Kini Vania telah kembali ke rumah.
Dia menghela nafas panjang ketika melihat Rendi melangkah masuk ke dalam kamarnya. Dengan cepat, ia memalingkan wajahnya segera ke cermin. Gadis itu malas jika nantinya kedatangan sang suami ke kamarnya, akan berakhir dengan sebuah pertengkaran.
Selalu itu yang terjadi, tiga bulan pernikahan ini, ia jalani dengan hambar tanpa adanya kemesraan di antara mereka. Vania mengakui bahwa setelah menikah, ada getar yang terasa jika melihat lelaki itu. Namun, tak pernah ia tunjukkan. Vania menahan diri karena menyadari posisi dirinya.
Tuhan, salahkah jika ia mulai memiliki rasa pada suaminya sendiri?
Seminggu setelah pernikahan, banyak sekali Vania mendengar orang- orang yang menghujat, memaki, dan mengutuk dirinya, bahkan julukan sebagai pelakor pun disematkan padanya. Tapi, tahukah mereka jika hatinya juga sangat tersiksa dengan pernikahan ini?
Sungguh, menerima pernikahan ini seperti buah simalakama bagi Vania. Jika bukan karena bapak dan ibu ... siapa yang mau dijadikan istri kedua?
"Vania, ini uang nafkah untukmu bulan ini," ucap Rendi kemudian meletakkan sebuah amplop putih di atas meja riasnya.
"Terima kasih," ucap Vania datar. Mengambil amplop itu dan menyimpannya di dalam laci meja rias.
"Maaf, aku kehilangan nomer rekeningmu," lanjutnya lagi seakan mengetahui apa yang dipikirkan Vania. Wajar saja, karena dua bulan terakhir Rendi mentransfer uang nafkah untuknya melalui rekening.
"Karin memintaku untuk tidur disini bersamamu," ucap lelaki itu ragu.
Vania mengangguk lalu kembali memandang pantulan wajahnya dicermin.
Selama tiga bulan menjalani pernikahan ini, hanya beberapa kali saja Rendi mendatangi kamarnya. Itupun karena paksaan Karin, kakak madunya
Namun, Jangan berpikir mereka akan menghabiskan malam dengan percintaan yang panas seperti layaknya pasangan pengantin baru. Vania dan Rendi akan tidur dengan punggung saling membelakangi meski berada di atas ranjang yang sama.
Sakit?
Jangan ditanyakan. Bukan keinginan Vania untuk bisa menjadi orang ketiga dalam pernikahan mereka. Lagi, dia hanya dapat bisa berandai ... andai saja, gadis itu bisa menolaknya.
"Aku tidur dulu, mas," ucap Vania datar.
Tak ada jawaban dari Rendi, lelaki itu memilih bungkam. Vania tak terlalu peduli.
Setelah ritual perawatan wajah selesai, Vania beranjak dari hadapan meja riasnya, menuju ke peraduan, merebahkan tubuhnya perlahan lalu menarik selimutnya.
"Mas kembali saja ke kamar Mbak Karin. Temani saja dia. Maaf, aku lelah, ingin tidur."
Tak terdengar suara jawaban dari Rendi. Hanya helaan nafasnya yang terdengar berat.
"Vania ..." panggilnya.
"Ada apa?"
"Aku minta maaf karena membuatmu terjebak dalam pernikahan ini."
"Tak perlu minta maaf, mas. Aku menerima pernikahan ini demi membalas jasa keluargamu."
"Papa dan mama sudah mendesakku agar segera memberi kabar tentang kehamilanmu." Ucapan Rendi terdengar begitu pelan.
Vania memejamkan mata. Ada rasa teriris di hati mendengarnya.
"Mbak Karin pasti sangat terluka mendengarnya," lirih Vania pelan, menjawabnya.
"Aku ...."
"Pergilah ke kamar Mbak Karin. Maaf, aku lelah." Vania mengulangi kalimatnya.
Bukan maksud gadis itu menolak untuk menunaikan kewajiban seorang istri pada suaminya, tapi ia lelah dengan keadaan ini. Setiap hari, ia selalu berdoa dan berharap ada jalan keluar terbaik untuknya agar bisa mengakhiri dan terbebas dari hubungan ini. Vania menjerit dalam hatinya.
"Vania." Lagi, Rendi memanggilnya.
