Waktu telah menunjukkan pukul 11.30 WIB. Pandangan Airen langsung tertuju ke pintu sebuah ruangan yang di atasnya bertuliskan laboratorium fisika. Beberapa orang mulai keluar dari ruangan itu. Mereka mengenakan pakaian luar yang seragam berwarna putih. Tampaknya orang yang dicari Airen belum juga keluar.
Hampir sepuluh menit Airen menunggu. Akhirnya sosok yang ditunggu pun keluar dari ruangan itu. Perempuan berparas menarik dengan bibir tipis berwarna merah jambu. Perempuan yang ia pernah lihat sebelumnya di halte tepat di seberang kafe Digulis. Ya, sosok itu adalah Anggi.
Anggi berjalan dengan langkah lambat. Tatapan matanya kosong. Ia berjalan seperti tanpa tujuan.
"Anggi," sapa Airen yang mengekorinya dari belakang.
Anggi sepertinya tak mendengar atau hanya sekedar menuli.
Airen pun menepuk pelan pundak Anggi untuk mencari atensi. Usahanya tak percuma. Anggi membalikkan badannya. Alangkah terkejutnya Anggi melihat Airen di depannya. Matanya terbelalak sempurna dan membuatnya sulit berkata-kata.
"Ka... Kau," ucap Anggi terbata-bata sambil membuat jarak dengan Airen.
Airen menghadapkan kedua telapak tangannya ke Anggi, seperti berhati-hati mendekati buruan.
"Aku hanya perlu sedikit bicara denganmu," ujar Airen menyampaikan tujuannya.
Bukannya menuruti kemauan Airen, Anggi malah perlahan menjauh lalu mengambil langkah seribu.
"Gi, tunggu!" perintah Airen hanya menjadi sia-sia.
Airen pun berniat mengejar Anggi yang sudah mulai jauh. Saat hendak mengabulkan niatnya, langkahnya terhenti. Ada yang menarik perhatiannya. Seseorang lewat begitu saja di belakang Anggi. Orang itu mengenakan setelan yang sama dengan orang yang pernah menabraknya di pameran.
Seketika pikiran Airen bercabang. Sejujurnya ia masih kesal dengan orang itu dan ingin melabraknya. Namun ia juga harus memastikan sesuatu di diri Anggi. Ia memejamkan matanya sejenak dan menarik napas dalam-dalam lalu mengembusnya perlahan.
Matanya terbuka dan ia berucap lirih, "baiklah. Aku akan mengutamakan siapa yang membutuhkanku."
Airen memutuskan untuk mengejar Anggi. Meski sosok yang dicari kini tak lagi di jangkauannya. Asanya tetap tak sirna. Ia memutar otak untuk mecari kemungkinan kemana Anggi akan lari.
Di lain sisi, Anggi yang berusaha menjauh kini mengantarkannya pada tempat parkiran kampus. Ia melihat sudah tak ada Airen di belakangnya. Napasnya terengah-engah. Ia memutuskan duduk sebentar di bangku kayu untuk menstabilkan pernapasannya.
Belum semenit, jantung Anggi harus berpacu lagi. Orang yang dihindarinya telah ada di depan mata.
"Kau tidak bisa mengelak lagi, Gi." Airen telah menggenggam lengan kiri Anggi.
Anggi terkejut kembali, "Apa sebenarnya maumu?"
"Aku hanya ingin membantumu. Bisakah kau menceritakan apa yang terjadi padamu?"
"Aku baik-baik saja."
"Bohong!"
Airen meraih lengan kanan Anggi, lalu ia coba menyingsingkan lengan baju Anggi yang panjang. Anggi tentu saja tak membiarkannya. Adu tarik-tarikan lengan baju tak terelakkan. Namun usaha Airen tak sia-sia, ia mampu menyingsing lengan baju Anggi hingga ke siku. Hingga terlihat jelas beberapa luka sayatan di lengannya.
"Ini yang kau bilang tidak apa-apa?" tanya Airen dengan nada agak tinggi.
"Bukan urusanmu. Siapa kau bagiku?"
"Apa kita harus memikirkan terlebih dahulu. Siapa dia bagi kita saat kita mau menolong orang lain?"
Anggi terdiam. Ia menarik tangannya lalu beranjak pergi.
