"Di mana Ayah sama Ambu, Mang? Cepat katakan!" bentak sembari menangis. Kini tangisannya seakan tak mampu terkendali. Kedua tangannya mencengkram bahu Mamang dan tanpa sadar kini tubuhnya duduk di atas lantai dingin. Dia menangis meraung-raung, ditambah suaranya yang semakin lirih. Paman Anilla hanya mengeryitkan dahinya, ketika melihat kondisi Anilla yang tak pernah bersikap seperti ini.
Dengan lembut dia menurunkan tangan Anilla, "Neng Anilla, dengarkan, Mamang! Mamang mah baru pertama lihat neng Anilla nangis seperti ini!" telisik si Mamang karena sepengatahuan dia, kehidupan Anilla sangat jauh dari kata sedih dan susah.
"Anilla takut mereka sakit, Mang!" teriak Anilla meluapkan segala kekesalannya. Ya, mungkin dia menangis bukan hanya khawatir pada orang tuanya, tetapi lebih pada menyalurkan rasa marah dan sedih yang dia rasakan pada saat ini. Bagas tak berani mendekati Anilla karena dia pun sadar, memberikan ketenangan pada Anilla hanya membuatnya semakin terluka. Dia pun tahu kenapa Anilla bersikap seperti ini? Yah, salah satunya karena perbuatan dia pada Anilla.
"Gak, Neng. Mamang mah aneh, baru pertama kali Mamang melihat neng Anilla seperti ini!" ucap Mamang dengan logat Sunda yang semakin kental.
Netra Anilla menatap sendu pada mamangnya yang tengah memandangi dengan tatapan aneh dan haru. "Neng! Mamang, tahu kamu dari kecil. Ini ada apa, Neng?" tanya Mamang semakin menambah luka pada hati Anilla, pasalnya dia tidak bisa begitu saja mengatakan segala masalah yang tengah menimpanya.
Perlahan Bagas mendekati Anilla dan membantunya untuk berdiri. "Anilla hanya mencemaskan Ayah dan Ambu, Mang! Tidak ada apa-apa, ya, 'kan, Ann!" seru Bagas sembari mencengkram tangan Anilla sedikit kasar. Dia tidak tahu lagi, harus bersikap apalagi untuk membuat Anilla terdiam dan memberi isyarat agar Anilla tidak bersikap berlebihan.
Dan benar saja, cengkraman Bagas mampu membuat Anilla tersadar dari emosinya yang terlalu berlarut. Dalam isak yang mulai reda, dia mengusap lelehan air matanya dengan punggung tangan.
"Aku khawatir sama Ambu, Mang. Kalau Ayah sakit pasti Ambu repot sendiri," ujar Anilla sesekali tangannya membersihkan cairan yang ada di hidungnya.
Bagas menyodorkan sapu tangan pada Anilla, namun ditepis kasar olehnya. Mata Bagas membulat menatap tajam pada Anilla, ingin rasanya dia menarik Anilla dan memberitahukan padanya untuk bersikap wajar.
Melihat dua keponakan yang terlihat sedang memiliki masalah, Mamang paham dan langsung berpamitan. "Neng Anilla telepon saja Ambu. Cari tahu mereka sedang di mana, ya. Jangan khawatir mereka baik-baik saja! Mamang pamit dulu, ya, Neng. Sabar! Segala sesuatu pasti ada hikmahnya," ucap Mamang sembari menasehatinya. Dia sangat mengerti, pasangan muda pasti ada saja masalahnya, walaupun dia tidak tahu permasalahannya apa. Kemudian dia berlalu meninggalkan Bagas dan Anilla dengan senyuman khasnya.
Bagas melepaskan Anilla setelah pamannya menghilang dari balik pagar. "Bisa, gak? Bersikap normal. Kamu tahu, kelakuan kamu, bisa membuat orang lain curiga! Kamu mau Ayah sama Ambu kamu, jadi bahan gunjingan orang-orang di desa ini? Hah!" tegas Bagas dengan membulatkan matanya. Tangan kanannya mengepal menahan rasa marah yang semakin membuncah.
"Aku juga tidak mau, hal yang buruk menimpa Ayah dan Ambu. Tapi, please, Ann jangan kayak anak kecil!" tegas Bagas dengan bariton tinggi.
