Home / Romansa / Rahim Pinjaman / 2. Kamu Mau Mengulang lagi, Ann?

Share

2. Kamu Mau Mengulang lagi, Ann?

Author: Hisa NK
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Bunyi gemertak dari gigi Anilla terdengar lirih. Pagi ini semuanya hancur seakan memaksa impian pergi. Dia merasa bagai layangan yang d terbangkan dengan senang hati dan di biarkan setelah terputus.

"Kenapa, Mas gak jujur dari awal? Kalau mas jujur aku tidak akan menerima lamaran atau pinangan ini!" Air mata tak mampu lagi tertahan, memaksa terus keluar dari kelopak mata Anilla.

Bagas menatap sekilas pada wajah Anilla yang telah berubah menjadi sendu, kemudian dia melempar pandangan pada kolam ikan di depannya.

"Aku terpaksa, Ann. Aku minta maaf!" jawaban yang tegas dan singkat.

Anilla masih saja tertunduk, tak bergeming itulah yang dia lakukan. Hanya ucapan kutukan dan ratapan pada dirinya. Antara malas dan penasaran, akhirnya dia berkata kembali.

"Kenapa terpaksa? Kenapa aku yang d jadikan boneka kalian? Kenapa bukan yang lain?" tanya Anilla. Suaranya bergetar menahan rasa yang telah membuncah, ingin rasanya mengoyak wajah tampan Bagas pada saat ini juga. 

"Aku tidak tahu, Ann. Istriku yang memilih kamu! Maaf, Ann. Aku gak bisa menutupi kebohongan ini terus menerus!" jawab Bagas sembari melipat kedua tangannya di atas dada.

Hahahaha ...

Anilla tertawa keras didepan Bagas.

"Seorang CEO bisa kalah oleh istrinya dan tega membuat gadis lainnya terluka! Bijaksana sekali, Anda!" ejek Anilla. Mata membulat ketika berkata, wajah ayunya kini berubah menjadi merah padam, keringat mulai mengucur dari dahinya.

Mendengar ejekan Anilla, jiwa laki-lakinya terusik. Dia merasa Anilla tidak berhak mengejek keputusannya.

Brak!

Bagas memukul meja makan dengan kedua tangannya. "Jangan sekali-kali mengejek keputusanku, Anilla Prameswari!"

"Ingat! Aku sudah memberikan semua keinginan Ambu dan Ayah kamu, 'kan. Jadi ikuti apa yang sudah kita sepakati!"

Dengan wajah memerah Anilla kembali teringat tiga hari sebelum lamaran. Kedua orangtuanya, ingin membuktikan kesungguhan Bagas. Mereka meminta sebuah mobil minibus keluaran terbaru. Karena Anilla tinggal di perkampungan yang masih mengedepankan harta untuk penghormatan status sosial.

Kalaulah kejadiannya tidak seperti ini, dia memilih menerima pinangan dari Arif anak juragan beras. 

"Jadi, apa keputusan kamu? Tetap bersama kami, sampai akhirnya kamu melahirkan anakku atau pergi dengan rasa malu karena aku bisa mengambil semua barang yang telah aku berikan kepada keluargamu!" Kini giliran Bagas yang terkesan mengejek dan memojokkan Anilla.

Segala rutukan terus menggelayut dalam pemikiran Anilla. Memang benar apa yang dikatakan Bagas, kalau dia memilih pergi, bagaimana kondisi keluarganya yang akan menahan malu. Dia tidak sanggup membayangkan ayah dan ambu terkena serangan jantung. Belum lagi ceritanya akan menjadi bahan gunjingan perkumpulan ibu-ibu yang setia berkumpul tiap pagi mengelilingi mang Asep si tukang sayur.

Setelah berpikir, akhirnya Anilla membuka mulutnya, "Jadi apa yang harus aku lakukan untuk kamu, Mas?" tanyanya singkat, kini tak ada lagi Anilla yang manja. Suaranya terdengar tegas tanpa basa-basi.