Airen tak menahannya lagi. Ia sudah memastikan apa yang ia mau. Muncul beberapa pertanyaan di kepalanya saat matanya masih melihat punggung Anggi yang terus menjauh.
Kenapa luka sayatannya ada empat buah? Bukankah Mira bilang lukanya cuma dua? Dua luka yang lain memang terlihat masih baru. Apa itu berarti ...? Tanya Airen pada dirinya sendiri.
Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel lalu coba menghubungi Airel.
"Halo, Rel. Aku sudah memastikannya."
"Kau tidak bersikap kasar padanya, kan?" tanya Airel dari seberang telepon.
"Sedikit."
"Sudah kuduga. Kau pasti juga tidak sabaran," ledek Airel.
"Tapi aku menemukan sedikit hal yang menarik."
"Apa itu?"
"Akan kujelaskan nanti." Airen langsung menutup panggilannya.
***
Seorang pria berkulit sawo matang telah duduk tepat di hadapan Airel. Lelaki itu asyik melihatnya. Belum ada keluar sepatah kata pun dari mulut lelaki itu. Bukannya merasa canggung. Airel malah menopang dagunya di meja dan menantang tatapan pria itu. Pria itu adalah Edi. Airel telah membuat janji dengannya untuk bertemu di restoran Golden Tulip.
Airel sadar akan tatapan itu. Bukan tatapan orang yang baru kenal tetapi tatapan seorang lelaki yang penuh hasrat pada seorang perempuan. Airel berpura-pura biasa saja di depan lelaki perlente itu.
"Apa kau bisa membantuku?" ucap Airel memulai pembicaraan.
"Tentu saja. Mana mungkin aku bisa menolak permintaan perempuan cantik sepertimu."
"Tak perlu memujiku."
"Aku hanya menyampaikan fakta. Tak lebih."
"Seperti yang kubilang sebelum ke sini. Aku sedang mencari tau apa yang sebenarnya terjadi pada Anggi."
"Sepertinya ini hal yang serius bagimu."
"Tentu saja. Dia adalah temanku."
"Menarik sekali. Cantik dan perhatian," ujar Edi sambil menggigit kecil bibirnya.
"Aku tidak tau bagaimana bentuk perhatianmu padanya. Aku juga tidak akan menggurui soal itu. Aku hanya ingin tau, apakah kalian tidak akrab?"
Edi mengernyitkan dahinya. "Harus kuakui, iya. Kami hanya dekat sewajarnya."
"Apa itu artinya kau datang kemari bukan karena pedulimu kepada Anggi? Tetapi hanya penasaran dengan apa yang akan aku tanyakan mengenainya."
"Sejujurnya iya. Alasan lain aku hanya berpikir untuk mengetahui apa yang tidak aku ketahui tentang adikku sendiri dari perspektif orang lain. Kenapa kau begitu menyudutkanku?" Edi balik bertanya.
Bukannya menampakkan raut wajah bersalah, senyum Airel malah mengembang. "Oh, maaf. Jika kau merasa demikian, aku minta maaf."
"Lalu apa yang bisa kubantu?"
"Aku sedang menyelidiki Anggi. Apa kau tau perihal luka di lengan Anggi?"
Edi kaget. "Luka?" tanyanya heran.
Airel menggangguk pelan.
"Aku tidak pernah tau ia punya luka, luka seperti apa yang kau maksud?"
"Luka yang dibuat sengaja oleh seseorang di lengannya."
"Kau tak menuduhku melakukannya, kan?"
Airel tertawa pelan. "Aku hanya sekedar bertanya. Kau adalah orang yang paling banyak kesempatan bertemu dengannya. Aku cuma memastikan luka itu apakah kau juga mengetahuinya."
"Aku tidak tau tentang luka itu. Akan ku pastikan nanti."
"Seperti apa hubungan kalian?"
Edi menghela napas. "Dia adalah satu-satunya keluargaku saat ini. Kami sudah tidak memiliki orang tua. Segala keperluannya terutama finansial, aku yang mengurusnya."
"Apa dia tidak pernah bercerita apa pun tentangnya padamu?"
"Aku tidak tau masalah apa yang sedang dihadapinya. Aku melihatnya biasa saja di rumah."
Airel mengubah posisi duduknya menjadi tegak. Ia menyibakkan rambutnya ke belakang dan saling menyilangkan jemari-jemarinya. Lalu menumpunya di atas meja. Ia masih lekat memandangi Edi.
