Kemudian keheningan kembali hadir di antara mereka. Keinginan untuk segera meninggalkan ruangan berkecamuk dalam hasratnya. Namun keberadaan pria itu membuatnya mempertimbangkan keinginan tersebut. Sekalipun terasa menyesakkan, ia memutuskan untuk bertahan. “Saya akan mengantarkan Anda untuk beristirahat ke ruangan kembali...” putus Eddy memecah kekeluan. Ia hanya hening tanpa penolakan kala pria itu bergerak ke belakangnya serta menuntun kursi rodanya beranjak meninggalkan ruang kerja. Dan terus hening bahkan selama berada dalam lift, dengan wajah yang lupa untuk berhenti mengernyit.Ia tak terlalu paham penyebabnya. Ia hanya ingin menghentikan rasa sesak yang menekan batinnya. Ia hanya tak ingin pria ini berada di dekatnya lebih lama lagi. Mengapa? Padahal selama ini ia sangat ingin bertemu orang lain yang berkaitan erat dengan hidupnya. Bukankah seharusnya ia merasa terhibur? Bukankah seharusnya ia dapat memuaskan keingintahuannya selama ini? Ditekankannya tangan ke ata
Sekalipun lorong rumah sakit siang hari itu cukup ramai, aku merasa seorang diri berjuang dengan keadaan baru yang tak nyaman. Dengan tertatih aku mencoba membiasakan diri melangkah bersama tongkat penyangga sebagai pengganti kaki kiriku yang tengah cedera akibat terjatuh di sekolah tempatku mengajar. Ternyata hal tersebut tak semudah kelihatannya. Namun aku harus secepatnya terbiasa dengan alat bantu tersebut agar dapat kembali bekerja secepatnya. Langkah yang tersendat dengan ritme tak beraturan membuatku kehilangan keseimbangan. Aku melangkah terhuyung-huyung dan berjuang mengembalikan kembali keseimbanganku. Dengan cepat aku menyadari telah gagal meraihnya. Aku jatuh di lorong bangsal dengan menubruk seorang pria yang berketepatan tengah melintas menuju lift. Tanpa tercegah aku dan juga pria berpakaian necis tersebut ambruk bersama ke lantai. Rasa sakit pada kaki yang cedera kembali menyambutku hingga-hingga membuatku meringis. Dan tanpa kusadari air mata pun turut mengalir ke
"A...aku panggilkan dokter!" ujar Joanne bergerak meraih tombol pemanggil di dekatnya. Dengan sigap dicegatnya tangan wanita itu. "Jangan ...." sahutnya dengan suara lemah. Tangannya yang terasa lembab dan dingin tersebut sontak membuat Joanne tanpa sadar bergerak menepis. Serta mendelik ke arahnya dengan wajah yang meminta penjelasan. Ia mendesah berulang kali, berusaha menguasai rasa sakit yang masih menyergapnya itu. Suaranya baru keluar setelah beberapa saat membuka mulut. Dan terdengar pelan berdesir."Mereka tak bisa berbuat banyak. Yang mereka lakukan hanya menyuntikkan obat penghilang rasa sakit sementara. Aku merasa itu bukan solusi yang tepat ...." Dengan mengernyit dalam dihelanya pandangan menjauh. “... Juga sedang tak ingin ....”Wanita yang sempat menarik diri itu beringsut mendekat kembali ke sampingnya. Setelah sempat mengusap bulir-bulir peluh pada pelipisnya, wanita tersebut mendekapnya. “Apa kamu yakin baik-baik saja untuk tidak melaporkannya pada paramedik, Wi