"Ehm! Rupanya kamu berubah dengan cepat, ya, Anilla!" ujar Bagas sembari mengusap-usap dagunya.

"Sudah, Mas. Jangan banyak basa-basi, apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Apa aku harus menjadi istri yang terhina dihadapanmu ataukah menjadi istri pembangkang yang akan mencelakai kamu dan istri kamu, Mas!" bentak Anilla yang sudah merasa tidak nyaman berhadapan dengan Bagas.

"Apa? Apa yang tengah kamu katakan, Anilla Prameswari? Lancang kamu! Aku sudah menjadi suami kamu, ingat itu!" Bariton Bagas, berhasil mengundang banyak tatapan orang-orang di sekitarnya. Bagas menurunkan suaranya ketika ada seorang bule yang berdehem cukup keras.

"Suami? Suami yang hanya tertulis di KUA saja, 'kan?" tanya Anilla matanya semakin membulat sebagai simbol perlawanan. Dia tidak ingin menjadi gadis yang hanya bisa diam ketika disakiti suaminya seperti dalam cerita novel yang dia baca. Dia tidak ingin terhina walaupun memang saat ini dia merasa terhina.

"Ann, kata-katanya tolong dijaga! Bukannya gadis dari kota Bandung selalu menjaga tata krama?" kilah Bagas.

"Mau dari Bandung ataupun Papua ketika dia tengah disakiti, mereka tidak akan tinggal diam! Dan asal kamu tahu, Mas, aku akan mengikuti semua yang kamu inginkan, hanya karena orang tuaku saja. Tolong camkan itu!" tegas Anilla.

Kruk ... Kruk ... Kruk..

Perut Anilla berbunyi kembali. "Ish, ini perut, tidak bisa diajak berkerja sama!" rutuk Anilla di dalam hatinya.

Bagas tersenyum pada Anilla, "Makan dulu! Kalau marah-marah terus, cacing dalam perut kamu makin lapar!" ejek Bagas sembari memperlihatkan senyum smrik-nya.

Dengan mendengkus, Anilla mulai memasukkan makanan ke dalam mulut. Walaupun, hatinya lirih memikirkan hal yang baru saja terjadi. "Kuat, Anilla! Kamu harus kuat!" lirih Anilla dalam hatinya. Mencoba untuk kuat, namun tetap saja Anilla hanya gadis yang pasti menangis ketika tersakiti.

Berbeda dengan Bagas, bibirnya terus tersenyum melihat Anilla yang tengah makan dalam keadaan marah. Ada rasa yang mulai menggelitik hatinya. Dia tidak menyangka kalau Anilla adalah gadis yang punya pendirian. 

"Bisa juga nih, gadis kecil! Aku makin penasaran akan sikapnya. Memang Adisti tidak salah pilih," gumamnya dalam hati sembari memasukan potongan beef bacon.

***

Setelah sarapan, mereka kembali ke lantai atas. Tatapan dan sikap Anilla kini berubah drastis. Tak ada kata-kata sapaan dan manja yang terucap dari bibirnya. Dengan kasar Anilla membereskan dan memasukkan baju ke dalam travel bag. 

Karena merasa bersalah, Bagas mendekati Anilla dan duduk di sampingnya. "Kamu masih marah, Ann?" tanya Bagas.

Anilla menoleh sebentar pada Bagas dan segera bangkit untuk berdiri. Namun, ketika Anilla berdiri dan melangkahkan kakinya. Bagas menarik tubuh Anilla ke atas kasur dan mengunci dengan tubuhnya. Anilla bergerak dan berontak ketika kedua tangan Anilla ditarik ke atas oleh Bagas.

"Lepas, Mas!" Matanya membulat. 

Bagas tersenyum menatap pupil Anilla yang semakin membesar. "Bukannya kemarin malam, kamu menikmati setiap sentuhanku, Ann!" ejek Bagas sembari memiringkan kepala dan mendekati bibir ranum Anilla. 

