Jessi menempelkan jari telunjuk di depan bibir, menyuruh Sabrina jangan bicara. Sabrina menurut, membiarkan Jessi yang berbicara dengan ibu Renata. "Ha-hallo, Ma?" timpal Jessi mengubah posisi duduk agar lebih mendalami perannya. "Sabrina, Mama dengar kamu udah pulang dari rumah sakit. Apa benar?" Suara ibu Renata terdengar sumringah. Jessi menoleh pada kembarannya, tetap menyuruh Sabrina agar jangan bicara apapun. "Benar, Ma.""Syukurlah. Sabrina, apa kamu masih marah sama Mama? A-apa kamu enggak mau maafin Mama, Nak?" Ibu Renata berbicara. Suaranya terbata-bata. Tampak kesedihan. Di dalam hati, Sabrina merasa kasihan pada ibu mertua. Ia ingin sekali menimpali pertanyaan ibu Renata tapi Jessi melarangnya. "Hm ... gimana ya? Saya cuma takut kalau Mama marah-marah lagi. Nyakitin saya lagi."Jessi tahu kalau Sabrina selalu menyebut dirinya dengan panggilan 'Saya.'Sabrina hanya merunduk, tidak dapat berkutik sedikit pun. Dia mengerti, yang dilakukan Jessi saat ini untuk kebaikannya.
Sebelum keluar apartemen, Jessi menemui Mbak Tuti. Asisten rumah tangga Darren itu mengira kalau yang bicara dengannya adalah Sabrina padahal Jessi. "Mbak Tuti jangan kemana-mana! Jangan ninggalin adikku sendirian di apartemen ini! Oke?"Mendengar susunan kalimat yang diucapkan Jessi, barulah Mbak Tuti menyadari yang bicara dengannya bukan Sabrina melainkan Jessi. "Baik, Non Jessi."Jessi melenggang keluar dari apartemen Darren sebagai Sabrina. Dia akan menguji sikap ibu Renata . Apa benar wanita tua itu sudah merubah sikapnya menjadi lebih baik atau masih sama saja?Jessi datang ke rumah Wirawan menggunakan taksi online. Setelah di halaman rumah mewah nan megah itu, Jessi atau yang sedang berpura-pura menjadi Sabrina itu turun dari taksi dengan senyuman manis. Usai membayar ongkos taksi, Jessi melangkah ke depan pintu rumah, menekan bel berulang kali. Tak berselang lama, Mbok Darmi muncul, membuka pintu. "Masya Allah Non Sabrina? Alhamdulillah sekarang NOn sudah sehat lagi." Jes
"Nyonya maaf, itu ... itu kedua pipi Nyonya kenapa?" tanya mbok Darmi melihat kedua pipi majikannya yang kemerahan. Kemerahan yang mirip bekas tamparan seperti Sabrina dulu. "Enggak apa-apa. Mbok, tolong siapin daging sapi, daging ayam, kupasin kentang dan juga hm ...." Ibu Renata yang usianya sudah tidak lagi muda berpikir. Mengingat permintaan wanita yang dianggap Sabrina. "... Brokoli, kol, kembang kol, telur. Pokoknya bahan-bahan untuk membuat sayur capcay. Kalau kentang mau dibuat perkedel. Mbok tolong bantu saya.""Baik, Nyonya."Jadilah, hari itu ibu Renata berkutat di dapur. Memasak menu makanan untuk menantu keduanya. Sekitar dua puluh menit berlalu, Jessi yang brpura-pura menjadi Sabrina datang ke dapur. "Non Sabrina, ada yang bisa Mbok bantu?" tanya Mbok Darmi yang menyadari kedatangan Jessi. Ibu Renata yang mengaduk daging rendang menoleh sekilas. "Sabrina, kamu jangan ke dapur. Kembali lagi ke kamarmu atau tunggu di ruang keluarga. Kalau masakannya sudah matang, nanti