Anilla tak berkata apapun pada Bagas, dia sebenarnya sudah muak dengan pembicaraan dan permintaan suaminya sendiri. Dia sangat tahu, pada saat suami marah seharusnya dia bersikap baik. Namun, berbeda dengan Anilla saat ini, dia tak peduli lagi pada Bagas. Tanpa menjawab apapun dia langsung merogoh ponsel yang ada di dalam tas mahal pemberian Bagas.
Jari lentiknya menekan tombol untuk menghubungi Ambu-nya. Setelah beberapa menit menunggu, pada akhirnya tersambung.
"Assalamualaikum, Ambu! Gimana kondisi Ayah? Sekarang Ambu di mana? Rumah sakit, mana? Ambu Anilla susul Ambu sama Ayah, ya!" tanya Anilla bagai petasan merepet.
[Neng! Ambu sama ayah baik-baik saja. Tidak terjadi apa-apa, atuh. Jangan cemas, kita mah lagi piknik, Neng. Berendam air panas di Garut!] jelas Citra ibu Anilla, suaranya terdengar jelas begitu bahagia.
Netra Anilla hanya bisa menatap ponsel kemudian menempelkan kembali pada indera pendengarannya. Dia tidak menyangka ketika dia terluka, orang tuanya malah menikmati liburan bersama.
"Kenapa Ambu gak ngajak, Nilla?" tanya Anilla dengan suara rengekannya.
Bagas hanya bisa menatap Anilla dengan tatapan sinis, ketika Anilla merengek dengan menghentakan kakinya. Dia hanya bergidik sesaat. "Dasar gadis manja!" selorohnya dalam hati.
Terdengar kembali dipendengaran Anilla ketika Citra berkata,
[Kamu, kan, lagi bulan madu. Masa ikut sama Ambu. Ada-ada saja kamu, Neng!]Bagai tersambar petir, Anilla hanya menahan air matanya ketika ibunya berkata seperti itu. "Iya, Ambu, Nilla lupa!" kilahnya yang disusul dengan kekehan kecil untuk menutupi rasa sesak dalam hati.
"Ambu, Nilla mau pamit pulang ke rumah, Mas Bagas. Nilla ke rumah untuk membereskan baju dan peralatan lainnya. Nilla masih simpan kunci cadangan rumah. Jadi Ambu sama Ayah jangan khawatir, ya!" jelas Anilla sembari menetralkan suasana.
[Neng, kamu, lagi, di mana? Kenapa ada di rumah? Terus mau ambil baju segala! Bukannya kamu masih bulan madu bareng, Den Bagas?] tanya Citra yang mulai mencium keganjilan.
"Mas Bagas ada keperluan mendadak, Ambu. Jadi bulan madunya digeser," sela Anilla berbohong untuk memberhentikan cerocos ibunya yang terkenal cerewet.
[Gak bisa gitu, Neng. Adat orang Sunda mah, kalau anak gadisnya mau ketempat suaminya, Ambu sama Ayah harus mengantar kalian. Sekalian Ambu ingin bertemu sama orang tua, Den Bagas.] jelas Citra karena ketika acara pernikahan, Bagas hanya datang bersama rekannya.
Anilla menarik panjang napas dan menghembuskannya kembali. Memang harusnya seperti itu, setelah menikah maka orang tua perempuan akan mengantarkan anak gadisnya menuju rumah suaminya.
"Gak apa-apa, Ambu. Nanti saja Ambu main ke rumah, Anilla, ya! Nilla pamit dulu, titip salam untuk Ayah. Nilla sayang kalian berdua," ujar Anilla sembari menekan tombol merah untuk menutup sambungan telepon.
Kakinya melangkah meraih tas yang dahulu sangat dia sukai, kini hanya terlihat tas yang menjijikan di depan matanya. Setelah membuka kunci pintu, Anilla bergegas menuju kamar tidur. Netranya menatap haru pada setiap jengkal ruangan yang menemaninya lebih dari dua puluh tahun. Dengan langkah gontai, dia berjalan menuju kasur dan meringkukkan tubuhnya.
