Sabrina mulai merasa bosan diam di dalam kamar. Dia sudah nonton film Korea tapi rasa sepi masih ia rasakan. Sabrina ingin masak di dapur, tapi pasti dilarang ibu Renata. "Astaghfirullah ... aku harus ngapain ya?" Sabrina turun dari ranjang. Berjalan ke arah jendela kamar. Halaman luas kediaman Wirawan terlihat indah di mata. Bibir Sabrina menyunggingkan senyum. Dia tak menyangka kalau memiliki suami yang sangat baik, perhatian dan mencintai apa adanya. Dulu, sebelum menandatangani surat kesepakatan, Sabrina selalu membayangkan penderitaan yang akan diterima dari seorang lelaki Darren Wirawan. Sabrina pikir, rumah tangganya tidak seindah sekarang. Walau ibu Renata masih menganggap pernikahannya dengan Darren hanya kontrak, tetapi Sabrina merasa cinta Darren sangat tulus. Sabrina turun dari tempat tidur. Memutuskan keluar kamar, sekadar duduk di taman belakang atau berbincang dengan dua asisten rumah tangga keluarga Wirawan. Belum sempat menginjakkan kakinya di dapur, Sabrina mende
Kepala Sabrina sontak mendongak, keningnya mengkerut, antara percaya dan tidak percaya saat mendengar perkaaan ibu Renata. 'Apa benar, nyonya besar akan mengumumkan pernikahanku dengan Mas Darren? Apa aku salah dengar?' Gumam Sabrina dalam hati. "Ma-maksud, Nyonya?" Terbata-bata, Sabrina bertanya. Ingin memastikan apa yang baru saja didengarnya. Sebelah tangannya menyeka lelehan air mata yang tak kunjung berhenti. Berharap yang ia dengar beberapa menit lalu, benar adanya. Bukan sekadar harapan atau salah dengar. Ibu Renata menoleh, menarik napas panjang. "Apa kamu terlalu bodoh untuk memahami ucapanku, Sabrina?" Diluar dugaan, ibu Renata justru bertanya demikian. Pertanyaan ibu Renata membuat Sabrina memundurkan kepala. Bukan suatu jawaban yang pasti, yang ia dengar justru serupa hinaan. Sabrina kembali merunduk dan mengangguk."Maaf, Nyonya. Saya hanya memastikan saja. Sa-saya takut salah dengar, Nyonya.""Jadi bagaimana? Apa nanti kamu mau menjawab pertanyaan para wartawan?" "I
"Aku bahagia mendengarnya, Anita. Semoga kamu selalu sehat."Gelak tawa ibu Anita terhenti. Renata selalu mendoakannya, tidak pernah bosan berharap Anita sehat dan bahagia. Ibu Anita Menarik napas panjang, mengangkat secangkir teh hangat yang tersaji di atas meja kerja. "Tentu, Renata. Aku harus sehat. Aku harus bisa membuktikan pada orang-orang yang mengabaikanku kalau aku bisa bahagia tanpa mereka." Tekad Ibu Anita semakin kuat jika ibu Renata sudah menyemangatinya. "Aamiin. Anita, Jumat besok aku akan mengadakan konferensi pers," ucap Ibu Renata menyampaikan rencana keluarga Wirawan yang ingin melakukan konferensi pers. "Konferensi pers?" kening ibu Anita mengkerut mendengar kabar yang disampaikan ibu kandung Darren itu. Sudah lama sekali keluarga Wirawan tidak melakukan jumpa pers. Biasanya jika keluarga Wirawan melakukan itu, ada hal yang sangat penting yang akan disampaikannya. "Iya, Aku mau mengumumkan perihal pernikahan Darren dan Sabrina. Aku juga akan mengumumkan tentang