Napas halus terasa di wajah Anilla. Tapi, kini hanya ada rasa benci di dalam hatinya. Dia merasa dipermainkan oleh manusia yang kini telah sah sebagai suaminya.

"Kamu menginginkannya lagi, Ann?" Suara Bagas tercekat dan tersengal.

"Tidak! Aku sudah tidak tertarik lagi, yang ada dalam hati ini bukan rasa cinta tapi hanya ada benci!" tegas Anilla yang terus berontak di bawah tubuh Bagas.

"Semakin kamu bergerak, maka keinginanku semakin membuncah, Ann. Layani aku!" Bagas langsung menyambar bibir Anilla dan memagutnya dengan kasar.

Pagutan Bagas, tak dibalas oleh Anilla, dia sudah tidak menaruh rasa hormat ataupun rasa cinta pada suaminya.

"Kenapa diam saja, Ann? Bergeraklah!" ujar Bagas, bibirnya kini merambat menjelajahi leher jenjang Anilla.

Walaupun, dijamah oleh laki-laki tampan dan menyandang gelar suami. Tetap saja dia membencinya, kini perasaannya semakin hancur. 

Dia teringat ketika ibunya selalu menggoda ketika Bagas pertama kali datang ke rumahnya. Banyak tetangga yang membicarakan, keberuntungan Anilla. Masih terngiang dalam benaknya, ketika dia melewati jajaran ibu-ibu, mereka memuji Anilla setinggi langit, "Neng Anilla mah beruntung sudah cantik yang datang melamar banyak! Orangnya tampan-tampan terus teh pada kaya! Pada bawa mobil gitu!" Saat itu Anilla pun berpikir sama. Dia merasa menjadi perempuan yang penuh dengan segala keberuntungan. Tapi, sekarang merasa menjadi gadis yang paling bodoh.

Lelehan air mata kembali mengalir ketika Bagas menarik paksa baju yang dikenakannya. Seharusnya, Anilla mempersembahkannya dengan senang hati. Tapi, rasa pedih yang dia rasakan saat ini mulai menguasainya. Membayangkan, ibunya yang akan malu ketika pernikahan yang baru dibangunnya ini gagal, hati Anilla semakin lirih. 

"Ann, jangan diam saja! Bukankah berdosa, ketika kamu tidak melayani suami kamu, Anilla Prameswari?" tanya Bagas disela pagutannya.

Related chapters

  • Rahim Pinjaman   3. Tuhan! Kenapa Harus Seperti ini?

    "Berdosa!" bentak Anilla dengan suara tinggi. Seperti ada kekuatan super meliputinya, dia bangkit sembari membanting tubuh Bagas ke atas kasur.Bugh!Suara tubuh Bagas terpental. Tubuhnya terpelanting hampir ke ujung kasur dan punggungnya membentur dinding."Ann! Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu sudah melampaui batas, Anilla Prameswari!" Dia meninggikan suaranya sembari membulatkan mata. Bukan hanya tatapannya saja yang tajam, namun rahangnya pun ikut mengeras, menahan segala amarah dalam jiwanya.Anilla mencoba menjauhi Bagas, perlahan dia memundurkan beberapa langkah untuk menjauhi Bagas. Namun, apalah daya, dengan cepat Bagas mampu menarik kembali Anilla, dalam pelukannya."Tolong, Mas! Jangan jadi pemaksa seperti ini! Kalau kamu masih seperti ini, aku akan lari dan loncat dari gedung ini!"Hahahaha!Tawa sumbang penuh ejekan terdengar dari bibir Bagas yang mengira bahwa kata-kata Anilla hanya gertakan."A