"Apakah kau pernah bermasalah dengan Maher?"
Edi mengernyitkan dahi lagi untuk kedua kalinya. "Seingatku tidak pernah. Kami sangat dekat. Aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri. Kau mungkin pernah dengar ungkapan tentang sahabat itu bisa melebihi keluarga. Aku terpaksa setuju dengan ungkapan itu. Karena aku mengalami itu dan menemuinya di diri Maher."
Airel tak merasakan kebohongan di ucapan Edi barusan. Ia seperti merasakan persahabatan yang begitu erat antara Edi dan Maher. Ia lalu merapatkan tubuhnya ke meja.
"Bagaimana jika Maher mengkhianatimu?" Tanya Airel lirih.
Edi tak langsung menjawab. Kerongkongannya seperti tersekat oleh sesuatu. Ia perlahan menelan ludahnya.
"Kenapa kau mengatakan demikian? Maher tak mungkin mengkhianatiku," jawab Edi sedikit gugup.
"Jangan gugup seperti itu! Kita hanya berbicara tentang probabilitas."
"Aku tetap yakin Maher tidak akan mengkhianatiku."
Senyuman Airel tercipta di bibir tipisnya. "Baiklah. Aku rasa informasi yang kau berikan sudah cukup."
Edi tampak bingung dan merasa belum memberikan bantuan apa pun. Tetapi bagi Airel sudah cukup. Gadis itu mengucapkan terima kasih dan menuliskan sebuah pesan singkat di kertas. Raut wajah Edi terlihat gusar melihat isi kertas itu setelah Airel meninggalkannya. Berhati-hatilah!
Sebuah mobil sedan keluaran tahun 2020 dengan kelir cokelat berbelok ke pelataran sebuah rumah besar. Bangunan itu mengaplikasikan arsitektur melayu yang begitu kental. Sebagian besar bangunan tersusun dari kayu yang tertata rapi dan penuh nuansa etnik. Beberapa pohon besar juga sengaja ditanam di sekitar rumah untuk menambahkan kesan asri.Airel telah memarkirkan mobilnya tepat di bawah naungan salah satu pohon yang besar. Ia keluar dari kereta besinya itu diikuti oleh Airen dan Mira. Seperti biasa, mata Airel pasti menyisir daerah sekitarnya. Entah apa yang ia cari. Setiap berada di tempat yang pertama kali ia kunjungi, sikapnya begitu mengerikan. Ia berjalan perlahan dengan pandangan yang tajam, muka tanpa ekspresi dan kedua tangan yang saling menggenggam.Airen yang sudah terbiasa dengan sikap kakaknya memilih untuk mencari kesibukan sendiri. Ia mengeluarkan kamera dari tasnya dan mencari objek yang bisa difoto. Ia sangat gemar hunting foto di pagi hari. A
Si Kembar melangkahkan kaki masuk ke kamar Anggi. Mira yang terlihat masih gugup memberanikan diri masuk mengekori mereka. Tampak kamar yang berantakan untuk ukuran seorang perempuan. Bantal dan guling berserakan di lantai, seprai tempat tidur juga acak-acakan.Ada yang menarik perhatian Airel. Matanya melihat selembar bed cover berwarna putih. Pada bagian tengahnya terdapat bercak bekas cairan yang sudah mengering dan agak pudar kekuningan. Ia memegang sisi lain kain itu untuk memastikan pandangannya lebih dekat. Kini arah netranya beralih ke Airen.“Sepertinya ini bekas sperma,” ucap Airel.Airen mengangguk pelan seperti paham maksud kakaknya. Sedangkan Mira yang mendengar kalimat itu tak bisa menyembunyikan wajah tak percayanya.Airen melangkah ke sisi lain kamar sambil memotret, berharap objek jepretannya bisa dijadikan sebagai petunjuk. Ia menemukan sebuah silet di lantai. Bagian sisi silet itu ada darah yang mengering. Tak
