Dibawanya secangkir kopi dan sepiring sajian makan malamnya itu ke meja tengah. Dipungutnya jas kerjanya dari atas lantai dan kembali menghempaskannya ke atas sofa dengan sebelah tangan.Tak ayal, tindakannya barusan membuat buku agenda milik Wilbert yang disimpannya dalam saku jas turut terhempas keluar, membentur lantai hingga membuat sampul kulit buku tersebut terlepas. Ia terhenyak kala menyaksikan kertas-kertas yang selama ini terselip pada sampul itu serta merta menghambur keluar. Segera setelah berhasil memungut dan mengumpulkan kesemuanya, dibawanya kertas-kertas tersebut ke atas sofa. Digerakkan oleh hasrat mencari tahu, ia pun mulai memeriksa helaian demi helaian itu. Sebuah bon pemesanan menarik perhatiannya. Dan tak kalah terperanjat kala mengetahui bon tersebut merupakan bukti pemesanan sepasang cincin yang berukirkan nama Wilbert dan Joanne. Seketika dirinya tercenung resah. Joanne. Ah, aku sungguh melupakan wanita itu. Juga kesalahpahaman yang terjadi di antara kami .
"Tuan muda Anderson! Lama tak melihat Anda ...."Kini, giliran dirinya yang tertegun. Ia tak menyangka wanita itu mengenalinya. Namun kebingungannya itu tak berlangsung lama, ia segera menyadari kalau yang dimaksud wanita petugas administrasi itu adalah Wilbert Anderson, bukan dirinya –William. Adalah benar bahwa dirinya dan Wilbert bagai pinang dibelah dua. Sejak kecil nyaris tiada orang yang mampu membedakan mereka berdua dalam sekilas pandang. Hanya orang-orang berinteraksi sehari-hari dengan mereka-lah yang dapat membedakan."Bukan dikarenakan telah beberapa lama tak mengunjungi makam Nyonya Anderson tak lantas membuat Anda lupa, kan?" tukas wanita tua itu membenahi letak kacamata. Dengan bergumam singkat menanggapi, ia hanya menyunggingkan senyuman tipis menepis tatapan menelisik wanita tersebut padanya. "Selera humor Anda memang tinggi, Tuan muda. Berhentilah menggoda Pak Wright ...." Terdengar gelak geli wanita tua itu sembari melirik ke arah bapak sang petugas yang menuntu
Ditepuk-tepuknya kedua lututnya yang terasa berdenyut nyeri tersebut sembari melayangkan pandangan berkeliling. Dan terperanjat kala menemukan sebuah nisan lain yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Dari warna batunya yang masih putih bersih, nisan itu tampak terbilang baru. Makam siapa itu? Apakah ada kerabat Abe yang baru meninggal dan dimakamkan di sini? Keingintahuan menggerakkannya untuk mencondongkan diri ke arah nisan baru itu. Bagai tengah melakukan perbuatan terlarang, jantungnya berdentum kencang hingga-hingga telinganya dapat mendengarnya dengan jelas. Entah dikarenakan udara yang menusuk kulit, ujung-ujung jemari yang digunakannya untuk menyingkirkan tumpukan dedaunan basah dari atas nisan itu terasa kelu membeku sedingin es. Ia terkesiap membelalak. Bahkan tanpa sadar menahan nafas kala membaca tulisan yang terpatri pada batu putih tersebut. Dan menolak percaya dengan apa yang ditemukannya. Sekonyong-konyong kehilangan kemampuan nalarnya, berkali-kali ia mengula
