Rabu, 14 Desember
08.37 PM, Kazan - Rusia.
Aliya membuka matanya.
Ia tertegun melihat pemandangan yang familiar di hadapannya. Lampu berwarna warni, kumpulan pria, sebagian minum, sebagian merokok, sebagian lainnya asyik mengobrol dengan botol semacam bir di meja mereka.
Ia pernah melihat pemandangan ini di mimpinya beberapa hari lalu.
Ternyata mimpi itu menjadi nyata.
Ia berdiri dengan mata kepala sendiri, berada di tempat yang ia lihat dalam mimpinya.
Sedikit penyesalan, ia tidak mengambil serius mimpi yang ia alami beberapa hari lalu itu dan menyampaikan langsung ke Dean.
Ah… Dean…
Aliya mengembuskan napas sedih. Ia merasakan rasa rindu pada Dean dan berharap Dean dapat menolongnya dari tempat asing ini.
Ia menoleh ke kiri, dilihatnya tangga menuju lantai 2. Aliya berjalan perlahan menuju tangga itu. Kakinya bergegas menaiki tiap anak tangga, berharap tak seorang pun memperhatikannya.
Niat
Buk.Buk.Buk.Terdengar suara bobot yang berjatuhan satu demi satu.Suara itu terdengar di lantai bawah dan juga lantai tempat mereka berada sekarang. Akan tetapi dalam kegelapan seperti ini, Matvey dan Iosif tak bisa melihat apa yang sedang terjadi.Sekian detik selanjutnya, satu lampu di atas kepala Matvey menyala.Kini mata Matvey bisa melihat kembali Iosif dan teman-temannya serta pengunjung bar di lantai bawah dan lantai atas.Matvey dan Iosif saling bertukar pandang. Tekanan kekuatan luar biasa ini, bukan berasal dari elemen level biasa.Ada hampir lima puluh lebih orang di dalam bar.Matvey dan Iosif melihat, seluruh pengunjung itu dibuat tak sadarkan diri hanya dalam satu hentakan yang bahkan tidak bisa mereka sadari kapan itu dilakukan.Sementara Matvey, Iosif dan kedua teman elemennya dan empat teman non elemen, tetap terbangun namun dengan seluruh tubuh tak dapat bergerak.Ini… pemilahan energi
Matvey, Iosif dan keenam teman-temannya baru tersadar dari pingsan-nya. Kepala mereka menoleh kiri kanan.Sesaat mereka saling memandang dan menyadari bahwa pria menakutkan tadi telah tidak ada. Mereka bergegas berusaha berdiri dan tanpa menunda, berlari ke arah pintu keluar bar.Rasa sakit dari retaknya beberapa ruas jari mereka, mereka abaikan. Mereka lebih memilih untuk segera pergi sejauh-jauhnya dari tempat dimana pria menakutkan tadi berada.Namun salah satu teman Matvey yang lebih dulu mencapai pintu keluar, tiba-tiba berhenti.“Hey! Kenapa kau berhenti, Van?”Terdengar suara mengutuk dari beberapa orang di belakangnya. Namun mereka semua seketika terdiam ketika melihat pemandangan di depan mereka.Sekitar lima belas Hummer H1 hitam berhenti di sepanjang tepi jalan bar Tsvetnoi Peak, sementara 1 buah Rolls Royce Wraith diikuti satu M998 Humvee melaju dan berhenti tepat di pelataran parkir bar.Dua pria berseragam jaket hitam tebal dan berbadan kekar segera keluar dari Humvee di
Sosok itu memang Elang.Dia berdiri dengan sangat dingin dan elegan.Sama sekali ia tidak menoleh bahkan melirik ke mayat yang tergeletak tak jauh darinya itu. Kedua tangannya tetap berada dalam saku mantel tebalnya.Dia juga bahkan sama sekali tidak terlihat terganggu dengan darah yang menggenang di tanah yang berlapis salju itu, hingga sekejap memerah.Matvey dan lainnya menatap horor pada Elang dengan mata membelalak.“Saya tidak memberikan dia hak untuk berbicara,” ucap Elang dengan raut wajah datar. Matanya kini menatap satu persatu dari ketujuh sisa orang di hadapannya yang pias ketakutan.Tatapan Elang berhenti di Matvey dan turun ke arah tangan Matvey. Beberapa saat Elang menatap tangan Matvey tersebut.Bibir yang semula tersungging senyum tipis yang menakutkan, kini menghilang berganti sorot mata yang menggelap.“Rupanya saya tidak butuh satupun dari kalian untuk bicara.” Setelah berkata demikia