Sambungan telepon terputus. Bersamaan dengan itu, suara ketukan pintu terdengar. Jessi cepat-cepat mengenakan jilbab lagi. Ia tak mau ketahuan ibu Renata atau Mbok Darmi kalau dia bukanlah Sabrina melainkan Jessi. Setelah dirasa rapi, Jessi baru melangkah ke pintu kamar. Untung saja, tadi Jessi sempat menguncinya. "Ada apa, Mbok?" tanya Jessi pada wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad. "Maaf, Non kalau Mbok ganggu. Non Sabrina dipanggil nyonya besar untuk makan siang bersama," kata mbok Darmi membungkukkan setengah badan. "Iya, Mbok. Sebentar lagi saya ke sana. Mbok juga makan bersama kami, ya?""Ndak usah, Non. Mbok nanti saja makannya.""Ya udah deh."Mbok Darmi permisi, kembali lagi ke dapur. Tidak berselang lama, Jessi sudah berada di ruang meja makan. Di sana rupanya sudah ada ibu Renata yang tersenyum lebar menyambut kedatangan wanita yang dianggap Sabrina. "Wow ... aromanya sangat lezat. Ini semua Mama yang masak kan?" telisik Sabrina menarik kursi, duduk di
"Ndak, Nyonya. Menurut Mbok biasa saja."Jawaban mbok Darmi membuat ibu Renata menghela napas berat. Kalau Mbok Darmi berpikir tidak ada yang berbeda, maka dia pun tidak boleh berpikir macam-macam. Sudah sukur Sabrina mau memaafkan kesalahan dan kejahatannya. "Mbok, tolong pijatin saya. Pegal sekali kaki dan pinggang ini.""Baik, Nyonya."Ibu Renata dan Mbok Darmi masuk ke dalam rumah. Sebetulnya mbok Darmi juga merasa sikap Sabrina berbeda dari biasanya. Tapi, dia tidak mungkin berkata demikian. Mbok Darmi khawatir nantinya ibu Renata melakukan kekerasan lagi. Sampai di apartemen Sabrina, Jessi langsung mengganti pakaian. Beruntung, Darren belum pulang. Sabrina yang sudah menunggu kepulangan Jessi tak sabar ingin mendengar cerita tentang ibu Renata dari kembarannya. "Jes, gimana keadaan mama?" tanya Sabrina ketika Jessi baru mengganti pakaiannya di kamar tamu. Di apartemen itu ada tiga kamar. Satu kamar pribadi Sabrina dan Darren. Satu kamar tamu dan satunya kamar mbak Tuti. "Seb
Setelah pekerjaan selesai, Ibu Anita berselancar di media sosial. Dia membuka salah situs berita tanah air. Ingin mengetahui berbagai kejadian yang tengah viral belakangan ini. Lumayan, jadi salah satu obat stress menghadapi pekerjaan dan juga tingkah Angelica. Namun, baru saja beberapa menit melihat laman tersebut, ibu Anita dikejutkan oleh penemuan jasad yang berada di dalam mobil di daerah pelabuhan. Wanita itu menelan saliva ketika artikel yang membahas tentang penemuan mobil beserta jasad tersebut. Ibu Anita semakin terkejut membaca nama identitas jasad yang ditemukan itu. Sudah dapat dipastikan kalau jasad itu adalah lelaki yang dibu nuh anaknya. Ibu Anita segera merapikan beberapa berkas di atas meja. Ingin segera pulang sampai rumah dan menemui Angelica. Jika polisi sudah menemukan jasad lelaki yang dibunuh anaknya, kemungkinan besar dugaan siapa pelakunya sudah dikantongi. Sepanjang jalan menuju tempat tinggalnya, ibu Anita tak henti berdoa. Semoga saja polisi belum mengeta
"Iya, polisi akan menangkapmu!" Kedua mata ibu Anita melotot menjawab pertanyaan anak semata wayangnya. "Mama kok jawabnya gitu? A-aku kan takut, Ma ...." Suara Angelica terdengar bergetar. Jantungnya pun berdetak lebih cepat membayangkan hidup di dalam jeruji besi. "Makanya sekarang kamu cepat pergi dari rumah ini!" "O-oke, Ma! Aku pergi sekarang. Aku mau ... mau kemana, ya? Ma, tolongin aku. Aku harus pergi ke mana?" Pada akhirnya Angelica memelas, meraih kedua telapak tangan ibu Anita, memohon pertolongan pada wanita yang telah melahirkannya. Namun, genggaman tangan Angelica dihempas begitu saja. Sekarang ibu Anita tidak tahu harus berbuat apa? Pikirannya benar-benar kacau. Tidak bisa berpikir jernih. "Terserah kamu. Mama juga bingung.""Maaa ....""Sudahlah, Lica! Sekarang kamu udah dewasa. Kamu sendiri yang bikin masalah ini. Makanya jadi manusia itu sedikit berguna! Jangan selalu mencari masalah, buat orang susah!" geram ibu Anita menatap tajam wajah anaknya yang sendu. An
