Ia sontak mengangkat tubuh bangkit di atas pembaringan begitu matanya membuka. Terdengar suara berdeham halus di sampingnya. Dan suara yang serupa itu kemudian menegurnya. "Will? Mimpi buruk yang sama lagi?" Di tengah usahanya mengatur nafas memburu akibat mimpi buruknya barusan, ia menyempatkan diri mengangguk juga menyunggingkan sebuah senyuman.Diselingi keremangan lampu kamar, wanita tersebut mengingsut mendekatinya dan mendaratkan sebuah rangkulan hangat pada pundaknya. Tanpa menunda, dirinya pun turut menyambut tubuh wanita itu. Seakan lupa akan keresahan yang barusan mengusiknya, dikecup hangatnya wanita tersebut dengan intens. Tak butuh waktu yang lama, mereka pun saling menghangatkan malam dengan cumbuan mesra yang tak terurai. Dibelainya rambut wanita itu dan memberi kecupan untuk kesekian kali. “Aku sangat mencintaimu, Ann ....” bisiknya kemudian di sela-sela desahan.Matanya menghentak membuka seketika. Dengan membelalak lebar ditatapnya langit-langit ruangan yang tel
Bunyi dering lirih singkat-singkat yang terdengar dari arah telepon di hadapannya itu sontak mengalihkan perhatiannya dari tumpukan dokumen. Suara perawat Adams segera terdengar begitu ia menekan tombol penerima. “Tuan Anderson, Anda mendapatkan kunjungan dari Nona Ritt ....”“Baiklah. Saya akan kembali ke ruangan sebentar lagi.”“Apakah Anda membutuhkan bantuan?”“Kurasa tidak. Terima kasih,” sahutnya memutuskan dalam waktu singkat mengakhiri percakapan.Ditingkatkannya kecepatan membolak-balik sisa dokumen yang berhasil dikumpulkannya ke atas meja kerja tersebut. Ya. Untuk kesekian kalinya ia berniat mencari beberapa informasi mengenai identitas dirinya. Dan ia menyakini akan menemukan hal-hal tersebut jika mengobrak-abrik ruang kerjanya di rumah sakit ini. Namun sudah beberapa jam ia berada di dalam ruang kaca penuh rak buku ini terus berkutat dengan timbunan kertas-kertas yang isinya tidak sesuai harapannya itu, ia belum menemukan apapun selain menjadi ‘hafal’ dengan tanda tanga
“Aku sengaja tidak meminumnya,” ucapnya kemudian dengan tatapan yang masih melekat pada lubang kloset, seolah memastikan benda-benda mungil yang dibuangnya tadi benar-benar telah terbilas bersih tanpa jejak.Joanne sontak memberinya tatapan membelalak tak percaya. “Serius? Kamu malah membuangnya!?” lirih wanita itu masih dengan wajah terperangah. Ia segera melekatkan jari di depan bibir mengisyaratkan agar wanita tersebut tetap tenang.“Sstt ... Tenanglah. Obat-obatan tak jelas itu hanya membuat kepalaku berputar dan melemahkan tubuhku. Aku mulai mengambil keputusan untuk tak meminumnya mulai hari ini. Dan aku merasa lebih baik-baik saja,” jelasnya setengah berbisik. “Kamu yakin? Bagaimana jika nanti berakibat buruk dengan kesehatanmu?” ujar Joanne mengikuti langkahnya menuju ke pembaringan kembali.Ia tergelak tanpa menoleh. “Kita lihat saja nanti ....”***Di bawah naungan langit cerah musim panas siang hari itu, dihampirinya Fransisca yang bersama kursi roda tengah duduk di bawa
