Share

- 72 -

Author: Arsenerka
last update Last Updated: 2022-01-19 23:10:07

"Tidak, tidak mungkin," sangkal Clara sambil menggelengkan kepala. "Tidak mungkin ia melakukannya. Ia pria yang baik."

Airel menatap lekat wajah Clara. Dalam keterdiamannya ia mengerti kenapa perempuan yang ada di hadapannya itu tidak bisa menerima kenyataan begitu saja. Dokter Hardian memang dokter yang sangat karismatik di hadapan orang-orang, namun siapa yang bisa menjamin dibalik karisma itu telah bersembunyi sifat jahat?

"Tetapi memang itulah kenyataannya," balas Airel. "Saat ini dia sudah menjadi buronan polisi atas kasus penculikan dan percobaan pembunuhan terhadap adikku."

Clara terkesiap. "Jadi kau menduga semua kejahatan yang ia lakukan memiliki hubungan dengan kematian Claudia?" ucapnya setengah berbisik.

"Anggap saja demikian. Itu sebabnya aku ingin memastikan keterkaitannya. Terlebih kepolisian telah menemukan sebuah foto bergambar Claudia di tempat kerja Dokter Hardian."

Clara terdiam cukup lama. Otaknya berusaha mencerna informa

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Ramalan Buku Merah   - 73 -

    "Paman kenapa?" tanya Airen keheranan melihat Alfie mendorong piring makannya menjauh. Padahal baru beberapa suap ia menikmati makan malamnya.Belum ada jawaban keluar dari mulut Alfie. Ia hanya meneguk air putih lalu mengelap mulutnya dengan tisu sebagai pertanda makan malamnya telah usai."Apa makanannya tidak enak?" tanya Airen lagi.Alfie mengadu pandangan. "Bukan," balasnya singkat."Atau Paman marah denganku karena telah menyanggah pendapat Paman di depan tiga polisi itu?"Alfie tersenyum hambar. "Sama sekali tidak," jawabnya sembari saling menyilangkan jemari-jemari dan menumpunya di atas meja makan. "Selera makan Paman seketika hilang karena teringat dengan Yofi. Ini sudah terlalu lama bagi kita untuk menyelesaikan kasusnya."Airen menghela napas pendek. "Aku mengerti dengan apa yang Paman rasakan. Setidaknya usaha kita sejauh ini tidaklah percuma. Kita sudah mendapatkan titik terang atas kasus Paman Yofi." Airen berusaha menenangkan

    Last Updated : 2022-01-20
  • Ramalan Buku Merah   - 74 -

    "Apakah kau sudah sampai di rumah?" tanya Dokter Doni dari seberang telepon."Ya, baru saja," jawab Airel sembari mengernyitkan dahi. Ia yakin bukan hanya karena menanyakan itu Dokter Doni meneleponnya. "Apa aku melupakan sesuatu?""Tidak," balasnya lagi. "Syukurlah jika kau sudah sampai. Aku hanya ingin memberitahukanmu tentang tulisan tangan yang kau tanyakan tadi siang."Airel sedikit terperangah bagaimana mungkin Dokter Doni telah mendapatkan informasi baru begitu cepat."Kenapa begitu terburu-buru? Padahal itu tidak terlalu mendesak," ujar Airel dengan nada tak enak hati."Kebetulan aku bertemu dengan temanku yang seorang grafolog. Jadi aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Menurutnya beberapa tulisan tangan itu kemungkinan besar memang dibuat oleh orang yang sama. Ia berani bertaruh akan hal itu. Jika kau butuh penguatan, ia siap memberikan analisisnya mengenai tulisan tersebut," terang Dokter Doni.Sebagai orang yang awam tentang ilm

    Last Updated : 2022-02-01
  • Ramalan Buku Merah   - 75 -

    Alfie menyandarkan punggung di sofa. Sesekali ia membasahi bibirnya yang kering. Ia masih heran dengan istilah "batu loncatan" yang dikatakan Airel. "Bukankah Anggi sudah jelas menjadi korban dalam permainan Dokter itu? Anggi benar-benar telah ditargetkan. Dokter itu telah membuat rencana dalam buku merah, lalu mengeksekusi sesuai apa yang telah ia tuliskan," protes Alfie. "Apa yang Paman katakan tidaklah salah. Ada sebuah pepatah yang berbunyi 'sekali dayung maka dua tiga pulau terlampaui'. Begitu juga yang dilakukan oleh Dokter Hardian," balas Airel seraya menangkupkan tangan kanannya di dagu dengan sikut tertumpu di pinggir sofa. Alfie mengerjap sekali. Ia masih belum mengerti maksud Airel. Airel tak melepas tatapannya dari Alfie yang masih dengan wajah kebingungan. "Sasaran utamanya adalah Edi. Dokter Hardian memiliki dendam terhadap lelaki itu atas kematian Claudia. Ia merasa Edi harus bertanggung jawab atas kasus bunuh diri yang dilakukan oleh w

