,' gumamku lagi. Karena ibu mertua sudah pulang terlebih dulu, jadi belanjaan yang tadi kami beli di pasar ku eksekusi sendiri di dapur, aku memasak sambal goreng udang, bakwan jagung, sambal juga tumis kangkung kesukaanku. Setelah selesai masak, ku masukan sebagian ke rantang untuk ku bagi dengan ibu. Setelah rapi semua aku berangkat ke rumah ibu, berniat memberik
Ibu memakan dengan lahap masakan yang kubawa dari rumah tadi, tidak terlihat sedikit pun kalau dia mengaku sakit beberapa saat yang lalu."Habiskan makannya, Bu! Agar Ibu bisa kembali sehat seperti sediakala, Janah sedih kalau melihat Ibu sakit begitu," ucapku, sambil kembali menyodorkan nasi dan lauk yang tersisa tinggal sedikit di rantang."Ibu sudah kenyang, Janah! Ibu sedang tidak nafsu makan, akhir-akhir ini selalu teringat akan bapak mertuamu, kemanakah dia pergi? tega sekali dia sampai detik ini tak memberi kabar sama sekali," sahut ibu mertuaku terdengar sendu.Uhuk ... uhuk ....Aku terbatuk mendengar omongan ibu yang tiba-tiba saja mengingat suaminya, yang sudah ku jadikan rawon yang dia makan tempo hari.Dan yang membuatku tak habis pikir, dia bilang sedang tidak nafsu makan, tapi lauk dan nasi di rantang yang tadi kubawa hanya tersisa sedikit saja. Memang sungguh ajaib ibu mertuaku ini."Kenapa kau, Janah? apakah sebenarnya kau tahu kemana bapak mertuamu itu pergi, tapi ka
"Tolong ... aduh sakit sekali perutku, tolong ...!" Rintihku di balik semak tempat ku terjatuh tadi.Terasa ada cairan hangat yang merembes di kedua belah sel*ngkanganku, oh Tuhan semoga saja tak ada hal buruk yang terjadi pada calon anakku.Sudah beberapa menit aku meringkuk di semak-semak, karena terpelanting di serempet sepeda motor tadi, tapi belum juga ada orang yang terlihat melewati jalan dimana aku terjatuh.Perutku sudah terasa sangat sakit sekali, mau bangun pun aku tak bisa badanku sakit semua serasa mau remuk, dan sialnya orang yang menyerempet ku kabur tak bertanggung jawab.Jika sampai terjadi apa-apa dengan kandunganku, lihat saja akan ku cari orang itu dan ku cinc*ng dagingnya dan kuberikan untuk hewan liar di hutan alas.Beberapa saat kemudian terdengar suara langkah kaki di kejauhan, aku berteriak sekencang yang aku bisa agar orang yang lewat itu bisa mendengar ku."Tolong ... siapa pun tolong aku, selamatkan anakku, tolong aku di semak-semak," jeritku pilu."Hey Boy
Beberapa saat kemudian bu bidan datang bersama Imron mengekor di belakangnya."Kenapa kok bisa Ibu ini mengalami pendarahan lagi? padahal tadi kondisinya sudah stabil," tanya Bu Bidan, dengan nada marah terhadap orang-orang yang saat ini sedang terdiam di depanku.Mereka semua terdiam, tak ada yang bisa menjawab apa yang bu Bidan itu tanyakan."Baiklah silahkan sekarang kalian keluarlah dulu dari ruangan, saya akan menangani pendarahannya dulu!" Seru bu bidan, terdengar sedikit kesal.Akhirnya mereka semua pun keluar dari ruangan ku dirawat, lalu bu bidan mulai melakukan tindakan untuk kembali memeriksa keadaan perutku yang tiba-tiba saja terasa sakit serta kembali mengalami pendarahan, dengan telaten.Hari sudah menjelang sore ketika aku terbangun, ku perhatikan ruanganku kosong tak ada seorang pun pasien atau orang yang menungguiku di tempat itu.Ah mungkin mereka sedang di luar atau mungkin suamiku sedang membelikan ku makanan, pikirku positif thinking.Ceklek ...!suara pintu terb
