Keheningan menyelimuti saat Amira membuka kedua matanya. Amira mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang asing—bukan ruang tamu keluarga Wijaya, bukan pula kamarnya sendiri.Amira mendapati dirinya berada di sebuah rumah tua yang penuh dengan kenangan. Dinding kusam dengan beberapa bagian cat yang mengelupas, juga lantai berdebu. Ini ... rumah lamanya.Amira berdiri di tengah ruangan, jantungnya berdebar kencang. Dia mengenali tempat ini, tapi yang lebih mengejutkan adalah sosok yang duduk di kursi reyot dekat jendela.“Nenek ....” Amira berbisik.Ida mengangkat wajahnya. Wanita tua itu memakai pakaian sederhana yang sudah lusuh, persis seperti terakhir kali Amira mengingatnya. Tidak ada senyum di wajah Ida, hanya tatapan tajam yang penuh arti.“Kamu sudah membuat keputusan besar, Amira,” ujar Ida pelan. “Kenapa kamu memberitahu begitu banyak orang tentang kelebihanmu?”Amira menggigit bibirnya, lalu menjawab dalam suara lirih. “Karena aku ingin membantu mereka, Nek.”Ida menghe
"Kondisi pasien turun drastis," ucap dokter setelah memeriksa Amira. "Kemungkinan besar karena stres dan kurang istirahat."Amira hanya mengangguk. Dokter bisa menyimpulkan apa saja, tapi dia tahu penyebab sebenarnya. Ini bukan sekadar kelelahan biasa—ini akibat dari apa yang dia lihat dalam mimpinya.Kelebihannya memang semakin kuat. Dia bisa melihat lebih jauh ke depan, tapi ada harga yang harus dibayar."Pasien sebaiknya istirahat beberapa hari ke depan. Kami akan mengecek kondisinya secara berkala."Setelah dokter pergi, teman-temannya langsung menghampiri."Lo istirahat aja. Jangan mikirin apa pun," kata Febby, wajahnya penuh kekhawatiran."Iya, fokus sembuh dulu," sambung Evan. Michelle mengangguk setuju.Amira tersenyum tipis. "Makasih, gue nggak apa-apa."Dia membiarkan mereka menemaninya sampai sore, sebelum satu per satu pamit pulang. Tersisa hanya Raga yang masih duduk di sampingnya."Makan dulu." Raga menyodorkan sendok berisi sup hangat ke arah Amira.Amira terdiam sejena
“Lo udah makan belum?” Raga mengecek suhu tubuh Amira. Normal. Amira menggeleng di atas ranjang di ruang kesehatan Laveire. Dia memang belum makan. Perutnya masih terasa tidak enak sejak kemarin, jadi pagi ini hanya segelas teh hangat yang bisa masuk. “Gue beliin makanan. Habis itu minum obatnya.”Amira tertegun mendapati Raga yang mengeluarkan bungkus obat dari saku. Hatinya mencelos sesaat. Pasti pagi tadi Raga datang ke rumah sakit dan mendapati dirinya tidak ada di sana. Tidak terbayang bagaimana murkanya Raga.“Tunggu di sini. Jangan pergi ke mana-mana!” Raga memberikan peringatan sambil menunjuk. “Kalau lo kabur lagi, gue iket lo di kamar gue!”Seketika Amira mendelik. Ancaman Raga sukses membuat Amira meringis. Raga pun berlari keluar. Dia kembali tak lama kemudian dengan sekotak makanan di tangannya. “Duduk. Makan dulu.” Amira menurut. Dia tidak banyak membantah karena kepalanya terasa berat. Mencari masalah dengan Raga adalah hal terakhir yang terpikirkan oleh Amira. T
