Andrean melingkarkan tangannya untuk memeluk erat pinggang Melody. Untuk kali ini ia merasakan nyaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Selamat tidur, Mel." Andrean memejamkan matanya erat, terlelap hingga samar suara jam dinding tidak lagi terdengar. Melody terbangun dengan penuh keterkejutan, ia merasa ada sesuatu yang menindih tubuhnya. Saat matanya menyipit, ia mendapati lengan Andrean ada di pinggangnya. "M- ...," Melody tidak melanjutkan ucapannya. Pelan tangan Melody menyingkirkan tangan Andrean, menatap nanar pria yang kini tertidur lelap di sampingnya. 'Sejak kapan?' tanya Melody lirih dalam batinnya. Matanya menatap ke jam dinding yang tergantung di tembok. "Masih jam 2 dini hari, tapi perutku sangat lapar. Hm, aku harus turun ke bawah," gumam Melody. Pelan ia mengangkat tangan Andrean, secara tiba-tiba ia seperti terganggu tidurnya. "Mel," panggilnya lirih. "Mau ke mana?" tanya Andrean. "Aku mau ke dapur, Mas. Aku ngerasa lapar ...," Melody beranjak dari
Melody dengan tangan gemetar beranjak meninggalkan kamar. Tanpa memedulikan pintu itu masih terbuka lebar. Ia berlari sekuat tenaga dengan membawa perutnya yang kian berisi. "Bu-bukan hakmu untuk cemburu, Mel! Kamu 'kan hanya istri pelengkap atas kurangnya mereka ...," isak tangis itu membasahi pipi Melody.Dari kejauhan, Andrean berdiri dengan penuh keraguan. Tangannya berdarah akibat pecahan gelas kaca yang jatuh di depan pintu. "Maafkan aku, Mel," lirih ucapannya. Andrean memanggil Juminah, meminta pembantunya itu menemani Melody. Setelahnya, ia memilih lelap di dalam kamar tamu. ***"Nona, diminum dulu jusnya," Juminah menyodorkan segelas jus apel pada Melody. Matanya menatap Juminah malas, Melody terlihat seperti orang lain. Berubah drastis menjadi wanita yang lebih dingin. "Nona, diminum dulu ya jusnya, saya letakkan di sini," ucap Juminah. Ia berjalan menjauh meninggalkan Melody sendirian di balkon. Lama ia duduk tanpa memiliki harapan. "Apa aku membatalkan perjanjian
Andrean mendongakkan kepalanya, matanya mengerjap berulang kali. Memastikan apa yang ia lihat benar-benar dan bukan ilusinya saja. Pelan tangannya membelai lembut pipi Melody, sudah siap jika ia akan mendapatkan umpatan atau pun ekspresi kebencian. "Kamu sudah siuman? Kamu baik-baik saja?" berondong tanya Andrean lekat. Belum sempat Melody merespon ucapan Andrean, ia bergegas pergi keluar. Langkahnya tercekat dengan tangan yang masih ditahan Melody. Tatapannya penuh kesenduan! "Aku panggil dokter atau perawat dulu, hanya sebentar, Mel," ucapnya. Melody menganggukkan kepalanya, semakin samar penglihatannya pada tubuh Andrean yang hilang dari radar. Dalam diam, Melody hanya bisa menatap langit-langit kamar. "Nak, apa kamu tahu kalau ibu sangat bahagia saat melihat ayahmu di sini? Ibu sangat senang," lirih ucap Melody dengan mengusap perutnya. Akan tetapi, ia merasakan ada yang berbeda dari tubuhnya, kenapa perutnya tidak lagi membuncit? Kenapa perutnya menjadi datar dan kecil?
