Malam sebelumnya ...
"Aaarrrgh!"Teriakan nyaring melengking memenuhi ruangan temaram, tepat saat azan Subuh berkumandang di kejauhan."Aaarrrgh!?"Sebuah suara bariton menyusul, membahana dalam keheningan pagi.Plak!Tamparan keras mendarat di pipi Galen, membuatnya tersentak dan mengerjapkan mata dengan ekspresi kaget bercampur kesal."Apa yang kamu lakukan pada saya?!" Maiza melotot, tubuhnya menggigil bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena kemarahan dan kebingungan.Galen mengusap pipinya yang panas akibat tamparan itu, rahangnya mengeras menahan umpatan. "Gue nolongin lo, anj—!" Kalimatnya terputus saat matanya menyapu keadaan di sekitar mereka.Barulah ia sadar.Posisi mereka memang sulit dijelaskan. Galen menelan ludah, ingatannya berputar kembali ke beberapa jam lalu—keputusan yang ia buat saat kantuk perlahan menyeretnya ke dalam gelap.—Sebelumnya, dalam cahaDi balik tirai kamar mewahnya, Selena duduk di kursi roda dengan tatapan kosong mengarah ke kota yang masih sibuk meski malam telah larut. Gemerlap lampu-lampu gedung tinggi memantul di kaca besar di hadapannya, menciptakan bayangan buram dirinya—seorang perempuan yang pernah berada di puncak kejayaan, namun kini hanya dihantui bayang-bayang masa lalu.Jari-jarinya yang lentik mengetuk permukaan meja, sementara pikirannya berputar ke satu nama.Galen.Siapa anak itu sebenarnya?Selama ini, ia tak pernah peduli. Galen hanyalah alat baginya—bagian dari permainan yang ia ciptakan untuk memenuhi obsesinya pada Gala—ayah kandungnya. Namun, sesuatu mengusiknya belakangan ini. Sesuatu yang bisa mengubah segalanya.Selena menyeringai tipis. Jika ada satu hal yang selalu menjadi kekuatannya, itu adalah kemampuannya membongkar rahasia.Dan kali ini, ia akan mengungkap rahasia terbesar Gala.—Dua puluh tiga tahun lalu.Bis
Maiza merenungi harinya kemarin setelah ditolong mahasiswanya. Tawaran menikah dari Galen secara tiba-tiba membuatnya kembali mengusik pikirannya di sela mengajar kelas tanpa pemuda itu."Ayo kita nikah setelah lo cerai, Mai!""Jangan bercanda, Galen!" Maiza menatapnya tajam. Bukan kemarahan yang terpancar dari sorot matanya, melainkan ketidakpercayaan. Sulit baginya untuk mempercayai ucapan Galen, terlebih dengan sifat pemuda itu yang seringkali melontarkan candaan absurd.Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang terasa menyegarkan dalam tawaran itu. Luka yang masih membekas di hatinya membuatnya ingin membalas dendam. Mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras, dan giginya mulai bergemeletuk menahan emosi yang mendidih di dadanya."Maaf ...." lirih Galen saat melihat urat di leher Maiza menegang, sementara sorot mata wanita itu menyala penuh kebencian. "Gu—""Oke! Kita bisa buat sandiwara
Maiza menatap tanpa berkedip. Di dalam mobil yang terparkir di halaman rumahnya, suaminya tengah membelai wajah Geffie dengan penuh kelembutan. Dadanya bergemuruh, amarahnya kian membara saat mendapati ibu mertuanya justru tersenyum puas melihatnya terbakar cemburu dan sakit hati."Keluar!" Tanpa ragu, Maiza membuka pintu mobil dan menarik lengan Geffie dengan kasar. Sekretaris suaminya itu terhuyung, hampir jatuh. "Pergi dari rumah saya! Sekarang!" teriaknya lantang, terus mendorong bahu perempuan berpakaian minim itu hingga melewati gerbang."Maiza! Apa yang kamu lakukan!?" bentak Catra, buru-buru berdiri di antara mereka untuk melindungi selingkuhannya."Kamu pilih dia, Mas? Baik! Pilih dia, lalu angkat kakimu dari rumah ini. SEKARANG JUGA!" suara Maiza bergetar penuh emosi, tangannya terangkat menunjuk jalanan dengan tatapan tajam.Galen telah melajukan mobilnya menjauh dari rumah Maiza, tetapi pikirannya masih berkecamuk. Dadanya sesak, tanga