  • Rahim Pinjaman   4. Kalut Tersimpan Luka

    Perjalanan hidup Anilla memang membingungkan. Sesekali dia membentur-benturkan kepala pada jok mobil, sembari memejamkan mata. Tangan kanan memijat bagian antara kedua alisnya. Dalam benak hanya memikirkan cara, supaya orangtuanya tidak mengetahui permasalahan yang tengah terjadi. Hati Anilla semakin pedih ketika dia harus berbohong. Tidak pernah sekalipun, dia berkata bohong di depan ayah dan ambu-nya. Namun, sekarang mau tidak mau dia harus melakukannya. "Ya Alloh! Ampuni segala dosa yang telah hamba perbuat!" lirih Anilla. Tanpa sadar lelehan air mata keluar dari tiap sudut matanya. Namun, dia tidak berani untuk membuka mata. Dia terus berpura-pura tertidur di dalam mobil sedan hitam milik Bagas. Bagas menoleh pada Anilla yang sedari tadi hanya diam seribu bahasa. Lelehan-lelehan air mata Anilla kini mulai mengusik rasa bersalahnya. "Kenapa aku harus jadi orang sejahat ini? Sebenarnya aku tidak ingin menyakiti kamu, Ann. Maafkan aku!" gumamnya dalam batin. "Ann! K

  • Rahim Pinjaman   5. Mencoba Mencintai Kamu

    "Di mana Ayah sama Ambu, Mang? Cepat katakan!" bentak sembari menangis. Kini tangisannya seakan tak mampu terkendali. Kedua tangannya mencengkram bahu Mamang dan tanpa sadar kini tubuhnya duduk di atas lantai dingin. Dia menangis meraung-raung, ditambah suaranya yang semakin lirih. Paman Anilla hanya mengeryitkan dahinya, ketika melihat kondisi Anilla yang tak pernah bersikap seperti ini. Dengan lembut dia menurunkan tangan Anilla, "Neng Anilla, dengarkan, Mamang! Mamang mah baru pertama lihat neng Anilla nangis seperti ini!" telisik si Mamang karena sepengatahuan dia, kehidupan Anilla sangat jauh dari kata sedih dan susah. "Anilla takut mereka sakit, Mang!" teriak Anilla meluapkan segala kekesalannya. Ya, mungkin dia menangis bukan hanya khawatir pada orang tuanya, tetapi lebih pada menyalurkan rasa marah dan sedih yang dia rasakan pada saat ini. Bagas tak berani mendekati Anilla karena dia pun sadar, memberikan ketenangan pada Anilla hanya membuatnya semakin terluk

  • Rahim Pinjaman   6. Cinta Untuk Adisti

    Setelah membereskan pakaian Anilla dan beberapa barang kesayangannya. Mereka memutuskan langsung pulang ke rumah Bagas. Dalam hati, Anilla hanya berharap baik-baik saja. Meskipun rasa cemas terus bergelayut dalam pikirannya. Cemas membayangkan kalau istri pertama Bagas akan menjambak rambutnya yang selalu dia rawat. Membayangkan pukulan demi pukulan akan dia terima. Dengan menghela napas panjang Anilla hanya bisa pasrah. "Nasi sudah jadi bubur, Anilla. Jalani semua ini dengan ikhlas!" batin Anilla berkata.Perjalanan yang terasa panjang, pasalnya baru kali ini Anilla datang ke rumah Bagas. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, selama perjalanan benaknya hanya diliputi oleh semua pemikiran yang belum terjadi. Memang karakter Anilla seperti itu, dia gadis yang selalu terlihat ceria dan tenang padahal kenyataannya dia seorang gadis yang selalu merasa cemas dan manja."Kamu mau makan dulu, Ann?" Bariton Bagas memecah keheningan.Netra Anilla beralih pad

  • Rahim Pinjaman   7. Haruskah Bertahan?

    Mobil Bagas terparkir di rumah elite dengan design modern, cat warna putih mendominasi rumah tersebut. Taman terhampar mewah dengan rumput hijau yang terpelihara. Beberapa mobil terparkir di rumah besar. Seharusnya Anilla bahagia, ketika melihat segala kemewahan yang ditampilkan di depan mata. Namun, sekarang lihatlah kini dia hanya bisa menundukkan pandangannya. Tak bergeming ketika Bagas mengajaknya masuk ke dalam rumah. "Ayo, masuk, Ann!" ajak Bagas. Dia menunjuk dengan wajahnya. Anilla hanya tersenyum sekilas. Melihat suaminya, yang kini telah menjadi imamnya. Dia mengiringi langkahnya dengan do'a-do'a, hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja. Bagas melangkah melewati Anilla, sedangkan Anilla berjalan di belakangnya. Bagas mengetuk pintu dan keluar lah seorang perempuan cantik dengan riasan natural. Tanpa mempedulikan Anilla, Bagas langsung memeluk dan mencium istri pertamanya ini. Jangan tanya lagi kini hati Anilla begitu sakit, terasa ribuan belati menghu

