Ditengah lamunannya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Nampak nama ibu mertuanya yang tertera di sana, sambil melipat kening, segera saja tangannya menggeser layar ponselnya.[Vania sayang, mama ingin mengingatkanmu, minggu depan adalah liburan bulan madumu, mama harap kau sudah mengurus cuti dan kopermu.]"Liburan bulan madu? Artinya akan berdua saja dengan Mas Rendi?" Gumam Vania sambil mengigit bibirnya****"Wajahmu kenapa? Seharian kulihat kusut dan muram, seperti emak emak yang tidak dapat tiket antrian sembako murah?" Tanya Delia, teman sekantor Vania."Kurang tidur," jawab Vania asal."Kurang tidur, emang semalam kau habis begadang nonton bola atau ada hantu usil di rumahmu?" Kembali Delia bertanya."Aku lihat ada kuntilanak cerewet yang sedang menanyaiku," sahut Vania menyindir."Aku kan nanya beneran, nenek!" Sungut Delia."Sibuk urus cuti," jawab Vania pendek."Cuti? Kau mau ambil cuti?" Vania mengangguk."Iya, disuruh sama yang mulia kanjeng ibu mertuaku." Jawab Vania tamp
"Aku tahu kau ada dimana, karena itu aku ingin menjemputmu.""Kau tahu aku disini? Menjemput?" Kening Vania berkerut, sedetik kemudian kepalanya tampak menoleh ke kanan dan kiri seakan mencari seseorang. Sikap aneh Vania akhirnya menarik Delia untuk bertanya."Ada apa Vania? Apa yang kau cari?""Aku mencari beruang kutub yang lepas dari kandangnya, entah ada dimana makhluk berbulu itu sedang mengintipku," Ucap Vania asal bicara sambil terus memutar kepalanya mencari pria yang telah membuat hidupnya jungkir balik tiga bulan ini.***"Beruang kutub?" Tanya Delia tak mengerti."Ya, seekor beruang kutub yang sedang mengintipku sekarang," Jawab Vania sambil terus menoleh ke kanan dan kiri, mencari keberadaan Rendi.Dahi Delia tampak berkerut mendengarnya, ucapan Vania sedikit sulit dimengerti olehnya. Wanita itu hanya bisa mengamati saja tingkah Vania yang terus memantau sekelilingnya.Wajah Vania terlihat kesal, sambil mengigit bibir bawahnya, tak lama, ia kembali sibuk dengan bicara deng
"Aku tidak berminat, untuk apa liburan bulan madu itu, jika nantinya kita akan bercerai? Lebih baik kau ajak saja Mbak Karin untuk menggantikanku pergi ke sana, karena aku sama sekali tidak tertarik," ungkap Vania terus terang."Baiklah jika itu yang kau inginkan, tapi sepertinya kau lupa dengan perjanjian kita, jika kau ingin aku menceraikanmu maka lebih baik segeralah hamil, dan untuk membuatmu bisa hamil, aku harus lebih sering menyentuhmu.""Kita berdua harus menikmati liburan bulan madu yang tertunda itu, mama akan sangat marah jika kita tidak menghargai niat baiknya, bukankah begitu?" ujar Rendi dengan lengkungan tipis di wajahnya. Tersenyum penuh arti.***Tak seperti biasanya. Hari ini Vania tampak tak begitu bersemangat. Sejak pagi, wajah wanita itu ditekuk, meski perona pipi berwarna cerah ia usapkan, tetap saja tak mampu membuang kesan muram di wajahnya. Mengenakan blazer berwarna coklat muda dipadukan dengan tas dan sepatu berwarna senada, penampilan Vania tampak begitu s