"Amira!" Michelle melambai di kursinya. "Gimana, udah sembuh?"Amira balas melambai. Dia duduk di dalam kelas, tepat di depan Michelle. "Udah lumayan,” jawabnya. Michelle melihat ke kanan kiri sebelum lanjut bicara. Dia seperti takut ucapannya akan terdengar orang lain. “Kenapa?” Tanya Amira. Dia melihat tidak ada siapa-siapa di dekat mereka–cuma Amira, Michelle, dan Evan. “"Kemarin kita mau jagain lo di UKS, tapi Raga ngusir kita,” keluh Michelle. Evan ikut menanggapi. “Bener! Katanya nanti kita ganggu tidur lo. Padahal kita bersuara aja enggak.” Amira menghela. Pasti Raga uring-uringan dan memaki semua orang. “Sorry. Gue kabur dari rumah sakit kemaren,” sahut Amira.Evan langsung melengos. “Pantes!”Tidak heran Raga seperti singa lapar. Jangankan diajak bicara, didekati saja memaki.Evan dan Michelle baru mau bicara lagi ketika bayangan Raga muncul. Cowok itu masuk ke kelas dan duduk di
Suasana kelas dipenuhi dengusan napas lega dan keluhan kelelahan. Ujian semester baru saja berakhir, dan hampir semua siswa di Laveire terlihat kehabisan energi.Tak terkecuali keempat siswa di kelas XI. Amira, Raga, Evan, dan Michelle harus menikmati manisnya soal ujian tepat setelah proses pengambilan gambar selesai. “Gue harus lebih banyak belajar,” gumam Amira seraya meletakkan kepalanya di atas meja. Pelipisnya berdenyut nyeri. Evan yang duduk di belakangnya ikut mengangkat tangan, menyerah. “Setuju! Siapa sih yang bikin soal setega itu?”Michelle mengeluh sambil menatap kedua tangannya. “Gue bahkan enggak yakin tadi gue isi apa. Kayaknya tangan gue gerak sendiri.”Di sebelah Amira, Raga hanya duduk santai, meletakkan kedua tangannya di belakang kepala. “Lebay banget. Gue cuma butuh waktu lima belas menit,” katanya enteng.Amira menoleh tajam. “Beneran? Lo mikir enggak, sih?!” Tangannya merebut kertas soal dari R
Heri melirik sebentar sebelum mengatakan pada Raga untuk menghampiri. Ada Ken di sisi Heri, seperti biasa. “Siang, Kek.” Amira berjalan mendekat. Dia menyerahkan sebuah buket bunga yang telah dibawanya dengan hati-hati. “Ini untuk Kakek,” kata Amira. Tangannya menyerahkan bunga peony putih. Amira tersenyum. “Aku harap Kakek cepat sembuh dan panjang umur.” Setelahnya, hanya ada hening. Amira tidak berharap Heri tersenyum atau mengucapkan terima kasih. Hanya saja, sunyi membuat dia tercekik. “Aku … tunggu di luar.” Amira menunjuk pintu keluar canggung. “Raga pasti mau bicara dengan Kakek.” Amira menghela. Dia melangkah cepat keluar ruangan. Namun, tangan Raga mencegahnya pergi sendirian. “Kita keluar bareng,” ucap Raga pelan. “Gue udah bilang ke Kakek semoga operasinya berjalan lancar.