Ini sudah hari keempat ia tak melihat Fransisca. Seketika kekhawatiran mengerayapi batinnya. Selama ia mengenal Fransisca, gadis itu belum pernah absen menghabiskan sore hari di tempat ini. Apakah gadis itu sedang tak dalam kondisi yang memungkinkan keluar? Apakah dikarenakan kali terakhir pertemuan mereka gadis itu terlalu memaksakan diri? Ia menggeleng pelan serta melempar pandangan menjauh. Mungkin aku terlalu berlebihan. Bisa saja Fransisca datang ke mari di waktu yang berbeda dari biasanya sehingga kami tidak berpapasan. Namun penghiburan yang dilontarkannya bagi diri sendiri itu hanya mampu membesarkan hatinya sesaat. Pikiran untuk mencari tahu kembali bercokol dalam hasratnya. Ia akan menghampiri sobatnya itu. Pertama-tama yang dilakukannya adalah mencari tahu ruang perawatan gadis tersebut. Tanpa membuang waktunya lagi dikayuhnya kursi roda ke dalam rumah sakit menuju meja admisi di lobi utama. "Ah, Tuan Anderson! Anda disini rupanya," tegur sebuah suara mencegat kayuha
Perubahan suasana yang tiba-tiba membuat nafasnya turut tercekat seketika. Ia bahkan tak paham apa masalahnya kali ini. Joanne kini bahkan menekuk wajah di hadapannya seakan wanita tersebut tengah mengumpulkan daya untuk melanjutkan kata-kata. Diulurkannya tangan hendak meraih sosok itu sekalipun belum memiliki kalimat untuk dilontarkan. Namun belum sempat ia melaksanakan niatnya tersebut, Joanne telah merangkulnya tanpa aba-aba. “Aku sangat mencintaimu, Will ....”Masih dengan tatapan lurus menyiratkan kebingungannya, ia menangkap seulas senyum pada sudut bibir wanita di hadapannya itu. Dan menyadari ia tengah terkecoh dengan pembalasan wanita tersebut. Dikulumnya gelak yang seketika menggelitik di dada. “Astaga. Ternyata diam-diam kamu merencanakan untuk membalasku, ya,” ucapnya diikuti gelak.Ketukan dari arah pintu sontak membuyarkan gelak tawa di antara mereka dan serempak menyita perhatian keduanya. Ia mengenali pria dengan tatanan rambut klimis itu segera. Eddy Ross, sekret
Diusapnya peluh yang membasahi dahi, menatap hampa ke arah jendela dengan benak yang masih terus sibuk. Dihelanya nafas yang terengah memburu. Sepertinya wanita itu bersama denganku saat kecelakaan. Itu bukan mimpi melainkan potongan ingatan yang tersisa sebelum semuanya sirna, batinnya menyimpulkan. Apakah jika berhasil menangkap ucapan wanita itu tadi, aku dapat mengingat lebih banyak lagi? Mengapa aku merasa wanita itu mengucapkan sesuatu yang penting untuk kuingat? Lagi-lagi ia mengerang menahan sakit. Dilemparnya tatapan ke berbagai arah seiring batinnya yang masih dipenuhi pergelutan. Jika tak dapat mengandalkan ingatan yang masih menghilang tanpa jejak ini, setidaknya aku harus mencari cara lain untuk mengetahui siapa wanita itu. Diliriknya ke luar jendela, ternyata fajar telah menyingsing semenjak tadi. Tanpa berpikir lebih lama lagi, ia menekan tombol pemanggil. Seorang perawat berambut pirang mendatanginya. "Ada yang bisa saya bantu?" Sontak kekecewaan menghampirinya k
Ia mengulum bibir. Ia dapat menangkap betapa terguncangnya sosok mungil di hadapannya itu. Apakah yang dikatakan Fransisca tadi sungguh-sungguh? Bahwa Kay awalnya adalah anak yang sehat dan periang? Apa yang menyebabkan anak itu mendadak sakit hingga membawanya pada kematian? Bagaimana mungkin sahabat-sahabat kecilnya yang melihat kejadian ini tidak menjadi sangat gentar? Jangankan anak-anak dengan batin yang ringkih, orang dewasapun akan merasakan hal yang serupa. Meninggalnya Kay merupakan sebuah hantaman fatal bagi kejiwaan teman-teman bermainnya, Kathy dan Fransisca. Sesaat ia kehilangan kata-kata. Juga kemampuan untuk melontarkan ucapan yang menyemangati. Pikirannya kelu. Hal yang dapat dilakukannya hanya mendekap erat gadis itu. Cukup lama hingga selintas kata-kata memasuki ruang pikirnya."Fran, sebaiknya kamu jangan berpikiran begitu. Kemungkinan besar selama ini Kay memang sakit, hanya saja tidak ada yang menyadarinya. Kumohon jangan membanding-bandingkannya dengan dirimu