"Ini tidak seperti kelihatannya, Ann. Aku hanya salah mengira Joanne adalah dirimu. Sungguh!" jelasnya sembari menjangkaukan tangan meraih wanita itu. Tubuhnya tertahan. Geraknya praktis terhenti sesaat. Ia menoleh dan menemukan Joanne yang tengah menggenggam erat tangannya dengan tatapan serupa. Melihat sosok Ann yang bergerak meninggalkan tempat itu sontak membuat resah menderanya. Dengan cepat ia berkelit dari cegatan Joanne dan segera menghambur menyusul langkah Ann. Kali ini ia tidak ingin bergerak dengan hati-hati, disambarnya tangan mungil wanita itu serta menggenggamnya erat seakan tak ingin melepaskannya."Ann, kumohon ...." ujarnya memelas.Wanita yang sedari tadi hanya membungkam diri itu pada akhirnya membuka suara. “Pergilah, Will! Hidupilah masa depanmu!" suara wanita itu terdengar lirih berpacu dengan suara deru hujan. Sekalipun lagi-lagi menerima penolakan pahit dari Ann, tak sedikitpun ia berkeinginan merenggangkan pegangannya pada tangan wanita tersebut. Rasa takut
"Ketika rasa kehilangan yang demikian besar menyatu dengan sesal yang tak kalah besarnya, akan membawa seseorang kepada alam delusi –dimana ia terbuai oleh imaji penghiburan yang terlahir dari hasrat terdalamnya." Dinyalakannya pemanas ruangan dan menaikkan suhunya. Ia merapatkan jaket yang dikenakannya, mengusap-usap tubuh yang terasa dingin sekaligus lantak tersebut, sebelum kemudian bersidekap. Diliriknya pantulan diri pada pintu kaca lemari buku di seberang sofa. Menatap hening pada perban yang melekat di sudut kiri atas wajahnya itu. Sepulangnya dari pemakaman, disempatkannya mampir ke klinik terdekat untuk menangani luka di pelipisnya itu. Ia tak ingin membuat keributan berkelanjutan lagi dengan membiarkan Bu Sullivan menemukan betapa kacaunya dirinya saat pulang, karena itu diputuskannya untuk menanganinya dengan baik sesegera mungkin. Dan mendapat tiga jahitan pada pelipis kirinya, juga memar di sepanjang sisi kiri tubuhnya. Mungkin nanti ia akan memasang dalih dirinya terj
Seolah tengah melakukan aba-aba, ia mematut diri di depan pintu. Setelah menghabiskan beberapa jam di malam panjangnya, akhirnya ia berhasil menemukan alamat kontrakan Joanne. Tentu saja lagi-lagi dari buku agenda milik Wilbert yang super lengkap itu. Meskipun merasa sangat terbantu, hati kecilnya masih menyimpan pertanyaan besar tentang mengapa dan bagaimana buku yang tampak begitu penting bisa terpisah dari pemiliknya. Ia terbatuk. Diselesaikannya rentetan desakan ketidaknyamanan pada tenggorokannya tersebut dengan dehaman tegas sebelum memberanikan diri menekan bel yang ada di samping pintu. "Anne? Apakah kamu di dalam?" panggilnya dengan suara yang sedikit lantang.Hening. Bahkan ia tak mendengar suara bel berbunyi di dalam sana. Ia segera berkesimpulan bel yang berulang kali ditekannya itu tidak berfungsi sebagaimana seharusnya. Kini diketuknya pintu kayu bercat hijau itu. "Anne!", panggilnya dengan suara serak yang kian lantang. Ia kembali memasang telinga. Terdengarnya sah
"Anda sudah sadarkan diri, Pak?" tegur suara itu begitu pelupuk matanya kembali membuka dan kesadarannya teraih. Segera ditolehkannya pandangan ke kanan dan ke kiri. Ia telah dipindahkan ke ruang perawatan. Dan bersama Eddy, yang entah bagaimana telah berada di dekatnya."Dokter mengatakan Anda terserang flu. Anda diminta beristirahat sekitar 3 hari," ujar sekretarisnya yang tampak bergerak menghampiri ke sisi kiri pembaringan itu. Ia hanya mengeluarkan gumaman yang terdengar seperti suara erangan. Ditempelkannya telapak tangan pada belakang leher kemudian mengusap-usapinya hingga membuat tabung infus yang terhubung ke tangannya bergoyang riuh. "Jika merasa tidak sehat seharusnya memintaku mengantarkan Anda ke rumah sakit, mengapa Anda pergi sendiri?" Ucapan gusar Eddy terdengar mirip omelan di ruang dengarnya. Ia mendesah kemudian menyandarkan kepala ke belakang pembaringan. Diarahkannya pandangan sejenak ke arah pria di sampingnya tersebut sebelum kemudian melayangkannya ke ar