    Last Updated : 2022-02-02
  • Ramalan Buku Merah   - 76 -

    Airel tersenyum hambar menyambut kedatangan Mira yang telah berdiri di hadapannya. Ada rasa tak enak hati dalam dirinya. Ia tahu salah satu alasan Mira datang pasti berhubungan dengan Airen. Semenjak Airen ditemukan, ia atau Airen belum memberikan kabar apa pun pada Mira."Kemana saja kalian?" Mira langsung melontar tanya dengan wajah cemberut.Kalian? Kata itu mampu membuat Airel menyengir. Itu artinya Mira memang sudah mengetahui tentang Airen yang telah kembali."Sebaiknya kita masuk dulu," ajak Airel. Mira pun menyetujuinya dan berjalan mengekori Airel.Sesampai di ruang tamu, Mira tak mampu lagi menahan dirinya saat melihat Airen yang duduk di samping Alfie. Ia langsung menghamburkan pelukan untuk melepas rindu karena sudah sangat lama tidak berjumpa. Meskipun merasa senang telah bertemu Airen, tetap saja ia tak bisa menutupi kesedihannya saat melihat bekas luka yang masih kentara di tubuh sahabatnya itu."Kenapa kalian tidak ada yang memberit

    Last Updated : 2022-02-03
  • Ramalan Buku Merah   - 77 -

    Sebilah pisau melesat cepat ke papan sasaran. Suara tancapannya begitu nyata memecah keheningan. Sekitar dua meter dari papan itu, terlihat Dokter Hardian dengan air muka yang mengerikan, napasnya memburu dengan rahang yang mengeras. Tatapan mata elangnya enggan berpindah dari papan sasaran tersebut. Bukan bentuk bundar papan itu yang membuatnya tidak mau berpaling, tetapi gambar si Kembar yang melapisi papan itulah yang membuatnya murka. Ia pun mengambil lagi pisau yang lain dan kembali melesatkannya.Bunyi yang serupa kembali terdengar untuk kedua kalinya. Lemparan yang sempurna dan sesuai harapan. Ujung pisau itu mampu menancap tepat di bagian gambar mata si Kembar. Meski begitu, ia tahu bahwa dirinya tidak akan merasa puas sebelum mengeksekusi si Kembar secara langsung.Ia pun bergerak menuju meja kecil dan meminum satu shot alkohol yang terletak di atasnya. Kemudian menghempaskan tubuh ke sofa tunggal, membiarkan rasa getir dan panas melewati batang keron

    Last Updated : 2022-02-13
  • Ramalan Buku Merah   - 78 -

    "Wah, kalian cantik sekali," ujar Mira sambil memeluk singkat Airel dan Airen secara bergantian. Tidak biasa memang ia melihat si Kembar memberikan sentuhan make-up pada wajah mereka. Keduanya terlihat sangat anggun dengan balutan gaun berwarna kelabu. "Terima kasih sudah mau datang."Si Kembar tersenyum pada Mira yang mengenakan jepit rambut berwarna biru muda senada dengan warna kacamatanya. Temannya itu terlihat sangat manis dan lucu sekali."Kami yang seharusnya berterima kasih padamu," balas Airel."Benar," imbuh Airen. "Semoga saja Sukma mau memberikan keterangan yang sangat membantu.""Semoga," balas Mira dengan senyuman tipis. "Selesai acara ini kita bisa langsung berbicara dengannya. Dia juga sudah setuju.""Ternyata pergerakanmu cepat juga ya. Dan kali ini, itu bukan hal yang gegabah," kata Airen.Mira memutar malas bola matanya lalu sedikit mencebik. Ia tahu Airen sedang mencandainya."Tapi aku harus minta maaf pad