"Mengapa aku terus memikirkannya?" gumam Kalingga pelan, suaranya terdengar lebih seperti bisikan yang ditelan sunyi. "Bukankah dia hanya menikahiku karena utang Bapak? Dan semua itu telah berakhir sekarang." Delapan belas tahun berlalu, namun bayangan masa lalu tetap bertahan seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalingga telah berusaha melupakan, meyakinkan dirinya bahwa semua hanya bagian dari takdir yang tak bisa diubah. Namun, mengapa setiap kali ia mencoba melangkah ke depan, ingatan itu justru semakin kuat menahannya? Ponselnya tiba-tiba bergetar di atas nakas, mengagetkannya. Ia memejamkan mata, mencoba mengabaikan notifikasi itu, berharap ketenangan masih berpihak padanya malam ini. Namun, getaran kedua membuatnya menyerah. Dengan ragu, ia mengulurkan tangan, membuka pesan yang muncul di layar. "Mas Ilman?" gumamnya, matanya menyipit berusaha memastikan penglihatannya. "Aku tahu ini akan mengganggumu. Tapi aku harus memberitahunya sekarang. Besok kita menikah di KUA
Saat kembali ke kamar, Kalingga duduk di ranjang, menatap perutnya sambil mengelus lembut. Ingatan tentang sentuhan Gala kembali menghantuinya. Setiap sentuhan yang ia berikan selalu meninggalkan jejak, meski tahun demi tahun telah berlalu. Saat tangannya mengusap punggungnya dengan lembut di malam-malam penuh kecemasan. Saat pria itu merapikan selimutnya dalam diam, tanpa sepatah kata pun. Dan bagaimana Gala selalu memastikan ia mendapatkan istirahat yang cukup, meski terdengar seperti perintah yang tak bisa dibantah. "Kenapa aku terus memikirkanmu?" bisiknya, menatap kosong ke luar jendela. "Bukankah aku seharusnya melupakanmu?" Namun, meski hatinya berusaha menyangkal, ia tahu bahwa Gala telah meninggalkan sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja. "Sampai kapan aku harus menyimpannya? Tapi di mana kamu berada sekarang, Tuan?" gumamnya, suaranya lirih dan tergugu. Kalingga duduk di tepi ranjang, tangannya gemetar saat meremas kain piyama yang melekat
Galen menyodorkan map terbuka ke hadapan Maiza, jarinya mengetuk pelan di atas kertas. Tatapannya penuh keyakinan dan sedikit kebanggaan, seolah apa yang ia tawarkan adalah kesepakatan yang tak mungkin ditolak. "Gue cuma mau lo baca poin-poin penting dalam surat perjanjian nikah kita nanti, hem?" suaranya terdengar ringan, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Maiza menghela napas panjang sebelum meraih dokumen itu. Namun, matanya langsung mendelik saat membaca kalimat paling atas. Keningnya berkerut, bibirnya sedikit terbuka, seolah otaknya butuh waktu ekstra untuk memproses apa yang baru saja dilihatnya. "Kamu yang buat semua ini, Galen?" tanyanya dengan nada setengah meremehkan, tangan bersedekap di dada. Galen yang semula tampak bangga langsung memasang ekspresi tersinggung. Senyumnya menghilang, digantikan oleh seringai kesal. "Jangan hina tulisan gue yang jelek dong, Mai? Masa seorang pendidik gitu?