Airen mengakhiri pembicaraannya dengan Nuella. Dahinya sedikit berkerut sembari memasukkan ponsel pintarnya ke dalam tas. "Apa kita perlu menemuinya?" tanya Airen kepada Airel. Airel menyibakkan rambut dan matanya lekat menatap Airen. "Kurasa tidak. Dia hanya sebatas informan pelengkap untuk menyinergikan analisis kita. Aku yakin dia sama sekali tak terlibat dalam kasus ini. Lalu, informasi apa yang kau dapat dari Nuella?" Airen seperti menghindari tatapan saudara kembarnya. Kini wajahnya beralih ke arah lain dengan pandangan yang kosong. Ia melepaskan napas beratnya dan mulai bercerita. "Dulu Anggi adalah gadis yang ceria dan pintar. Beberapa bulan terakhir perubahan sikapnya begitu drastis. Ia tak lagi mau bergaul dengan siapa pun." Airen terdiam sejenak seperti ada hal lain yang mucul di pikirannya. Ia lalu melanjutkan lagi ceritanya. "Kata Nuella, dia tak lagi melihat ketertarikan Anggi saat kuliah. Anggi sering dimarahi dosen karena tidak fokus dalam kelas. Sela
Airel menghidupkan mobil dan menyalakan mesinnya. Ia harus segera menemui Inspektur Yoga dan menyelesaikan kasus Anggi secepat mungkin. Namun saat Airen masuk ke dalam mobil, ia mengisyaratkan untuk tidak langsung pergi. Airen meletakkan buku merah ke pangkuan Airel. "Coba kau lihat halaman selanjutnya, kemudian hubungkan dengan cerita Mbok Ina dan Mira. Bagaimana pendapatmu?" Airen melontar tanya pada kembarannya. Airel pun membuka buku tersebut dengan raut sedikit heran. Matanya lekat menatap kata per kata dari isi halaman itu. Gadis yang apik dalam memainkan perannya sebagai manusia bodoh. Bodoh karena memendam rasa dan tak berani mengakuinya. Bodoh karena menutup mata dari peduli orang lain padanya. Berusaha mengaku kokoh dan berpijak pada kaki sendiri. Padahal ia hanya mengalah dengan keadaan tanpa pernah berusaha. Benar-benar BODOH!! Aku ben
"Sebaiknya kita menunggu hasil penyelidikan TKP terlebih dahulu. Aku sebenarnya tidak tertarik untuk berdeduksi dengan bukti yang belum terkonfirmasi," ujar Airel. Inspektur Yoga tersenyum simpul. "Kurasa bukan jadi masalah jika sekedar beranalisa. Kalian juga bukan bagian dari penyidik resmi, tapi hanya pembuka kasus ini. Jawaban kalian tidak langsung jadi sebuah keputusan." Airen menatap sinis ke Inspektur Yoga. Rasa tersinggung terukir di wajahnya. "Apakah itu pernyataan untuk menguji?" tanya Airen dengan menaikkan salah satu ujung bibirnya. Inspektur Yoga tertawa pelan dan berdiri dari duduknya. Ia mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan meletakkannya di meja. "Ini beberapa gambar yang ditangkap oleh juru foto penyidik. Aku meminta salinannya untuk kalian." Airen membuka amplop dan mengeluarkan isinya. Ia melihat setumpuk foto barang bukti dan bagian-bagian TKP yang telah diabadikan. Senyuman sinis lagi-lagi lancang tercipta di bibirnya. Ia menyodo
Inspektur Yoga heran melihat foto yang ada di kamera Airen. "Apa maksudmu dengan sebuah foto keluarga?""Jangan bilang pelakunya adalah Kak Edi?" cecar Mira lagi."Tepat, memang dialah pelakunya," jawab Airen tegas.Mata Mira terbelalak sempurna. "Apa? Jadi Kak Edi yang ...." Wajahnya menjadi lesu. Lehernya pun seperti tersekat dan tak bisa mengeluarkan kata-kata. Ia masih tak percaya Edi tega melakukan pelecehan itu.Airel berdiri sambil saling melipatkan kedua tangannya di dada. "Ya, dia yang melakukannya. Hanya dia yang memiliki peluang besar berbuat demikian. Jika prediksiku tidak keliru, maka sperma itu adalah miliknya. Sidik jarinya juga akan bertebaran di kamar Anggi."Inspektur Yoga setengah mengacungkan telunjuk—bukan untuk menunjuk tapi seperti berpikir—dan menggerakkannya pelan sambil menyipitkan mata. "Kenapa kalian bisa memastikan Edi adalah pelaku pelecehan itu? Bukankah orang lain juga memiliki peluang yang sama untuk mel