  • Rahim Pinjaman   8. Hati Tercabik

    "Tega kamu, Mas! Setiap detik kamu menghancurkan hidupku, terakhir kamu berkata akan berusaha mencintai aku! Tapi, sekarang kata-katamu bagai belati yang menusuk hati ini. Kamu terang-terangan tidak akan membagi cintamu untukku!" lirih Anilla, dia menarik kakinya dan melipatnya sedikit. Ingin rasanya berteriak atau menjambak kepala mereka yang dengan sengaja melukai dirinya."Tak ada lagi yang bisa aku lakukan, aku hanya bisa diam dalam sunyi. Membayangkan kalian selalu bersama sedangkan aku hanya jadi boneka patung yang terpajang tanpa arti," gumam Anilla seraya menangisi semua kejadian yang baru saja dilihat dan didengarnya.Perlahan dia membalikkan tubuh ringkihnya karena tidak sanggup lagi menatap jelas suami dan sahabatnya, berpelukan di depan mata. "Kapan cintamu akan berlabuh pada hatiku, Mas? Apakah aku sanggup melihat dan menjalani semua ini? Aku menyerah, aku lemah, aku hanya bisa pasrah menunggu kepastian dari takdir Illahi!" lirihnya kembali terdengar karen

  • Rahim Pinjaman   9. Aku Mulai Menyukaimu

    "Mas, sudahi! Aku tidak mau menyakiti Adisti! Aku bilang lepas!" bentak Anilla dengan tatapan tajam. "Aku masih menikmatinya, Sayang!" rengek Bagas sembari menempelkan bibirnya pada bahu Anilla. "Tolong, Mas! Mengerti keadaan kami berdua. Walaupun, pernikahan ini saran Adisti tapi dia juga perempuan yang mudah terluka!" tegas Anilla dengan nada tegas. Dengan wajah kesal Bagas bangkit dari tubuh Anilla, kemudian bersandar di ranjang. "Aku ingin belajar mencintai kamu, Ann. Dan kamu sudah membuatku mabuk oleh wangi tubuhmu!" Suaranya semakin manja. Sesaat Bagas menoleh pada Anilla, dia mengembangkan senyuman ketika melihat rambut Anilla yang berantakan karena ulahnya. Dengan lembut dia merapihkan rambut Anilla. "Kamu cantik, Ann!" kilah Bagas yang mampu membuat tubuh Anilla melayang tinggi, terasa ribuan kupu-kupu menari indah di dalam perutnya. Wajah Anilla menoleh sesaat pada Bagas, "Sudah, Mas! Jangan gombal deh, kita temui Adisti! Di mana kamar mandinya?" t

  • Rahim Pinjaman   10. Cintai Dia Tanpa Rasa!

    "Menurutlah! Kalau kamu masih membantah... maka ganjarannya, semua harta yang aku berikan pada ayah dan ambu akan aku tarik kembali! Camkan itu!" bentak Bagas setengah berbisik tepat di samping kanan daun telinga Anilla.Mendengar kata-kata Bagas yang terkesan menyombongkan diri, amarah kembali membuncah dalam batin Anilla. "Silakan ambil kembali semua harta yang telah Anda berikan. Tapi ingat kalau benih ini tumbuh menjadi janin, jangan coba-coba mengambilnya dariku!" ujar Anilla seraya membalikkan tubuh. Matanya kini menatap Bagas dengan tatapan tajam tanpa berkedip. Dalam benaknya hanya ada kata benci ketika Bagas selalu mengancam kelemahannya.Plak!Plak!Dua tamparan keras kini mendarat di pipi mulus Anilla. Sesaat Anilla menatap Bagas dengan tatapan penuh tanya. "Apa Adisti diperlakukan seperti ini juga?""Sakit? Tamparan ini adalah hukuman supaya kamu tidak berkata seperti itu lagi! Aku ini suami kamu, Anilla! Dosa hukumn

Latest chapter

  • Rahim Pinjaman   20. Kegilaan Adisti!