"Haduh Vania sayang, mama pesan untuk membuat liburan bulan madumu terasa manis dan menggigit, seperti seorang perawan yang belum tersentuh." Ujar Helena tersenyum penuh arti."Jangan protes karena mama melakukannya agar perutmu segera terisi bayi. Ah, mama sudah tak sabar menunggu bayi kalian," Lanjut Helena bicara."Tuh bener kan bener konslet, beginilah resiko punya mertua rada konslet tingkat dewa," batin Vania lalu menelan ludah.***Keesokan harinya,Suasana bandara internasional Ngurah Rai, siang ini begitu ramai, baik penumpang domestik maupun internasional, tak heran karena bandara ini adalah salah satu bandara tersibuk di Indonesia.Di area kedatangan tampak Vania dan Rendi berjalan bersisian sambil menarik koper masing-masing, tak lama seorang pria berkemeja hitam terlihat melambaikan tangan pada mereka.Dengan mengulas senyum, Rendi membalas lambaian tangan tersebut dan menarik lengan Vania agar mengikuti langkahnya, tak lama mereka melangkah menuju arah dimana sebuah seda
"Membuka kancing pakaianmu katanya ... Jangan harap!" Sungut Vania dari dalam kamar mandi."Princess, bagaimana jika kita sekalian mandi bersama, bukankah aku bisa membantu menggosok punggungmu?" terdengar suara Rendi setengah berteriak dari luar."Gosok saja otak mesum-mu itu mas," jawab Vania lantang."Ah, kadang kau menggemaskan, Vania." Bisik Rendi pelan.***Karin termangu didepan meja riasnya, sambil sesekali memandang ponselnya, hatinya gelisah dan begitu cemburu kala mengingat Rendi dan Vania tengah bersama.Sejak awal pernikahan, sikap Rendi pada Vania berbeda. Karin menyadari pandangan mata Rendi tampak begitu mendamba pada Vania. Terkadang ia ingin mengingatkan kesepakatan awal mereka tentang pernikahan kedua Rendi, hanya saja saat ini bibirnya kelu ketika ingin mengungkapkannya.Malam semakin larut, keheningan semakin menyapa dirinya, hanya suara pendingin ruangan saja yang terdengar ditelinga, diliriknya ranjang yang seakan ikut mengejeknya. Mengejek kesendiriannya saat i
"Mengapa bertanya seperti itu? Bukankah kita sekarang berlibur? Menikmati bulan madu kita?" Sahut Rendi, pandangannya kini berubah tajam."Aku hanya bertanya ..." Belum ada selesai kalimat yang diucapkan Vania, sebuah ciuman di daratkan Rendi padanya, membuat mata Vania membulat."Maka biarkan aku memanfaatkan waktu satu tahun ini bersamamu," Bisik Rendi pelan lalu mulai melepaskan kancing piyama Vania. ***Hari ini adalah hari ke empat mereka berdua ada di Bali, dari tujuh hari yang direncanakan. Selama empat hari itu mereka menghabiskan waktu di beberapa tempat wisata, dan tentu saja pantai adalah tempat favorit bagi mereka.Bali memang salah satu tujuan wisata terbaik. Panoramanya yang elok dan juga adat istiadat dan budaya yang masih begitu dijaga dan dilestarikan oleh para penduduknya, membuat tanah dewata itu tak kalah menarik dari tempat wisata terkenal di dunia.Sebuah hotel di Nusa dua, dipesan Helena untuk tempat mereka mereka menginap. Hotel yang berlokasi tak begitu jauh
"Tidak ada yang harus ku ceritakan padamu," ucap Vania dingin sambil menggeser kursinya dan melangkah menuju kamar mandi.Sengaja Vania menghindar, ia tak mau dadanya semakin terasa sesak, jika memikirkan ada hal yang sengaja disembunyikan Rendi darinya. Empat hari yang mereka lalui disini begitu manis. Namun, jika mengingat isi pesan WA dari Karin yang diintipnya, membuatnya Vania kembali berpikiran buruk.Dari balik bahu, Rendi memandang tubuh Vania yang melangkah ke kamar mandi tanpa berkedip. Lelaki itu tahu, ada sesuatu yang mengganjal hati istri keduanya itu, hanya saja untuk membuat Vania bicara tak akan semudah itu. Setidaknya membiarkan Vania menenangkan diri adalah keputusan yang tepat.***Keesokan harinya.Pagi pagi sekali Vania bangun dan sibuk merapikan kopernya. Beberapa souvernir dan hadiah yang di belinya untuk Delia dan Lila juga ikut serta. Diliriknya Rendi yang baru saja keluar dari kamar mandi, tubuh atletis dengan iris mata yang gelap, membuat lelaki itu terlihat