Ketika kesadaran penuh telah berkumpul seluruhnya ke dalam relung nyawa, ia tertegun mendapati dirinya baru saja meracau dengan mata terbuka. “Siapa kamu?” gumamnya mengerjap heran sementara benaknya mulai kembali bekerja.Wanita berseragam putih tersebut segera menyapanya ramah. “Selamat sore. Saya bertugas melakukan pemeriksaan rutin pada Anda. Bisa saya periksa suhu Anda sebentar?” Ia mengangguk gagap dan membiarkan perawat menyelipkan termometer pada pangkal lengannya. “Pukul berapa perawat Adams bertugas?” seketika dilontarkannya pertanyaan yang sempat berkelebat dalam ruang pikirnya itu. Sembari mengambil kembali termometer dari bawah lengannya, perawat itu meliriknya sebelum menjawab. “Apakah maksud Anda perawat Sally Adams?” tanya wanita berambut pirang yang terikat cepol rapi tersebut di sela kesibukan menorehkan tulisan pada papan catatan riwayat pasien. “Apakah ada Adams yang lain?” ia kembali menanyakan untuk memastikan setelah sempat terjeda.“Di bangsal ini memang
"Hah?" Ia mendelik semakin tak paham dengan ucapan Dave. "Apa maksudmu?" Alih-alih segera menyahut, sosok yang duduk di depan kemudi itu tampak berkonsentrasi penuh ke depan. Entah dikarenakan tidak memiliki cukup kesabaran atau alasan lainnya, Dave bersikeras mencari jalan alternatif untuk menghindari kemacetan yang tengah menghadang. Sementara menanti penjelasan dari Dave, kian banyak praduga yang bermunculan di benaknya. Turut dilayangkannya lirikan pada kaca tengah lalu spion untuk memeriksa keadaan sekitar. Setidaknya itu yang dapat dilakukannya saat ini demi mengatasi rasa gusar. Sejauh telisiknya, ia tidak menemukan tanda-tanda adanya penguntit. Apakah kini diriku boleh merasa tenang? Apakah kehadiran Dave mampu menjanjikanku keamanan? "Bahkan anak kembar sekalipun tidak memiliki sidik jari yang sama. Tidakkah kamu bertanya apa sebabnya kamu dapat dengan mudah melewati setiap sistem pengaman bersidik jari milik Wilbert? Tidakkah kamu memikirkan jawabannya?"Oleh tuturan Da
Seolah menangkap maksud tatapannya dengan tepat, pria itu segera bersuara. "Sebaiknya kita melanjutkan pembicaraan di tempat lain sebelum mengundang perhatian orang sekitar dengan interaksi penuh keakraban ini," usul Dave sembari menepis debu yang menempel pada bagian bawah celana jinsnya. Kemudian pria tersebut melangkah di depan seolah yakin akan diikuti. Setelah terjeda dalam pertimbangan beberapa saat, ia memutuskan untuk menyusul. Diraihnya ransel yang sempat terhempas tadi. Menepuk-nepuk benda berwarna hitam itu lalu menata kembali talinya ke atas pundak. Kendati tidak menoleh, Dave terlihat menurunkan laju derap. Pria itu membiarkannya menyetarakan langkah tanpa perlu tergesa-gesa. "Pertemuan dengan Ross di depan Guggenheim tadi malam bukan rencanaku sama sekali. Itu benar-benar di luar dugaanku. Tetapi, kamu dengan cepat menyimpulkan tanpa mendengarkan," terdengar Dave memberi penjelasan sedikit lebih panjang lebar dari biasanya."Tentu saja aku lebih mempercayai mataku da