Seketika wajah wanita itu berubah murung.Sontak ia mencium adanya bau konflik di antara Joanne dan pria yang dipanggil Abe itu. Dan mengernyit gusar. Diam-diam rasa resah menjalar masuk ke dalam batinnya, menyalahkan diri tanpa tercegah –mengapa ia masih belum dapat mengingat apapun hingga kini. Juga merasa layaknya orang bodoh yang bahkan tak dapat mengingat kehidupannya sendiri, orang linglung yang bahkan tidak tahu apa-apa atas perihal hidupnya. Dihelanya nafas panjang, mencoba menyingkirkan gulana diri dengan cepat. Kemudian memberanikan diri untuk mencari tahu. "Siapa?" tanyanya dengan nada datar dan berdesir.Joanne tampak tersentak lalu mengangkat wajah menatap ke arahnya. "Maksudmu?", tanggap wanita itu terbata. Ia mencondongkan tubuhnya sembari mengulangi pertanyaan. "Siapa yang menjadi ‘tunangan sepadan’ itu?". Joanne menarik diri menjauh serta menghindari tatapannya. "Apakah kita perlu membicarakan hal ini?" ucap Joanne yang terdengar lebih mirip seperti gumaman. Meny
"Hah?" Ia mendelik semakin tak paham dengan ucapan Dave. "Apa maksudmu?" Alih-alih segera menyahut, sosok yang duduk di depan kemudi itu tampak berkonsentrasi penuh ke depan. Entah dikarenakan tidak memiliki cukup kesabaran atau alasan lainnya, Dave bersikeras mencari jalan alternatif untuk menghindari kemacetan yang tengah menghadang. Sementara menanti penjelasan dari Dave, kian banyak praduga yang bermunculan di benaknya. Turut dilayangkannya lirikan pada kaca tengah lalu spion untuk memeriksa keadaan sekitar. Setidaknya itu yang dapat dilakukannya saat ini demi mengatasi rasa gusar. Sejauh telisiknya, ia tidak menemukan tanda-tanda adanya penguntit. Apakah kini diriku boleh merasa tenang? Apakah kehadiran Dave mampu menjanjikanku keamanan? "Bahkan anak kembar sekalipun tidak memiliki sidik jari yang sama. Tidakkah kamu bertanya apa sebabnya kamu dapat dengan mudah melewati setiap sistem pengaman bersidik jari milik Wilbert? Tidakkah kamu memikirkan jawabannya?"Oleh tuturan Da
Seolah menangkap maksud tatapannya dengan tepat, pria itu segera bersuara. "Sebaiknya kita melanjutkan pembicaraan di tempat lain sebelum mengundang perhatian orang sekitar dengan interaksi penuh keakraban ini," usul Dave sembari menepis debu yang menempel pada bagian bawah celana jinsnya. Kemudian pria tersebut melangkah di depan seolah yakin akan diikuti. Setelah terjeda dalam pertimbangan beberapa saat, ia memutuskan untuk menyusul. Diraihnya ransel yang sempat terhempas tadi. Menepuk-nepuk benda berwarna hitam itu lalu menata kembali talinya ke atas pundak. Kendati tidak menoleh, Dave terlihat menurunkan laju derap. Pria itu membiarkannya menyetarakan langkah tanpa perlu tergesa-gesa. "Pertemuan dengan Ross di depan Guggenheim tadi malam bukan rencanaku sama sekali. Itu benar-benar di luar dugaanku. Tetapi, kamu dengan cepat menyimpulkan tanpa mendengarkan," terdengar Dave memberi penjelasan sedikit lebih panjang lebar dari biasanya."Tentu saja aku lebih mempercayai mataku da