"Mas!" Ibu Renata menyenggol lengan suaminya. "Eh, Mas! Mas Sugeng!!" panggil ibu Renata dengan intonasi tinggi. Ibu Renata gelagapan. "Eh-i-iya, apa? Ada apa?""Kok ada apa? Aku tadi tanya, apa mungkin Sabrina lagi ngidam pengen makan hasil masakanku?""Ya mungkin saja lagi ngidam. Ya sudah, aku mau mandi dulu." Pak Sugeng pamit, tak ingin membahas persoalan Sabrina lagi. "Iya, Mas."Ibu Renata menarik napas panjang, berjalan ke ruang meja makan, hendak menyiapkan makan bersama suami tercinta. Namun, tiba-tiba saja ibu Renata teringat Sabrina dan Darren yang makan di kursi yang bersebrangan dengan mereka. Entah sampai kapan, Darren dan Sabrina tinggal di tempat lain? Sudah dapat dibayangkan, hari-hari ibu Renata akan terasa sepi dan sunyi. Setelah hampir tiga puluh menit, pak Sugeng baru keluar dari toilet kamar. Pak Sugeng sempat terkejut melihat istrinya yang tengah meletakkan tas kerja pak Sugeng ke meja kerja yang terletak di sudut kamar. "Mas, apa kamu tau, sampai kapan Darr
"Kalian mau kemana?" Pak Sugeng bertanya ketika Darren dan ibu Regina berpapasan dengannya di pintu depan. "Aku mau ---""Anterin aku pulang ke panti. Aku mau ambil beberapa pakaian ganti. Kalau boleh, aku mau nginap di sini sampai acara tahlilan mbakyu selesai," sela ibu Regina. Tidak ingin kalau pak Sugeng mengetahui kalau dirinya dan Darren menemui Angelica. "Boleh saja. Silakan."Setelahnya, Pak Sugeng masuk ke dalam rumah. Darren dan ibu Regina melanjutkan langkah, menuju tempat di mana Angelica ditahan. "Tante, kenapa enggak tinggal bersama kami saja?" tanya Darren ketika kendaraan yang mereka tumpangi melaju. "Enggak, Darren. Tante udah nyaman tinggal di panti."Jawaban ibu Regina membuat Darren terdiam seribu basa. Mereka baru bertemu beberapa jam, tapi Darren merasa kalau sudah sangat lama bertemu dengan ibu Regina. Mungkin karena diantara mereka terdapat ikatan darah. "Kenapa selama ini Tante enggak pernah muncul di acara keluarga kami?" tanya Darren heran. Mengingat k
Usai pemakaman, Ibu Regina bertanya kembali pada Darren. Di rumah itu hanya Darren yang bisa diajak bicara. Ibu Regina bertanya kenapa ibu Renata sampai ditusuk orang perutnya? Siapa pelakunya?Awalnya Darren tak ingin menjawab namun karena ibu Regina memaksa, akhirnya Darren mengatakannya. Kedua mata ibu Regina membeliak mendengar nama Angelica. "Jadi, yang membuat Mbakyuku meniggal Angelica juga?" ibu Regina teramat terkejut. "Iya, Tante. Tapi keadaan mama sempat membaik."Ibu Regina menggelengkan kepala berulang kali. Rasa sakit hati pada Angelica semakin besar. Anak dan kakaknya telah dibunuh wanita berhati iblis itu. Pandangan ibu Regina beralih pada ibu Anita yang menangis di depan pusara ibu Renata. Dengan kasar, ibu Regina mendorong tubuh ibu Anita hingga wanita itu terjungkang. "Munafik! Gara-gara anakmu, Mbak Renata meninggal! Anakmu, anak iblis! Dulu anakku yang dibunuhnya, sekarang kakakku!" Teriakan ibu Regina membuat ibu Anita dan orang lain terkejut. Mereka kasak-ku