Baru saja selangkah menapaki tangga bus, sebuah tangan mencengkeram kuat lengannya serta menariknya turun. Sontak ia terkesiap dan menoleh. Sembari memekik gusar, dikibaskannya tangan yang masih tercengkeram itu berulang kali. "Hey! Apa yang ...." "Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya ...." ujar sosok dari balik kerudung jaket hitam tersebut padanya. Suara berdesir kasar yang segera mengingatkannya pada seseorang. Dave. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyergah ucapan pria itu, sosok tersebut telah melanjutkan ucapan, "Nashville adalah tempat pertama yang akan mereka datangi untuk mencarimu." Diputuskannya untuk membendung kehendaknya untuk melawan. Batinnya mengatakan agar ia tidak gegabah dan memberi kesempatan mendengarkan. Dibiarkannya diri digiring menjauh dari samping bus.Begitu giringan pria tersebut berhenti, ia mendelik tajam ke arah Dave. Dengan sebelah tangan yang bebas, ia balas mencengkeram kerah jaket pria tersebut. "Jebakan apa lagi yang kini tengah ka
Kedua bola matanya bergerak liar seiring benak dan batinnya saling menimbang. Hatinya mengerucut kecut.Tetapi, bagaimana jika ternyata Dave merencanakan jebakan? Atas dasar apa aku dapat mempercayainya? Bisa saja dia salah satu dari orang Abe yang ditugaskan melacak dan memastikan keberadaanku. Sekonyong-konyong kian tercekam oleh pikiran sendiri, ia bergeming. Disandarkannya pucuk dahi pada pintu loker, melanjutkan menimbang. Jika memang demikian, bukannya Dave memiliki banyak kesempatan mencidukku saat dalam perjalanan ke New York? Setelah beberapa saat mengulum bibirnya, diputuskannya untuk menyudahi keterpakuannya pada rasa ragu. Diraihnya sepatu kets tua yang selalu disimpannya di dalam loker dan mengenakannya. Bersama rentetan pertanyaan yang dipersiapkannya, dibulatkannya tekad menghadapi resiko demi memperjelas keingintahuannya akan diri. Ia juga baru dapat memutuskan apakah Dave orang yang layak dipercaya atau tidak setelah menemui pria tersebut hari ini.Udara malam di pe
"Halo!" Sapaan yang datang dari balik punggungnya tersebut sontak mengejutkannya. Ia tak dapat mencegah dirinya untuk tidak terlonjak. Ia menoleh dengan kedua mata yang membulat sempurna. Mendapati sosok sang penyapa kian membuatnya tersentak. Bahkan hingga nyaris tak mampu mengatasi rasa terkejutnya. Dengan berusaha tak terdengar gelagapan, ia kemudian hanya bergumam menanggapi sekenanya. "Oh, hai ...." ucapnya pelan sembari melintas hening ke arah pintu belakang dapur restoran. Dikulumnya bibir menahan resah. Ini gawat! Bagaimana Dave bisa menemukanku? Aku yakin ini bukan sekedar kebetulan! Batinnya memekik segusar-gusarnya."Tidakkah kamu dapat menyapa teman lamamu dengan lebih baik, Tuan William Anderson?"Serta merta langkahnya terhenti. Sekali lagi ia mendapatkan serangan mengejutkan. Kendati hendak berkelit dan kabur, sekujur tubuhnya kelu begitu saja oleh teguran Dave barusan. Dengan tidak memutar tubuh sepenuhnya, ia menanggapi. "Sepertinya kamu salah mengenali orang. Nama
Matanya menangkap sesosok yang melesat hilang ke balik pohon di dekat tempat pembuangan sampah. Ia terkesiap menahan nafas. Siapa itu? Mengapa tampak seperti baru saja memata-matai tempat ini? Apakah mereka berhasil mengetahui keberadaanku?Sekali lagi ia memberanikan diri memeriksa lewat jendela.Tiada siapapun di luar sana. Bahkan setelah berulang kali mengerjap dan menyisir berkeliling, ia hanya menemukan keheningan malam. Aku yakin tadi melihat seseorang. Atau aku hanya terlalu was-was hingga berhalusinasi? Berapa lama lagi aku bisa bersembunyi di sini hingga aku ditemukan oleh mereka? Dengan langkah letih, dilanjutkan langkah dari dapur menuju ke kamar mandi satu bilik khusus karyawan. Ia butuh berbilas untuk menggelontorkan resahnya. Dibiarkannya bulir-bulir air yang dingin dari pancuran mendera permukaan tubuhnya. Dihelanya nafas panjang. Masih terus berjuang mengatasi badai kalut dalam batin. Aku tidak tahan lagi. Selalu merasa terjepit di antara rasa was-was ini seakan mem