Galen nyaris melompat keluar dari mobilnya sebelum kendaraan itu berhenti sempurna. Dengan napas memburu, ia mengangkat tubuh Maiza yang begitu lemah, mendekapnya erat seperti nyawa wanita itu tengah tergantung di tangannya.Tubuh Maiza dingin. Terlalu dingin.Seluruh dunianya seolah mengecil hanya pada sosok itu. Wajah pucat, napas yang hampir tak terdengar, denyut nadi yang samar. Galen tak peduli pada umpatan dan klakson yang bersahutan di belakangnya. Ia menerobos pintu rumah sakit, langkahnya panjang dan tergesa."SUSTER!! CEPAT!!"Teriakannya menggema di lorong IGD, membuat beberapa orang di ruang tunggu tersentak kaget. Ia tak peduli. Yang ada dalam benaknya hanya satu—Maiza harus segera ditangani.Pikiran buruk menghantam tanpa ampun. Galen pernah mengalaminya sebelumnya, Maiza jatuh pingsan karena hipotermia. Tapi kali ini berbeda. Ada muntah, tubuh lemas tak bernyawa di tangannya, dan yang paling membuat jantungnya berdegup tak
Sejak kapan Kalingga merindukan Gala? Perutnya tiba-tiba bergerak kecil, seperti merespons sentuhan ayahnya. Gala tersenyum tipis, tangannya terus mengusap lembut. "Dia tahu papanya di sini," bisiknya, lalu menatap Kalingga penuh makna. Matanya berembun, senyuman penuh luka tersungging di bibirnya. Kalingga menggigit bibir, ingin mengalihkan tatapannya, tetapi jemari Gala bergerak ke tengkuknya, menariknya lebih dekat. "Jangan menipu dirimu sendiri, Kalingga." Suara Gala rendah, nyaris seperti bisikan. "Aku tahu kamu juga merindukanku." Kalingga terdiam. Ini sebuah kegilaan atau trauma bersama? Menginginkan sesuatu yang sama tapi tak tergapai lagi? Apa Gala sama dengan Kalingga yang tak mampu kehilangan anaknya? Ia ingin menyangkal. Ia ingin berbohong. Tapi ketika Gala menunduk lebih dekat, menyatukan kening mereka, Kalingga tahu—ia telah kalah. Benar kata Gala, ia merindukannya selama ini. Kerinduan itu terlalu besar untuk dibendung. Dan malam itu, di dalam ruangan yan
Mentari pagi belum sepenuhnya naik ketika Galen perlahan membuka matanya. Tubuh Maiza masih tertelungkup di dadanya, napasnya tenang, wajahnya damai. Malam panjang yang mereka ulang berkali-kali itu telah menguras seluruh tenaga dan emosi. Tapi Galen tersenyum kecil. Semua itu nyata. Dia kembali ke tempat yang seharusnya: pelukan Maiza. Perlahan ia bangkit dari tempat tidur, menarik selimut menutupi tubuh kekasihnya. Ia mengenakan kembali celananya, melangkah ringan ke dapur. Tangannya mulai bekerja: mengiris bawang, mengocok telur, menyalakan kompor, dan menyiapkan kopi. Sambil memasak, benaknya melayang ke masa lalu. Ingatannya menguar, sejelas aroma tumisan yang memenuhi udara. Di penjara, Kalingga—ibunya—datang bersama Gala dan Sagara. Pertemuan itu seperti lembaran hidup yang dicabik paksa. Sagara tak lagi segarang dulu, kini hanya pria tua penuh penyesalan. Ia bicara lirih, mengaku semuanya. Bahwa semua ini bermula da
"Lakukan saja perintahku, NOAH!" bentak Maiza, suaranya meledak dalam kemarahan.Tak ada sepatah kata pun keluar dari Noah—sang asisten yang juga sahabat Galen. Ia hanya mengangguk singkat, lalu memutar balik kemudinya, melaju menuju tempat yang disebutkan Maiza.Perempuan itu terdiam, pikirannya sibuk menenun kegelisahan. Tatapannya kosong, mengarah lurus ke depan. Wajahnya datar dan dingin—tanpa jejak kesedihan, apalagi kebahagiaan. Namun perlahan, raut itu berubah. Menegang. Menyiratkan kemurkaan yang membakar.‘Kalau ini bukan halusinasi, aku harus tahu apa yang sebenarnya Galen sembunyikan dariku! Mungkin aku lemah di matanya, tapi aku akan buktikan kalau aku bisa hidup tanpa dia!’‘Sudahlah, Za ... ikhlaskan. Buka lembaran baru. Kamu Direktur Utama perusahaan multinasional sekarang—itu kesempatan langka! Gunakan baik-baik, Iza! Kamu bisa!’Suara-suara itu berisik di kepalanya. Saling tindih, saling beradu, seperti dua sisi dirinya t