Lelehan air mata kembali membasahi kelopak mata dan jatuh di atas bantal empuk bergambar boneka Teddy.Sedari tadi Bagas menunggu Anilla di teras luar dengan meyempilkan satu batang rokok diantara kedua jarinya. Satu batang telah dia habiskan. Namun, yang ditunggu tak kunjung datang. Dia memberanikan diri masuk ke dalam rumah menuju kamar Anilla. Kemudian dia membuka pintu dan melihat Anilla yang tengah meringkuk, kini tubuh kecilnya semakin terlihat lemah. Perlahan dia mendekati Anilla.
"Ann, are you, ok?" tanya Bagas sembari mendekati Anilla.
Tak ada jawaban dari istrinya ini. Dia sangat tahu, apabila Anilla sangat terluka. Dia merangkak melewati kaki Anilla dan berbaring di sampingnya. Tangannya merambat perlahan membelai lembut pinggang Anilla.
Merasakan tangan kekar Bagas merangkulnya, Anilla langsung menaikkan tangan kekar Bagas. Namun, usahanya sia-sia. Semakin Anilla bergerak menjauhinya, Bagas semakin mengunci tubuh ramping Anilla.
"Aku tidak suka melihat, istri kecilku seperti ini. Aku akan mencoba memperbaiki semuanya dan beri aku waktu untuk mencintai kamu, Anilla Prameswari!" bisik Bagas terdengar di telinga Anilla. Bibirnya beberapa kali mengecup tengkuk Anilla yang terbuka.
Setelah membereskan pakaian Anilla dan beberapa barang kesayangannya. Mereka memutuskan langsung pulang ke rumah Bagas. Dalam hati, Anilla hanya berharap baik-baik saja. Meskipun rasa cemas terus bergelayut dalam pikirannya. Cemas membayangkan kalau istri pertama Bagas akan menjambak rambutnya yang selalu dia rawat. Membayangkan pukulan demi pukulan akan dia terima. Dengan menghela napas panjang Anilla hanya bisa pasrah. "Nasi sudah jadi bubur, Anilla. Jalani semua ini dengan ikhlas!" batin Anilla berkata.Perjalanan yang terasa panjang, pasalnya baru kali ini Anilla datang ke rumah Bagas. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, selama perjalanan benaknya hanya diliputi oleh semua pemikiran yang belum terjadi. Memang karakter Anilla seperti itu, dia gadis yang selalu terlihat ceria dan tenang padahal kenyataannya dia seorang gadis yang selalu merasa cemas dan manja."Kamu mau makan dulu, Ann?" Bariton Bagas memecah keheningan.Netra Anilla beralih pad
Mobil Bagas terparkir di rumah elite dengan design modern, cat warna putih mendominasi rumah tersebut. Taman terhampar mewah dengan rumput hijau yang terpelihara. Beberapa mobil terparkir di rumah besar. Seharusnya Anilla bahagia, ketika melihat segala kemewahan yang ditampilkan di depan mata. Namun, sekarang lihatlah kini dia hanya bisa menundukkan pandangannya. Tak bergeming ketika Bagas mengajaknya masuk ke dalam rumah. "Ayo, masuk, Ann!" ajak Bagas. Dia menunjuk dengan wajahnya. Anilla hanya tersenyum sekilas. Melihat suaminya, yang kini telah menjadi imamnya. Dia mengiringi langkahnya dengan do'a-do'a, hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja. Bagas melangkah melewati Anilla, sedangkan Anilla berjalan di belakangnya. Bagas mengetuk pintu dan keluar lah seorang perempuan cantik dengan riasan natural. Tanpa mempedulikan Anilla, Bagas langsung memeluk dan mencium istri pertamanya ini. Jangan tanya lagi kini hati Anilla begitu sakit, terasa ribuan belati menghu