Sakit rasanya menjadi Melody, namun apa dayanya saat ini? Ia hanyalah gadis yang membutuhkan uang. Selebihnya ia hanyalah seorang madu yang menjadi pabrik anak. Kasar sekali bahasanya, namun itu benar bagi Andrean. Pria anak orang terpandang itu hanya menikah karena membutuhkan anak sebagai penerus. "Mel ..., Jangan seperti itu," peringat Andrean lirih. "Apa yang jangan seperti itu, Mas? Aku sudah muak ya, memangnya aku se-" Melody tidak lagi mampu mengucapkan kalimat terakhirnya. Isak tangisnya kembali pecah, membasahi pipi tembamnya. Tidak ada lagi senyum manis yang dari kemarin menghiasi wajahnya. "Mel ... Kita pulang saja ke kota ya," lagi, ajak Andrean dengan lembut. "Aku ingin tinggal di sini saja, pulanglah ... Aku tidak lagi peduli," ujar Melody tanpa ragu. Ia membelakangi tubuh Andrean, tidak lagi memedulikan apa yang pria itu katakan secara berulang-ulang. Jujur malas! Melody sudah cukup sakit hati dengan ucapan Nadea. Lalu ... Ia masih diminta kembali bertemu denga
"Mel ... Ada apa, Mel?" tanya Andrean dengan penuh rasa khawatir. "Sakit ...," rintihnya lirih. Andrean berlari ke luar ruang inap, langkahnya tertatih mencari keberadaan dokter. Sudah gila rasanya ia mencari. "Ada apa, Tuan?" tanya seorang perawat yang berjalan tidak jauh darinya. "Istriku!" teriaknya dengan ngos-ngosan. "Baik, saya akan menanggil dokter jaga," ucap perawat yang berjalan meninggalkan Andrean. Sayup-sayup langkahnya menuju ruang inap Melody, kembali menatap istrinya yang merintih kesakitan. Tidak membutuhkan waktu lama, ketukan pintu itu terdengar nyaring. Pintu ruang inap yang terbuka menampakkan dokter beserta perawat. "Malam, Tuan muda. Saya periksa dulu ya," ucap dokter yang menangani Melody. Hanya dengan satu anggukan kepala Andrean menyetujui tindakan dokter. Lama dokter itu fokus pada Melody, "Ini hanya gejala pasca keguguran, Tuan muda. Sekarang Nona sudah kembali terlelap," jelas dokter dengan menepuk pelan pundak Andrean. "Terima kasih banyak, Dok
Deg! "Ma-maksudnya?" tanya Melody dengan menatap Andrean lekat. Pria itu hanya mengulas senyum tanpa basa-basi, tidak memberi jawaban pada Melody. Ia kembali mendorong kursi roda, membawanya ke taman rumah sakit yang indah. "Aku bosan sekali, Mas," keluh Melody lirih. "Besok kita pulang ya, biar Juminah yang merawat di rumah," ujarnya. Melody menganggukkan kepalanya paham, tidak lama dari itu sebuah dering telepon terdengar. "Sebentar ya," ucap Andrean. Langkahnya menjauh meninggalkan Melody sendirian. Siapa penelepon itu? Dan mengapa Andrean sampai menjauh darinya yang tidak berdaya. Isi pikirannya melayang terlalu jauh nyaris kejauhan. "Halo ... Ada apa lagi, Nad?" tanya Andrean lirih setelah telepon itu tersambung. "Kamu kapan pulang, sayang? Apa kamu tidak rindu denganku? Sudah hampir 3 bulan loh ini bahkan lebih ...," lirih suara Nadea menggelayut. "Lusa aku akan pulang ke kota J, kamu bersabar saja ya," ucap Andrean sebagai akhir dari pertanyaan yang kian menghantuiny