“Mau ngomong apa?” Raga menatap curiga. Jelas saja, Raga tidak mungkin membiarkan Amira bicara berdua saja dengan Alex. Apa yang ingin Amira katakan tanpa dirinya tahu?“Minta cariin tissu basah. Gue mau ke toilet dulu. Emang lo mau beliin?” Ujar Amira seraya memicing. “Atau mau ikut?”Raga berdecak nyaring. Dia memilih menyingkir, membiarkan Alex membawakan apa yang Amira mau. Amira pun mencari toilet terdekat. Dia menunggu di sana sampai akhirnya pintu diketuk. Suara Alex terdengar kemudian. “Pak Alex.” Amira menarik Alex menjauh. Dia memastikan tidak ada yang menguping mereka. “Tolong bantu aku.” Alex mengernyit. “Ada apa, Nona?”Amira menarik Alex mendekat. Dia berbisik tepat di telinga sang pengawal. Kedua mata Alex membelalak sesaat, tapi dia tetap menutup mulutnya rapat. Amira menyelesaikan kalimatnya cepat sebelum Raga mencarinya. Benar saja, suara Raga terdengar kemudian. “Tolo
Amira menunjukkan sekilas layar handphone miliknya pada Alex. Dia sedang menghubungi Evan.“Udah sampai?” tanya Amira.Dengan sengaja, Amira menyalakan loudspeaker. Dia yakin Raga tidak akan mendengar. Bunyi gemericik air dari dalam kamar mandi menunjukkan jika Raga sedang sibuk saat ini.“Kita udah di depan gang. Lagi jalan masuk.”Alex akhirnya mengangguk puas mendengar jawaban dari seberang sana. “Bagus. Jangan lupa satu orang jagain Raga di depan rumah gue.”Panggilan terputus. Amira tak mau membuang waktu lagi. Dia meminta Alex bersiap mengikuti.Pintu terkunci, dan Amira berdiri di samping Alex. Tangannya meraih sang pengawal, mencoba mencari sedikit petunjuk tentang masa depan. “Sama,” ucap Amira pelan. Tidak ada bayangan yang berubah. Para penjahat itu akan bergerak seperti yang Amira perkirakan.“Pak Alex,” panggil Amira dalam suara pelan. Saat itu, Alex menoleh. Dia mendapati Amira
“Gimana keadaan Bapak?” Tanya Amira saat menjenguk Reynald. Amira langsung menyeret Raga ke ruang rawat Reynald setelah tahu gurunya sudah sadar. Reynald tersenyum. “Baik.”Febby yang kemudian mewakili Reynald bicara lebih banyak. “Keadaannya udah stabil, jadi lo enggak perlu khawatir lagi.”Dia menepuk lengan Amira lembut. “Jangan merasa bersalah lagi, ya,” sambungnya. Amira mengangguk pelan. Melihat Febby yang tak lagi menangis membuat Amira merasa lega. “Mending lo istirahat, sana.” Febby membalikkan badan Amira. Dia menunjuk pintu keluar. “Tidur di atas kasur.”Amira menggeleng–menolak, tapi Febby memaksa. “Harus!”Perintah itu akhirnya dituruti Amira. Dia dibimbing Raga kembali ke dalam ruang rawatnya. Di sana, Raga langsung menyuruh Amira berbaring. “Akhirnya!” Raga ikut naik ke atas ranjang, berbaring di samping Amira. “Gue bisa tidur juga.”“Raga! Turun, ih!” Pekik Amira.Amira berusaha mendorong Raga menjauh, tapi pacarnya itu tidak bergerak. “Raga, gue tendang ya!” An
“Pendarahannya parah,” gumam Febby, dengan suara putus asa. Amira menarik napas dalam, mencoba meredam rasa bersalah yang menyesakkan. Namun, dia tahu jika ini bukan waktunya untuk lemah, apalagi mengeluh.“Ayo kita berdoa, Kak. Gue yakin, Pak Reynald pasti bisa melalui ini semua.”Febby hanya mengangguk dengan tatapan kosong. Dia tidak ingin berharap, tapi hanya harapan yang tersisa untuknya. Amira ikut berdoa dalam hati. Dia sungguh tidak bisa membayangkan jika Reynald benar-benar pergi. Amira tak mampu hidup dalam rasa bersalah.“Amira,” panggil Raga lembut. Raga duduk di samping Amira, menemaninya. “Sini, deketan sama gue,” ucap Raga seraya memberikan satu bahunya agar Amira bisa bersandar.“Gue enggak ngantuk,” jawab Amira, keras kepala.Amira mungkin mengatakan jika dia tidak lelah, tapi wajahnya sudah kusut dan kedua matanya hampir terpejam.Hanya butuh beberapa menit sebelum akhirnya Amira be