    Empat orang suster membawa Adisti masuk ke ruangan UGD. Sedangkan, Bagas, dan Anilla bergegas mengikuti dari belakang.Setelah sampai di UGD, mereka segera memberikan pertolongan pada Adisti. Karena luka Adisti tidak terlalu serius, dokter menyarankan agar Adisti dipindahkan ke ruang rawat inap. Dengan cepat Bagas menyetujuinya. Untuk Adisti, dia tidak pernah memikirkan keuangan yang akan dia keluarkan.Setelah memasuki ruang inap, Anilla main mengkhawatirkan kondisi Bagas yang terlihat kusut, dan lelah."Mas." Anilla mendekati Bagas. Sebelum menjawab, Bagas menoleh pada Anilla sembari mengulas senyuman. "Kenapa, Ann?" "Istirahat dulu!" titah Anilla sembari menyimpan tangan di bahu Bagas.Bagas hanya menggelengkan kepala. Kemudian dia menunduk di atas ranjang Adisti, dan melipat kedua tangannya sebagai tumpuan."Aku harus nunggu Adisti!" jawab Bagas tanpa menatap Anilla.Rasa sakit dalam hati Anilla kembali me

  • Rahim Pinjaman   19. Kenapa Seperti Ini?

    "Aku gak tau dengan semua rasa ini, Ann! Tolong jangan desak aku!" teriak Bagas. Dadanya terengah karena emosi yang semakin tak terkendali.Netra Anilla terus menatap Bagas tanpa berkedip. Dia berpikir apa yang terjadi pada Bagas benar-benar tak masuk akal. Sebesar apa cintanya pada Adisti, hingga dia sendiri pun tidak tahu apa yang tengah menimpanya? Pertanyaan terus berputar dalam benak Anilla."Aku sadar diri, Mas. Mungkin Mas Bagas bersikap seperti ini ... karena kamu terlalu cinta pada Adisti!" lirih Anilla sembari membalikkan tubuhnya ke depan dengan tatapan kosong."Jangan bersikap seperti ini, Ann! Aku juga mencintai kam...," ucapan Bagas terhenti ketika jari telunjuk Anilla menempel di atas bibirnya."Jangan diteruskan! Aku tau, kamu berkata hanya untuk mengobati rasa cintaku yang tak pernah terbalas," keluh Anilla seraya menurunkan jarinya.Tanpa berkata, mata elang Bagas terus menatap Anilla menyaratkan seribu bahasa yang tak b

  • Rahim Pinjaman   18. Kenapa Sikapmu Selalu Berubah?

    "Kamu masih gak sadar, juga?!" bentak Inggrid setelah menampar Bagas. Netra Bagas turun ke bawah, tak berani menatap Inggrid yang tengah dikuasai amarah."Maafkan Bagas, Bu! Bagas gak bisa nolak permintaan Adisti, apalagi sekarang dia sendirian," jawab Bagas.Inggrid kembali mendengkus kesal, dia mendekati kursi yang diduduki Bagas. "Kenapa kamu selalu melakukan apa yang Adisti minta? Apa karena empat tahun yang lalu dia menyelamatkan kamu?!" Suara Inggrid masih naik satu oktaf, terlihat dadanya turun naik. Terkadang dia mendengkus kesal sembari melipat tangannya di atas dada."Ya, Bu! Dan kalau waktu itu, Adisti gak datang ... aku pasti udah mati, Bu! Walaupun, aku sadar saat itu seharusnya aku mengeluarkan ayah dari dalam mobil!" tegas Bagas sembari mengeluarkan air mata. Dia membayangkan kembali pertemuan dengan Adisti. Kala itu, mobil yang dikemudikan Bagas terjun ke dalam jurang. Keberuntungan masih ada dalam takdir Bagas, karena A