Mira sudah tak kuat lagi membendung air mata. Bibirnya juga ikut bergetar hebat. Ia seperti merasakan apa yang sedang Anggi alami. Susah payah ia berusaha berbicara melawan takutnya. "A-apa Anggi benar-benar diperkosa saudaranya?" tanyanya dengan suara gemetar. Airel menangkap kesedihan yang begitu mendalam dari suara Mira. "Berusahalah tenang. Kau harus menerimanya. Jika kau tak bisa mengendalikan dirimu maka bagaimana kau bisa menolong sahabatmu," ujar Airel menenangkan. "Kita harus sadar segala kejahatan bisa dilakukan oleh siapa pun, termasuk diri kita sendiri. Kita hanya manusia yang tak bisa memastikan bagaimana suatu kejadian bisa tercipta. Itulah sebuah misteri," timpal Inspektur Yoga. "Begitu juga Edi, ia hanyalah manusia biasa." "Andai bisa memilih, kurasa tak ada yang mau seperti ini. Namun kehidupan tak pernah bisa ditebak. Kita harus pahami itu," ujar Airen. Mira mengusap air mata. Ucapan tiga orang di hadapannya membuat ia berusaha tegar
Airen merebahkan tubuh ke sofa. Matanya lekat menatap langit-langit. "Sudah lama rasanya aku tidak meregangkan tulang punggungku seperti ini. Omong-omong, apa yang akan kita lakukan dalam waktu dekat ini?" tanya Airen pada kembarannya.Airel duduk dan melipatkan kaki. "Aku ingin menemui Anggi. Entah bagaimana kabarnya seminggu ini. Kau mau ikut?""Tentu saja aku ikut. Tak perlu basa-basi seperti itu.""Aku lupa kau tidak bisa jauh dariku. Maaf telah menanyakan pertanyaan tidak penting.""Ah, menyebalkan," gerutu Airen yang disusul senyum kakaknya. "Kapan kita akan pergi?""Bagaimana kalau besok?" Airel balik bertanya.Airen memetikkan jari. "Sempurna.""Berbicara tentang Anggi sejujurnya aku masih kasihan dengan apa yang dialaminya. Meski dia dan kita sama-sama ditinggal oleh orang tua, setidaknya nasib kita tak semalang dia.""Apa sebaiknya kita lebih peduli saja padanya?"Airen melontar tanya lagi."Apa aku tidak salah
Ingin rasanya Hardian mengelak dari tuduhan Airel, tetapi ia tidak punya alasan untuk membantah. Membunuh Yofi memang bukan kemauannya. Itu adalah permintaan dari Juno. Seharusnya ia menargetkan Sukma terlebih dahulu. Namun, Juno memaksanya untuk merubah target dan ia pun harus melakukan hal tersebut. Saat itu Juno mengatakan bahwa Yofi akan mempersulit pergerakan mereka. Selain itu karakteristik yang dimiliki Yofi juga memiliki kemiripan dengan tulisan Hardian yang ada di buku merah—ahli menyamar dan penggemar Lupin—sehingga itu tidak akan terlihat berbeda dari rencana awal. Oleh karena itu, selain dari tekanan yang diberikan Juno, Hardian pun terpaksa setuju. Jika memang perkataan Juno benar, maka ia tidak ingin Yofi menjadi penghalang dalam eksekusi rencananya. "Kenapa kau bisa berkata demikian?" selidik Hardian sekaligus mencari celah untuk mengelak. "Karena aku tahu kau tidak bergerak sendirian.""Apa buktinya?" tantangnya lagi. "Kau bicara seperti itu seakan aku tidak mempers
Airel mengadu pandangan Hardian tanpa gentar sedikit pun. Meskipun lelaki itu mulai terselimuti amarah, Airel berusaha tetap tenang agar bisa mengontrol keadaan. Ia pun menegakkan tubuhnya dengan duduk setengah menyandar, kemudian berkata, "Mungkin kau akan merasa puas setelah menyingkirkan mereka, tapi tidakkah kau sadar akibat dari yang telah kau lakukan? Ayah angkatmu hampir saja mendekam di penjara atas tindakan yang tidak pernah dilakukannya. Lalu apa bedanya kau dengan orang-orang yang pernah jahat padamu?" tutur Airel. Kata-kata Airel seketika membuat ingatan Hardian kembali pada masa kecilnya. Sejak kecil ia memang sudah terlihat berbeda dengan anak seusianya. Ia lebih tertarik dengan hal yang dilakukan oleh orang dewasa, bahkan sangat senang mempelajari sesuatu yang rumit. Tak heran jika ia tergolong sebagai anak yang cerdas di lingkungannya. Kurniawan—ayah angkat Hardian—bukanlah tipe orang tua yang akrab dengan anak-anaknya, tetapi ia tidak juga membenci mereka. Alasan i