    Last Updated : 2022-02-14
  • Ramalan Buku Merah   - 79 -

    Acara peresmian hotel ayah Mira telah selesai. Acara itu menjadi buah bibir tamu undangan karena kemegahannya. Banyak yang menggadang-gadangkan hotel itu akan terkenal. Selain karena tempat yang strategis, hotel itu juga memberikan penawaran fasilitas yang banyak dan tentu saja memanjakan pengunjungnya.Setelah mengikuti acara peresmian sampai usai, si Kembar dan Alfie berpisah. Alfie diajak oleh ayah Mira untuk berbincang dengan teman-teman mereka yang lain di lounge bar hotel, sedangkan si Kembar berjalan menuju salah satu koridor untuk mencari sebuah kamar. Sebelumnya Mira telah memberikan mereka sebuah kartu akses untuk masuk ke kamar tersebut. Akhirnya mereka pun sampai di kamar nomor 705, sesuai dengan yang diminta Mira. Sebuah kamar yang tak jauh dari pusat acara. Mira meminta mereka untuk menunggu dirinya dan Sukma di kamar."Hey, tunggu!" Terdengar teriakan laki-laki dari arah belakang si Kembar. Teriakan itu mampu menahan mereka agar tetap b

    Last Updated : 2022-02-16
  • Ramalan Buku Merah   - 80 -

    Melihat sikap angkuh Sukma pada Johan, membuat Airen sedikit kesal pada pantomimer wanita itu. Ia tak menyangka Sukma memiliki sikap yang buruk. Padahal saat menampilkan pertunjukan di acara peresmian, Airen sangat kagum dengan kepiawaian Sukma memainkan perannya. Dari pertunjukan itu, ia mengira Sukma adalah wanita yang lemah lembut dan ramah. Ternyata dugaannya salah. Mungkin ia harus setuju dengan istilah panggung pertunjukan bisa mengubah kepribadian para pelakon. Mereka hanya tinggal memakai topeng karakter yang ingin mereka tontonkan.Kini mereka berlima telah masuk ke dalam kamar dan duduk di kursi beludru yang melingkari meja kaca. Meski begitu tatapan Airen pada Sukma sedikit tidak bersahabat. Kalau bisa memilih, ia merasa lebih baik pulang daripada berbicara dengan orang yang sombong. Lagi pula untuk sebatas keterangan, mungkin ia bisa menemukan jawaban di tempat yang lain. Tetapi mengingat kembali tujuan awal dirinya dan Airel yang ingin mencari informasi sendiri d

    Last Updated : 2022-02-24

Latest chapter

  • Ramalan Buku Merah   - 107 -

    Ingin rasanya Hardian mengelak dari tuduhan Airel, tetapi ia tidak punya alasan untuk membantah. Membunuh Yofi memang bukan kemauannya. Itu adalah permintaan dari Juno. Seharusnya ia menargetkan Sukma terlebih dahulu. Namun, Juno memaksanya untuk merubah target dan ia pun harus melakukan hal tersebut. Saat itu Juno mengatakan bahwa Yofi akan mempersulit pergerakan mereka. Selain itu karakteristik yang dimiliki Yofi juga memiliki kemiripan dengan tulisan Hardian yang ada di buku merah—ahli menyamar dan penggemar Lupin—sehingga itu tidak akan terlihat berbeda dari rencana awal. Oleh karena itu, selain dari tekanan yang diberikan Juno, Hardian pun terpaksa setuju. Jika memang perkataan Juno benar, maka ia tidak ingin Yofi menjadi penghalang dalam eksekusi rencananya. "Kenapa kau bisa berkata demikian?" selidik Hardian sekaligus mencari celah untuk mengelak. "Karena aku tahu kau tidak bergerak sendirian.""Apa buktinya?" tantangnya lagi. "Kau bicara seperti itu seakan aku tidak mempers

  • Ramalan Buku Merah   - 106 -

    Airel mengadu pandangan Hardian tanpa gentar sedikit pun. Meskipun lelaki itu mulai terselimuti amarah, Airel berusaha tetap tenang agar bisa mengontrol keadaan. Ia pun menegakkan tubuhnya dengan duduk setengah menyandar, kemudian berkata, "Mungkin kau akan merasa puas setelah menyingkirkan mereka, tapi tidakkah kau sadar akibat dari yang telah kau lakukan? Ayah angkatmu hampir saja mendekam di penjara atas tindakan yang tidak pernah dilakukannya. Lalu apa bedanya kau dengan orang-orang yang pernah jahat padamu?" tutur Airel. Kata-kata Airel seketika membuat ingatan Hardian kembali pada masa kecilnya. Sejak kecil ia memang sudah terlihat berbeda dengan anak seusianya. Ia lebih tertarik dengan hal yang dilakukan oleh orang dewasa, bahkan sangat senang mempelajari sesuatu yang rumit. Tak heran jika ia tergolong sebagai anak yang cerdas di lingkungannya. Kurniawan—ayah angkat Hardian—bukanlah tipe orang tua yang akrab dengan anak-anaknya, tetapi ia tidak juga membenci mereka. Alasan i