Tok ... tok ... tok ...."Assalamu'alaikum, Bang."Aku masuk setelah mengetuk pintu dan mengucap salam, ku datarkan wajahku agar terlihat biasa saja di depan mereka."Kenapa tidak datang lagi menjenguk dan menjemputku ke klinik, Bang?"Tanyaku pada bang Herman, sesaat setelah masuk kedalam rumah."Aku tergolek lemah di klinik seorang diri, tanpa ada yang menemani ataupun sekedar mendampingi saat aku terkulai lemah karena kehilangan calon anak kita,"Aku keluhkan apa yang ku rasa saat itu, di depan suami serta ibu mertuaku."Bukannya sudah ada lelaki itu yang menemani kau di sana, Janah? untuk apalagi lah aku menemanimu? bisa-bisa kedatanganku ke sana hanya jadi pengganggu saja buat kalian." Tuduh bang Herman padaku.Seenaknya saja mulutnya itu berkata, bukannya minta maaf atau merasa sedih dengan kejadian yang menimpaku, dia malah terus-terusan memfitnahku ada hubungan dengan Imron sahabatku sendiri."Apa sebetulnya yang kau katakan, Bang? tak ada rasa empatikah di hatimu itu untukku?
Akhirnya dengan perasaan yang tak karuan, aku pun menganggukan kepalaku sebagai jawaban atas lamaran Pak Beni waktu itu. Dengan bismillah aku akan mencoba kembali mengarungi bahtera rumah tangga dengan lelaki yang telah memilihku, dan harapanku semoga bahtera yang akan mulai kubina ini, tidak kembali karam untuk kedua kali seperti sebelumnya.Sebulan setelah penerimaan ku atas lamaran Pak Beni tersebut, Kami akhirnya melangsungkan pernikahan di sebuah gedung yang tidak jauh dari terminal. Alasannya karena banyak teman-teman juga kenalan Pak Beni, yang di harapkan datang untuk mendoakan pernikahan Kami berdua.Betapa bahagianya aku mendapatkan suami yang begitu perhatian, juga baik hati. Bukan hanya kepadaku atau kepada orang-orang yang di kenalnya, tetapi kebaikannya itu Ia berikan juga kepada setiap orang yang membutuhkan pertolongannya. Sungguh Tuhan maha adil dengan semua rencananya, dibalik semua kesedihan yang berkepanjangan aku mendapatkan kebahagiaan yang menyongsong di depan m
Aku langsung tertegun melihat ke arah yang ditunjukan Dian padaku. "Ya ampun apa ini Di, siapa mereka?" Tanyaku berbisik ke arah Dian."Mereka adalah keluarganya dan itu orang tua angkatnya Pak Beni," sahut Dian pelan.Mereka ber empat datang menghampiri Kami dengan membawa beberapa parcel buah dan juga makanan lainnya, aku semakin kebingungan dibuatnya, ada apa ini sebetulnya pikirku."Silahkan duduk, Pak, Bu! Maaf jika harus mengobrol di teras seperti ini, di dalam tempatnya sempit takut tidak muat," ucapku merasa tidak enak, takut mereka tidak nyaman harus berbincang di luar seperti ini."Tidak apa, Nak. Kami mengerti kok tidak usah sungkan," sahut Ibu angkat Pak Beni.Dian membawa beberapa gelas air dalam nampan untuk para tamu kemudian di letakkan nya di atas meja, serta sedikit camilan yang kebetulan belum kami buka sama sekali."Janah kenalkan mereka adalah Bapak dan Ibu angkat ku, seperti yang Kamu ketahui jika orang tua kandungku sudah meninggal sejak lama. Nah mereka ini ada