"Mas, adakah jalan keluar bagi kita untuk mengakhiri pernikahan ini?" Sungguh, terasa sesak dada Vania ketika mengatakan kalimat ini.
"Cobalah untuk menerimanya, maka semua akan berjalan baik-baik saja."
"Benarkah, bisa seperti itu?" Vania bangkit dari tidurnya dan menatap tajam pada Rendi, suaminya.
"Bolehkah aku bertanya satu hal saja padamu, mas?"
"Apa kau menerima pernikahan ini dengan bahagia?" cecar Vania. "TIDAK, bukan? Lalu mengapa kau bisa mengira semua akan baik-baik saja jika pada akhirnya kita bertiga akan terluka?"
Pipi Vania terasa hangat, sekuat mungkin ia menahan air mata agar tidak jatuh. Ia tak mau Rendi melihatnya menangis.
"Vania. Jika kau hamil, maka semua masalah akan selesai. Bukankah tujuan pernikahan ini adalah ..."
"Seorang bayi. Penerus nama keluarga Atmadja. Aku tahu itu, mas," potong Vania cepat.
"Jika kau cepat hamil dan memberikan keturunan untuk keluargaku, maka aku ..."
"Kau akan menceraikanku, begitu bukan?"
Rasanya Vania ingin tertawa mendengarnya. Ya, itulah alasannya mengapa ia masuk menjadi istri kedua. Hanya demi seorang penerus keluarga. Mereka hanya menganggapnya sebagai alat penghasil bayi.
Sayangnya, Rendi terikat janji pada Karin untuk tidak menceraikannya, kecuali atas permintaan mertuanya. Orang tua Rendi sendiri!
Sebegitu rumitnya hubungan mereka, membuat Vania kadang ingin menyerah. Dan, menekan perasaannya pada Rendi bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dilakukannya!
Belum lagi, sikap mertua yang begitu baik juga menjadi pertimbangan Vania. Andai saja ibu mertua bersikap seperti mertua kejam dalam chanel TV ikan terbang yang sering ia tonton atau cerita-cerita di grup kepenulisan yang ia baca ... sudah tentu gadis itu akan sangat gembira karena memiliki alasan untuk bisa mengakhiri pernikahan ini.
"Kembalilah ke kamar Mbak Karin, mas. Maaf, jika diijinkan, aku ingin tidur.""Vania, malam ini ijinkan aku tidur di sini. Karin pasti akan kecewa jika ia melihatku kembali ke kamarnya," pintanya terdengar memelas."Terserah mas saja."
Segera Vania rebahkan kembali tubuhnya, lalu berbalik membelakanginya. Selalu saja berakhir seperti ini. Mereka akan bertengkar lebih dulu setiap kali suaminya datang ke kamarnya, membahas alasan dibalik pernikahan mereka. Sungguh, jika tidak mengingat akan hutang budi kedua orang tuanya. Rasanya, sudah lama Vania pergi sejauh mungkin dari kota ini dan tentunya dari pernikahan ini.
****
Mata Karin terlihat sedikit sembab pagi ini. Vania tahu, kakak madunya itu pasti mengira ia dan Rendi menghabiskan malam panas dengan berbagi peluh di ranjang. Ia bisa mengetahuinya dari sorot mata Karin yang kini tengah menatapnya sayu.
Selalu saja seperti ini. Vania merasa seakan begitu disudutkan. Karena, gadis itu yakin di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Karin juga tak rela membagi suaminya dengan wanita lain.Sejatinya, tak ada seorang wanita manapun yang mau membagi suami dan cintanya kepada wanita lain. Dalam situasi ini, keikhlasan dan kebodohan kadang hanya dibedakan dengan selembar kertas tipis.
"Vania, ayo makanlah dulu. Mbak sudah minta Bi Asih membuatkan nasi goreng kesukaanmu," tawar Karin dengan senyum tipis. Vania bisa melihatnya, Senyuman yang diperlihatkan Karin padanya penuh dengan keterpaksaan."Terima kasih."Rendi datang tanpa menyapanya dan langsung duduk bersebelahan dengan Karin. Vania memilih diam melihat kembali kemesraan mereka di meja makan ini. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengakhiri sarapan ini secepat mungkin, karena terlalu lama melihatnya akan terbetik rasa cemburu di hatinya.