Langkahnya tertatihnya sontak terhenti tepat di ambang pintu ruang perawatan kala menemukan sesosok pengunjung tak terduga tengah menantinya. Menyadari kehadirannya, Eddy Ross segera bangkit dari duduk dan memberi salam tanpa kata ke arahnya. “Bisa utarakan maksud kedatanganmu kali ini, Eddy?” Ia mendengus resah sembari melanjutkan langkah memasuki ruangan.“Saya datang menjemput Anda keluar dari rumah sakit dan mengantar Anda pulang.”Jawaban sekretarisnya itu seketika membuatnya terhenyak. “Bagaimana kamu ....”Seolah mampu menebak lanjutan ucapannya dengan baik, Eddy memberinya penjelasan tanpa membuang-buang waktu.“Pihak rumah sakit menginfokan bahwa Anda telah diperbolehkan menjalani rawat jalan.”Ia terhenyak dalam diam. Rasa heran seketika memenuhi ruang pikirnya. Jika memang dokter Monger berniat menghubungi pihak keluargaku, mengapa hari itu pria tua tersebut seolah-olah memintaku berusaha sendiri mencari kontak dan menyiratkan tidak tahu menahu mengenai informasi yang
Ia menoleh dengan wajah yang mengernyit. "Sullivan?""Iya, Pak. Pengurus rumah tangga harian Anda," ujar Eddy menjelaskan dengan sigap.Lagi-lagi ia terjeda sebelum menanggapi lewat anggukan pelan. Diangkatnya sebelah tangan serta menggerakkannya sebagai siratan penolakan. “Sepertinya tidak perlu untuk hari ini ....”Diletakkannya tubuh ke atas sofa yang membentang di ruang tengah itu dengan gerak hati-hati seolah tubuhnya terbuat dari gelas. Hasrat untuk memiliki ruang dan waktu bagi diri sendiri kembali membersit dalam hatinya. Entah mengapa setiap sosok sekretarisnya itu hadir di dekatnya, keinginan tersebut kerap kali muncul dalam dirinya. Alih-alih merasa terhibur memiliki seseorang yang selalu menjaga kebutuhannya di sekitar, batinnya gerah dengan kehadiran ‘partner kerja’-nya itu. "Aku hanya ingin beristirahat saat ini," tutur nya singkat dengan maksud tersirat jelas pada sekretaris yang semenjak tadi berada di dekatnya terus menerus bagai satelit tersebut.Tanpa bantahan sep
Ponsel dalam sakunya terasa bergetar. Seketika ia baru menyadari benda tersebut telah terus berada di saku celananya nyaris separuh hari tanpa meniliknya. Segera diraihnya ponsel itu dan menerima panggilan dari Joanne. Ditekan-tekankannya sebelah tangan ke pelipis serta beranjak bangkit dari pembaringan. “Anne. Maaf aku belum memeriksa ponsel ....” ujarnya mengawali pembicaraan dengan suara serak.“Apakah kamu baik-baik saja, Will?”Ia melangkahkan kaki terseok-seok menghampiri jendela lebar yang ada pada ruangan. Disingkapkannya tirai tebal yang menutupi seluruh permukaan kaca jendela tersebut. Sinar mentari pagi sontak menyergap pandangannya. Dengan memicing ia menyahuti Joanne yang terdengar risau di ujung telepon.“Aku baik-baik saja. Aku hanya merasa lelah dan tertidur ....”“Apakah kita bisa bertemu di tempat biasa?”“Hah?” Serta merta ia terhenyak dan terjeda. Tanpa tercegah otaknya seketika menelaah kata ‘tempat biasa’ yang dimaksud. Namun dalam waktu singkat pula terdeng
Ia mengernyit tak paham. Seiring kegusaran yang membuncah, kepalanya turut kembali berdenyut nyeri. Sebuah ketukan pada pintu kamar serta merta membuatnya terlonjak kaget."Ya?" sahutnya bagai erangan."Tuan Wilbert, sarapan Anda telah siap!" terdengar Bu Sullivan berbicara di depan pintu. Ia bergumam tak jelas sebagai tanggapan. Didorongnya laci nakas itu dengan sekali hentakan, berdiri perlahan dan terduduk di pinggir pembaringan. Ditekan-tekannya kedua sisi pelipisnya berharap mampu meringankan deraan rasa yang sangat mengusik tersebut.Sepiring sajian sehat telah tersaji di atas meja bar sebagai sarapan –omelet lengkap dengan sayuran rebus. Perut yang bergemuruh memerintahkannya untuk segera menyantap sajian tersebut tanpa menunda lebih lama lagi. Pada suapan kedua ia menghentikan kunyahannya. Kemudian bergerak menuju lemari dapur, membuka satu per satu pintu lemari."Ada yang Anda butuhkan, Tuan Wilbert?" Teguran sang pengurus rumah tangganya itu sempat membuat geraknya terce