"Apa ini bagian dari prank, Noah?" Maiza menggeleng dengan senyum kaku yang dipaksakan, meski air matanya telah jatuh tanpa disadari. Suaranya bergetar saat teriakannya pecah, “Ini nggak lucu!?” Ia menggeleng lebih kuat, mata terpejam rapat menahan denyut luka yang begitu dalam.Tubuhnya perlahan kehilangan tenaga. Lututnya lemas, jatuh meluruh ke lantai dingin. Ia terus menggeleng, tangisnya meledak bersamaan dengan wajah yang telah basah kuyup oleh air mata yang tak terbendung.“Galeeen,” panggilnya lirih, suara itu hampir tak terdengar. Tangannya mengusap dada, mengepal erat di sana. “Permainan apa lagi yang harus aku jalani, Tuhan ....” isaknya pecah, mengguncang bahunya dalam tangisan tersedu-sedu.———‘Ingatlah satu hal dariku, Mai ... kamu harus lebih tangguh dari masa lalu kamu. Semua yang kamu lalui adalah obat, meski pahit itu akan membuatmu lebih kuat. Lupakan yang telah ada di belakangmu, syukuri apa yang kamu jalani dan yakinlah bahwa
Maiza masih terduduk di lantai, memeluk foto dan secarik kertas yang telah mengubah segalanya. Dada sesak, tangis mengalir tanpa bisa ditahan. Entah berapa menit berlalu dalam diam dan guncangan.Hingga suara ponsel berdering memecah keheningan. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat tanpa sempat melihat nama di layar."Halo?" Suaranya parau."Bu Maiza?" Suara dari seberang terdengar ragu. "Saya dari kepolisian. Kami ... kami ingin menyampaikan kabar duka."Maiza membeku."Apa maksud Anda?""Tahanan atas nama Galen, suami Anda ... ditemukan meninggal dunia pagi ini di ruang isolasi. Beliau diduga mengalami serangan jantung mendadak."Ponsel nyaris terlepas dari genggamannya. Maiza menatap kosong ke depan, seperti tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya."T-tidak ... tidak mungkin. Baru saja aku masih ... masih bertemu dengannya! Dia baik-baik saja!"Suara dari seberang terdengar berat, seolah terb
"Aku sudah tak mengenalimu lagi, Hubby ...." suara Maiza pecah saat akhirnya ia berdiri dan berbalik, meninggalkan ruang tahanan dengan linangan air mata.Ia melangkah cepat keluar, seolah tak ingin siapa pun melihat rapuhnya. Kedua tangannya menutup mulut dan mengusap wajah yang kini telah basah. Dalam benaknya, kenangan bersama Galen berkelebat seperti kolase yang tersusun acak—tak utuh, tapi penuh warna.Ia mengingat saat pertama kali bertemu Galen, di taman itu, ketika hidupnya terasa seperti reruntuhan. Saat dia menangis dalam diam, dan pria muda itu menghampiri dengan kalimat sederhana yang mampu menyentuh hatinya.Sejak itu, Maiza percaya bahwa masih ada lelaki baik di dunia ini. Tapi mengapa sekarang, sosok yang dulu penuh perhatian itu menghilang? Ke mana mahasiswa polos itu pergi?Galen yang dulu melindunginya dari preman cabul—pria yang begitu sabar dan menjaga batas, yang tak pernah sekalipun memaksakan hasrat. Ia masih ingat jelas mal