Di taman belakang, sudah ada Mbok Darmi dan mbak Tuti. Kedua asisten rumah tangga keluarga Wirawan itu tengah berbincang. Sesekali mereka tertawa. "Assalamualaikum," sapa Sabrina lembut. Keduanya menoleh, terkejut. "Waalaikumsalam. Non Sabrina, ada apa, Non? Ada yang bisa kami bantu?" tanya Mbak Tuti turun dari gazebo. Begitu pula mbok Darmi. Keduanya berdiri di depan Sabrina membungkukkan setengah badan. "Enggak kok, Mbak. Saya enggak perlu bantuan apa-apa. Saya cuma pengen ikutan ngobrol saja, hehehehe ...."Jawaban Sabrina membuat mbak Tuti dan Mbok Darmi saling menoleh satu sama lain. Mereka tersenyum, lalu mempersilakan Sabrina duduk di gazebo. "Mbok sama Mbak juga duduk di sini dong. Masa berdiri begitu?""Enggak usah, Non. Kami enggak enak.""Kalau begini, jadinya saya yang enggak enak, Mbok. Ayok, duduk di sini." Akhirnya Mbok Darmi dan Mbak Tuti duduk melingkar bersama Sabrina di gazebo taman belakang rumah. Raut wajah Sabrina kali ini lebih terlihat ceria walaupun kedua
Pak Adyatama gelagapan dibentak istri keduanya. Lelaki itu tampak bingung dan ketakutan melihat ekspresi ibu Regina dan Andre. Anak tiri pak Adyatama yang sebelumnya bersimpati padanya kini ia mulai menunjukkan raut wajah tak suka. Jika memang benar, pak Adyatama hanya karyawan perusahaan itu, mereka merasa sudah tertipu. "Me-mereka memecatku karena ... euuuu ...." "Karena apa?!" hardik ibu Regina melotot pada suaminya. "Karena aku pinjam modal banyak pada mereka. Jadi, kami enggak bisa mengembalikan pinjaman itu. Jadi, perusahaan kami dialihkan oleh mereka. Jadi, rumah kami juga jadi milik mereka." "Apa?" Terkejut, ibu Regina mendengar kejujuran pak Adyatama. Mulut dan kedua matanya sama-sama membesar. "Iya. Jadi sekarang ... rumah dan perusahaan itu milik keluarga Wirawan karena aku enggak bisa bayar utang pinjaman. Kalau dulu, perusahan itu milik Anita, mantan istriku itu. Jadi sekarang---" "Jadi, jadi, jadi!" ejekan yang dibarengi luapan emosi ibu Regina memekakan
Angelica mendengar kabar kalau hari Jumat pekan ini, keluarga Wirawan akan melakukan konferensi pers terkait pernikahan kedua Darren Wirawan. Tentu saja Angelica tidak terima. Dia tidak ingin keluarga Wirawan mengakui Sabrina menjadi istri kedua Darren apalagi menjadi bagian keluarga itu. "Aku harus datang ke sana. Akan aku permalukan keluarga Wirawan! Lihat saja. Kalian akan malu sendiri dengan memperkenalkan wanita kampungan itu!" geram Angelica yang sekarang tinggal di salah satu perumahan. Ia mengontrak rumah di salah satu perumahan bergaya minimalis. Meski rumah itu tidak sebesar rumah masa kecilnya atau rumah keluarga Wirawan, tetapi Angelica tidak terlalu mempermasalahkannya. Yang penting, dia tidak tinggal di hotel. ***Jumat pagi ini, keluarga Wirawan sudah bersiap-siap akan melakukan konferensi pers di auditorium Perusahaan Saka Abadi Corporation. Semalam, Sabrina tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia begitu gelisah menanti hari ini. "Sayang, kamu kenapa pagi-pagi ngelamun?