"Mbak, jangan melamun," tegur Sumi, Asisten Rumah Tangga Vania "Tidak, aku hanya berpikir sebentar," ucap Vania sambil menyuap makanan pada sendok terakhir ke mulutnya."Bi, apa mungkin Mas Rendi akan menceraikanku?" Tanya Vania bimbang."Berdoa saja semoga tuhan memberikan jalan terbaik," Jawab Sumi mencoba menguatkan. ****Vania tampak termenung di meja kerjanya, meski pandangan matanya terlihat menatap komputer. Namun, saat ini pikirannya sedang melayang jauh, memikirkan pernikahannya. Sesekali tampak tangannya mengetuk meja, seakan sedang berpikir. Wajahnya terlihat tegang karena hati wanita itu kini sedang gelisah.Sekilas tak ada yang aneh dengan sikapnya, ia terlihat sedang fokus dengan pekerjaannya, termasuk Delia, rekan kerjanya yang kini sedang memperhatikannya.Sudah seminggu berlalu sejak kepulangannya dari Bali, dan seminggu sudah Rendi tidak jua menemuinya, hanya sesekali saja pria itu berkirim pesan padanya. Rasa rindu kini menyiksa dirinya. Ingin rasanya Vania menel
Beberapa bulan kemudian."Mas, boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Vania sambil menggendong Arjuna, putra mereka."Kau bebas bertanya apapun padaku," jawab Rendi sambil menjawil pipi Arjuna yang menggemaskan."Apa kau pernah merindukan Mbak Karin?" Mendengarnya, Rendi tersenyum lalu mengambil Arjuna dari gendongan Vania." Mengapa bertanya seperti itu?" Balasnya."Aku hanya ingin tahu saja," sahut Vania cemberut."Terkadang aku masih merindukannya," goda Rendi sambil melirik Vania yang semakin cemberut."Begitukah, kau menyesal bercerai dengannya?" Cecar Vania kemudian.Kali ini Rendi menghela nafas panjang, lalu menarik lembut tangan Vania, mengajaknya duduk di gazebo yang ada di sudut halaman rumah mereka."Aku tidak menyesali apapun, princess. Bagiku Karin tetaplah seorang istri yang baik hanya saja jodoh kami sudah selesai. Karena saat ini dan selamanya hanya ada kau saja di hatiku. Apa jawaban itu sudah cukup?" Vania memalingkan wajahnya, melihat sikap istrinya yang terlihat sedan
Karin tertawa getir mendengarnya." Apa kau tahu jika aku sengaja melakukannya, karena rasa cemburu ku padamu, Vania?" Ucap Karin mengakuinya.Mendengarnya Vania seolah kehilangan kata-kata, meski sebelumnya ia sudah dapat mengira namun tak menyangka jika kakak madunya ternyata melakukan hal ini padanya.Suasana ruangan itu hening sesaat, entah mengapa diantara mereka kini saling membuang pandangan seakan ingin menyembunyikan perasaan mereka masing-masing."Tapi kau tak harus bercerai dari Mas Rendi, mbak. Kau adalah isteri pertamanya, seseorang yang telah lebih dulu berada disisinya, jika hanya karena seorang keturunan memaksamu untuk menjauh dari Mas Rendi, mengapa tidak aku saja yang melakukannya?""Princess," sebut Rendi spontan, lelaki itu seperti tak suka dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Vania.Karin kembali mengulas senyum getir saat melihat perubahan sikap Rendi. "Mas Rendi mencintaimu, Vania. Tidakkah kau sadari itu? Apa kau masih tidak ingin mengerti jika kehadiranku