"Tega kamu, Mas! Setiap detik kamu menghancurkan hidupku, terakhir kamu berkata akan berusaha mencintai aku! Tapi, sekarang kata-katamu bagai belati yang menusuk hati ini. Kamu terang-terangan tidak akan membagi cintamu untukku!" lirih Anilla, dia menarik kakinya dan melipatnya sedikit. Ingin rasanya berteriak atau menjambak kepala mereka yang dengan sengaja melukai dirinya."Tak ada lagi yang bisa aku lakukan, aku hanya bisa diam dalam sunyi. Membayangkan kalian selalu bersama sedangkan aku hanya jadi boneka patung yang terpajang tanpa arti," gumam Anilla seraya menangisi semua kejadian yang baru saja dilihat dan didengarnya.Perlahan dia membalikkan tubuh ringkihnya karena tidak sanggup lagi menatap jelas suami dan sahabatnya, berpelukan di depan mata. "Kapan cintamu akan berlabuh pada hatiku, Mas? Apakah aku sanggup melihat dan menjalani semua ini? Aku menyerah, aku lemah, aku hanya bisa pasrah menunggu kepastian dari takdir Illahi!" lirihnya kembali terdengar karen
"Mas, sudahi! Aku tidak mau menyakiti Adisti! Aku bilang lepas!" bentak Anilla dengan tatapan tajam. "Aku masih menikmatinya, Sayang!" rengek Bagas sembari menempelkan bibirnya pada bahu Anilla. "Tolong, Mas! Mengerti keadaan kami berdua. Walaupun, pernikahan ini saran Adisti tapi dia juga perempuan yang mudah terluka!" tegas Anilla dengan nada tegas. Dengan wajah kesal Bagas bangkit dari tubuh Anilla, kemudian bersandar di ranjang. "Aku ingin belajar mencintai kamu, Ann. Dan kamu sudah membuatku mabuk oleh wangi tubuhmu!" Suaranya semakin manja. Sesaat Bagas menoleh pada Anilla, dia mengembangkan senyuman ketika melihat rambut Anilla yang berantakan karena ulahnya. Dengan lembut dia merapihkan rambut Anilla. "Kamu cantik, Ann!" kilah Bagas yang mampu membuat tubuh Anilla melayang tinggi, terasa ribuan kupu-kupu menari indah di dalam perutnya. Wajah Anilla menoleh sesaat pada Bagas, "Sudah, Mas! Jangan gombal deh, kita temui Adisti! Di mana kamar mandinya?" t
"Menurutlah! Kalau kamu masih membantah... maka ganjarannya, semua harta yang aku berikan pada ayah dan ambu akan aku tarik kembali! Camkan itu!" bentak Bagas setengah berbisik tepat di samping kanan daun telinga Anilla.Mendengar kata-kata Bagas yang terkesan menyombongkan diri, amarah kembali membuncah dalam batin Anilla. "Silakan ambil kembali semua harta yang telah Anda berikan. Tapi ingat kalau benih ini tumbuh menjadi janin, jangan coba-coba mengambilnya dariku!" ujar Anilla seraya membalikkan tubuh. Matanya kini menatap Bagas dengan tatapan tajam tanpa berkedip. Dalam benaknya hanya ada kata benci ketika Bagas selalu mengancam kelemahannya.Plak!Plak!Dua tamparan keras kini mendarat di pipi mulus Anilla. Sesaat Anilla menatap Bagas dengan tatapan penuh tanya. "Apa Adisti diperlakukan seperti ini juga?""Sakit? Tamparan ini adalah hukuman supaya kamu tidak berkata seperti itu lagi! Aku ini suami kamu, Anilla! Dosa hukumn
Dalam kalut Anilla membereskan baju dari lemari, dan memindahkannya ke dalam koper.Dia sudah tidak peduli lagi, apa yang akan dikatakan oleh ayah dan ambu. Anilla sangat yakin ketika sampai di rumah, orang tuanya akan menghujani dengan rentetan pertanyaan dan wejangan. Tetapi hal itu akan lebih terasa lebih baik daripada terus bersinggungan dengan wajah-wajah munafik Bagas dan Adisti.Tok!Tok!Suara ketukan terdengar jelas, tapi tak memberhentikan aktivitas Anilla, dia terus membereskan barang-barangnya. Dia sangat yakin pasti Adisti dan Bagas ada di belakang pintu. Entah apa rencana mereka, apa untuk melepaskan atau menahannya?"Ann! Tolong buka pintunya! Kita harus bicara!" pinta Bagas sembari berdiri di balik pintu kamar Anilla. Wajah Anilla semakin berang, ketika mendengar suara Bagas. Tangannya terus memasukkan semua barang-barang miliknya dengan kasar."Ann!"Kini terdengar suara lembut Adisti