Baru saja selangkah menapaki tangga bus, sebuah tangan mencengkeram kuat lengannya serta menariknya turun. Sontak ia terkesiap dan menoleh. Sembari memekik gusar, dikibaskannya tangan yang masih tercengkeram itu berulang kali. "Hey! Apa yang ...." "Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya ...." ujar sosok dari balik kerudung jaket hitam tersebut padanya. Suara berdesir kasar yang segera mengingatkannya pada seseorang. Dave. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyergah ucapan pria itu, sosok tersebut telah melanjutkan ucapan, "Nashville adalah tempat pertama yang akan mereka datangi untuk mencarimu." Diputuskannya untuk membendung kehendaknya untuk melawan. Batinnya mengatakan agar ia tidak gegabah dan memberi kesempatan mendengarkan. Dibiarkannya diri digiring menjauh dari samping bus.Begitu giringan pria tersebut berhenti, ia mendelik tajam ke arah Dave. Dengan sebelah tangan yang bebas, ia balas mencengkeram kerah jaket pria tersebut. "Jebakan apa lagi yang kini tengah ka
Kedua bola matanya bergerak liar seiring benak dan batinnya saling menimbang. Hatinya mengerucut kecut.Tetapi, bagaimana jika ternyata Dave merencanakan jebakan? Atas dasar apa aku dapat mempercayainya? Bisa saja dia salah satu dari orang Abe yang ditugaskan melacak dan memastikan keberadaanku. Sekonyong-konyong kian tercekam oleh pikiran sendiri, ia bergeming. Disandarkannya pucuk dahi pada pintu loker, melanjutkan menimbang. Jika memang demikian, bukannya Dave memiliki banyak kesempatan mencidukku saat dalam perjalanan ke New York? Setelah beberapa saat mengulum bibirnya, diputuskannya untuk menyudahi keterpakuannya pada rasa ragu. Diraihnya sepatu kets tua yang selalu disimpannya di dalam loker dan mengenakannya. Bersama rentetan pertanyaan yang dipersiapkannya, dibulatkannya tekad menghadapi resiko demi memperjelas keingintahuannya akan diri. Ia juga baru dapat memutuskan apakah Dave orang yang layak dipercaya atau tidak setelah menemui pria tersebut hari ini.Udara malam di pe
"Halo!" Sapaan yang datang dari balik punggungnya tersebut sontak mengejutkannya. Ia tak dapat mencegah dirinya untuk tidak terlonjak. Ia menoleh dengan kedua mata yang membulat sempurna. Mendapati sosok sang penyapa kian membuatnya tersentak. Bahkan hingga nyaris tak mampu mengatasi rasa terkejutnya. Dengan berusaha tak terdengar gelagapan, ia kemudian hanya bergumam menanggapi sekenanya. "Oh, hai ...." ucapnya pelan sembari melintas hening ke arah pintu belakang dapur restoran. Dikulumnya bibir menahan resah. Ini gawat! Bagaimana Dave bisa menemukanku? Aku yakin ini bukan sekedar kebetulan! Batinnya memekik segusar-gusarnya."Tidakkah kamu dapat menyapa teman lamamu dengan lebih baik, Tuan William Anderson?"Serta merta langkahnya terhenti. Sekali lagi ia mendapatkan serangan mengejutkan. Kendati hendak berkelit dan kabur, sekujur tubuhnya kelu begitu saja oleh teguran Dave barusan. Dengan tidak memutar tubuh sepenuhnya, ia menanggapi. "Sepertinya kamu salah mengenali orang. Nama
Matanya menangkap sesosok yang melesat hilang ke balik pohon di dekat tempat pembuangan sampah. Ia terkesiap menahan nafas. Siapa itu? Mengapa tampak seperti baru saja memata-matai tempat ini? Apakah mereka berhasil mengetahui keberadaanku?Sekali lagi ia memberanikan diri memeriksa lewat jendela.Tiada siapapun di luar sana. Bahkan setelah berulang kali mengerjap dan menyisir berkeliling, ia hanya menemukan keheningan malam. Aku yakin tadi melihat seseorang. Atau aku hanya terlalu was-was hingga berhalusinasi? Berapa lama lagi aku bisa bersembunyi di sini hingga aku ditemukan oleh mereka? Dengan langkah letih, dilanjutkan langkah dari dapur menuju ke kamar mandi satu bilik khusus karyawan. Ia butuh berbilas untuk menggelontorkan resahnya. Dibiarkannya bulir-bulir air yang dingin dari pancuran mendera permukaan tubuhnya. Dihelanya nafas panjang. Masih terus berjuang mengatasi badai kalut dalam batin. Aku tidak tahan lagi. Selalu merasa terjepit di antara rasa was-was ini seakan mem