"Tidak!" seru Melody keras. Tangannya mendorong tubuh Andrean untuk menjauh, tidak ada kalimat yang keluar selain itu. Tatapannya tajam menusuk siapa pun yang melihatnya. "Aku benci kamar ini!" hardiknya keras. Langkahnya tertatih keluar kamar, tangisnya membasahi pipi. Dengan mata merah yang terpancar jelas. "Aku lelah ...," keluh Melody dengan terduduk di ambang pintu. "Mel ...," lirih suara Andrean, sontak ia memeluk erat tubuh istrinya. Dekapan hangat agar istrinya tidak lagi marah, tangisnya semakin pecah. Andrean yang tidak paham apa yang dirasakan Melody hanya diam. "Aku benci kamar itu, Mas! Anakku kehilangan nyawanya di sana ...," rintihan Melody terdengar menyayat hati. "Mel ... Tenang ya, nanti kita pindah dari kamar itu," bisik Andrean lirih. "A-aku sangat membenci diriku sendiri, kenapa aku sangat ceroboh?" hardiknya dengan memukul tubuhnya dengan kuat. "Stop, jangan melukai dirimu sendiri, Melody! Ini salah kita berdua. Oke, sekarang kamu istirahat lagi, atau m
Melody terjaga dari tidur singkatnya, ia merasakan tubuhnya tertimpa sesuatu. "Aduh, i-ini tangan siapa?" tanya Melody lirih pada dirinya sendiri. Setelahnya, ia mengangkat perlahan tangan yang memeluknya. Dan ya, Andrean sudah tidur di sampingnya lelap. 'Sejak kapan ia di sini?' gumam Melody penuh tanya. "Jangan bergerak, temani aku tidur ya!" bisik Andrean lirih. "Hah, aku haus, Mas!" seru Melody keras. Kini ia dengan susah payah menggeser tubuh Andrean, tangan yang semula memeluk pinggang Melody juga ia singkirkan. "Mel ... Kamu masih marah sama mas?" tanya Andrean dengan menatap mata Melody nanar. "Memangnya aku marah sama mas? Aku hanya capek," Wanita yang kini sudah berjalan pergi meninggalkan kamar tamu. Meninggalkan Andrean sendirian di kamar. "Mau aku marah atau tidak, kamu pasti juga tidak peduli denganku, Mas," ucap Melody lirih.Dapur yang gelap membuat Melody sempat berpikir 2 kali, namun apalah daya ia sudah kepalang haus. "Mel," suara lirih yang terdengar asi
"Dokter! Bagaimana keadaan menantu dan cucu saya?" seru Anjela tatkala dokter yang menangani Melody keluar dari ruangan. "Syukurlah, Nona Melody dan bayi laki-lakinya selamat. Setelah ini akan dipindahkan ke ruang rawat untuk nona Melody. Untuk bayi laki-lakinya akan dibawa ke ruangan khusus dulu, sampai kondisinya membaik," papar Dokter yang menangani itu. "Baik, lakukan yang terbaik! Terima kasih banyak." Anjela menangis dengan tersedu-sedu, Andrean yang kini masih belum siuman. Membuat dirinya sangat rapuh. "Bagaimana semua ini terjadi begitu saja," keluhnya. "Halo, Bu. Bagaimana keadaan suamiku?" dengan histeris Nadea bertanya-tanya. "Ke mana saja kamu?" pekik Anjela keras. Dengan penuh emosi ia tidak dapat menahan diri. Jika saja tidak ada perawat yang menahannya, sudah pasti Nadea tidak selamat dari serangan Anjela. "Aku baru saja bertemu temanku, Bu," elak Nadea. "Sialan ya kamu, bisa-bisanya mau meracuni menantuku!" pekiknya keras. Tidak berselang
[Nona Nadea, saya ingin bertemu.] Lasmi. Nadea terpaku menatap layar ponselnya, pesan dari Lasmi berhasil membuatnya mengulas senyum. "Akhirnya, rasakan kau, Melody!" gumamnya dengan penuh kekesalan. "Senyum-senyum sendiri, gila ya, Nad?" tanya seorang wanita di samping Nadea. "Lihat, pasti dia berhasil!" tunjuknnya. Teman Nadea hanya bisa mengulas senyum dengan memberikan tepuk tangan kecil. "Wanita kalau udah licik emang beda ya, lagian ada aja suamimu itu. Dimintai nikah siri malah mau nikahin sah," timpalnya. "Udahlah, yang penting udah berhasil sekarang. Aku duluan ya!" pamitnya. Segera Nadea meninggalkan cafe itu, melangkahkan kakinya untuk bertemu dengan Lasmi. 30 menit berlalu, langkah Nadea dengan segera menemui Lasmi di sebuah restoran. Wanita yang kini menunduk dalam membuat Nadea bertanya-tanya. Prok prok prok! "Kerja bagus, Lasmi," ucap Nadea dengan sumringah."B-Bu ... E ... Maaf," lirih dengan terbata, Lasmi semakin tidak tahu harus berkata apa."Maksudmu? Me