Pagi hari ini Anilla terlihat segar, dia semakin cantik dengan dress krem dengan motif bunga-bunga kecil. Tangannya begitu cekatan memotong semua sayuran yang ada di atas meja.Walaupun, dia terlihat lelah. Tapi, senyuman terus tercipta. Kemarin malam dia meminta izin pada Adisti untuk menyiapkan sarapan dan keperluan Bagas. "Pagi, Sayang!" sapa Bagas sembari mengalungkan tangannya di pinggang Anilla. "Pagi juga, Mas!"Cup!Bagas mengecup leher Anilla yang terbuka. Anilla terkejut mendapat perlakuan seperti ini, otaknya benar-benar tak bisa berpikir. Aroma soft gentle dari tubuh Bagas, begitu menenangkan. Walaupun, beberapa kali Bagas mendaratkan kecupan, Anilla tidak menolaknya. Malahan dia begitu menikmati. "Sarapan pagi ini, kamu aja, ya? Hehehe," kekeh Bagas seraya menyimpan spatula yang dipegang Anilla di atas panci. Kemudian dia memutar kenop kompor pada posisi off."Maksud kamu apa, Mas?" tanya Anilla
Ketika melewati Anilla, Inggrid mendekatinya. Kebetulan Anilla tengah menyiapkan masakan untuk sarapan. Aroma dari berbagai rempah begitu menyeruak indera penciuman Inggrid. "Siapa yang masak ini?!" tanya Inggrid masih ketus. Matanya memindai setiap mangkuk dan piring yang telah terisi makanan yang menggugah selera.Kalimat Anilla terbata ketika menjawab pertanyaan Inggrid, "In-i-ini masakan Nilla, Bu. Maaf kalau Ibu tidak suka." "Emm... boleh ibu coba?" tanya Inggrid mulai mencair dengan senyuman tipis.Melihat senyuman tipis dari mertua yang belum dikenalnya, hati Anilla berbunga. Dengan cepat dia meraih sebuah piring, dan menyodorkannya pada Inggrid.Inggrid yang tadinya akan keluar dari rumah, terhenti dan kini duduk di meja makan bersama Anilla."Ibu, mau yang mana? Biar Nilla ambilkan?" tanya Anilla dengan suara lembut.Inggrid terkejut dengan lemah lembutnya Anilla, karena selama ini apabila dia datang ke rumah
Empat orang suster membawa Adisti masuk ke ruangan UGD. Sedangkan, Bagas, dan Anilla bergegas mengikuti dari belakang.Setelah sampai di UGD, mereka segera memberikan pertolongan pada Adisti. Karena luka Adisti tidak terlalu serius, dokter menyarankan agar Adisti dipindahkan ke ruang rawat inap. Dengan cepat Bagas menyetujuinya. Untuk Adisti, dia tidak pernah memikirkan keuangan yang akan dia keluarkan.Setelah memasuki ruang inap, Anilla main mengkhawatirkan kondisi Bagas yang terlihat kusut, dan lelah."Mas." Anilla mendekati Bagas. Sebelum menjawab, Bagas menoleh pada Anilla sembari mengulas senyuman. "Kenapa, Ann?" "Istirahat dulu!" titah Anilla sembari menyimpan tangan di bahu Bagas.Bagas hanya menggelengkan kepala. Kemudian dia menunduk di atas ranjang Adisti, dan melipat kedua tangannya sebagai tumpuan."Aku harus nunggu Adisti!" jawab Bagas tanpa menatap Anilla.Rasa sakit dalam hati Anilla kembali me
"Aku gak tau dengan semua rasa ini, Ann! Tolong jangan desak aku!" teriak Bagas. Dadanya terengah karena emosi yang semakin tak terkendali.Netra Anilla terus menatap Bagas tanpa berkedip. Dia berpikir apa yang terjadi pada Bagas benar-benar tak masuk akal. Sebesar apa cintanya pada Adisti, hingga dia sendiri pun tidak tahu apa yang tengah menimpanya? Pertanyaan terus berputar dalam benak Anilla."Aku sadar diri, Mas. Mungkin Mas Bagas bersikap seperti ini ... karena kamu terlalu cinta pada Adisti!" lirih Anilla sembari membalikkan tubuhnya ke depan dengan tatapan kosong."Jangan bersikap seperti ini, Ann! Aku juga mencintai kam...," ucapan Bagas terhenti ketika jari telunjuk Anilla menempel di atas bibirnya."Jangan diteruskan! Aku tau, kamu berkata hanya untuk mengobati rasa cintaku yang tak pernah terbalas," keluh Anilla seraya menurunkan jarinya.Tanpa berkata, mata elang Bagas terus menatap Anilla menyaratkan seribu bahasa yang tak b