  • Rahim Pinjaman   17. Kemarahan Inggrid

    "Nilla belum tau, Bu ... kenapa Mas Bagas jadi seperti ini?" Dalam cemas Anilla menjawab pertanyaan Inggrid sembari menangis.Mata Inggrid masih membulat, menatap tajam pada Anilla. Netra Anilla tertunduk ketika Inggrid menatapnya seperti ini. Dia semakin merasa bersalah, tapi dia juga tidak tahu harus berbuat apa?"Bu, apa gak sebaiknya kita bawa saja, Mas Bagas ke rumah sakit?" saran Anilla."Gak perlu, kamu temani saja dia!" titah Ingrid, sembari berlalu meninggalkannya.Kini Anilla bingung sendiri, apa yang harus dia lakukan? Sedangkan, dia tidak tahu harus berbuat apa? "Mas, bangun! Kenapa jadi gini?" tanya Anilla, dia mencoba menggoyangkan lengan Bagas. Tapi, tubuh Bagas masih saja tidak merespon.Hati Anilla semakin cemas, membayangkan kondisi Bagas. Dia menyimpan tangan Bagas yang lemah di pipinya. "Kamu kenapa, Mas? Aku gak mau kayak gini, jangan bikin aku khawatir?" Wajah Anilla makin memucat karena Bagas tak kunjung b

  • Rahim Pinjaman   16. Bertepuk Sebelah Tangan

    Bibir Bagas bergerilya di antara kaki Anilla, peluh membasahi kedua insan yang terus bergumul menyatu, dan menyalurkan hasrat kerinduan mereka.Mungkin cerita mereka masih sama seperti novel benci jadi cinta yang masih gengsi menyampaikan bahwa sebenarnya mereka saling menyukai dan mencinta. Tetapi, kita tidak tahu kedepannya terpaan apa yang akan menimpa mereka? Karena sekarang pun keadaan memaksa mereka harus menyimpan segala cinta dan rindu."Mas! Jangan curang!" pekik Anilla ketika Bagas kembali menyesap dan memainkan daerah sensitif Anilla."Aku gak curang, Ann! Aku hanya ingin membawamu pada kenikmatan surga dunia, walau sesaat!" ujar Bagas di sela buaiannya. Untuk saat ini mereka sepakat melepaskan dulu semua masalah yang terjadi, biarlah segala kecewa terganti dengan sentuhan yang memabukkan."Mas! Jujur, aku menyukai dan mencintai kamu!" kata Anilla keluar begitu saja dari bibirnya ketika Bagas makin membuatnya tidak berdaya.Ba

  • Rahim Pinjaman   15. Cemburukah?

    "Siapa yang selingkuh? Itu Fikra, Pak. Tolong jangan bikin semua orang curiga pada kita!" tegas Anilla sembari menarik lengannya dari cengkeraman Bagas.Tanpa pamitan, Anilla langsung meninggalkan Bagas begitu saja. Tapi, bukan Bagas namanya kalau urusannya tidak terselesaikan."Ann! Aku mau bicara!" Bagas memekikkan suaranya. Sontak beberapa karyawan yang baru memasuki gerbang utama langsung fokus pada Bagas dan Anilla. Mereka seakan berbisik membicarakan atasannya.Walaupun, Bagas meneriakinya tetap saja Anilla terus berjalan tanpa menoleh padanya.Bagas berlari mengejar kemudian menarik tangan Anilla, dan membenamkan seluruh tubuh Anilla dalam pelukannya.Setelah tubuhnya menempel pada Anilla, Bagas berbisik, "Setelah meeting, datanglah ke ruanganku. Ada yang ingin aku tanyakan!" titah Bagas dengan wajah datar.Bagas melepaskan pelukannya ketika tamu dari Singapura, keluar dari mobil sedan mewah. "Nice to meet you, M

  • Rahim Pinjaman   14. Sudah Berani Selingkuh?