Setelah perbincangan itu, tak ada lagi yang bersuara diantara Kami yang terdengar hanya denting sendok yang beradu dengan mangkuk bakso yang aku makan.Setelah selesai menyantap satu mangkuk bakso serta segelas es teh manis aku beristirahat sejenak, sekedar menghilangkan rasa lelah dan menunggu hingga perut ini tidak terasa begah, untuk kembali melanjutkan perjalanan walaupun belum tahu hendak kemana kaki ini melangkah."Janah, jika memang Kamu belum ada tujuan atau pekerjaan yang akan di tuju, bagaimana jika Kamu kembali membantu saya saja berjualan? kebetulan saya sedang memerlukan satu pekerja lagi," tanya Pak Beni padaku.Tentu saja bagaikan mata air di Padang pasir yang gersang, tawaran Pak Beni barusan tak akan pernah ku pikir dia kali atau ku sia-siakan.."Benarkah Pak, saya boleh kembali bekerja membantu Bapak seperti dulu?" Tanyaku merasa tak percaya."Tentu saja benar, Janah untuk apa saya bercanda," sahutnya sambil tersenyum ke arahku."Baik Pak, saya bersedia kembali beke
Setelah aku bisa melepaskan cengkraman tangan Ibu, bergegas aku keluar dari rumahnya. "Janah pulang dulu ya Bu, selamat tinggal semoga kedepan nanti kehidupan Kita akan berubah lebih Indah, jaga diri baik-baik ya, Bu!" Setelah berpamitan bergegas aku pulang untuk kembali ke rumah ku.Setelah sampai di rumah aku berbenah mengepak sedikit barang yang hendak kubawa, aku pergi ke kebun jati di belakang rumah karena mengingat dulu pernah mengubur perhiasan Ibu yang di curi oleh Dewi simpanan Bang Herman, yang telah lebih dulu ku Bunuh dan mayatnya ku kubur di dalam kebun jati sana. Sejenak terbayang-bayang kenangan butuk di tempat itu seolah tengahenari di pelupuk mata.Setelah berhasil ku ambil emas itu aku pergi meninggalkan rumah, rumah pertama saat aku berumah tangga dengan Bang Herman, rumah dimana penuh dengan kenangan pahit dan kesengsaraan di dalamnya, kenangan yang mungkin akan tetap utuh dalam sanubari sampai akhir hayat."Mau kemana Janah, kenapa Kamu membawa tas segala," tanya
"Ibu ....!"Aku tercengang melihat kondisi Ibu mertuaku saat ini, Dia duduk di kursi roda dengan sebelah tangan yang terlihat menekuk kedalam, mulutnya terlihat miring sebelah, entah mulai kapan keadaannya berubah seperti ini, mungkin ini akibat obat yang sering ku teteskan ke dalam makanannya dulu, atau karena darah tingginya naik sehingga menyebabkan Dia terkena struk ringan. Namun entah karena apapun itu, yang pasti mungkin itu adalah karma dari semua kejahatannya yang telah dia lakukan padaku dulu."Sejak kapan kondisi Ibu memburuk, seperti ini?" tanyaku.Ku dorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah. "Apa Ibu sudah makan?" tanyaku padanya.Ia menggeleng lemah, matanya sayu seolah menyiratkan kesedihan yang teramat sangat."Baiklah ayok makan dulu, tadi sebelum ke sini Janah memasak dulu makanan kesukaan Ibu, ini ada balado telur, ada tumis daun ubi juga kerupuk udang, mau Janah suapi?"Lagi-lagi Ia hanya bisa menganggukkan kepalanya lemah."Miris sekali hidupmu saat ini, Bu suami
Setelah kejadian buruk siang tadi, kini rumah ini terasa sunyi, senyap tak ada lagi suara cacian atau makian suamiku, rasanya sangat nyaman hening bagai di duniaku sendiri.semua jejak sudah ku amankan, seprai yang penuh darah, lantai dan juga dapur sudah ku poles agar terlihat lebih rapi dan juga bersih.tubuh kedua manusia la*nat itu kini ada di bawah tungku perapian, seperti panasnya bara api neraka maka seperti itulah tubuh kalian merasakan rasa panas kayu bakar ku di dunia ini.Hooaamm ...!Rasanya pagi ini tubuhku sudah sangat bugar kurasa, walaupun kemarin aku sudah kembali menghabisi dua nyawa namun rasanya tak ada perasaan mengganjal ataupun perasaan menyesal dalam diri ini.Aku segera memasak air, lalu pergi ke warung Bu Ida untuk sekedar membeli bumbu dan telur untuk membuat nasi goreng, sepertinya enak membuat nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang, selama ini semua masakanku selalu di habiskan oleh Bang Herman, sekarang aku bisa menikmatinya sendiri tak payah