"Kamu masih gak sadar, juga?!" bentak Inggrid setelah menampar Bagas. Netra Bagas turun ke bawah, tak berani menatap Inggrid yang tengah dikuasai amarah."Maafkan Bagas, Bu! Bagas gak bisa nolak permintaan Adisti, apalagi sekarang dia sendirian," jawab Bagas.Inggrid kembali mendengkus kesal, dia mendekati kursi yang diduduki Bagas. "Kenapa kamu selalu melakukan apa yang Adisti minta? Apa karena empat tahun yang lalu dia menyelamatkan kamu?!" Suara Inggrid masih naik satu oktaf, terlihat dadanya turun naik. Terkadang dia mendengkus kesal sembari melipat tangannya di atas dada."Ya, Bu! Dan kalau waktu itu, Adisti gak datang ... aku pasti udah mati, Bu! Walaupun, aku sadar saat itu seharusnya aku mengeluarkan ayah dari dalam mobil!" tegas Bagas sembari mengeluarkan air mata. Dia membayangkan kembali pertemuan dengan Adisti. Kala itu, mobil yang dikemudikan Bagas terjun ke dalam jurang. Keberuntungan masih ada dalam takdir Bagas, karena A
"Nilla belum tau, Bu ... kenapa Mas Bagas jadi seperti ini?" Dalam cemas Anilla menjawab pertanyaan Inggrid sembari menangis.Mata Inggrid masih membulat, menatap tajam pada Anilla. Netra Anilla tertunduk ketika Inggrid menatapnya seperti ini. Dia semakin merasa bersalah, tapi dia juga tidak tahu harus berbuat apa?"Bu, apa gak sebaiknya kita bawa saja, Mas Bagas ke rumah sakit?" saran Anilla."Gak perlu, kamu temani saja dia!" titah Ingrid, sembari berlalu meninggalkannya.Kini Anilla bingung sendiri, apa yang harus dia lakukan? Sedangkan, dia tidak tahu harus berbuat apa? "Mas, bangun! Kenapa jadi gini?" tanya Anilla, dia mencoba menggoyangkan lengan Bagas. Tapi, tubuh Bagas masih saja tidak merespon.Hati Anilla semakin cemas, membayangkan kondisi Bagas. Dia menyimpan tangan Bagas yang lemah di pipinya. "Kamu kenapa, Mas? Aku gak mau kayak gini, jangan bikin aku khawatir?" Wajah Anilla makin memucat karena Bagas tak kunjung b
Bibir Bagas bergerilya di antara kaki Anilla, peluh membasahi kedua insan yang terus bergumul menyatu, dan menyalurkan hasrat kerinduan mereka.Mungkin cerita mereka masih sama seperti novel benci jadi cinta yang masih gengsi menyampaikan bahwa sebenarnya mereka saling menyukai dan mencinta. Tetapi, kita tidak tahu kedepannya terpaan apa yang akan menimpa mereka? Karena sekarang pun keadaan memaksa mereka harus menyimpan segala cinta dan rindu."Mas! Jangan curang!" pekik Anilla ketika Bagas kembali menyesap dan memainkan daerah sensitif Anilla."Aku gak curang, Ann! Aku hanya ingin membawamu pada kenikmatan surga dunia, walau sesaat!" ujar Bagas di sela buaiannya. Untuk saat ini mereka sepakat melepaskan dulu semua masalah yang terjadi, biarlah segala kecewa terganti dengan sentuhan yang memabukkan."Mas! Jujur, aku menyukai dan mencintai kamu!" kata Anilla keluar begitu saja dari bibirnya ketika Bagas makin membuatnya tidak berdaya.Ba