""Mengapa kau bersikeras ingin berpisah, Karin?"Mendengarnya, Karin tersenyum getir. "Aku sudah yakin bahwa kau adalah orang pertama yang akan bertanya padaku, mas." Jawabnya pelan.***Pandangan mata semua orang kini tertuju pada Karin, seakan menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir wanita itu, namun Karin bergeming sesaat, seolah-olah mengabaikan pertanyaan yang baru saja dilontarkan suaminya tersebut padanya. Tak lama akhirnya suaranya terdengar."Sebelum itu, aku ingin minta maaf pada kalian semua karena telah mencemaskanku. Sungguh, aku tak bermaksud untuk menghindar ataupun lari. Beberapa hal yang terjadi belakangan ini cukup menguras emosi, hingga kuputuskan untuk menenangkan diri sejenak," tutur Karin memulai penjelasannya."Apa harus dengan melayangkan gugatan cerai, mbak?" Vania memprotes keputusan Karin.Mendengarnya Karin tersenyum getir lalu memalingkan wajahnya dari sorot pandang mata Vania yang tajam. Helaan nafas panjang terdengar dari bibirnya, seakan sedang
"Entah mengapa aku merasa jika kau terpaksa mengambil keputusan ini, mbak. Aku tahu dari dalam hatimu, kau sangat mencintai Mas Rendi," lirih Vania mengucapkannya, lalu kembali melempar pandangan ke luar jendela. Menatap bayinya yang tengah tertidur dalam gendongan Sumi.***Sidang pertama perceraian Rendi dan Karin akhirnya selesai digelar. Namun Karin tak juga terlihat di persidangan tersebut, membuat kesal Rendi yang sedari tadi menunggu kehadirannya.Sejak gugatan hingga masuk ke tahap persidangan, Karin masih belum menampakkan dirinya, meski beberapa kali Rendi berusaha menelpon dan berkirim pesan padanya, tetap saja tidak mampu membuat Karin pulang ke rumah mereka.Karin juga tidak terlihat saat gelaran aqiqah bayi Vania, hanya kiriman kado darinya saja yang datang menghampiri, kelihatannya Karin sengaja menghindari bertemu dengan semua orang yang berhubungan dengannya. Wanita itu seolah sengaja menjauh dari mereka.Keputusan Karin untuk bercerai sepertinya sudah tak terbendung
"Istirahatlah princess, karena aku akan menjaga kalian berdua," lirih Rendi dengan pandangan matanya yang terlihat berkaca-kaca menatap Vania dan bayi mereka secara bergantian.***Karin menyeka air matanya yang menetes, hatinya begitu nyeri saat ini. Keputusannya untuk bercerai dari Rendi membuat perasaan hancur.Tak dapat dipungkiri, untuk kedua kalinya ia harus patah hati. Baik Hans maupun Rendi, kedua lelaki itu tak bisa dimilikinya, membuat Karin harus berlapang dada untuk menerima guratan nasibnya.Matanya kini memerah sebab air matanya. Beberapa kali ia mengutuk dirinya karena bisa terjebak dalam situasi seperti ini. Entah mengapa ia harus kembali mengalami rasa sakit ini. Membuat bibirnya kini merutuki nasibnya sendiri.Tangan Karin masih memutar kemudi mobilnya. Panggilan telepon dari Rendi beberapa saat lalu kini membuat suasana hatinya semakin nyeri. Ingin sekali ia berharap bahwa semua ini adalah mimpi agar ia tak perlu terbangun dan merasakan semua hal yang menyakitkan ini
"Kau terlihat gelisah, mas. Apa ada masalah?" Mendengarnya, Rendi lalu menghela nafas berat."Iya, pengacara Karin baru saja menelponku, beliau bilang bahwa Karin telah mendaftarkan gugatan cerainya ke pengadilan agama," jawab Rendi, nada suaranya terdengar parau.***"Gugatan cerai?" Ucap Vania seakan tak percaya. Terlihat keningnya seketika berkerut."Benar, pengacaranya berkata seperti itu padaku," tegas Rendi sambil menganggukkan kepalanya."Mustahil?""Rasanya aku tak bisa mempercayainya? Bukankah sebelumnya ia begitu sangat menginginkan bayiku agar bisa terus bersamamu, mas. Lalu kenapa sekarang ingin bercerai?" Vania mendesis seolah tak yakin jika Karin benar-benar melakukannya."Entahlah, aku juga tak tahu alasannya, kurasa aku harus mengajak Karin bicara. Aku ingin tahu apa alasannya kali ini setelah sebelumnya begitu sangat menginginkan bayimu," pungkas Rendi.Untuk beberapa saat, diantara mereka tak ada yang bicara seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga akhirny