Ia terjeda. Demikian banyaknya keingintahuannya yang membuncah di dasar hatinya hingga ia bingung memilahnya. Demikian banyaknya pertanyaan yang tumpang tindih di dalam benaknya hingga ia tidak tahu darimana harus memulai. Wanita tua itu tampak menyingsingkan lengan pakaian kerja dan duduk di dekatnya, menatapnya seksama. Menyadari tengah dinanti untuk melanjutkan ucapan, ia mendorong dirinya kembali berbicara. "Aku... aku ...." Keraguan besar yang mendadak timbul dalam batin membuat lidahnya kelu dan benaknya beku. Pada akhirnya ia hanya menghela nafas panjang dan terduduk lemas di pinggir pembaringan.Entah mengapa dalam sesaat ia merasa adalah lebih baik untuk tidak sengaja mencari tahu tentang keseharian terdahulunya. Dan entah mengapa ia menyakini adalah kurang bijak untuk terburu-buru mencari tahu segala sesuatunya. Mungkinkah ia akan menyesalinya jika mengetahuinya dan juga semakin terusik? Bagaimana jika ia melupakan karena ingin melupakan? Bisa jadi dirinya kini adalah
"Hah?" Ia mendelik semakin tak paham dengan ucapan Dave. "Apa maksudmu?" Alih-alih segera menyahut, sosok yang duduk di depan kemudi itu tampak berkonsentrasi penuh ke depan. Entah dikarenakan tidak memiliki cukup kesabaran atau alasan lainnya, Dave bersikeras mencari jalan alternatif untuk menghindari kemacetan yang tengah menghadang. Sementara menanti penjelasan dari Dave, kian banyak praduga yang bermunculan di benaknya. Turut dilayangkannya lirikan pada kaca tengah lalu spion untuk memeriksa keadaan sekitar. Setidaknya itu yang dapat dilakukannya saat ini demi mengatasi rasa gusar. Sejauh telisiknya, ia tidak menemukan tanda-tanda adanya penguntit. Apakah kini diriku boleh merasa tenang? Apakah kehadiran Dave mampu menjanjikanku keamanan? "Bahkan anak kembar sekalipun tidak memiliki sidik jari yang sama. Tidakkah kamu bertanya apa sebabnya kamu dapat dengan mudah melewati setiap sistem pengaman bersidik jari milik Wilbert? Tidakkah kamu memikirkan jawabannya?"Oleh tuturan Da
Seolah menangkap maksud tatapannya dengan tepat, pria itu segera bersuara. "Sebaiknya kita melanjutkan pembicaraan di tempat lain sebelum mengundang perhatian orang sekitar dengan interaksi penuh keakraban ini," usul Dave sembari menepis debu yang menempel pada bagian bawah celana jinsnya. Kemudian pria tersebut melangkah di depan seolah yakin akan diikuti. Setelah terjeda dalam pertimbangan beberapa saat, ia memutuskan untuk menyusul. Diraihnya ransel yang sempat terhempas tadi. Menepuk-nepuk benda berwarna hitam itu lalu menata kembali talinya ke atas pundak. Kendati tidak menoleh, Dave terlihat menurunkan laju derap. Pria itu membiarkannya menyetarakan langkah tanpa perlu tergesa-gesa. "Pertemuan dengan Ross di depan Guggenheim tadi malam bukan rencanaku sama sekali. Itu benar-benar di luar dugaanku. Tetapi, kamu dengan cepat menyimpulkan tanpa mendengarkan," terdengar Dave memberi penjelasan sedikit lebih panjang lebar dari biasanya."Tentu saja aku lebih mempercayai mataku da