“Bangkeee!” Evan menjulurkan tangan, ingin menempeleng Raga. Namun, luka di tangannya membuat dia mengurungkan niat. Michelle sampai membantu Evan duduk kembali dengan tenang di kursinya. “Elo serius enggak punya rencana apa-apa?!” Evan memekik tak percaya. Padahal lagak Raga tadi sudah seperti orang serius. “Ada,” jawab Raga singkat. “Ini Amira lagi ngeliat rencana gue.” Amira yang mewakili Evan menyikut Raga. Dia juga kesal pada sikap pacarnya yang seenak udel begini. “Ngomongnya mau bikin perusahaan saingan. Hampir aja gue percaya!” Evan misuh-misuh. Sementara Raga, masih santai di samping Amira. Dia cuma mengangkat bahu sambil menjawab tenang. “Ya bagus, kan! Artinya tampang gue meyakinkan.” Raga menggampangkan masalah yang dia buat. Evan sudah sibuk mengomel. Michelle pun sama. Keduanya menatap Raga tak percaya. Mereka tidak pintar, tapi juga tidak bodoh untuk menyadari jika Raga hanya melakukan tindakan impulsif tanpa persiapan.“Terserah lo aja, deh!” Evan jadi lelah s
“Raga!” Heri akhirnya berteriak menghentikan Raga. Padahal, saat itu Raga baru mengambil dua langkah. Ternyata, cepat juga.“Ya?” Raga menoleh tanpa berbalik. Raga mengira Heri akan menyerah, tapi kakeknya itu tak mengiyakan. “Sembuhkan dulu lukamu.”Raga menggeleng kecewa. “Jawaban yang salah.” Kali ini Raga tidak menunggu lagi. Dia mendahului Evan, berdiri tepat di samping mobil temannya itu. Evan pun menyusul langkah Raga bersama Michelle. Terlihat wajah ayah Evan yang kebingungan. Meski begitu, pria paruh baya itu tetap mengikuti anaknya. “Berhenti!” Tangan Heri menghalangi Raga yang hendak membuka pintu mobil.Raga menoleh. Dia bisa melihat wajah Heri yang masam menahan amarah. Heri terlihat sangat tidak senang kali ini. “Apa, Kek?” Raga menggeleng sekilas. Dia memperbaiki kalimatnya kemudian. “Ada apa Tuan Heri Wijaya?” Tanya Raga, tanpa rasa bersalah. Heri menggeram. Dia
“Kakek lama sekali!” Keluh Raga. Dia menyambut Heri yang datang bersama banyak pengawal di belakang. “Akhirnya ….” Amira menghela lega.Senjata yang sebelum ini selalu dia pegang erat, akhirnya terlepas. Amira terhuyung ke belakang. “Amira!” Raga menangkap Amira tepat sebelum pacarnya itu terjatuh. “Sorry, gue lemes banget,” ucap Amira penuh penyesalan. Dia mencoba berdiri, tapi kakinya terasa lembek layaknya jelly.“Udah jangan dipaksa.” Raga membawa Amira ke dalam pangkuan. “Pegangan.” Raga berdiri dengan Amira di kedua tangannya. Amira menurut. Dia melingkarkan kedua tangannya di leher Raga, membiarkan sang pacar menggendongnya. Heri tidak bisa menegur Raga saat itu. Dia sedang sibuk menatap Vivian yang menangis sambil memohon. Suara sirine memecah keheningan. Mobil polisi, juga ambulans datang berturut-turut. Lalu, satu mobil mewah menyusul di belakang.“Evan!” Se