    "Sayang, aku ikut juga, ya! Boleh gak?" rengek Adisti, matanya berkaca-kaca. "Buat apa, Dis! Kamu di rumah aja. Aku ada meeting, kalau kamu ikut pasti bosen," kata Bagas sembari membenarkan posisi dasi yang belum pas melingkar di lehernya."Tapi kenapa Anilla kamu ajak ke kantor?" tanya Adisti. Tangannya sibuk menyiapkan sepatu pantofel hitam kesukaan Bagas."Dis! Tolong jangan kayak anak kecil, Anilla 'kan masih karyawan kita. Dia yang pegang design dari perusahaan klien kita! Proyek ini bernilai milyaran, jadi tolong pahami!" pinta Bagas seraya meraih tas yang ada di atas kasur.Adisti tersenyum ketika mendengar proyek besar Bagas. Dalam benaknya terbayang apabila proyek ini berhasil, dia bisa membeli mobil baru, dan perhiasan yang bisa diperlihatkan pada teman sosialitanya."Oh! Kalau memang proyeknya gede, aku do'ain aja di rumah!" Sengaja Adisti melembutkan suara agar terlihat lebih manja. Dia menarik lengan Bagas, kemudian memelukn

  • Rahim Pinjaman   13. Tak Punya Rasa Dan Hati!

    Ketika melewati Anilla, Inggrid mendekatinya. Kebetulan Anilla tengah menyiapkan masakan untuk sarapan. Aroma dari berbagai rempah begitu menyeruak indera penciuman Inggrid. "Siapa yang masak ini?!" tanya Inggrid masih ketus. Matanya memindai setiap mangkuk dan piring yang telah terisi makanan yang menggugah selera.Kalimat Anilla terbata ketika menjawab pertanyaan Inggrid, "In-i-ini masakan Nilla, Bu. Maaf kalau Ibu tidak suka." "Emm... boleh ibu coba?" tanya Inggrid mulai mencair dengan senyuman tipis.Melihat senyuman tipis dari mertua yang belum dikenalnya, hati Anilla berbunga. Dengan cepat dia meraih sebuah piring, dan menyodorkannya pada Inggrid.Inggrid yang tadinya akan keluar dari rumah, terhenti dan kini duduk di meja makan bersama Anilla."Ibu, mau yang mana? Biar Nilla ambilkan?" tanya Anilla dengan suara lembut.Inggrid terkejut dengan lemah lembutnya Anilla, karena selama ini apabila dia datang ke rumah

  • Rahim Pinjaman   12. Rahasia Di Balik Kesetiaan

    Pagi hari ini Anilla terlihat segar, dia semakin cantik dengan dress krem dengan motif bunga-bunga kecil. Tangannya begitu cekatan memotong semua sayuran yang ada di atas meja.Walaupun, dia terlihat lelah. Tapi, senyuman terus tercipta. Kemarin malam dia meminta izin pada Adisti untuk menyiapkan sarapan dan keperluan Bagas. "Pagi, Sayang!" sapa Bagas sembari mengalungkan tangannya di pinggang Anilla. "Pagi juga, Mas!"Cup!Bagas mengecup leher Anilla yang terbuka. Anilla terkejut mendapat perlakuan seperti ini, otaknya benar-benar tak bisa berpikir. Aroma soft gentle dari tubuh Bagas, begitu menenangkan. Walaupun, beberapa kali Bagas mendaratkan kecupan, Anilla tidak menolaknya. Malahan dia begitu menikmati. "Sarapan pagi ini, kamu aja, ya? Hehehe," kekeh Bagas seraya menyimpan spatula yang dipegang Anilla di atas panci. Kemudian dia memutar kenop kompor pada posisi off."Maksud kamu apa, Mas?" tanya Anilla

DMCA.com Protection Status