Baru saja selangkah menapaki tangga bus, sebuah tangan mencengkeram kuat lengannya serta menariknya turun. Sontak ia terkesiap dan menoleh. Sembari memekik gusar, dikibaskannya tangan yang masih tercengkeram itu berulang kali. "Hey! Apa yang ...." "Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya ...." ujar sosok dari balik kerudung jaket hitam tersebut padanya. Suara berdesir kasar yang segera mengingatkannya pada seseorang. Dave. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyergah ucapan pria itu, sosok tersebut telah melanjutkan ucapan, "Nashville adalah tempat pertama yang akan mereka datangi untuk mencarimu." Diputuskannya untuk membendung kehendaknya untuk melawan. Batinnya mengatakan agar ia tidak gegabah dan memberi kesempatan mendengarkan. Dibiarkannya diri digiring menjauh dari samping bus.Begitu giringan pria tersebut berhenti, ia mendelik tajam ke arah Dave. Dengan sebelah tangan yang bebas, ia balas mencengkeram kerah jaket pria tersebut. "Jebakan apa lagi yang kini tengah ka
Kedua bola matanya bergerak liar seiring benak dan batinnya saling menimbang. Hatinya mengerucut kecut.Tetapi, bagaimana jika ternyata Dave merencanakan jebakan? Atas dasar apa aku dapat mempercayainya? Bisa saja dia salah satu dari orang Abe yang ditugaskan melacak dan memastikan keberadaanku. Sekonyong-konyong kian tercekam oleh pikiran sendiri, ia bergeming. Disandarkannya pucuk dahi pada pintu loker, melanjutkan menimbang. Jika memang demikian, bukannya Dave memiliki banyak kesempatan mencidukku saat dalam perjalanan ke New York? Setelah beberapa saat mengulum bibirnya, diputuskannya untuk menyudahi keterpakuannya pada rasa ragu. Diraihnya sepatu kets tua yang selalu disimpannya di dalam loker dan mengenakannya. Bersama rentetan pertanyaan yang dipersiapkannya, dibulatkannya tekad menghadapi resiko demi memperjelas keingintahuannya akan diri. Ia juga baru dapat memutuskan apakah Dave orang yang layak dipercaya atau tidak setelah menemui pria tersebut hari ini.Udara malam di pe
"Halo!" Sapaan yang datang dari balik punggungnya tersebut sontak mengejutkannya. Ia tak dapat mencegah dirinya untuk tidak terlonjak. Ia menoleh dengan kedua mata yang membulat sempurna. Mendapati sosok sang penyapa kian membuatnya tersentak. Bahkan hingga nyaris tak mampu mengatasi rasa terkejutnya. Dengan berusaha tak terdengar gelagapan, ia kemudian hanya bergumam menanggapi sekenanya. "Oh, hai ...." ucapnya pelan sembari melintas hening ke arah pintu belakang dapur restoran. Dikulumnya bibir menahan resah. Ini gawat! Bagaimana Dave bisa menemukanku? Aku yakin ini bukan sekedar kebetulan! Batinnya memekik segusar-gusarnya."Tidakkah kamu dapat menyapa teman lamamu dengan lebih baik, Tuan William Anderson?"Serta merta langkahnya terhenti. Sekali lagi ia mendapatkan serangan mengejutkan. Kendati hendak berkelit dan kabur, sekujur tubuhnya kelu begitu saja oleh teguran Dave barusan. Dengan tidak memutar tubuh sepenuhnya, ia menanggapi. "Sepertinya kamu salah mengenali orang. Nama
Matanya menangkap sesosok yang melesat hilang ke balik pohon di dekat tempat pembuangan sampah. Ia terkesiap menahan nafas. Siapa itu? Mengapa tampak seperti baru saja memata-matai tempat ini? Apakah mereka berhasil mengetahui keberadaanku?Sekali lagi ia memberanikan diri memeriksa lewat jendela.Tiada siapapun di luar sana. Bahkan setelah berulang kali mengerjap dan menyisir berkeliling, ia hanya menemukan keheningan malam. Aku yakin tadi melihat seseorang. Atau aku hanya terlalu was-was hingga berhalusinasi? Berapa lama lagi aku bisa bersembunyi di sini hingga aku ditemukan oleh mereka? Dengan langkah letih, dilanjutkan langkah dari dapur menuju ke kamar mandi satu bilik khusus karyawan. Ia butuh berbilas untuk menggelontorkan resahnya. Dibiarkannya bulir-bulir air yang dingin dari pancuran mendera permukaan tubuhnya. Dihelanya nafas panjang. Masih terus berjuang mengatasi badai kalut dalam batin. Aku tidak tahan lagi. Selalu merasa terjepit di antara rasa was-was ini seakan mem