"Aku sudah selesai. Maaf, berangkat kerja dulu," pamit Vania lalu menggeser kursinya.
"Oh ya, sekalian aku mau minta izin padamu, mas. Nanti setelah pulang kerja, aku akan kembali ke kontrakanku."
Sebulan sebelum pernikahan mereka digelar, ayah Vania, Hasan memutuskan untuk berhenti bekerja dan pindah ke kampung halamannya di Purwokerto. Kedua orang tuanya memilih menghabiskan masa tua di sana. Mereka berpikir jika setelah menjadi menantu keluarga Atmaja, hidup putrinya akan bahagia. Nyatanya, kenyataan itu tidaklah benar.
Tapi, apa daya? Vania tak mungkin menceritakan masalahnya pada orang tuanya. Ia tak akan tega membebani mereka dengan masalah rumah tangganya. Dan juga, gadis itu tak akan sanggup melihat ibunya yang akan berlinang air mata jika mengetahui kenyataannya."Kenapa harus kembali ke sana, Vania?" tanya Karin.
"Karena ini bukan rumahku, Mbak," ucap Vania tegas sambil menoleh pada Rendi, suami mereka.
Bersambung...
"Vania!" Suara Rendi sedikit berintonasi.Vania menoleh dan menatapnya tajam, bukan karena ingin membangkang ataupun tidak menghargai suaminya sebagai pemimpin di keluarga ini, tapi ia sudah memikirkan baik-baik keputusannya untuk keluar dari rumah ini. Terlalu lama berada disekitar mereka membuatnya gerah. Vania tak akan mampu selamanya menutup mata melihat kemesraan mereka dan juga tatapan kesedihan yang selalu diperlihatkan Karin kepadanya.Dan terlebih juga pada perasaannya. sendiri. Vania takut jika perasaan cintanya akan semakin besar pada Rendi, nantinya akan membuat dirinya sulit untuk melepaskan diri dari pernikahan yang tak sehat ini. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah mencari cara agar bisa segera terlepas dari belenggu pernikahan yang menyakitkan ini."Mama tidak akan suka mendengarnya." Rendi mencoba mencegah.Vania menunduk sambil tersenyum getir."Mas, aku akan menjelaskannya pada mama. Jadi kau tak perlu khawatir.""Vania, pikirkan dulu." Karin menatap lembut padany
"Mbak bolehkah aku bicara sebentar denganmu?" Tanya Vania suatu sore ketika melihat Karin, kakak madunya itu sedang asyik berkebun di samping rumah."Bicara saja, Vania." Jawab Karin lembut.Vania menghela nafas, melihat pembawaan Karin yang begitu lembut dan tenang. Membuat ia kadang tak mampu untuk berkata kasar padanya."Mengapa mbak mengizinkan Mas Rendi menikah lagi? Jika pada akhirnya Mbak dan Mas Rendi juga akan terluka?" Hati hati Vania mengucapkannya.Karin tersenyum dan meletakkan sebuah pot berisi bunga mawar yang baru saja di rapikannya. Matanya kini menatap teduh pada gadis di hadapannya. Sebuah tatapan yang membuat dada Vania terasa sesak."Aku tidak sempurna, Vania! Aku tidak bisa memberikan seorang cucu untuk mama dan papa. Kau sendiri tahu, jika Mas Rendi adalah putra mereka satu-satunya. Aku sungguh egois dan merasa bersalah jika tak ada seorang bayi yang akan meneruskan nama keluarga Atmadja.""Tapi, apakah harus dengan cara seperti ini? Meminta Mas Rendi menikah la
"Ini," ucap Delia, rekan kerja Vania sambil meletakkan setumpuk map dihadapannya."Banyak amat," keluh Vania cemberut."Tahu tuh si nenek sihir, katanya semua ini harus selesai sebelum makan siang besok!""Besok?" Protes Vania tak percaya."Iya!" Delia menegaskan."Nenek sihir itu memaksaku lembur hari ini." Vania mendengkus kesal.Delia mengendikkan bahunya, mendengar keluhan Vania."Sepertinya begitu, baby." Balas Delia setengah berbisik."Kau protes saja pada nenek sihir itu." Lanjut Delia sambil melirik ruangan manager yang berada tak jauh dari meja kerja mereka.Vania menggeleng lemah. Ia sudah bisa membayangkan apa jawaban Bu Maria, Sang manager, jika ia nekad mengajukan protes. Wajah masam diperlihatkannya ketika melihat kembali tumpukan map setinggi dua puluh centimeter itu."Aku mau pesan makan siang, kau mau nitip nggak?" Tanya Delia sambil menatap layar ponselnya."Pesankan aku mie ayam Pak Amien saja.""Ok." Delia menyahut lalu mengetik pesan di ponselnya."Minumnya apa?"