  • Ramalan Buku Merah   - 105 -

    "Apa maksudmu menunjukkan gambar itu?" tanya Hardian. "Kau memang lupa atau sedang berpura-pura," sindir Airel. "Bagaimana mungkin kau tidak ingat sama sekali dengan tempat itu."Tempat yang dimaksudkan Airel adalah gambar sebuah panti asuhan yang sedang ditampilkan oleh proyektor. Panti asuhan itu pernah berdiri lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Sayangnya, tempat penampungan yatim piatu tersebut terpaksa ditutup sepuluh tahun belakangan ini dikarenakan kurangnya donatur. Berdasarkan hasil penelusuran yang didapatkan Ethereal, mereka yakin panti asuhan tersebut merupakan tempat yang pernah membesarkan Hardian. "Aku tidak paham maksudmu," elaknya lagi. "Kau yakin tidak paham?" pancing Airel. Hardian menyengir. "Usaha yang cukup bagus untuk mendesakku, tetapi aku tetap tidak mengerti arah pembicaraanmu.""Jadi, kau tidak mau mengaku?" desak Airel lagi. "Pengakuan seperti apa yang kau mau? Jangan terlalu membuang waktu dengan gambar semacam itu."Airel sadar Hardian sedang beru

  • Ramalan Buku Merah   - 104 -

    Setelah Alfie menjelaskan rencananya pada Inspektur Yoga. Akhirnya polisi muda itu pun setuju untuk melakukannya. Sebagai langkah awal, Alfie memercayakan Airel untuk melakukan interogasi kembali terhadap Hardian. Kini gadis bersurai hitam itu telah menunggu di ruangan yang ukurannya tidak lebih dari dua belas meter persegi. Ruangan itu tidak tampak seperti ruangan interogasi. Suasananya begitu hangat dan tenang yang didominasi oleh warna hijau pastel. Airel duduk di atas kursi kayu dengan kaki menyilang. Tepat di hadapannya ada sebuah meja persegi kecil dan kursi lain yang sengaja disediakan untuk Hardian. Ruangan itu terhubung dengan ruangan lain yang dipisahkan oleh cermin satu arah. Sehingga ruangan tersebut bisa diamati dari ruangan sebelahnya di mana telah ada Airen dan Alfie yang turut mengawasi.Selang beberapa menit kemudian, daun pintu di ruangan Airel terbuka. Tampak seorang sipir dan Hardian berdiri di bibir pintu. Sipir itu langsung melangkah masuk dan menuntun Hardian du

  • Ramalan Buku Merah   - 103 -

    Belum genap pukul sepuluh pagi, Alfie dan si Kembar sudah menghadap Inspektur Yoga. Kali ini suasana tidak seperti biasanya yang lebih santai. Raut Inspektur Yoga jelas sedang menuntut penjelasan. "Terima kasih sudah mau datang memenuhi permintaanku. Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, aku hanya ingin melanjutkan pembicaraan di telepon kemarin," ujar Inspektur Yoga memulai pembicaraan. "Tentu saja," timpal Alfie sambil mengangguk samar. "Memang untuk itu kami datang kemari."Inspektur Yoga menegakkan tubuh diikuti tatapan serius. Kedua tangannya tertumpu di meja. "Jujur saja aku tidak bermaksud menuduh kalian di sini. Kami—pihak kepolisian—hanya menemukan banyak ketimpangan setelah menginterogasi Hardian. Jadi, aku harap kalian bisa mengerti dan mau membantu." Kata-kata itu membuat Alfie mengukir senyuman tipis di bibir. "Sangat halus sekali pernyataanmu barusan, tetapi penuh keyakinan bahwa kami memang menyembunyikan sesuatu dari kepolisian. Aku suka cara seperti itu.""Saya tidak