Dalam sebuah Audi Q7.Aliya mengerjapkan kelopak matanya dan perlahan terbuka. Yang pertama ia lihat adalah atap mobil dan wajah yang sangat familiar yang ia luar biasa rindukan.“De..an?” lirih Aliya memanggil.Dean menundukkan kepalanya. Ia bisa melihat pandangan kaget Aliya yang ada di atas pangkuannya.“Sayang, kau sadar,” jawab Dean tersenyum.“Ini … benarkah ini kau, Dean?”“Yes Honey. It’s me.”Aliya mencoba menajamkan pandangannya dan terus memandangi Dean. Dean tersenyum, namun dari sorot matanya, terlihat pandangan sedih.Aliya akhirnya yakin, bahwa itu benar suaminya.“I-ini dimana?” Aliya menengok ke arah jendela mobil.“Di mobil, Sayang. Kita di kota Kazan, Rusia.”“Ru-rusia??” Mata Aliya mengerjap kaget meski dengan sorot yang masih lemah. Meskipun ia sempat menduga sebelumnya, tapi rasanya tak percaya ia benar-benar ada di negara yang terpaut sembilan ribu kilometer lebih dari Tanah Air nya.Dean mengangguk. “Kita sekarang ke tempatku dulu.”Aliya menghela napas lemah d
Kamis, 15 Desember 202206.27 AM, Suntenjaya.DEEBB!Sebuah suara mengagetkan Agni dan keempat teman-temannya yang saat itu tengah di meja makan meminum kopi dan sarapan pagi mereka, sebelum kembali bertugas.Suara itu berasal dari ruang tengah. Agni dan yang lainnya bergegas berdiri dan menuju ruang tengah. Nawidi pun keluar dari kamarnya lalu melangkah ke arah yang sama.“Om!!” Agni berseru kaget begitu melihat Dean ada di sana dalam posisi berlutut satu kaki dengan kedua tangan membopong Aliya. Dean tampak memejamkan matanya dan sedikit terhuyung ketika hendak bangkit.Agni dan lainnya bergegas menghampiri untuk membantu Dean berdiri, ketika Nawidi mencegah mereka.“Diam dulu. Semua diam di tempat,” ujarnya tegas. Nawidi lalu melangkah lebih dekat ke Dean. “Dean, biarkan dulu, jangan dilawan. Proses barternya masih berlangsung.” Agni mengernyitkan kening. “Barter?” bisiknya pelan.Mereka semua mematuhi perintah Nawidi untuk diam di tempat. Sementara Dean tampak lebih tenang, mesk
“Di tangan neng Aliya, lalu kedua pergelangan tangan, lalu di bagian punggung pinggir kanan dan bagian atas ada lebam lebar…” jelas bi Titin lirih.Ia menarik napas pelan, lalu dengan ragu meneruskan. “Lalu emm… di sekitar leher juga banyak bercak merah.”“Ada apa Bi?” Dean yang baru keluar kamar mandi melangkah mendekat bi Titin. “Gimana Aliya?”Baru saja bi Titin hendak membuka mulut, Agni mendahuluinya.“Tangan Moony, pergelangan tangan dan punggung banyak lebam, Om! Moony kenapa?!”Dean terdiam dahinya berkerenyit.Dengan suara berat ia menjelaskan. “Aliya diganggu dan mengalami pelecehan oleh sekelompok orang saat di bar di Kazan.”“APAAA??!!” Agni langsung berdiri dari duduk.“Agni,” Nawidi mencoba menegurnya.“Trus lu apain orang-orang itu Om?” Agni maju mendekat ke Dean. “Jangan bilang lu biarin tu bangsat-bangsat bebas??!”“Tujuan utama saya, segera membawa Aliya pulang,” jawab Dean singkat. Ia berbalik lalu melangkah menuju kamarnya untuk mengecek Aliya.“BANGSAAAATTT!!!” Ag