Suara ketukan pintu terdengar begitu Vania keluar dari kamar mandi, harum lavender menguar di kamarnya. Untuk sesaat ia terpaku begitu mendengar suara yang terdengar bersamaan dengan ketukan pintu untuk yang kedua kalinya."Vania, bisakah kau buka pintunya sebentar?" ***Masih dengan kimono mandi yang dipakainya, Vania melangkah ke arah pintu. Sesaat ia memejamkan mata, lalu menghela nafas panjang.Aroma maskulin langsung tercium begitu pintu kamarnya terbuka. Tampak disana berdiri seorang pria yang langsung menatapnya dengan manik obsidiannya yang gelap."Ada apa mas?" Tanya Vania datar dengan sorot matanya yang dingin."Aku ingin bicara sebentar padamu, Vania?" "Masuklah."Tangan Vania membuka lebar pintunya Lalu membalikkan badan mencoba menghindar dari tatapan mata Rendi yang membuatnya tak nyaman.Vania memilih duduk di kursi meja riasnya, sementara Rendi berdiri tak jauh dari ranjang. Untuk sesaat Vania merasa begitu canggung kala melihat sosok tegap dan atletis tengah berdiri
Karin menatap pantulan dirinya di cermin, memandang wajahnya sambil menghela nafas panjang.Menyetujui pernikahan kedua suaminya mungkin adalah keputusan yang sangat bodoh dan konyol dalam pandangan orang lain. Berbagi raga suami dengan wanita lain bukanlah hal yang mudah. Banyak yang harus dikorbankan. Itulah yang sedang dirasakannya sekarang.Tak ada yang bisa ia lakukan selain menerima keadaan ini. Karin juga menyadari ketidak-sempurnaan dirinya. Berkali kali ia menekan perasaan cinta dan harga dirinya, namun, hal itu tak semudah membalik telapak tangan untuk dilakukan. Air mata rasanya sudah habis tercurah dan mengering. Memiliki seorang madu yang begitu cantik dengan menarik, tak pelak membuat Karin selalu menekan rasa cemburu dan ego. Ia sadar karena cepat atau lambat hal ini akan terjadi.Karin menarik perlahan sebuah buku bersampul kulit sintetis dari laci meja riasnya yang paling bawah. Sebuah foto yang berada dalam buku itu terjatuh ketika ia memiringkan lembaran kertas dal
Karin tersenyum tipis mendengar ucapan Vania. Membuat Vania semakin sulit mengartikan sikap kakak madunya itu."Kau salah Vania. Aku tidak sebaik yang kau kira."***"Apa maksudnya?" Mata Vania menyipit."Kau akan tahu suatu saat nanti, jika kau ingin bertanya apakah aku cemburu atau sakit hati. Maka jawabannya adalah iya. Aku begitu cemburu denganmu Vania. Bahkan rasanya ingin mencekik leher atau mencakar wajahmu." Tatapan mata yang menghujam dapat dirasakan Vania. Membuat gadis itu menaikkan salah satu sudut bibirnya. "Ada lagi yang ingin kau katakan?" Pertanyaan Karin hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh Vania. Melihat Vania bungkam, Karin membalikkan badan bermaksud meninggalkan kamar Vania."Aku tahu apa yang kulakukan, Vania." Ucap Karin sebelum menutup pintunya.Vania masih berdiri terpaku. Helaan nafas panjang terdengar, ia berusaha mencerna sikap dan ucapan Karin barusan. Vania bisa melihat ada kesakitan yang tak terlihat dari setiap kalimat yang diucapkannya tadi.Se
"Vania, apa kabar?"Seorang lelaki dengan senyum terbaiknya telah berdiri sambil mengulurkan tangannya di hadapan mereka. Seketika membuat Vania gugup. Kekhawatirannya menjadi kenyataan karena mantan kekasih yang ingin dihindarinya kini telah berdiri dihadapannya.Sambil mengulas senyum tipis, Vania menjawabnya, tanpa ia sadari jika ada sepasang mata dengan sorot mata yang dingin kini tengah mengawasinya****"Kudengar kau sudah menikah?" Gio berbasa-basi."Iya, aku sudah menikah." Jawab Vania cepat.Pandangan mata Gio begitu intens memandang gadis yang berdiri dihadapannya. Membuat Vania seketika mengalihkankan pandangannya.Untuk sesaat Vania merasa sesak dan tidak nyaman, karena pandangan mata Gio yang seakan ingin mengulitinya. Untung saja, Lila membuka suara, membicarakan hal lain dan mengalihkan tatapan Gio yang sedari tadi menatap intens ke wajah Vania.Suasana canggung menyelimuti. Meski dulu mereka berdua pernah memiliki hubungan asmara, entah mengapa malam ini Vania merasa s
