"Tidak, tidak mungkin," sangkal Clara sambil menggelengkan kepala. "Tidak mungkin ia melakukannya. Ia pria yang baik."
Airel menatap lekat wajah Clara. Dalam keterdiamannya ia mengerti kenapa perempuan yang ada di hadapannya itu tidak bisa menerima kenyataan begitu saja. Dokter Hardian memang dokter yang sangat karismatik di hadapan orang-orang, namun siapa yang bisa menjamin dibalik karisma itu telah bersembunyi sifat jahat?
"Tetapi memang itulah kenyataannya," balas Airel. "Saat ini dia sudah menjadi buronan polisi atas kasus penculikan dan percobaan pembunuhan terhadap adikku."
Clara terkesiap. "Jadi kau menduga semua kejahatan yang ia lakukan memiliki hubungan dengan kematian Claudia?" ucapnya setengah berbisik.
"Anggap saja demikian. Itu sebabnya aku ingin memastikan keterkaitannya. Terlebih kepolisian telah menemukan sebuah foto bergambar Claudia di tempat kerja Dokter Hardian."
Clara terdiam cukup lama. Otaknya berusaha mencerna informa
"Paman kenapa?" tanya Airen keheranan melihat Alfie mendorong piring makannya menjauh. Padahal baru beberapa suap ia menikmati makan malamnya.Belum ada jawaban keluar dari mulut Alfie. Ia hanya meneguk air putih lalu mengelap mulutnya dengan tisu sebagai pertanda makan malamnya telah usai."Apa makanannya tidak enak?" tanya Airen lagi.Alfie mengadu pandangan. "Bukan," balasnya singkat."Atau Paman marah denganku karena telah menyanggah pendapat Paman di depan tiga polisi itu?"Alfie tersenyum hambar. "Sama sekali tidak," jawabnya sembari saling menyilangkan jemari-jemari dan menumpunya di atas meja makan. "Selera makan Paman seketika hilang karena teringat dengan Yofi. Ini sudah terlalu lama bagi kita untuk menyelesaikan kasusnya."Airen menghela napas pendek. "Aku mengerti dengan apa yang Paman rasakan. Setidaknya usaha kita sejauh ini tidaklah percuma. Kita sudah mendapatkan titik terang atas kasus Paman Yofi." Airen berusaha menenangkan
"Apakah kau sudah sampai di rumah?" tanya Dokter Doni dari seberang telepon."Ya, baru saja," jawab Airel sembari mengernyitkan dahi. Ia yakin bukan hanya karena menanyakan itu Dokter Doni meneleponnya. "Apa aku melupakan sesuatu?""Tidak," balasnya lagi. "Syukurlah jika kau sudah sampai. Aku hanya ingin memberitahukanmu tentang tulisan tangan yang kau tanyakan tadi siang."Airel sedikit terperangah bagaimana mungkin Dokter Doni telah mendapatkan informasi baru begitu cepat."Kenapa begitu terburu-buru? Padahal itu tidak terlalu mendesak," ujar Airel dengan nada tak enak hati."Kebetulan aku bertemu dengan temanku yang seorang grafolog. Jadi aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Menurutnya beberapa tulisan tangan itu kemungkinan besar memang dibuat oleh orang yang sama. Ia berani bertaruh akan hal itu. Jika kau butuh penguatan, ia siap memberikan analisisnya mengenai tulisan tersebut," terang Dokter Doni.Sebagai orang yang awam tentang ilm
Alfie menyandarkan punggung di sofa. Sesekali ia membasahi bibirnya yang kering. Ia masih heran dengan istilah "batu loncatan" yang dikatakan Airel. "Bukankah Anggi sudah jelas menjadi korban dalam permainan Dokter itu? Anggi benar-benar telah ditargetkan. Dokter itu telah membuat rencana dalam buku merah, lalu mengeksekusi sesuai apa yang telah ia tuliskan," protes Alfie. "Apa yang Paman katakan tidaklah salah. Ada sebuah pepatah yang berbunyi 'sekali dayung maka dua tiga pulau terlampaui'. Begitu juga yang dilakukan oleh Dokter Hardian," balas Airel seraya menangkupkan tangan kanannya di dagu dengan sikut tertumpu di pinggir sofa. Alfie mengerjap sekali. Ia masih belum mengerti maksud Airel. Airel tak melepas tatapannya dari Alfie yang masih dengan wajah kebingungan. "Sasaran utamanya adalah Edi. Dokter Hardian memiliki dendam terhadap lelaki itu atas kematian Claudia. Ia merasa Edi harus bertanggung jawab atas kasus bunuh diri yang dilakukan oleh w
Airel tersenyum hambar menyambut kedatangan Mira yang telah berdiri di hadapannya. Ada rasa tak enak hati dalam dirinya. Ia tahu salah satu alasan Mira datang pasti berhubungan dengan Airen. Semenjak Airen ditemukan, ia atau Airen belum memberikan kabar apa pun pada Mira."Kemana saja kalian?" Mira langsung melontar tanya dengan wajah cemberut.Kalian? Kata itu mampu membuat Airel menyengir. Itu artinya Mira memang sudah mengetahui tentang Airen yang telah kembali."Sebaiknya kita masuk dulu," ajak Airel. Mira pun menyetujuinya dan berjalan mengekori Airel.Sesampai di ruang tamu, Mira tak mampu lagi menahan dirinya saat melihat Airen yang duduk di samping Alfie. Ia langsung menghamburkan pelukan untuk melepas rindu karena sudah sangat lama tidak berjumpa. Meskipun merasa senang telah bertemu Airen, tetap saja ia tak bisa menutupi kesedihannya saat melihat bekas luka yang masih kentara di tubuh sahabatnya itu."Kenapa kalian tidak ada yang memberit