09.17 WIBAliya membuka matanya perlahan. Ia mengerjap sayu. Kepalanya terasa begitu berat. Seluruh badan baru dirasanya ngilu, linu, nyeri dan sakit yang cukup membuatnya untuk berkeringat dan meringis tertahan.“Emmmhh…” desis Aliya pelan sambil memejamkan mata kembali. Rasa sakit di tubuhnya benar-benar terasa mengganggu sekarang.“Moony?” sebuah suara terdengar dari sisi kanan Aliya.Aliya membuka matanya kembali. Kini tampak olehnya, pemuda berparas ganteng dengan kulit putih khas turunan tionghoa dan hidung bangirnya. Namun kali ini, sorot mata usil dan ceria itu tidak tampak. Yang ada adalah mata kemerahan dengan sorot yang sarat kecemasan dan pancaran rasa takut.Pemuda itu yang kini tengah duduk di lantai dengan tangan terlipat di sisi ranjang, seolah telah menunggui dirinya tanpa mengedipkan mata sekalipun.Aliya tersenyum lemah. “Agni….”“Moo…ny…” A
13.00 WIB, Suntenjaya.Dengan bertelanjang dada, Agni membungkuk lalu mengambil posisi push up. Kedua tangan dan otot lengannya kian mengencang, saat Agung mulai menapakkan kaki dan berdiri di atas punggung Agni, disusul Terry.“Baaaangg! Lu tega dah ah!” Agni berteriak tertahan.“Jangan sekarang hukumnya dong, pleasee. Moony pan kagak lama disini. Bentar lagi bakal pulang. Besok 2 jam kagak papa, bang! Gua jabanin!”“Diam di situ. Tahan, tidak turun atau geser satu sentipun.” Nawidi berujar datar sambil meneruskan membaca bukunya.“Bang, satu menit tu berhargaaa…” rengek Agni memelas.“Tambah 15 menit!” Nawidi merespon datar.“Bang….” Agni masih tak ingin menyerah.“Tambah 15 menit lagi.”Kali ini Agni menutup mulutnya rapat - rapat. Tambahan 30 menit adalah hal besar baginya. Ia tahu ia tidak akan menang melawan Nawidi, akhirnya ia-pun pasrah.Melakukan posisi push-up dengan Agung dan Terry berdiri di atas punggungnya, selama 1 jam setengah.“Ya kamu sih segala bikin keributan. Kan d
Teaser untuk S3 RATU BUMI: KELAHIRAN SANG PEWARIS(Entah kapan akan dibuat S3-nya. Tapi Author ingin berikan ini sebagai ekstra saja untuk kalian. Thanks to you all!!)Seorang wanita tengah berada di depan laptop. Sebuah kacamata berbentuk persegi dengan bingkai berwarna biru bertengger di pangkal hidungnya.Terdengar suara tuts pada keyboard yang ditekan cukup keras dan cepat.“Selesai!!” seru wanita itu dengan bibir tersungging senyum yang begitu lebar.Matanya sekali lagi menatap lekat pada layar laptop miliknya. Seolah puas dengan apa yang ia baca, ia mengangguk dan tersenyum lagi.“Mantap memang. Si gue menggambarkan tokohnya begitu nyata. Cakep banget ini. Epik,” ujarnya sambil terus mengangguk-angguk kan kepala. Tiada henti ia memuji dirinya sendiri.“Mungkin karena aku pake namaku sendiri buat tokoh cewek, ini bener-bener terasa seperti kejadian nyata. Tapi kan itu emang tujuanku..”“Sepertinya aku bener-bener jenius… Beberapa potong mimpi ku, bisa kujadikan rangkaian cerita se
Suatu hari di bulan September 2023.Aliya menggeliat lalu mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia merentangkan kedua tangannya dan menguap.Kepalanya menengok ke kiri. Sisi itu kosong.Ia lalu menengadah, melihat ke arah jam dinding dalam kamar itu. 7:15.Aliya kemudian turun dari ranjang-nya. Ia kenakan sandal rumah berbahan kain dengan bordiran inisial A pada bagian tutup kakinya.Dengan langkah malas ia keluar kamar. Kepalanya berputar mencari.Hari itu, setelah ia tadi shalat subuh, ia tertidur kembali, karena semalam ia begadang menyelesaikan pekerjaannya hingga jam 2 dini hari.Kaki Aliya terus melangkah. Kini hidungnya mencium harum masakan berasal dari dapur. Ia pun mengarahkan kakinya ke arah sumber aroma tersebut.Ia terhenti di ambang pintu dapur. Bibirnya tersenyum. Matanya menatap ke depan dengan sorot penuh kasih.Tubuh jangkung dengan masih menggunakan set piyama tidur bermotif salur itu, masih asyik melakukan sesuatu di depan kompor.“Sudah bangun, rupanya…” kata pemilik