Semua keluarga Wirawan sudah berada di auditorium PT. Saka Abadi Corp, termasuk Sabrina. Wanita itu terlihat anggun dan elegan. Ia berusaha agar tetap tenang, tersenyum dan bersikap ramah. Berbeda sekali dengan ibu Renata. Terkesan dingin, seperti biasa.Para wartawan sudah bersiap membidikkan kamera yang diarahkan pada keluarga terhormat itu. Ada yang kasak-kusuk, bertanya tentang, siapa wanita yang digandeng Darren dengan mesra. Ada pula yang beranggapan jika wanita tersebut masih ada ikatan darah dengan keluarga Wirawan. Setelah moderator membuka acara, ibu Renata dipersilakan berbicara. Wanita yang disegani banyak orang itu mengubah posisi duduk, lebih tegak dan lebih tajam menatap orang-orang yang ada di hadapan. "Saya tidak akan banyak bicara. Di sini, saya akan mengumumkan perihal pernikahan kedua anak saya Darren Wirawan dengan seorang wanita bernama Sabrina. Itu, menantu keluarga Wirawan satu-satunya."Semua orang yang mendengar pengumuman yang disampaikan keluarga Wirawan
Semua orang tertegun. Beberapa wartawan saling pandang satu sama lain. Ibu Renata tetap diam, membiarkan mereka mendengar dari Angelica terlebih dahulu. Sebab, ibu Renata yakin, tidak semua orang yang ada di ruangan itu percaya akan ucapan Angelica. "Nyonya Renata, apa benar yang dikatakan Non Angelica?" Para wartawan itu tak serta merta percaya dengan ucapan Angelica, mengingat sikap dan perilaku wanita itu selama ini. Wartawan lain langsung bertanya pada ibu Renata. Angelica memalingkan wajah, karena masih ada saja orang yang menganggap ibu Renata atau keluarga Wirawan orang yang baik. "Apa kalian percaya begitu saja dengan ocehan wanita itu?" Pertanyaan ibu Renata menyentak Angelica. Anak kandung pak Adyatama itu langsung menegakkan tubuh. "Baiklah, saya akan membeberkan alasan kenapa Darren sampai menceraikan Angelica dan lebih mempertahankan Sabrina sebagai istrinya." Sorot mata ibu Renata terarah pada Angelica yang sikapnya masih terlihat tenang. Bahkan seolah mencibir ibu Re
"Sayang, aku baru masuk mobil. Mau ke penginapan dulu. Satu jam lagi aku baru ketemu klien. Kamu lagi ngapain?" ucap Darren pada saat sambungan telepon dengan Sabrina terhubung. "Alhamdulillah, kalau Mas udah sampai. Saya lagi bantuin Mbok Darmi menyiapkan makan malam. Mas, jangan lupa makan malam, ya?"Bibir Darren tersenyum. Sangat menyukai perhatian yang terkesan perhatian kecil tapi sebetulnya sangat membuat Darren bahagia."Iya, Sayang. Paling nanti aku makan malam bersama klien. Kamu kenapa ngebantuin Mbok Darmi? Emang Mbak Tuti kemana?" "Mbak Tuti diajak ke swalayan sama Mama. Tapi, sampai sekarang belum sampe rumah. Tadi waktu saya telepon, kata Mama masih di jalan.""Oh ... aku heran, kenapa sekarang mama jadi rajin ke swalayan? Biasanya juga paling malas keluar rumah.""Enggak apa-apa, Mas. Mungkin mama bosan di rumah terus.""Ya bisa jadi. Sayang, aku udah masuk ke halaman penginapan. Kamu jangan keluar rumah. Kalau mau keluar rumah, jangan sendirian. Harus ditemani mama
Andre masih saja menelisik rekaman video dirinya dengan Jessi. Dia baru sadar kalau wajah Jessi mirip dengan istri kedua Darren. "Ya benar, wajahnya mirip Sabrina. Hanya saja, ada titik tanda lahir di atas b1bir Jessi. Apa mungkin Jessi itu adalah Sabrina? Atau mungkin sebenarnya mereka kembar?" gumam Andre mulai yakin kalau wajah Jessi memang sangat mirip dengan Sabrina. Hanya sikapnya saja yang berbeda. Andre mencari handphone, ingin memastikan kecurigaannya pada Angelica. "Hallo, Dre? Ada apa?" Suara Angelica terdengar seperti baru bangun tidur. Andre melirik jam dinding di kamar, baru jam sembilan malam tapi Angelica sudah tertidur. Tidak biasanya. "Tumben jam segini kamu udah tidur?""Tadi aku habis minum obat. Ngantuk banget. Ada apa?""Minum obat? Obat apa? Kamu sakit apa?"Mendengar rentetan pertanyaan Andre, Angelica baru sadar keceplosan. Seketika, rasa kantuknya hilang, kedua matanya membeliak, mengubah posisi jadi duduk. "Eu ... a-aku sakit kepala doang. Mungkin ... g