“Tuan Raga! Awas!” Alex berusaha untuk mencegah Raga yang ikut campur dalam pertarungannya. Namun, tuan mudanya itu begitu keras kepala ingin membantu.Buk!Raga menendang Charly sekeras yang dia bisa. Tendangannya tepat mengenai perut pria itu. Namun, Charly tidak bergerak sama sekali.“Gelinya,” sindir Charly pada Raga. Dia meledek tendangan Raga yang menurutnya lembut seperti bantal bulu angsa. “Biar aku ajari cara menendang yang baik.” Charly menggerakkan kakinya. Raga melompat mundur, tapi dia tetap tidak bisa menghindar.“Argh!” Raga terpental. Dia berguling kesakitan di atas tanah yang keras.Alex langsung berdiri. Dia berlari menghampiri Raga. “Tuan!” Alex panik memeriksa keadaan Raga. Dia membantu Raga bangkit. “Gue enggak apa-apa,” ucap Raga, berusaha menenangkan Alex. Raga menunjuk ke arah Charly kemudian. “Fokus aja kalahin dia. Secepatnya.”Alex mengangguk patuh. Dia menunggu sampai Raga berdiri tegak sebelum memasang kuda-kuda untuk menyerang. Buk!Alex mencoba m
“Raga!” Amira tidak bisa menghentikan langkah Raga. Pacarnya itu langsung pergi berlalu. Memang, hanya tinggal Charly yang tersisa. Seluruh anak buahnya sudah tumbang. Meski begitu, seorang Charly mungkin saja mampu melenyapkan mereka semua. Alex dan Evan terluka, tersisa Raga. Amira dan Michelle mungkin tidak masuk hitungan jika harus menghadapi lelaki dengan tubuh raksasa, lengkap dengan kemampuan profesional dalam menggunakan senjata.Charly, memang bukan lawan yang mudah. Bahkan untuk seorang Alex. “Enggak. Gue harus cari cara lain.” Amira menggumam pelan. Saat itulah, dia mendengar suara grasak-grusuk dari kegelapan. Sosok Vivian tertangkap dalam penglihatannya. “Benar juga.” Amira mengangguk puas. “Gue bisa pakai dia, kayak dia pakai gue!”Vivian menculik Amira untuk menarik Raga keluar. Jadi tidak salah jika Amira menyandera Vivian untuk membuat Charly tidak berdaya.“Itu rencana bagus,” ucap Amira pada dirinya sendiri. Dengan senjata di tangan, Amira mendekat. Dia haru
“Amira!” Raga mendorong Amira menjauh. Mereka terguling di atas tanah yang keras diiringi suara letusan. “Kenapa lo malah nyamperin?! Bukannya kabur!” Raga mengomel kesal.Dia menarik Amira menjauh, menghindar dari tembakan beruntun yang tertuju pada mereka.“Pistolnya!” Amira memekik karena senjata yang dia bawa terjatuh. Sekarang, mereka tidak memegang apa pun. Bagaimana caranya bisa selamat?!“Jangan keluar!” Raga menarik Amira bersembunyi di belakang pohon. “Kita bisa mati!”Amira menggeleng. “Terus kalau di sini, gimana caranya kita kabur?!”Suara letusan kembali terdengar. Kali ini disusul dengan suara teriakan Alex. “Kita enggak bisa terus di sini, Raga! Kita harus bantuin Pak Alex!” Amira berujar panik. Jika Raga tidak memegangi Amira, gadis itu pasti sudah berlari keluar dari persembunyian mereka.“Cari sesuatu!” Tangan Raga menyambar apa pun yang bisa dia temukan di atas
“Ck!” Evan mengeluh saat tembakannya meleset. Dua pengawal sudah semakin dekat ke arah mereka. Mereka juga menembak tanpa henti, membuat Evan dan Michelle terpaksa mundur mencari tameng untuk berlindung dari peluru. “Bentar!” Michelle mengumpulkan batu yang ada di dekatnya. Malam memang sangat gelap, lemparannya mungkin akan meleset. Namun, lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali.Buk!Satu lemparan Michelle mengenai kaki musuh. Dia menggeram kesal. “Gue meleset!” Michelle mengeluh. Mereka terpaksa mundur dan bersembunyi sesaat. Michelle pun mencoba lagi setelahnya. Kali ini, dia berdoa sebelum melempar. ‘Kalau lemparan ini kena, nanti gue bakal nyatain perasaan gue ke Evan!’Dia melempar. Buk!Kali ini, doa Michelle terkabul. Batu besar yang dia lempar mengenai kepala salah satu pengawal.Pengawal itu terhuyung, memegangi kepalanya yang mengeluarkan darah.