"Siapa yang selingkuh? Itu Fikra, Pak. Tolong jangan bikin semua orang curiga pada kita!" tegas Anilla sembari menarik lengannya dari cengkeraman Bagas.Tanpa pamitan, Anilla langsung meninggalkan Bagas begitu saja. Tapi, bukan Bagas namanya kalau urusannya tidak terselesaikan."Ann! Aku mau bicara!" Bagas memekikkan suaranya. Sontak beberapa karyawan yang baru memasuki gerbang utama langsung fokus pada Bagas dan Anilla. Mereka seakan berbisik membicarakan atasannya.Walaupun, Bagas meneriakinya tetap saja Anilla terus berjalan tanpa menoleh padanya.Bagas berlari mengejar kemudian menarik tangan Anilla, dan membenamkan seluruh tubuh Anilla dalam pelukannya.Setelah tubuhnya menempel pada Anilla, Bagas berbisik, "Setelah meeting, datanglah ke ruanganku. Ada yang ingin aku tanyakan!" titah Bagas dengan wajah datar.Bagas melepaskan pelukannya ketika tamu dari Singapura, keluar dari mobil sedan mewah. "Nice to meet you, M
"Sayang, aku ikut juga, ya! Boleh gak?" rengek Adisti, matanya berkaca-kaca. "Buat apa, Dis! Kamu di rumah aja. Aku ada meeting, kalau kamu ikut pasti bosen," kata Bagas sembari membenarkan posisi dasi yang belum pas melingkar di lehernya."Tapi kenapa Anilla kamu ajak ke kantor?" tanya Adisti. Tangannya sibuk menyiapkan sepatu pantofel hitam kesukaan Bagas."Dis! Tolong jangan kayak anak kecil, Anilla 'kan masih karyawan kita. Dia yang pegang design dari perusahaan klien kita! Proyek ini bernilai milyaran, jadi tolong pahami!" pinta Bagas seraya meraih tas yang ada di atas kasur.Adisti tersenyum ketika mendengar proyek besar Bagas. Dalam benaknya terbayang apabila proyek ini berhasil, dia bisa membeli mobil baru, dan perhiasan yang bisa diperlihatkan pada teman sosialitanya."Oh! Kalau memang proyeknya gede, aku do'ain aja di rumah!" Sengaja Adisti melembutkan suara agar terlihat lebih manja. Dia menarik lengan Bagas, kemudian memelukn
Ketika melewati Anilla, Inggrid mendekatinya. Kebetulan Anilla tengah menyiapkan masakan untuk sarapan. Aroma dari berbagai rempah begitu menyeruak indera penciuman Inggrid. "Siapa yang masak ini?!" tanya Inggrid masih ketus. Matanya memindai setiap mangkuk dan piring yang telah terisi makanan yang menggugah selera.Kalimat Anilla terbata ketika menjawab pertanyaan Inggrid, "In-i-ini masakan Nilla, Bu. Maaf kalau Ibu tidak suka." "Emm... boleh ibu coba?" tanya Inggrid mulai mencair dengan senyuman tipis.Melihat senyuman tipis dari mertua yang belum dikenalnya, hati Anilla berbunga. Dengan cepat dia meraih sebuah piring, dan menyodorkannya pada Inggrid.Inggrid yang tadinya akan keluar dari rumah, terhenti dan kini duduk di meja makan bersama Anilla."Ibu, mau yang mana? Biar Nilla ambilkan?" tanya Anilla dengan suara lembut.Inggrid terkejut dengan lemah lembutnya Anilla, karena selama ini apabila dia datang ke rumah
Pagi hari ini Anilla terlihat segar, dia semakin cantik dengan dress krem dengan motif bunga-bunga kecil. Tangannya begitu cekatan memotong semua sayuran yang ada di atas meja.Walaupun, dia terlihat lelah. Tapi, senyuman terus tercipta. Kemarin malam dia meminta izin pada Adisti untuk menyiapkan sarapan dan keperluan Bagas. "Pagi, Sayang!" sapa Bagas sembari mengalungkan tangannya di pinggang Anilla. "Pagi juga, Mas!"Cup!Bagas mengecup leher Anilla yang terbuka. Anilla terkejut mendapat perlakuan seperti ini, otaknya benar-benar tak bisa berpikir. Aroma soft gentle dari tubuh Bagas, begitu menenangkan. Walaupun, beberapa kali Bagas mendaratkan kecupan, Anilla tidak menolaknya. Malahan dia begitu menikmati. "Sarapan pagi ini, kamu aja, ya? Hehehe," kekeh Bagas seraya menyimpan spatula yang dipegang Anilla di atas panci. Kemudian dia memutar kenop kompor pada posisi off."Maksud kamu apa, Mas?" tanya Anilla