[Aku akan mengikuti perintah ibu, Nad.] Andrean.Pesan itu terkirim, setelahnya Andrean mengusap pelan wajah Melody yang masih terlelap. Perutnya kian membuncit, lembut ia mengulas senyum. "Sayang, bangun yuk," bisiknya. "Hm, Mas. Adek masih sangat mengantuk," keluhnya. "Iya." Andrean mengeratkan pelukannya pada Melody, membiarkan rasa nyaman itu ada untuk istrinya. Niatnya sudah cukup yakin, hanya menunggu waktu untuk meresmikan pernikahan mereka. Cup! Ke duanya kembali terlelap sejenak, hingga suara nyaring dari notifikasi Andrean membuatnya terbangun. "Halo," sapanya tanpa melihat siapa penelepon. "Halo, maaf, Tuan. Saya pembantu yang disewa ibu Anjela, kalau boleh tahu nomor berapa ya apartemennya?" dengan sopan suara wanita itu terdengar. "No 55, saya akan ke sana." Sigap Andrean keluar kamar, membukakan pintu apartemen untuk pembantu yang akan datang. 'Bukannya kemarin bukan ini ya?' batin Andrean lirih bertanya-tanya. "Selamat pagi, Tuan. Saya Lasmi," sapanya dengan
"Mas, aku takut," lirih Melody. "Kita banyak berdoa ya, jika hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kita berusaha lagi," terang Andrean lembut. Kini, keduanya turun dari mobil, memasuki rumah sakit dengan langkah pelan. Keyakinan demi keyakinan seolah sengaja ia kuatkan. Tapi, apa daya dirinya yang hanya seorang manusia biasa. "Selamat pagi, Pak, Bu," sapa dokter itu. "Baik, Dok." Setelah mengobrol beberapa hal, Melody diminta berbaring di atas brankar periksa. Beberapa waktu berlalu, benar saja Melody sedang mengandung. Rona bahagia yang tercetak jelas di wajah Andrean, "Adek, terima kasih banyak ya," bisiknya. *** Hari-hari berlalu dengan baik, kandungan Melody yang cukup lemah membuatnya hanya bisa terbaring di apartemen Andrean. "Adek, ibu datang," ucap Andrean lirih. Seraya dengan pintu yang terbuka, sosok Anjela datang dengan membawa buah. "Mel, bagaimana kabarmu sekarang, Nak?" tanyanya lembut. "Melody baik, Bu. Hanya saja lemas sekali, mungkin karena
"Ja-jalang?" desis Melody lirih. Pria yang kini berdiri di ambang pintu kamar mandi itu terdiam. Manik matanya menelisik pada wanita yang ada di hadapannya. "Mel, kenapa menangis?" tanya Andrean. Tangannya gemetar hebat, tidak hentinya matanya menatap layar ponsel yang ia genggam. "Apa sih, Mel?" Masih dengan tanya yang sama, akhirnya Andrean meraih ponsel miliknya. Alih-alih memesan makanan, ia melihat pesan Nadea. "CK!" decih Andrean keras. Kesal bukan kepalang, ingin sekali memaki Nadea saat itu juga. "Aku memang tidak pantas untuk kamu, Mas," lirih Melody. Bulir bening yang tidak berhenti mengaliri pipi Melody, membuat Andrean segera mendekapnya."Melody, lupakan pesan itu ya. Kita pesan makan saja," ucap Andrean. "Aku sudah tidak lapar, Mas. Melody tidur saja," elaknya. Segera ia meraih selimut, membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Sekilas manik matanya bertemu dengan manik mata Andrean. Tapi tidak berselang lama, ia segera memalingkan pandangan. "Aku sudah cukup m