Sekonyong-konyong sebersit pikiran muncul ke permukaan, ia memutuskan berhenti hening. Hati-hati dibalasnya tatapan pria yang telah kembali duduk di balik meja kerja tersebut."Tuan Gustav. Mungkin ini sebuah permintaan yang terdengar lancang ...." Sembari mengulum bibir sendiri, ia terjeda untuk menata keberanian sesaat. "Kalau boleh... saya mohon diizinkan bermalam di sini. Saya bisa merangkap sebagai penjaga keamanan sekaligus berberes-beres. Bagaimana?" tawarnya kemudian.Baik dirinya maupun Tuan Gustav hanya saling mengadu pandang dalam diam beberapa saat.Hingga pria bertubuh gembur tersebut menepuk tangan dan berdeham dari balik meja. "Kamu tidak ada masalah dengan hukum, kan?" tanya Tuan Gustav padanya bersama tatapan menelisik.Dengan sigap ia mengatasi keterhenyakannya. Sekali lagi ia tergelak miris. "Tidak ada. Ini semua hanya dikarenakan masalahku dengan keluarga semata," ujarnya dengan nada yakin. "Apakah masalahmu itu tidak akan berdampak pada tempat kerjamu?" tanya ata
Kakinya yang mulai berteriak letih sekonyong-konyong menyadarkannya. Dirinya tidak mungkin terus berlari. Kemudian ia pun serta merta bertekad nekad berbelok ke lorong buntu di belakang deretan gedung pertokoan sebelah kirinya tersebut. Matanya dengan sigap mencari tempat persembunyian. Dihampirinya salah satu pintu dan mencoba membukanya. Namun, lempengan berbahan besi itu hanya bergeming menutup. Hatinya mulai menggeliat resah diterpa rasa panik. Bersama bibir yang tiada henti mengumpat, ia kembali mencoba pada pintu demi pintu di deretan lorong tersebut. Hingga menemukan pintu yang terbuka pada percobaan keempat. Tanpa menyia-yiakan waktu bahkan untuk menarik nafas, ia menghambur masuk. Lekas-lekas ditutupnya kembali pintu dengan nyaris tanpa debam. Segera setelah matanya telah terbiasa dengan temaram ruangan, ia mengedarkan pandangan mencari tempat menyamarkan diri. Derap para pengejarnya yang samar-samar kian mendekat mengingatkannya agar segera bergegas. Segera ditekuknya tubuh
Langkahnya seketika terhenti. Sebuah ranjang dorong tampak menyembul pada salah satu pintu yang berada beberapa langkah di depannya. Setelah terjeda beberapa saat bersama rasa was-was, ia kembali lanjut mengendap-endap. Semakin langkahnya mendekati ranjang tersebut, semakin dirinya tercekik oleh ketercekaman. Hingga dirinya mampu mendengar degupan jantungnya dengan lantang di telinga. Namun semua itu tidak melebihi keingintahuannya. Dengan hati-hati ia menjulurkan mata ke arah sosok di atas ranjang dorong tersebut. Dan, sontak terkesiap. Fransisca!? Bagaimana bisa?Ranjang yang secara mendadak bergulir ke arahnya itu kembali membuatnya terkesiap. Ia serta merta melompat ke tepian demi menghindar. Sekonyong-konyong baru menyadari kehadiran sosok yang tengah mendorong pembaringan beroda tersebut. "Dokter Monger!? Aku ...."Belum usai ia menyapa, pria berjubah putih itu dengan mendelik lebar padanya serta membuka mulut dengan lantang. "Sudah kukatakan PERGI DARI SINI!" bentak sang dokter