"Apa maksudmu menunjukkan gambar itu?" tanya Hardian. "Kau memang lupa atau sedang berpura-pura," sindir Airel. "Bagaimana mungkin kau tidak ingat sama sekali dengan tempat itu."Tempat yang dimaksudkan Airel adalah gambar sebuah panti asuhan yang sedang ditampilkan oleh proyektor. Panti asuhan itu pernah berdiri lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Sayangnya, tempat penampungan yatim piatu tersebut terpaksa ditutup sepuluh tahun belakangan ini dikarenakan kurangnya donatur. Berdasarkan hasil penelusuran yang didapatkan Ethereal, mereka yakin panti asuhan tersebut merupakan tempat yang pernah membesarkan Hardian. "Aku tidak paham maksudmu," elaknya lagi. "Kau yakin tidak paham?" pancing Airel. Hardian menyengir. "Usaha yang cukup bagus untuk mendesakku, tetapi aku tetap tidak mengerti arah pembicaraanmu.""Jadi, kau tidak mau mengaku?" desak Airel lagi. "Pengakuan seperti apa yang kau mau? Jangan terlalu membuang waktu dengan gambar semacam itu."Airel sadar Hardian sedang beru
Setelah Alfie menjelaskan rencananya pada Inspektur Yoga. Akhirnya polisi muda itu pun setuju untuk melakukannya. Sebagai langkah awal, Alfie memercayakan Airel untuk melakukan interogasi kembali terhadap Hardian. Kini gadis bersurai hitam itu telah menunggu di ruangan yang ukurannya tidak lebih dari dua belas meter persegi. Ruangan itu tidak tampak seperti ruangan interogasi. Suasananya begitu hangat dan tenang yang didominasi oleh warna hijau pastel. Airel duduk di atas kursi kayu dengan kaki menyilang. Tepat di hadapannya ada sebuah meja persegi kecil dan kursi lain yang sengaja disediakan untuk Hardian. Ruangan itu terhubung dengan ruangan lain yang dipisahkan oleh cermin satu arah. Sehingga ruangan tersebut bisa diamati dari ruangan sebelahnya di mana telah ada Airen dan Alfie yang turut mengawasi.Selang beberapa menit kemudian, daun pintu di ruangan Airel terbuka. Tampak seorang sipir dan Hardian berdiri di bibir pintu. Sipir itu langsung melangkah masuk dan menuntun Hardian du
Belum genap pukul sepuluh pagi, Alfie dan si Kembar sudah menghadap Inspektur Yoga. Kali ini suasana tidak seperti biasanya yang lebih santai. Raut Inspektur Yoga jelas sedang menuntut penjelasan. "Terima kasih sudah mau datang memenuhi permintaanku. Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, aku hanya ingin melanjutkan pembicaraan di telepon kemarin," ujar Inspektur Yoga memulai pembicaraan. "Tentu saja," timpal Alfie sambil mengangguk samar. "Memang untuk itu kami datang kemari."Inspektur Yoga menegakkan tubuh diikuti tatapan serius. Kedua tangannya tertumpu di meja. "Jujur saja aku tidak bermaksud menuduh kalian di sini. Kami—pihak kepolisian—hanya menemukan banyak ketimpangan setelah menginterogasi Hardian. Jadi, aku harap kalian bisa mengerti dan mau membantu." Kata-kata itu membuat Alfie mengukir senyuman tipis di bibir. "Sangat halus sekali pernyataanmu barusan, tetapi penuh keyakinan bahwa kami memang menyembunyikan sesuatu dari kepolisian. Aku suka cara seperti itu.""Saya tidak