Sore hari, Darren sudah siap-siap akan berangkat ke luar kota. Pak Sugeng yang hari ini masuk kantor sudah menghubunginya, menyuruh Darren segera berangkat. "Nanti malam kliennya datang. Kalau kamu belum tiba di Bali, sedangkan Klien udah ada di sana, enggak enak Ren," jelas Pak Sugeng di ujung telepon. Kalau bukan proyek besar, Pak Sugeng tidak mungkin menyuruh anaknya keluar kota untuk menangani proyek tersebut. Klien yang berasal dari Singapore itu sudah mempercayai perusahaan Wirawan yang bergerak dalam bidang property untuk menangani. Darren yang duduk di sisi ranjang, di sampingnya ada Sabrina hanya merunduk lesu. Tidak ada semangat. Sabrina meraih telapak tangan suaminya, mencium punggung tangan Darren lembut lalu memberikan senyuman manis. "Iya, Pa. Sebentar lagi berangkat.""Hubungi Papa kalau udah tiba di sana.""Iya, Pa."Sambungan telepon terputus. Darren menoleh pada Sabrina. Mereka saling memandang sepersekian menit, lalu menghapus jarak cukup lama. "Mas, udah ya? B
"Tadi apa kata dokter? Kamu ikut masuk juga ke ruangan dokter kan waktu Darren dipanggil?"Mertua dan menantu itu berjalan beriringan. Meski Sabrina agak sungkan, tapi sekarang dia tidak bisa menjaga jarak lagi dengan ibu Renata. Wanita yang telah melahirkan suaminya itu selalu berusaha mendekati Sabrina. Dia tampaknya mulai menyukai bahkan sudah menyayangi wanita yang berasal dari kampung itu. "Iya, Ma. Tadi saya ikut menemani Mas Darren ke dalam ruangan dokter Sasti. Hasilnya alhamdulillah negatif," jawab Sabrina, suaranya terdengar sangat lembut membuat hati ibu Renata tenang. "Syukurlah, Mama ikut senang," ucap ibu Renata mengajak Sabrina duduk di ruang keluarga. "Mbaaakk ... Mbak Tutiii ...." Panggilan ibu Renata membuat Mbak Tuti bergegas menghampiri. "Iya, Nyonya?" Setengah membungkuk Mbak Tuti bertanya. "Tolong buatin Es Jeruk peras dua. Buat saya dan buat Sabrina. Cepetan ya, Mbak!" titah ibu Renata pada salah satu asisten rumah tangganya. "Baik, Nyonya."Mbak Tuti lang
Angelica sangat terkejut mendengar ucapan Darren. Tidak menyangka Darren mengetahui penyakit yang dideritanya. Seingatnya, dia tidak bercerita pada siapapun. Lalu, Darren tahu dari siapa?"Jangan nuduh sembarangan kamu! A-aku enggak punya penyakit itu!" elak Angelica gugup. Sikapnya berubah salah tingkah. Darren menyunggingkan senyum sinis. "Kalau enggak punya penyakit itu, ngapain kamu ke sini? Dasar tukang bohong!"Belum sempat Angelica menanggapi, nama Darren sudah dipanggil asisten dokter. Darren dan Sabrina meninggalkan Angelica yang masih mematung di tempat. 'Sialan! tau dari siapa dia kalau aku punya penyakit itu? Argh!'gumam Angelica membalikkan badan, meninggalkan poly penyakit kulit dan kelamin. Angelica ke kantin lebih dulu, menunggu Darren dan Sabrina pergi dari rumah sakit. Usai menjalani pemeriksaan dan mengetahui hasilnya, Darren dan Sabrina tersenyum bahagia. Dokter Sasti sudah dapat memberikan hasilnya dari mendengar penuturan Darren dan melihat kondisi alat v1ta