  • Ramalan Buku Merah   - 102 -

    Alfie buru-buru keluar dari kamar sambil membawa laptop. Ia berjalan menuju ruang tengah dan menghampiri si Kembar yang sedang bercengkerama. "Kalian sedang sibuk?" tanyanya basa-basi sembari menatap si Kembar bergantian. "Tidak," sahut Airen dengan mulut masih mengunyah makanan. "Sepertinya Paman ingin membicarakan hal yang penting.""Ya, kurang lebih begitu."Mendengar balasan itu, Airel langsung beringsut ke samping untuk memberikan ruang agar Alfie bisa duduk di sampingnya. "Apa yang ingin Paman bicarakan?" tanyanya setelah Alfie duduk. Lelaki berambut putih itu meletakkan laptop di meja. Roman wajahnya tampak serius. "Paman sudah mendapatkan hasil pemeriksaan ponsel yang Airel berikan kemarin. Hasilnya sesuai dengan apa yang Paman perkirakan."Airen langsung menyudahi makannya. Seketika ia menjadi penasaran. Ia taruh bantal kursi ke pangkuan dan memasang kuping lebar-lebar. Tampangnya jelas sudah tidak sabar menunggu penuturan lanjutan dari Alfie. "Aku coba tebak," sela Aire

  • Ramalan Buku Merah   - 101 -

    Setelah beberapa saat, Inspektur Yoga tetap tak kunjung bicara. Bripka Adi mulai merasa terintimidasi dengan tatapan tajam itu. "Maaf, Pak. Kenapa saya dilihat seperti itu?" tanya Bripka Adi ragu-ragu. Inspektur Yoga langsung mengalihkan pandangan. "Maaf, jika membuatmu jadi tidak nyaman. Aku hanya ingin memastikan kau sudah yakin dengan seluruh deduksimu.""Yakin? Saya tidak mengerti maksud Bapak.""Begini," ucapnya sepatah seraya menarik napas dalam-dalam. "Penjelasanmu sejauh ini sudah sangat logis. Namun, coba pikirkan baik-baik tentang pernyataanmu mengenai Hardian yang memanfaatkan pelecehan Anggi untuk menjerat Edi ke penjara. Kalau memang demikian, maka bagaimana cara Hardian memunculkan kasus itu ke publik? Apa yang sudah dilakukannya?" lanjutnya lagi. Pertanyaan itu membuat Bripka Adi terdiam. Ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Memang terkesan sepele, tetapi bisa menjadi petunjuk. Seketika otaknya mulai berpikir mengapa kasus pelecehan itu bisa tersebar. Sejau

  • Ramalan Buku Merah   - 100 -

    Inspektur Yoga sudah duduk tersandar di kursi kerjanya. Ia sedang menunggu laporan dari Bripka Adi. Setelah melihat jam tangan sekilas, seharusnya Bripka Adi akan tiba dalam waktu lima menit. Entah kenapa hari itu ia tidak sabar menunggu. Padahal biasanya ia lebih santai karena merasa segala kejadian pasti akan dilaporkan. Apa mungkin karena Bripka Adi membawa laporan penyidikan tentang Hardian? Ya, mungkin memang karena itu. Sehari sebelumnya ia telah memercayakan kepada Bripka Adi untuk melakukan interogasi terhadap Hardian. Sebenarnya ia ingin melakukan itu sendiri. Namun, karena adanya pekerjaan lain yang tidak bisa ditunda, ia pun terpaksa meminta Bripka Adi menggantikannya. Belum sampai lima menit menunggu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Itu pasti Bripka Adi pikirnya. "Masuk!" titahnya tanpa melepaskan pandangan dari pintu ruangan kerja. Benar saja, Bripka Adilah yang datang. Pria itu berjalan dengan langkah tegap menghampiri meja Inspektur Yoga sembari membawa se

  • Ramalan Buku Merah   - 99 -

    Waktu telah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit saat mobil Alfie dan Airel memasuki halaman rumah. Seharusnya mereka bisa tiba lebih cepat kalau saja Alfie tidak mengajak Airel mampir ke sebuah kedai kopi. Katanya ingin bertemu dengan teman lama. Airel tentu saja tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Di kedai itu, mereka duduk di meja yang terpisah. Alfie dan temannya duduk di pinggir, sedangkan Airel duduk di sudut ruangan. Airel bisa memaklumi itu, mungkin saja ada pembicaraan yang tidak seharusnya ia boleh dengar. Saat berdiri di depan rumah, mereka bisa melihat ruangan tamu dan lantai atas tampak terang. Itu artinya Airen sudah tiba duluan. Biasanya kalau rumah itu kosong, mereka hanya menyalakan lampu teras saja. Setelah masuk ke rumah. Ternyata Airen sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya sedikit cemberut. "Kemana saja kalian?" tanyanya dengan tatapan tajam. "Inspektur Yoga bilang kalian sudah pulang sore tadi, harusnya kalian sudah sampai di rumah tidak s

DMCA.com Protection Status