Alfie buru-buru keluar dari kamar sambil membawa laptop. Ia berjalan menuju ruang tengah dan menghampiri si Kembar yang sedang bercengkerama. "Kalian sedang sibuk?" tanyanya basa-basi sembari menatap si Kembar bergantian. "Tidak," sahut Airen dengan mulut masih mengunyah makanan. "Sepertinya Paman ingin membicarakan hal yang penting.""Ya, kurang lebih begitu."Mendengar balasan itu, Airel langsung beringsut ke samping untuk memberikan ruang agar Alfie bisa duduk di sampingnya. "Apa yang ingin Paman bicarakan?" tanyanya setelah Alfie duduk. Lelaki berambut putih itu meletakkan laptop di meja. Roman wajahnya tampak serius. "Paman sudah mendapatkan hasil pemeriksaan ponsel yang Airel berikan kemarin. Hasilnya sesuai dengan apa yang Paman perkirakan."Airen langsung menyudahi makannya. Seketika ia menjadi penasaran. Ia taruh bantal kursi ke pangkuan dan memasang kuping lebar-lebar. Tampangnya jelas sudah tidak sabar menunggu penuturan lanjutan dari Alfie. "Aku coba tebak," sela Aire
Setelah beberapa saat, Inspektur Yoga tetap tak kunjung bicara. Bripka Adi mulai merasa terintimidasi dengan tatapan tajam itu. "Maaf, Pak. Kenapa saya dilihat seperti itu?" tanya Bripka Adi ragu-ragu. Inspektur Yoga langsung mengalihkan pandangan. "Maaf, jika membuatmu jadi tidak nyaman. Aku hanya ingin memastikan kau sudah yakin dengan seluruh deduksimu.""Yakin? Saya tidak mengerti maksud Bapak.""Begini," ucapnya sepatah seraya menarik napas dalam-dalam. "Penjelasanmu sejauh ini sudah sangat logis. Namun, coba pikirkan baik-baik tentang pernyataanmu mengenai Hardian yang memanfaatkan pelecehan Anggi untuk menjerat Edi ke penjara. Kalau memang demikian, maka bagaimana cara Hardian memunculkan kasus itu ke publik? Apa yang sudah dilakukannya?" lanjutnya lagi. Pertanyaan itu membuat Bripka Adi terdiam. Ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Memang terkesan sepele, tetapi bisa menjadi petunjuk. Seketika otaknya mulai berpikir mengapa kasus pelecehan itu bisa tersebar. Sejau
Inspektur Yoga sudah duduk tersandar di kursi kerjanya. Ia sedang menunggu laporan dari Bripka Adi. Setelah melihat jam tangan sekilas, seharusnya Bripka Adi akan tiba dalam waktu lima menit. Entah kenapa hari itu ia tidak sabar menunggu. Padahal biasanya ia lebih santai karena merasa segala kejadian pasti akan dilaporkan. Apa mungkin karena Bripka Adi membawa laporan penyidikan tentang Hardian? Ya, mungkin memang karena itu. Sehari sebelumnya ia telah memercayakan kepada Bripka Adi untuk melakukan interogasi terhadap Hardian. Sebenarnya ia ingin melakukan itu sendiri. Namun, karena adanya pekerjaan lain yang tidak bisa ditunda, ia pun terpaksa meminta Bripka Adi menggantikannya. Belum sampai lima menit menunggu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Itu pasti Bripka Adi pikirnya. "Masuk!" titahnya tanpa melepaskan pandangan dari pintu ruangan kerja. Benar saja, Bripka Adilah yang datang. Pria itu berjalan dengan langkah tegap menghampiri meja Inspektur Yoga sembari membawa se
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit saat mobil Alfie dan Airel memasuki halaman rumah. Seharusnya mereka bisa tiba lebih cepat kalau saja Alfie tidak mengajak Airel mampir ke sebuah kedai kopi. Katanya ingin bertemu dengan teman lama. Airel tentu saja tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Di kedai itu, mereka duduk di meja yang terpisah. Alfie dan temannya duduk di pinggir, sedangkan Airel duduk di sudut ruangan. Airel bisa memaklumi itu, mungkin saja ada pembicaraan yang tidak seharusnya ia boleh dengar. Saat berdiri di depan rumah, mereka bisa melihat ruangan tamu dan lantai atas tampak terang. Itu artinya Airen sudah tiba duluan. Biasanya kalau rumah itu kosong, mereka hanya menyalakan lampu teras saja. Setelah masuk ke rumah. Ternyata Airen sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya sedikit cemberut. "Kemana saja kalian?" tanyanya dengan tatapan tajam. "Inspektur Yoga bilang kalian sudah pulang sore tadi, harusnya kalian sudah sampai di rumah tidak s