Sekonyong-konyong sebersit pikiran muncul ke permukaan, ia memutuskan berhenti hening. Hati-hati dibalasnya tatapan pria yang telah kembali duduk di balik meja kerja tersebut."Tuan Gustav. Mungkin ini sebuah permintaan yang terdengar lancang ...." Sembari mengulum bibir sendiri, ia terjeda untuk menata keberanian sesaat. "Kalau boleh... saya mohon diizinkan bermalam di sini. Saya bisa merangkap sebagai penjaga keamanan sekaligus berberes-beres. Bagaimana?" tawarnya kemudian.Baik dirinya maupun Tuan Gustav hanya saling mengadu pandang dalam diam beberapa saat.Hingga pria bertubuh gembur tersebut menepuk tangan dan berdeham dari balik meja. "Kamu tidak ada masalah dengan hukum, kan?" tanya Tuan Gustav padanya bersama tatapan menelisik.Dengan sigap ia mengatasi keterhenyakannya. Sekali lagi ia tergelak miris. "Tidak ada. Ini semua hanya dikarenakan masalahku dengan keluarga semata," ujarnya dengan nada yakin. "Apakah masalahmu itu tidak akan berdampak pada tempat kerjamu?" tanya ata
Kakinya yang mulai berteriak letih sekonyong-konyong menyadarkannya. Dirinya tidak mungkin terus berlari. Kemudian ia pun serta merta bertekad nekad berbelok ke lorong buntu di belakang deretan gedung pertokoan sebelah kirinya tersebut. Matanya dengan sigap mencari tempat persembunyian. Dihampirinya salah satu pintu dan mencoba membukanya. Namun, lempengan berbahan besi itu hanya bergeming menutup. Hatinya mulai menggeliat resah diterpa rasa panik. Bersama bibir yang tiada henti mengumpat, ia kembali mencoba pada pintu demi pintu di deretan lorong tersebut. Hingga menemukan pintu yang terbuka pada percobaan keempat. Tanpa menyia-yiakan waktu bahkan untuk menarik nafas, ia menghambur masuk. Lekas-lekas ditutupnya kembali pintu dengan nyaris tanpa debam. Segera setelah matanya telah terbiasa dengan temaram ruangan, ia mengedarkan pandangan mencari tempat menyamarkan diri. Derap para pengejarnya yang samar-samar kian mendekat mengingatkannya agar segera bergegas. Segera ditekuknya tubuh
Langkahnya seketika terhenti. Sebuah ranjang dorong tampak menyembul pada salah satu pintu yang berada beberapa langkah di depannya. Setelah terjeda beberapa saat bersama rasa was-was, ia kembali lanjut mengendap-endap. Semakin langkahnya mendekati ranjang tersebut, semakin dirinya tercekik oleh ketercekaman. Hingga dirinya mampu mendengar degupan jantungnya dengan lantang di telinga. Namun semua itu tidak melebihi keingintahuannya. Dengan hati-hati ia menjulurkan mata ke arah sosok di atas ranjang dorong tersebut. Dan, sontak terkesiap. Fransisca!? Bagaimana bisa?Ranjang yang secara mendadak bergulir ke arahnya itu kembali membuatnya terkesiap. Ia serta merta melompat ke tepian demi menghindar. Sekonyong-konyong baru menyadari kehadiran sosok yang tengah mendorong pembaringan beroda tersebut. "Dokter Monger!? Aku ...."Belum usai ia menyapa, pria berjubah putih itu dengan mendelik lebar padanya serta membuka mulut dengan lantang. "Sudah kukatakan PERGI DARI SINI!" bentak sang dokter