"Vania, kau ada masalah?" Kembali Karin bertanya."Yah, aku memang ada masalah, mbak. Dan masalahku ada pada kalian berdua!" Ketus Vania lalu menggeser kursinya. ***Delikan tajam diterima Vania dari Rendi, namun tak begitu ia pedulikan. Vania menegakkan punggung dan kepalanya seakan ingin menantang.Vania tahu sikapnya di meja makan ini akan berakhir dengan pertengkaran. Bukan maksudnya untuk memancing keributan atau mengundang kemarahan pasangan suami istri dihadapannya itu. Tapi, ia lelah melihat hal yang sama setiap pagi, berulang-ulang. Ditambah dengan kekesalannya semalam.Sebenarnya, Vania juga tidak mengerti. Mengapa beberapa hari ini emosinya seakan tidak stabil. Harusnya ia senang dengan sikap Rendi yang acuh, itu artinya memudahkan dirinya untuk bisa segera melupakan lelaki itu jika kelak mereka berpisah.Mungkin saja karena rasa cemburu dihatinya, itulah yang dipikirkan Vania saat ini.Sekuat tenaga ia berusaha menepis perasaan cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Sudah
Beberapa bulan kemudian."Mas, boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Vania sambil menggendong Arjuna, putra mereka."Kau bebas bertanya apapun padaku," jawab Rendi sambil menjawil pipi Arjuna yang menggemaskan."Apa kau pernah merindukan Mbak Karin?" Mendengarnya, Rendi tersenyum lalu mengambil Arjuna dari gendongan Vania." Mengapa bertanya seperti itu?" Balasnya."Aku hanya ingin tahu saja," sahut Vania cemberut."Terkadang aku masih merindukannya," goda Rendi sambil melirik Vania yang semakin cemberut."Begitukah, kau menyesal bercerai dengannya?" Cecar Vania kemudian.Kali ini Rendi menghela nafas panjang, lalu menarik lembut tangan Vania, mengajaknya duduk di gazebo yang ada di sudut halaman rumah mereka."Aku tidak menyesali apapun, princess. Bagiku Karin tetaplah seorang istri yang baik hanya saja jodoh kami sudah selesai. Karena saat ini dan selamanya hanya ada kau saja di hatiku. Apa jawaban itu sudah cukup?" Vania memalingkan wajahnya, melihat sikap istrinya yang terlihat sedan
Karin tertawa getir mendengarnya." Apa kau tahu jika aku sengaja melakukannya, karena rasa cemburu ku padamu, Vania?" Ucap Karin mengakuinya.Mendengarnya Vania seolah kehilangan kata-kata, meski sebelumnya ia sudah dapat mengira namun tak menyangka jika kakak madunya ternyata melakukan hal ini padanya.Suasana ruangan itu hening sesaat, entah mengapa diantara mereka kini saling membuang pandangan seakan ingin menyembunyikan perasaan mereka masing-masing."Tapi kau tak harus bercerai dari Mas Rendi, mbak. Kau adalah isteri pertamanya, seseorang yang telah lebih dulu berada disisinya, jika hanya karena seorang keturunan memaksamu untuk menjauh dari Mas Rendi, mengapa tidak aku saja yang melakukannya?""Princess," sebut Rendi spontan, lelaki itu seperti tak suka dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Vania.Karin kembali mengulas senyum getir saat melihat perubahan sikap Rendi. "Mas Rendi mencintaimu, Vania. Tidakkah kau sadari itu? Apa kau masih tidak ingin mengerti jika kehadiranku