Dean menyetir mobil Jeep Cherokee Trackhawk yang terbuka dengan santai, menikmati embusan angin yang hangat di wajahnya sementara Aliya di sampingnya tampak takjub memandangi pemandangan di sekeliling mereka.Sekitar lima belas menit lalu, Aliya dan Dean tiba di Amboseli Airtrip di dalam Taman Nasional Amboseli.Taman Nasional Amboseli ini terletak di selatan Kenya, tepatnya di Kabupaten Kajiado, dekat perbatasan Kenya dengan Tanzania.Taman ini berada sekitar 240 kilometer sebelah tenggara Nairobi, ibu kota Kenya, dan terletak di bawah bayang-bayang Gunung Kilimanjaro yang megah di Tanzania, yang memberikan latar belakang yang ikonik dan terkenal di taman ini.Amboseli terkenal dengan populasi gajah besarnya, serta pemandangan sabana yang menakjubkan.Dean sengaja membawa Aliya ke tempat favorit-nya ini, untuk memberikan pengalaman baru bagi Aliya.Dengan helikopter, mereka terbang sekitar 40 menit dari helipad di atas gedung kantor cabang Starlight Corp di Nairobi menuju Kajiado. Se
Aliya paham, yang dimaksud orang Elemen Air itu adalah Elang. Namun yang tidak ia paham, mengapa ia menangkap gestur kemarahan dari sosok Syauqi? Apakah Syauqi dan Elang pernah bertemu sebelumnya?Ini belum waktunya Aliya bertanya lebih jauh tentang itu. Jadi ia kemudian hanya mengalihkan pertanyaan pada hal lain.“Bukankah yang kudengar, bahwa Realm adalah keluarga yang memang bermukim di Tanah Air. Tapi--” Ucapan Aliya terhenti.Syauqi tertawa kecil. “Anda bingung karena saya berwajah campuran di luar Indonesia?”“Ya, jujur aku bingung.” Mau tak mau Aliya pun tertawa kecil.“Nenek saya sedikit memberontak, Madam.”“Eh?”Syauqi terkekeh. “Nenek saya kabur dari Indonesia dan menikah dengan orang Jepang. Lalu ibu saya lahir dan kemudian menikah dengan orang Amerika. Lalu lahirlah saya.”Pria berwajah elok itu menjeda diri sesaat. “Saat saya berumur lima tahun, ibu saya membawa saya kembali ke kakek buyut. Tetua Realm Api dan mengembalikan saya. Kata ibu saya, itu wasiat nenek saya sebel
Aliya bersandar di sofa lounge hotel yang nyaman, menatap tenang pada makanan di depannya.Ia mencoba hidangan khas Nairobi: Nyama Choma, potongan daging panggang yang gurih dan kaya rempah, ditemani dengan kachumbari—salad segar dari tomat, bawang, dan cabai.Rasa pedas dan segar dari kachumbari melengkapi cita rasa daging yang hangat, membuat Aliya semakin larut dalam suasana santai sambil menunggu Dean yang tengah dalam rapat mendadak di ballroom hotel.Saat kunyahan terakhir, Aliya teringat percakapannya tadi dengan Matteo, yang penuh dengan dukungan.Matteo, sahabat Dean itu, mengungkapkan ketulusan hati ketika mengetahui Aliya bersama Dean."Aku sangat bahagia, Nyonya.”“Please, panggil Aliya saja, Matteo.”Matteo tersenyum sumringah. “Baiklah.. Ya.. aku benar-benar merasa bahagia.”“Aku bisa lihat itu. Sejak pertama kita bertemu, wajahmu berseri-seri terus,” Aliya tersenyum lebar.“Ini bukan tentang diriku, Nyonya. Melihatmu akhirnya bersama Dean... itu sungguh yang selama ini