Flashback – Sebelum Maiza Sadar di Apartemen Galen"Bereskan ma–yatnya," titah Galen sambil menekan earpiece-nya.Tubuhnya tegak, tatapan dinginnya mengarah pada sosok yang tergeletak lemah di sofa. Wajah Maiza tampak damai dalam ketidaksadaran, namun bayangan kemesraan antara mantan pasangan suami istri itu terus mengganggunya. Wajah Galen kembali mengetat, rona merah amarah naik ke pipi. Ia mengalihkan pandang, melangkah cepat keluar ruangan tanpa menoleh sedikit pun.Namun baru beberapa langkah, ia berhenti mendadak. Tangannya meremas rambut sendiri, kepalanya tertunduk, dan matanya terpejam kuat—seperti sedang berusaha menghapus senyuman Maiza di pagi hari dari pikirannya."Aaarrrgh!" teriaknya tertahan, membalikkan badan dengan gerakan penuh gejolak. Ia berjalan cepat kembali, melepas jaket dan merobek gorden hingga terlepas dari gantungannya.Dengan gerakan kasar, ia membungkus tubuh tak berbusana Maiza yang terkulai di sofa. Tidak ada
“By… aku berangkat dulu. Ada meeting penting hari ini. Mungkin pulang agak mal—”“Makanya sini dulu!”Tangan perempuan yang sudah rapi dalam setelan formal kantoran itu ditarik paksa hingga jatuh menimpa tubuh polos suaminya di ranjang.“Aku sudah mandi, By! Lima belas men—”Kalimatnya terpotong. Mulutnya dibungkam tanpa ampun oleh Galen yang langsung membalikkan posisi, menindih dengan gairah yang meletup.Satu minggu telah berlalu sejak insiden mengerikan itu. Tak satu pun jejak kasus tersisa.Pergerakan Secret Umbrella begitu senyap dan bersih. Big Boss mereka, seorang hacker jenius, mampu melumpuhkan sistem pemerintahan, menanamkan tersangka palsu, dan membebaskan seluruh anggota terlibat. Termasuk G4 dan Maiza—keduanya benar-benar lenyap dari radar publik.Hidup Galen dan Maiza kembali seperti biasa. Sepasang pengantin baru beda usia dan profesi itu melanjutkan rutinitas: Galen menyusun skripsi, Maiza sibuk mengelol
"Jangan takut lagi, aku akan menjaga dan melindungimu. I love you .…" Kecupan yang lama dan dalam dia jatuhkan di kening Maiza yang mengangguk perlahan.Pelukan itu terasa seperti rumah, dan Maiza memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam hangatnya perlindungan Galen—lelaki yang hampir saja dia lupakan, tapi hatinya tetap mengenalinya, selalu."Maafkan aku. Aku pikir tak akan pernah bertemu denganmu, dan aku tak pernah termaafkan atas keegoisanku sendiri.""Tidak ada yang bersalah dan tak ada yang perlu dimaafkan, Sayang." Galen merenggangkan pelukan, menatap manik mata sembab milik cinta pertamanya. Mata yang penuh arti, menunjukkan cinta yang begitu dalam. Memancarkan harapan dan semangat dalam sorot tajamnya."Hub–by...."Mantan anak didiknya itu menarik napasnya, lalu menekan tengkuk Maiza, membuat kepalanya mendongak. Gerakan lembut dan penuh candu itu berkembang cepat—menjadi balasan tak tertahankan antara dua insan yang telah
“Aaarrrgh!?” Suara letusan memecah malam, bersamaan dengan jeritan Galen yang menyayat. Namun, tubuhnya tetap meluncur masuk ke dalam pipa pembuangan yang sudah dirusaknya lebih dulu—pelarian terakhir yang ia punya.Pintu kamar mandi didobrak paksa. Tiga pria berpakaian serba hitam menyerbu masuk dan langsung menghujani ruangan dengan tembakan brutal. Cipratan darah membekas di dinding dan lantai, menyisakan jejak yang mengerikan.“Dia nggak akan bertahan lama dengan peluru beracun kita! Cari barangnya di setiap sudut!” bentak pemimpin mereka dengan suara dingin dan menakutkan.Sementara itu, di dalam mobil yang melaju tak tentu arah, Maiza menatap pria yang duduk di balik kemudi dengan pandangan terpaku. Ketakutan makin menyesakkan dadanya.“Ka–kamu bukan Galen?” suaranya nyaris tak terdengar, tercekat oleh rasa ngeri.Dia mencuri pandang, berharap sang penolong hanyalah Galen yang menyamar—tapi tidak. Sosok itu menoleh sekilas, wajahnya