""Mengapa kau bersikeras ingin berpisah, Karin?"Mendengarnya, Karin tersenyum getir. "Aku sudah yakin bahwa kau adalah orang pertama yang akan bertanya padaku, mas." Jawabnya pelan.***Pandangan mata semua orang kini tertuju pada Karin, seakan menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir wanita itu, namun Karin bergeming sesaat, seolah-olah mengabaikan pertanyaan yang baru saja dilontarkan suaminya tersebut padanya. Tak lama akhirnya suaranya terdengar."Sebelum itu, aku ingin minta maaf pada kalian semua karena telah mencemaskanku. Sungguh, aku tak bermaksud untuk menghindar ataupun lari. Beberapa hal yang terjadi belakangan ini cukup menguras emosi, hingga kuputuskan untuk menenangkan diri sejenak," tutur Karin memulai penjelasannya."Apa harus dengan melayangkan gugatan cerai, mbak?" Vania memprotes keputusan Karin.Mendengarnya Karin tersenyum getir lalu memalingkan wajahnya dari sorot pandang mata Vania yang tajam. Helaan nafas panjang terdengar dari bibirnya, seakan sedang
"Entah mengapa aku merasa jika kau terpaksa mengambil keputusan ini, mbak. Aku tahu dari dalam hatimu, kau sangat mencintai Mas Rendi," lirih Vania mengucapkannya, lalu kembali melempar pandangan ke luar jendela. Menatap bayinya yang tengah tertidur dalam gendongan Sumi.***Sidang pertama perceraian Rendi dan Karin akhirnya selesai digelar. Namun Karin tak juga terlihat di persidangan tersebut, membuat kesal Rendi yang sedari tadi menunggu kehadirannya.Sejak gugatan hingga masuk ke tahap persidangan, Karin masih belum menampakkan dirinya, meski beberapa kali Rendi berusaha menelpon dan berkirim pesan padanya, tetap saja tidak mampu membuat Karin pulang ke rumah mereka.Karin juga tidak terlihat saat gelaran aqiqah bayi Vania, hanya kiriman kado darinya saja yang datang menghampiri, kelihatannya Karin sengaja menghindari bertemu dengan semua orang yang berhubungan dengannya. Wanita itu seolah sengaja menjauh dari mereka.Keputusan Karin untuk bercerai sepertinya sudah tak terbendung
"Istirahatlah princess, karena aku akan menjaga kalian berdua," lirih Rendi dengan pandangan matanya yang terlihat berkaca-kaca menatap Vania dan bayi mereka secara bergantian.***Karin menyeka air matanya yang menetes, hatinya begitu nyeri saat ini. Keputusannya untuk bercerai dari Rendi membuat perasaan hancur.Tak dapat dipungkiri, untuk kedua kalinya ia harus patah hati. Baik Hans maupun Rendi, kedua lelaki itu tak bisa dimilikinya, membuat Karin harus berlapang dada untuk menerima guratan nasibnya.Matanya kini memerah sebab air matanya. Beberapa kali ia mengutuk dirinya karena bisa terjebak dalam situasi seperti ini. Entah mengapa ia harus kembali mengalami rasa sakit ini. Membuat bibirnya kini merutuki nasibnya sendiri.Tangan Karin masih memutar kemudi mobilnya. Panggilan telepon dari Rendi beberapa saat lalu kini membuat suasana hatinya semakin nyeri. Ingin sekali ia berharap bahwa semua ini adalah mimpi agar ia tak perlu terbangun dan merasakan semua hal yang menyakitkan ini