Pernyataan Vania sontak membuat Lelaki itu memandangnya tanpa berkedip. "Iya, aku masih ingat, kenapa?" Balasnya bertanya."Talak aku mas," ujar Vania dengan suaranya yang bergetar.***Untuk beberapa saat Rendi tampak tak percaya dengan apa yang baru saja Vania katakan. Matanya tampak mendelik marah karena tak suka dengan permintaan istri keduanya itu.Tangan Rendi mengepal, seolah menahan emosinya. Lelaki itu tak menduga jika Vania berniat untuk berpisah darinya."Apa kau sedang bercanda?" Tanya Rendi sambil menatap tajam pada istri keduanya itu. Sungguh ia tak suka dengan permintaan Vania kali ini.Vania menggeleng. "Tidak mas, aku serius. Tolong segera urus perceraian kita.""Kenapa? Apa ada kesalahan yang kubuat? Ataukah ada hal lain yang membuatmu ingin berpisah dariku?" Cecar Rendi.Vania menggeleng." Tidak mas, kau tidak berbuat kesalahan apapun. Hanya saja aku sudah tak ingin lagi menjadi orang ketiga dalam pernikahanmu dan Mbak Karin," jawab Vania menunduk. Bahunya tampak se
"Lalu Gio, di mana dia? Apakah dia juga pergi setelah mengantarku ke rumah sakit, sama seperti Karin?" Bisik Vania teramat pelan, karena tak mungkin baginya untuk bertanya tentang lelaki itu pada ibu mertuanya.***Gio menyetir mobilnya dengan pikiran yang berkecamuk, lelaki itu tampak murung, sambil sesekali berdecak kesal.Setelah memastikan Vania ada yang menjaga, tepatnya setelah ia melihat kedatangan Rendi ke rumah sakit, lelaki itu perlahan mundur dan memutuskan untuk pergi dari rumah sakit. Tak hanya dirinya, karena beberapa saat kemudian, ia juga melihat Karin pergi meninggalkan rumah sakit, setelah berbicara sebentar dengan Rendi."Apa yang sebenarnya terjadi, Vania? Mengapa aku merasa sangat cemas seperti ini?" Lirih Gio tertahan.Dari kejauhan, ekor mata Gio menangkap mobil berwarna silver metalik yang dikendarai Karin. Entah mengapa mendadak ia memutuskan untuk mengikuti mobil Karin dan ingin mengajaknya bicara.Setengah jam telah berlalu, namun Gio masih belum melepaskan
Ujar Gio sambil menatap Karin, seakan meminta izin pada wanita itu agar bisa membantu, begitu melihat Karin menganggukkan kepalanya, dengan cepat tangan kekar Gio meraih tubuh Vania dan menggendongnya keluar dari cafe.***Wajah Karin terlihat begitu cemas sambil mengikuti langkah Gio yang menggendong tubuh Vania dari belakang. Meskipun tak mengerti mengapa laki laki itu bisa ada di tempat yang sama dengan mereka, namun ia bersyukur dengan kebetulan ini.Erangan halus Vania terdengar saat tubuhnya diletakan dengan sangat hati-hati di jok depan mobil Karin, setelah memastikan sabuk pengamannya sudah terpasang dengan baik, Gio pun menutup pintu mobil Karin."Tolong hati hati bawa mobilnya, Mbak. Jika kau berkenan biar aku saja yang menyetir," cemas Gio sambil melirik Vania yang mengerang."Terima kasih, tapi aku bisa menyetir sendiri. Aku akan berhati-hati," tolak Karin."Baiklah," ujar Gio menyerah. lalu menggeser tubuhnya agar Karin bisa lewat.Selagi Karin sibuk mengeluarkan mobilnya