Sekonyong-konyong sebersit pikiran muncul ke permukaan, ia memutuskan berhenti hening. Hati-hati dibalasnya tatapan pria yang telah kembali duduk di balik meja kerja tersebut."Tuan Gustav. Mungkin ini sebuah permintaan yang terdengar lancang ...." Sembari mengulum bibir sendiri, ia terjeda untuk menata keberanian sesaat. "Kalau boleh... saya mohon diizinkan bermalam di sini. Saya bisa merangkap sebagai penjaga keamanan sekaligus berberes-beres. Bagaimana?" tawarnya kemudian.Baik dirinya maupun Tuan Gustav hanya saling mengadu pandang dalam diam beberapa saat.Hingga pria bertubuh gembur tersebut menepuk tangan dan berdeham dari balik meja. "Kamu tidak ada masalah dengan hukum, kan?" tanya Tuan Gustav padanya bersama tatapan menelisik.Dengan sigap ia mengatasi keterhenyakannya. Sekali lagi ia tergelak miris. "Tidak ada. Ini semua hanya dikarenakan masalahku dengan keluarga semata," ujarnya dengan nada yakin. "Apakah masalahmu itu tidak akan berdampak pada tempat kerjamu?" tanya ata
Kakinya yang mulai berteriak letih sekonyong-konyong menyadarkannya. Dirinya tidak mungkin terus berlari. Kemudian ia pun serta merta bertekad nekad berbelok ke lorong buntu di belakang deretan gedung pertokoan sebelah kirinya tersebut. Matanya dengan sigap mencari tempat persembunyian. Dihampirinya salah satu pintu dan mencoba membukanya. Namun, lempengan berbahan besi itu hanya bergeming menutup. Hatinya mulai menggeliat resah diterpa rasa panik. Bersama bibir yang tiada henti mengumpat, ia kembali mencoba pada pintu demi pintu di deretan lorong tersebut. Hingga menemukan pintu yang terbuka pada percobaan keempat. Tanpa menyia-yiakan waktu bahkan untuk menarik nafas, ia menghambur masuk. Lekas-lekas ditutupnya kembali pintu dengan nyaris tanpa debam. Segera setelah matanya telah terbiasa dengan temaram ruangan, ia mengedarkan pandangan mencari tempat menyamarkan diri. Derap para pengejarnya yang samar-samar kian mendekat mengingatkannya agar segera bergegas. Segera ditekuknya tubuh
Langkahnya seketika terhenti. Sebuah ranjang dorong tampak menyembul pada salah satu pintu yang berada beberapa langkah di depannya. Setelah terjeda beberapa saat bersama rasa was-was, ia kembali lanjut mengendap-endap. Semakin langkahnya mendekati ranjang tersebut, semakin dirinya tercekik oleh ketercekaman. Hingga dirinya mampu mendengar degupan jantungnya dengan lantang di telinga. Namun semua itu tidak melebihi keingintahuannya. Dengan hati-hati ia menjulurkan mata ke arah sosok di atas ranjang dorong tersebut. Dan, sontak terkesiap. Fransisca!? Bagaimana bisa?Ranjang yang secara mendadak bergulir ke arahnya itu kembali membuatnya terkesiap. Ia serta merta melompat ke tepian demi menghindar. Sekonyong-konyong baru menyadari kehadiran sosok yang tengah mendorong pembaringan beroda tersebut. "Dokter Monger!? Aku ...."Belum usai ia menyapa, pria berjubah putih itu dengan mendelik lebar padanya serta membuka mulut dengan lantang. "Sudah kukatakan PERGI DARI SINI!" bentak sang dokter