"Kau terlihat gelisah, mas. Apa ada masalah?" Mendengarnya, Rendi lalu menghela nafas berat."Iya, pengacara Karin baru saja menelponku, beliau bilang bahwa Karin telah mendaftarkan gugatan cerainya ke pengadilan agama," jawab Rendi, nada suaranya terdengar parau.***"Gugatan cerai?" Ucap Vania seakan tak percaya. Terlihat keningnya seketika berkerut."Benar, pengacaranya berkata seperti itu padaku," tegas Rendi sambil menganggukkan kepalanya."Mustahil?""Rasanya aku tak bisa mempercayainya? Bukankah sebelumnya ia begitu sangat menginginkan bayiku agar bisa terus bersamamu, mas. Lalu kenapa sekarang ingin bercerai?" Vania mendesis seolah tak yakin jika Karin benar-benar melakukannya."Entahlah, aku juga tak tahu alasannya, kurasa aku harus mengajak Karin bicara. Aku ingin tahu apa alasannya kali ini setelah sebelumnya begitu sangat menginginkan bayimu," pungkas Rendi.Untuk beberapa saat, diantara mereka tak ada yang bicara seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga akhirny
Pernyataan Vania sontak membuat Lelaki itu memandangnya tanpa berkedip. "Iya, aku masih ingat, kenapa?" Balasnya bertanya."Talak aku mas," ujar Vania dengan suaranya yang bergetar.***Untuk beberapa saat Rendi tampak tak percaya dengan apa yang baru saja Vania katakan. Matanya tampak mendelik marah karena tak suka dengan permintaan istri keduanya itu.Tangan Rendi mengepal, seolah menahan emosinya. Lelaki itu tak menduga jika Vania berniat untuk berpisah darinya."Apa kau sedang bercanda?" Tanya Rendi sambil menatap tajam pada istri keduanya itu. Sungguh ia tak suka dengan permintaan Vania kali ini.Vania menggeleng. "Tidak mas, aku serius. Tolong segera urus perceraian kita.""Kenapa? Apa ada kesalahan yang kubuat? Ataukah ada hal lain yang membuatmu ingin berpisah dariku?" Cecar Rendi.Vania menggeleng." Tidak mas, kau tidak berbuat kesalahan apapun. Hanya saja aku sudah tak ingin lagi menjadi orang ketiga dalam pernikahanmu dan Mbak Karin," jawab Vania menunduk. Bahunya tampak se
"Lalu Gio, di mana dia? Apakah dia juga pergi setelah mengantarku ke rumah sakit, sama seperti Karin?" Bisik Vania teramat pelan, karena tak mungkin baginya untuk bertanya tentang lelaki itu pada ibu mertuanya.***Gio menyetir mobilnya dengan pikiran yang berkecamuk, lelaki itu tampak murung, sambil sesekali berdecak kesal.Setelah memastikan Vania ada yang menjaga, tepatnya setelah ia melihat kedatangan Rendi ke rumah sakit, lelaki itu perlahan mundur dan memutuskan untuk pergi dari rumah sakit. Tak hanya dirinya, karena beberapa saat kemudian, ia juga melihat Karin pergi meninggalkan rumah sakit, setelah berbicara sebentar dengan Rendi."Apa yang sebenarnya terjadi, Vania? Mengapa aku merasa sangat cemas seperti ini?" Lirih Gio tertahan.Dari kejauhan, ekor mata Gio menangkap mobil berwarna silver metalik yang dikendarai Karin. Entah mengapa mendadak ia memutuskan untuk mengikuti mobil Karin dan ingin mengajaknya bicara.Setengah jam telah berlalu, namun Gio masih belum melepaskan
Ujar Gio sambil menatap Karin, seakan meminta izin pada wanita itu agar bisa membantu, begitu melihat Karin menganggukkan kepalanya, dengan cepat tangan kekar Gio meraih tubuh Vania dan menggendongnya keluar dari cafe.***Wajah Karin terlihat begitu cemas sambil mengikuti langkah Gio yang menggendong tubuh Vania dari belakang. Meskipun tak mengerti mengapa laki laki itu bisa ada di tempat yang sama dengan mereka, namun ia bersyukur dengan kebetulan ini.Erangan halus Vania terdengar saat tubuhnya diletakan dengan sangat hati-hati di jok depan mobil Karin, setelah memastikan sabuk pengamannya sudah terpasang dengan baik, Gio pun menutup pintu mobil Karin."Tolong hati hati bawa mobilnya, Mbak. Jika kau berkenan biar aku saja yang menyetir," cemas Gio sambil melirik Vania yang mengerang."Terima kasih, tapi aku bisa menyetir sendiri. Aku akan berhati-hati," tolak Karin."Baiklah," ujar Gio menyerah. lalu menggeser tubuhnya agar Karin bisa lewat.Selagi Karin sibuk mengeluarkan mobilnya