Malam itu, Melody dan Andrean tengah sibuk mengobrol. Menunggu kedatangan Anjela. Suara dering telepon membuat Andrean segera mengangkatnya. "Halo," sapanya. "Ibu sudah di depan pintu," ucapnya. Tanpa ragu Andrean berlari menemui Anjela, senyumnya merekah dengan beberapa bingkisan di tangannya. "Ibu terjebak macet, Ndre. Capek sekali di jalan kalau macet," keluhnya. "Tidak apa, Bu. Ayo masuk," ajaknya. Anjela masuk dengan mengikuti langkah Andrean, di sana Melody sudah merasa gugup. Ia hanya bisa diam sembari menatap nanar wajah Anjela. "Mel," sapa Anjela. "Ibu, apa kabar?" tanya Melody. Senyum yang pertama kali terulas sebelum wanita paruh baya menjawab tanya Melody. "Ibu baik, senang bisa bertemu denganmu lagi, Mel," tutur Anjela. "Melody juga senang bertemu dengan ibu mertua lagi, maaf ya Bu saya gagal," ucap Melody penuh keraguan. "Tidak apa, Melody. Itu sebuah kecelakaan di luar kendali kita, tapi bolehkah saya meminta?" tanya Anjela. Andrean sempat memberikan isyar
"Maksudmu apa, Nad!" hardik Andrean keras.Amarahnya meluap tatkala ia mendengar gumaman Andrean. Lagi-lagi nama Melody yang mulai diagung-agungkan. "Kenapa nama wanita itu yang selalu kau sebut-sebut, Mas! Tidak hanya kau, tapi ibu juga ... Semenjak ada wanita itu, aku selalu dinokor dua kan!" pekik Nadea keras. Andrean hanya memijat pelipisnya lembut, begitu lelah rasanya. Tapi apa dayanya? "Nad, maafkan aku. A-aku tidak bermaksud melakukan itu, tapi ...," ia menghentikan ucapannya. "Tapi, apa? Kamu mulai mencintainya 'kan?" hardik tanya Nadea. "Nad ...," lirih Andrean memanggil istrinya itu lembut. "Udahlah, Mas. Aku muak dengan semua ini," keluh Nadea kasar. Tangannya ditarik paksa oleh Andrean, membuatnya terperanjat kaget. Ia memberontak hebat tatkala Andrean memaksa mendekapnya. Tapi apa? Ia kembali luluh atas pelukan suaminya. "Nadea, aku sangat mencintaimu. Tidak mungkin aku menduakanmu ... Perkara aku pulang terlambat lalu kamu merasa aku sudah jatuh cinta pada Me
Lily mendongakkan kepalanya penuh keraguan, ditatapnya wajah Melody dengan penuh tanya. "Gak apa-apa kalau kamu mau, Ly. Biar sekalian Mas Andrean pulang ke rumah," ucap Melody. "Loh, Mel. Aku hanya akan mengantar Lily ke sekolah dan ke sini lagi," elaknya. "Tidak, Mas. Nona Nadea lebih membutuhkan kamu, tolong ya!" pinta Melody lembut. "Ya, oke." Setelahnya, Lily dan Andrean meninggalkan rumah sakit. Menyisakan Melody sendirian, lama ia menatap nanar wajah Larasati yang terlihat memar. "Bagaimana bisa ayah sekejam itu pada ibu? Padahal dulu hubungan ke duanya juga didasari cinta," lirih Melody penuh tanya. "Mel ...," panggil Larasati. Melody terperanjat, suara Larasati membuatnya tersadar dari lamunan singkatnya. "Iya, Bu. Ada apa?" tanya Melody tergagap. "Lily di mana?" Larasati menatap sekeliling, namun tidak ia temukan anak bungsunya itu. Hanya ada Melody dan seorang perawat yang mengecek dirinya. "Lily pergi ke sekolah," jawab singkat Melody. Ia hanya mengangguk paha
"I-ibu sedang sakit, Kak," ragu Lily menjawab tanya kakak sulungnya. Matanya membelalak lebar, kenapa Larasati diam saja? "Sakit apa, Ly?" todong tanya melody keras. Tanpa menunggu jawaban, Melody melenggang masuk ke dalam rumah. Mencari keberadaan ibunya yang ternyata tidak ada di kamar. "Ly, ibu di mana?" tanya Melody keras. "Di rumah sakit, Kak. I-ibu di rawat," jawabnya. Deg! "Dirawat?" degup jantungnya mulai tidak karuan. Lily hanya mengangguk pelan, ada apa dengan keluarganya ini? Beberapa waktu lalu, Larasati meneleponnya dengan biasa saja. Seolah tidak ada yang terjadi, tapi ini? "Ly, antar kakak ke rumah sakit sekarang!" tegasnya. Gontai langkah Lily mengantar Melody, sebuah taxi yang ia pesan akhirnya tiba. Dengan perasaan penuh kecemasan, Melody hanya bisa meremas roknya. 'Sial, kenapa selalu seperti ini sih!' gerutu Melody dalam batinnya. [Mas, adek ke rumah sakit ya. Ibu sakit ternyata, nanti adek kabarin lagi.] Melody. Pesan itu terkirim pada Andrean. Sepan