Tak berapa lama limousine yang ditumpangi Dean dan Aliya tiba di satu hotel yang tampak megah.Beberapa greeter dan bellboy tampak menyambut ramah dan penuh hormat saat Aliya dan Dean yang dipimpin Matteo, memasuki area hotel.Dean terlihat sedikit menaikkan alis—tampak berpikir sesuatu, namun tetap dengan santai mengikuti langkah Matteo yang terlihat bersemangat berbicara dengan Aliya.Aliya melangkah masuk ke dalam suite mewah di Helshington Nairobi, tak dapat menahan gumaman kagum yang meluncur pelan.Matanya menyusuri setiap sudut ruangan—sebuah suite yang luas dengan desain butik berkelas, bercampur sentuhan klasik yang elegan.Dindingnya dihiasi karya seni khas Afrika, menambah sentuhan eksotis pada ruangan yang megah namun tetap hangat.Lampu-lampu gantung dari kristal menghiasi langit-langit tinggi, sementara lantai kayu yang mengilap mencerminkan pantulan cahaya lembut dari lampu yang dipasang dengan artistik.Di satu sisi, ada balkon pribadi yang menghadap ke pemandangan perb
Gedung kantor cabang Starlight Corp di Nairobi terlihat lebih sibuk dari biasanya.Para karyawan berjalan cepat, membawa berkas-berkas dan peralatan, memastikan setiap detail tertata sempurna untuk menyambut kedatangan CEO mereka, yang nyaris tidak pernah terlihat.Lobi utama yang biasanya hanya dihiasi dengan dekorasi sederhana kini terlihat sedikit berbeda. Tanaman hijau segar diletakkan di beberapa sudut, meja resepsionis dibersihkan hingga berkilau, dan tim keamanan memeriksa ulang setiap titik untuk memastikan semuanya sesuai standar.Di tengah kesibukan tersebut, Direktur cabang melangkah mendekati Matteo, manajer yang selalu tenang di tengah hiruk-pikuk persiapan ini.Dengan ragu, Direktur bertanya, "Mr. Odhiambo, apa benar tidak masalah jika kita melakukan persiapan seperti ini?"Sang Direktur masih teringat akan sikap sang CEO yang cenderung rendah hati dan tidak suka dengan seremoni berlebihan.Pernah sekali waktu saat ia pertama kali menjabat sebagai direktur cabang, ketika
Aliya duduk sendirian di dalam kabin jet pribadi Gulf Stream yang melaju anggun di atas awan menuju Kenya.Interior jet ini tampak begitu mewah dan nyaman, didesain dengan kursi kulit lembut berwarna krem yang berpadu dengan elemen kayu mahoni gelap.Cahaya matahari senja yang masuk dari jendela memberikan kilau hangat ke dalam kabin, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti perjalanan mereka.Aliya menatap keluar jendela, melihat hamparan langit oranye keemasan yang seakan tak berujung, membiarkan pikirannya melayang.Bayangan pertama kali ia melihat pesawat ini, dengan logo Starlight Corp di badan jet, memenuhi benaknya.Kata-kata Agung kembali terngiang di kepalanya, bagaimana Dean memilih nama Starlight, terinspirasi dari panggilan kesayangan yang ia berikan padanya setelah pertama kali melihat Aliya dalam mimpi.Ketika ia iseng berselancar di dunia maya, ia mendapati bahwa Starlight Corp adalah korporasi besar yang dikagumi dunia. Selain Starlight Corp dikenal dengan kebijakan
Dean tersedak lalu terbatuk.“Prrrfffffftttttt.” Agni sukses menyemburkan nasi yang baru saja ia suapkan ke dalam mulutnya.Bi Titin menahan tawa. Ia mengacungkan jempol pada Aliya, lalu melenggang santai kembali ke dapur.Hening.Aliya melotot ke arah Agni.“Jorok, ih!” Aliya menepukkan tangannya ke beberapa nasi semburan Agni yang mampir dan bertengger di bajunya.“So-sorry Moony!” Agni bergegas bangun dan meraih beberapa lembar tissue dan menghampiri Aliya. Tangannya mengelap tangan Aliya.Saat tangan Agni akan berpindah ke bagian baju di bawah dagu Aliya, tangan Dean telah memegang tangan Agni.“Biar saya saja,” kata Dean singkat.Agni memanyunkan mulutnya. “Lu sih, Om…” Lalu kembali ke tempat duduknya dan membersihkan sisa-sisa nasi yang berhamburan di meja sambil nyengir.Dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal, Agni mengambil piring makannya dan memutuskan segera menyingkir dari ruang makan, untuk memberi keleluasaan bagi pasangan itu.“Gue pindah ah. Ini obrolannya udah dua