Keluarga Wirawan berduka. Wanita yang selama ini mengharapkan cucu kini telah tiada ketika keinginannya itu dikabulkan Tuhan. Pak Sugeng duduk di samping jenazah ibu Renata sejak beberapa jam lalu. Belahan jiwanya telah hilang. Dibiarkan air mata membasahi wajah. Tak ada lagi sikapnya yang tegas, yang berwibawa dan yang berkharismatik. Kini, ia telah kehilangan semangat. "Pa, Papa makan dulu," ucap Darren mengingatkan sang papa yang seharian ini tidak ada makanan yang masuk ke dalam perut. "Nanti saja." Hanya itu jawaban yang terucap dari mulut lelaki yang ditinggal kekasih hatinya. Kekasih yang telah menemani hidupnya. Sabrina yang berada di dalam kamar, tengah memberi ASI pada kedua buah hatinya meneteskan air mata. Masih teringat jelas, bagaimana perhatiannya ibu Renata, bagaimana keinginan ibu Renata memiliki cucu. "Ya Allah, mohon kesabaran serta keikhlasan dalam hatiku ya Allah. Hamba tahu, semua ini sudah menjadi takdir-Mu."Rumah duka keluarga Wirawan semakin berjalan wak
Pak Sugeng bergegas keluar ruangan, hendak membeli brownies keinginan ibu Renata. Lelaki itu membeli brownies di toko yang letaknya tak jauh dari rumah sakit. Ia tak ingin berlama-lama meninggalkan ibu Renata. Hanya memakan waktu lima belas menit, pak Sugeng sudah kembali ke ruangan ibu Renata. Di dalam ruangan, terlihat ibu Renata sedang berbicara sendiri di depan handphone. "Lho, Mas. Cepat sekali belinya?" tanya ibu Renata heran. Ia lantas mematikan rekaman suara di handphone milik suaminya. Jangan sampai pak Sugeng tahu kalau ibu Renata meninggalkan pesan suara pada ponselnya. "Aku sengaja beli di toko kue terdekat. Ini aku beli dua. Ada yang pake toping keju dan ada yang enggak pake toping. Kamu mau makan yang mana dulu?" tanya pak Sugeng sembari menunjukan dua kotak brownies. Sengaja membeli dua supaya Ibu Renata memilih. "Aku mau toping keju. Mas, suapin aku ...," rengekan ibu Renata membuat hati pak Sugeng mencelos. Permintaan itu seperti mengisyaratkan sesuatu. "Tentu. A
"Aku harus bilang gitu, Anita. Umur orang enggak ada yang tau. Paling enggak kalau aku udah bilang, kamu bisa wujudin," jelas ibu Renata menatap sendu wanita yang napasnya turun naik karena kesal akan ucapannya. "G1la kamu, Renata! Bisa jadi umurku lebih dulu yang tamat daripada kamu." Sangat sewot ibu Anita menanggapi ucapan ibu kandung Darren. Ibu Renata meraih telapak tangan ibu Anita. Ia seolah memohon pada mantan besannya itu."Anita, aku mohon padamu. Kabulkan---""Stop!" sela Anita menghempaskan genggaman tangan ibu Renata. "Aku enggak mau dengar soal itu lagi. Renata, kamu pasti sembuh. Sekarang keinginan terbesarmu sudah Tuhan penuhi. Langsung dikasih dua, Renata. Kamu harus sembuh. Oke?" ucap ibu Anita. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia sangat takut kalau sahabat dari semasa SMA-nya itu benar-benar pergi meninggalkannya. Dia sangat takut, jika apa yang dikatakan ibu Renata akan terjadi. Ibu Anita menggelengkan kepala, menghalau pikiran dan firasat buruk. Sesaat, terjad
"Mama Anita?" pekik Darren melihat mantan ibu mertuanya yang berdiri di hadapan. "Darren, apa Mama boleh menjenguk Mamamu?" suara ibu Anita bergetar. Ia takut sekali jika keluarga Wirawan membencinya karena perbuatan jahat anak semata wayangnya, Angelica."Boleh, Ma. Silakan masuk."Darren memberi ruang pada ibu Anita agar masuk ke dalam ruangan. Semuanya terkejut akan kedatangan ibu Anita. Wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anita?" gumam ibu Renata melihat sahabatnya datang menjenguk. Ibu Anita merasa sangat bersalah akan perbuatan jahat yang dilakukan Angelica pada ibu Renata. "Renata, Renata ...." Ibu Anita menghambur dalam pelukan wanita yang telah melahirkan Darren. Pak Sugeng menarik mundur kursi roda Sabrina agar tidak menghalangi Ibu Anita yang memeluk sahabatnya. "Aku minta maaf, Renata ... aku minta maaaff ...." Permohonan maaf diucapkan ibu Anita disela pelukan pada sahabatnya. Ibu Renata mengusap lembut punggung ibu Anita. "Kamu enggak perlu minta maaf, Anita. Ka