Sebilah pisau melesat cepat ke papan sasaran. Suara tancapannya begitu nyata memecah keheningan. Sekitar dua meter dari papan itu, terlihat Dokter Hardian dengan air muka yang mengerikan, napasnya memburu dengan rahang yang mengeras. Tatapan mata elangnya enggan berpindah dari papan sasaran tersebut. Bukan bentuk bundar papan itu yang membuatnya tidak mau berpaling, tetapi gambar si Kembar yang melapisi papan itulah yang membuatnya murka. Ia pun mengambil lagi pisau yang lain dan kembali melesatkannya.Bunyi yang serupa kembali terdengar untuk kedua kalinya. Lemparan yang sempurna dan sesuai harapan. Ujung pisau itu mampu menancap tepat di bagian gambar mata si Kembar. Meski begitu, ia tahu bahwa dirinya tidak akan merasa puas sebelum mengeksekusi si Kembar secara langsung.Ia pun bergerak menuju meja kecil dan meminum satu shot alkohol yang terletak di atasnya. Kemudian menghempaskan tubuh ke sofa tunggal, membiarkan rasa getir dan panas melewati batang keron
"Wah, kalian cantik sekali," ujar Mira sambil memeluk singkat Airel dan Airen secara bergantian. Tidak biasa memang ia melihat si Kembar memberikan sentuhan make-up pada wajah mereka. Keduanya terlihat sangat anggun dengan balutan gaun berwarna kelabu. "Terima kasih sudah mau datang."Si Kembar tersenyum pada Mira yang mengenakan jepit rambut berwarna biru muda senada dengan warna kacamatanya. Temannya itu terlihat sangat manis dan lucu sekali."Kami yang seharusnya berterima kasih padamu," balas Airel."Benar," imbuh Airen. "Semoga saja Sukma mau memberikan keterangan yang sangat membantu.""Semoga," balas Mira dengan senyuman tipis. "Selesai acara ini kita bisa langsung berbicara dengannya. Dia juga sudah setuju.""Ternyata pergerakanmu cepat juga ya. Dan kali ini, itu bukan hal yang gegabah," kata Airen.Mira memutar malas bola matanya lalu sedikit mencebik. Ia tahu Airen sedang mencandainya."Tapi aku harus minta maaf pad
Acara peresmian hotel ayah Mira telah selesai. Acara itu menjadi buah bibir tamu undangan karena kemegahannya. Banyak yang menggadang-gadangkan hotel itu akan terkenal. Selain karena tempat yang strategis, hotel itu juga memberikan penawaran fasilitas yang banyak dan tentu saja memanjakan pengunjungnya.Setelah mengikuti acara peresmian sampai usai, si Kembar dan Alfie berpisah. Alfie diajak oleh ayah Mira untuk berbincang dengan teman-teman mereka yang lain di lounge bar hotel, sedangkan si Kembar berjalan menuju salah satu koridor untuk mencari sebuah kamar. Sebelumnya Mira telah memberikan mereka sebuah kartu akses untuk masuk ke kamar tersebut. Akhirnya mereka pun sampai di kamar nomor 705, sesuai dengan yang diminta Mira. Sebuah kamar yang tak jauh dari pusat acara. Mira meminta mereka untuk menunggu dirinya dan Sukma di kamar."Hey, tunggu!" Terdengar teriakan laki-laki dari arah belakang si Kembar. Teriakan itu mampu menahan mereka agar tetap b
Melihat sikap angkuh Sukma pada Johan, membuat Airen sedikit kesal pada pantomimer wanita itu. Ia tak menyangka Sukma memiliki sikap yang buruk. Padahal saat menampilkan pertunjukan di acara peresmian, Airen sangat kagum dengan kepiawaian Sukma memainkan perannya. Dari pertunjukan itu, ia mengira Sukma adalah wanita yang lemah lembut dan ramah. Ternyata dugaannya salah. Mungkin ia harus setuju dengan istilah panggung pertunjukan bisa mengubah kepribadian para pelakon. Mereka hanya tinggal memakai topeng karakter yang ingin mereka tontonkan.Kini mereka berlima telah masuk ke dalam kamar dan duduk di kursi beludru yang melingkari meja kaca. Meski begitu tatapan Airen pada Sukma sedikit tidak bersahabat. Kalau bisa memilih, ia merasa lebih baik pulang daripada berbicara dengan orang yang sombong. Lagi pula untuk sebatas keterangan, mungkin ia bisa menemukan jawaban di tempat yang lain. Tetapi mengingat kembali tujuan awal dirinya dan Airel yang ingin mencari informasi sendiri d