Pagi hari di kediaman keluarga Wirawan. Semua penghuni rumah itu sedang menikmati sarapan bersama. Wajah Sabrina terlihat sangat segar dan semakin cantik. Sedari tadi, diam-diam ibu Renata memerhatikan menantunya. Dalam hati, ia pun mengakui jika Sabrina memiliki kecantikan yang alami. Bukan cantik karena make up atau skincare. "Ma, aku enggak perlu ke rumah sakit, Males." Ucapan Darren menyentak lamunan Ibu Renata. Ia menoleh danberdehem, mengambil sepotong roti tawar panggang dan memberinya selai."Demi kesehatanmu, demi Sabrina, demi calon cucu Mama." Tanggapan ibu Renata singkat tapi sangat jelas, membuat Darren tak bisa berkutik lagi. "Saya temani ya, Mas? Boleh kan, Ma?" Ibu Renata dan yang lainnya menoleh pada Sabrina. Tidak biasanya Sabrina berbicara pada saat sarapan. Biasanya dia bicara ketika ditanya. "Hm ... boleh. Tapi, kalian enggak boleh keluyuran kemana-mana. Kamu mesti ingat, Darren. Jam lima harus berangkat ke Bali," tandas ibu Renata menatap lekat anak semata wa
"Enggak boleh! Kamu jangan egosi, Darren! Istrimu lagi hamil muda. Kandungannya masih rentan. Jakarta-Bali itu bukan jarak yang dekat."Tubuh Darren seketika lemas. Tangannya menggaruk kepala yang tak gatal. Darren benar-benar bimbang. Tidak mungkin sehari bolak-balik Jakarta - Bali. Menolak pun, Darren tidak akan bisa. Selama ini apapun perintah mamanya selalu dituruti. Tapi, yang dikatakan ibu Renata memang benar. Kandungan Sabrina masih sangat rentan. "Darren, kamu perbanyak puasa. Kata pak Ustad, puasa sunnah dapat menahan n4fsu," sambung ibu Renata. Berbicara sangat sungguh-sungguh. Belum sempat Darren menanggapi, Sabrina datang membawa potongan brownies yang masih mengepul. Kedua mata ibu Renata membeliak, senyumnya melebar. Hatinya begitu bahagia karena yang brownies yang diinginkan sudah ada di depan mata. "Ma, nih brownies-nya udah matang. Masih mengepul. Selamat mencicipi," kata Sabrina sumringah. Menyodorkan sepiring brownies yang sudah dipotong-potong. "Terima kasih, S
Ibu Renata kembali ke ruang keluarga. Bibirnya tak henti tersenyum membayangkan brownies buatan menantunya sudah matang. Pasti rasanya sangat lezat. "Ma, lihat Sabrina enggak?""Mau ngapain kamu nyariin Sabrina?" Ibu Renata balik bertanya. Intonasi suaranya agak ketus. "Ya kan, Sabrina istri aku, Ma. Gimana sih? Aku mau tidur tapi mau cari Sabrina dulu. Mama lihat enggak?"Ibu Renata memutar bola mata malas mendengar ucapan anak tunggalnya. "Sini kamu! Duduk dulu sama Mama. Sabrina aman. Dia lagi di dapur. Lagi bikinin brownies buat Mama!" Darren melepaskan cekalan tangan ibu Renata dari lengannya."Mama serius? Malam-malam begini nyuruh istriku bikin Brownies?""Bukan Ma--""Inget, Ma ... Sabrina lagi hamil. Dia lagi ngandung cucu Mama!" sela Darren mengingatkan ibu Renata. "Kamu pikir Mama udah pikun? Mama juga ingat! Bukan Mama yang nyuruh Sabrina, Darren. Dia sendiri yang mau. Mama juga enggak tau dia ada di dapur. Tadinya Mama nyuruh si Mbok dan Mbak Tuti. Eh pas Mama ke dap
Sedikitpun ibu Renata tidak terkejut mendengar kabar Angelica mengalami penyakit itu. Pikir ibu Renata, masih untung Angelica mengidap penyakit Gonore, bukan HIV. Tapi, sisi lain ibu Renata merasa kasihan pada ibu Anita. Sahabatnya itu pasti selalu memikirkan keadaan Angelica. "Ya sudah, jangan terlalu kamu pikirkan. Lebih baik kamu fokus saja dengan kesehatanmu. Masalah Angelica cukup didoakan, supaya dia cepat sembuh dari penyakitnya dan cepat sadar atas sikap buruknya."Ibu Anita terdiam, hanya terdengar helaan napas dan isak tangis yang tertahan. "Sekarang udah malam, kamu harus istirahat, Anita." Ibu Renata tidak ingin terlalu lama membahas tentang mantan menantunya itu. "Iya. Nanti aku istirahat. Re, terima kasih. Kamu selalu jadi pendengar setiaku. Dari dulu sampai sekarang. Terima kasih banyak.""Sudahlah, jangan terlalu berlebihan. Kita ini udah lama bersahabat. Wajar saja kalau aku demikian."Walau sifatnya agak keras, tapi ibu Renata tidak ingin berbangga hati atau gila