Pertanyaan ibu Anita sarat penekanan. Tatapannya sangat tajam. Angelica memicingkan kedua mata, merasa kesal karena mamanya lagi dan lagi tidak membelanya justru membela orang lain. "Aku enggak bermaksud mencelakai dia. Tujuanku Sabrina dan calon anaknya!" tandas Angelica membalas tatapan ibu Anita tak kalah tajam. "Kenapa? Memangnya Sabrina melakukan kesalahan apa sama kamu, Lica?" Ibu Anita mencondongkan tubuh lebih ke depan. "Kesalahan apa?" Angelica mengulang pertanyaan mamanya. "Mama lupa, dia udah ngerebut kebahagiaanku! Gara-gara kedatangan dia di rumah itu, aku diusir! aku diceraikan. Hidupku hancur, kacau gara-gara dia! Dia enggak boleh lebih lama bahagia. Aku ingin ... aku ingin Sabrina hidupnya hancur dan menderita sepertiku!" Mendengar ucapan Angelica, ibu Anita menggelengkan kepala berulang kali. "Bodoh!" maki ibu Anita dipenuhi amarah. "Kamu sangat bodoh, Lica! Lihatlah ... akibat kebodohanmu, sekarang kamu di penjara! kamu akan mati di dalam sel sana, Lica!" sambun
Ibu Anita yang memutuskan pindah tempat tinggal terkejut mendengar kabar anak semata wayangnya menusuk perut ibu Renata. Kabar itu disampaikan oleh Jessi yang mengetahui keberadaan wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anak kurang ajar! Aku pikir dia sudah m4ti!" geram ibu Anita mengepalkan kedua telapak tangan di hadapan wanita yang wajahnya mirip Sabrina. Tiga bulan lalu, ibu Anita tanpa sengaja bertemu dengan Jessi di kantor keluarga Wirawan. Jessi kala itu menemani Mr. Whang meeting di kantor Darren. Singkat cerita hubungan mereka semakin dekat. Jessi yang telah kehilangan sosok ibu, seperti menemukan sosok ibu dalam diri ibu Anita. Begitu pula ibu Anita. Sampai akhirnya, ibu Anita memutuskan pindah rumah karena tak nyaman selalu didatangi ibu Regina. Sekarang ibu Anita tinggal di apartemen yang dulu ditempati Darren dan Sabrina. "Awalnya Angelica ingin menusuk Sabrina. Tapi, dihalangi mama Renata.""Ya Tuhan ... Kenapa anak itu selalu mencari masalah?" Ibu Anita menutup waja
Pak Sugeng bergegas menuju ruangan Sabrina yang letaknya cukup jauh. Sedangkan Darren berjalan, menghampiri jendela ruangan yang di dalamnya ada ibu Renata. Darren tak menyangka kalau ibu Renata yang menyelamatkan nyawa Sabrina dan calon anaknya. Ternyata ibu Renata sikapnya sudah benar-benar berubah. Sangat menyayangi dan perhatian pada Sabrina. Dari kejauhan, Darren melihat pergerakan jari ibu Renata. Lalu, perlahan-lahan kedua mata wanita tua itu terbuka. Mulutnya menganga, seolah sedang bicara. Menit berikutnya, perawat yang menjaga ibu Renata di dalam ruangan membuka pintu. "Sus, Mama saya sudah sadarkan diri?" tanya Darren tampak sumringah."Betul, Mas. Apa Mas keluarga pasien?""Saya anaknya, Sus.""Oh silakan masuk, Mas."Suster membuka pintu ruangan lebar, mempersilakan Darren masuk. Lalu, suster itu berjalan cepat, hendak memanggil dokter yang menangani kesehatan ibu Renata. "Mama!" pekik Darren berdiri di samping wanita yang telah melahirkannya. Ibu Renata mengulas sen