Aku masuk ke dalam rumah lalu ku tutup pintu dan ku kunci rapat dari dalam, menyebalkan sekali kelakuan si benalu itu. Berani sekali Dia menggangguku, sungguh sangat kurang ajar ingin sekali ku kuliti wajahnya, ku congkel bola matanya yang sering jelalatan itu, dan kupatahkan tangannya yang telah berani mencolek ku seenaknya, Dia pikir aku wanita gat*l macam Ibu mertuaku.Ku hempaskan tubuh ini di atas pembaringan, tak kuhiraukan si Ja*ang yang sejak tadi pagi belum kuberikan makan atau pun minum, yang ingin kulakukan saat ini hanya mengistirahatkan kembali tubuhku yang masih terasa lelah dan juga letih ini.Tanpa kusadari beberapa menit kemudian aku sudah terlelap, terbuai ke alam mimpi.Tapi tiba-tiba nafasku terasa sesak, seolah ada yang menghimpit badan serta mencekik leherku. "Apakah aku sedang bermimpi, Tuhan? jika iya tolong bangunkan aku," gumamku di sela hempasan nafasku yang semakin sesak kurasa.Saat ku paksakan membuka mata ini, kulihat ternyata si Ja*ang sudah berada di a
Setelah mengisi perut, aku istirahat sejenak menyandarkan tubuh lelahku di di kursi bambu yang ada di dapur.Jika mengingat lagi bagaimana si Ja*ang ini menghina juga mencaci ku darahku seolah naik dengan cepat ke ubun-ubun, kesal bercampur benci aku rasakan karena bukan sekali ini dia menghinaku sudah sering hampir tiap hari mentang-mentang suamiku selalu membelanya."Dasar Ja*ang sial*n tak tahu diri, wanita lac*r, pergi saja Kau ke nera*a sana Ja*ang!" Dengan kesal aku menendang tubuh si Ja*ang yang masih tergeletak tak berdaya, setelah ku benturkan tadi kepalanya ke sudut meja Dia pingsan dan belum siuman sampai sekarang.Ku ambil tali lalu mengikatnya dengan kuat, ku sumpah juga mulutnya menggunakan kain serbet yang ada di atas meja takut ketika Ia terbangun nanti tiba-tiba berteriak atau melarikan diri."Ah, sungguh menyebalkan memang si ja*ang ini, membuat badanku yang lelah tambah lelah saja," batinku.Aku tinggalkan dia tergeletak di sana, dengan posisi badan terikat dan mul
Sambutan hangat yang kuharap begitu sampai di rumah, rasa tenang agar bisa istirahat dengan nyaman menyandarkan tubuh dari rasa lelah dan letih setelah seharian berkutat dengan debu dan panas terik jalanan.Namun sayang semua itu hanya impian semata bagiku. Apalagi saat ini sapaan wanita ja*ang tak tahu malu itu malah menyulut emosiku yang sudah ku tahan beberapa hari ini.Aku tak menghiraukan ocehannya, aku masuk ke dalam rumah dengan sedikit menabrakkan bahuku pada padanya hingga ia terhuyung kebelakang."Apa Kau tidak punya mata, Janah? Kau tulikah? seenaknya saja masuk kedalam rumah, menabrakku dengan badan dekilmu itu, sungguh menjijikkan bisa-bisa aku kena penyakit nanti," ucap si ja*ang sambil bergidik ngeri, melihat badanku yang memang terlihat dekil, kontras dengannya yang hanya duduk-duduk manis saja di dalam rumah.Badanku lelah dan juga letih, tak ku hiraukan ucapannya walaupun sebetulnya sudah kesal sekali aku mendengarnya, tapi tetap ku tahan karena aku sungguh ingin sek