Azkiya menatap setiap sudut taman tersebut. Tapi ia tak menemukan sesuatu ataupun seseorang yang aneh.
“Sepertinya seseorang terus mengawasiku,” lirihnya dengan wajah yang mulai tampak resah.
Sekali lagi, Azkiya menatap kertas tersebut lalu meremasnya perlahan.
Azkiya selalu berusaha berpikir positif di setiap kejadian aneh yang menimpanya, tapi kali ini ia tidak bisa lagi melakukannya.
Jika dipikirkan lagi, semua ini tidak mungkin hanya kebetulan.
Kekhawatiran dan rasa takut mulai menyusup ke dalam hatinya.
Bagaimanapun juga Azkiya takut jika orang yang menerornya melakukan hal yang nekat.
Azkiya menghela nafas seraya mengusap wajahnya pelan.
Samar terdengar suara langkah seseorang yang mendekat.
Azkiya menoleh ke belakang.
Ia tampak terkejut. Ternyata itu adalah Arza. Lelaki itu menenteng sebuah kantong plastik.
Dengan cepat Azkiya meremas kertas tersebut lalu memasukkannya ke dalam saku.
Arza terpaku seraya memegang kertas tersebut.Dari mana asalnya benda ini? Matanya menatap tanpa berkedip untuk beberapa saat.Tiba-tiba Azkiya masuk ke dalam kamar. Ia tampak heran saat melihat Arza yang terdiam bagai patung sambil memegang sesuatu.Ia lantas melangkah mendekati Arza karena penasaran.“Kamu sedang ap….”Azkiya tak meneruskan ucapannya saat melihat benda yang ada di tangan Arza.“Kenapa Kak Arza memegang benda itu?” Azkiya membatin. Jantungnya mulai bertalu.Tentu saja. Azkiya mengenali benda tersebut. Sebuah kertas lusuh yang ia dapat dari taman sore tadi.“Bukankah benda itu seharusnya ada di saku milikku?” tanya Azkiya dalam hatinya .Wajahnya tampak panik.Tatapannya beralih pada ponsel di atas nakas. Azkiya rasa kertas itu terjatuh saat ia mengeluarkan ponselnya dari saku.Kini Azkiya menyesal karena tidak membuang kertas tersebut saat itu juga.
“Kenapa diam?” tanya Arza yang melihat Azkiya tertegun.“Oh! Tidak apa-apa.”“Aku tidak sengaja melihatnya saat memijat kemarin malam,” ujar Arza dengan wajah kikuk.Tapi jika Azkiya mengingat kembali, ibu mertuanya memang terlihat agak aneh saat ia bertanya mengenai hal itu.Azkiya menghela nafas pelan. Ia lalu menatap Arza yang kembali terdiam seraya menatap ke depan.Meski tidak tahu persis rasanya, tapi Azkiya tahu jika semua itu bukanlah hal yang mudah untuk dilewati.Sungguh, perasaan bersalah yang ditanggung oleh Arza adalah hal yang wajar.Namun, melihat Arza yang trauma hingga depresi seperti itu, Azkiya rasa itu bukan hal yang benar.Azkiya menatap tangan Arza dalam genggamannya.“Kamu berhak merasa bersalah, Kak.”“Tapi itu semua di luar kendalimu sebagai manusia,” ujar Azkiya.Arza menoleh lalu menatap perempuan di sampingnya.Tatapan itu dibalas oleh Azkiya.“Kamu harus bisa memaafakan diri sendiri.”Ucapan Azkiya bagai es yang membasuh hati Arza. Memang benar. Semua di lua
Ucapan Ria sungguh menohok langsung ke dalam hati Arza.Selama ini, Arza bahkan memilih untuk menahan rasa kecewa dan tetap mempertahankan Ria.Benar. Ia belum mampu mengakhiri hubungan tersebut meski ingin.Tangan Arza mengepal dengan sangat kuat. Ia marah. Marah pada dirinya sendiri karena terlalu lemah.“Sudah aku katakan jika kau tak akan pernah bisa lepas dariku,” lirih Ria dengan senyum sinisnya.“Kau tidak punya pilihan selain mempertahanku bukan?” pongah Ria dengan penuh percaya diri“Tidak.”“Aku tidak akan lagi menjadi pengecut sekarang,” ujar Arza pelan.Senyum mengejek terbit dari bibir Ria.“Benarkah?”Ria menyentuh rambutnya pelan.“Hubungan kita benar-benar berakhir hari ini,” jelas Arza.Tawa sumbang menguar dari mulut Ria. Wanita itu bahkan sampai menunduk karena terus tertawa geli.“Katakan itu langsu
Azkiya tengah memasukkan baju-baju yang sudah ia setrika ke dalam lemari.Matanya melirik ke arah pintu kamar. Arza belum juga masuk.Lelaki itu tengah duduk di teras. Entah apa yang Arza lakukan di sana, ia tidak tahu.Azkiya tidak tahu apa yang dimaksud Arza mengenai urusan di luar tadi siang, tapi yang jelas raut wajah Arza tampak berbeda saat kembali.Dan setelah itu Arza lebih banyak diam.Bulan tampak bersinar dengan indah. Azkiya tengah menikmati pemandangan itu seraya duduk di sofa dalam kamarnya.Sinarnya yang terang menembus melewati pintu kaca kamarnya.Terdengar suara pintu dibuka dari luar. Azkiya menoleh ke sumber suara. Arza muncul dari balik pintu lalu berjalan masuk.Tak disangka lelaki itu ikut duduk di sofa tepat di sebelah Azkiya.Perempuan itu menoleh sekilas lalu kembali menatap bulan. Ia bingung harus bereaksi seperti apa.Keheningan menyelimuti untuk beberapa saat.“Kamu baik-baik saja, Kak?” Akhirnya Azkiya memulai percakapan.Lelaki itu mengangguk tanpa membu
Alwi tertawa sumbang sambil membuang tatapannya ke samping.“Apa yang kau bicarakan?”“Kau sangat aneh,” seloroh Alwi sambil menggelengkan kepalanya.Ia benar-benar terkejut karena Arza tiba-tiba mengatakan hal itu.“Jangan lupa jika aku juga seorang lelaki, Alwi.”“Aku tahu bahkan hanya dengan melihat tingkahmu,” tutur Arza tanpa menatap sahabatnya itu. Nada bicara Arza tiba-tiba menjadi serius.“Azkiya juga sahabatku jika kau lupa,” pungkas Alwi mencoba mengelak.Ia kemudian terdiam dengan pikiran penuh. Apakah perasaannya sangat kentara sehingga Arza menyadarinya?Suasana menjadi senyap.Arza hanya diam sambil menatap lukisan-lukisan di dinding. Sementara Alwi tampak tertegun sambil memainka jari-jarinya.Detik terus berlalu tapi dua lelaki itu masih tenggelam dalam pikirannya masing-masing.Setelah cukup lama terdiam, Alwi bangkit dari duduknya
Azkiya tampak menggenggm garpu dan memilah-milah buah yang ada di piring. Tapi ia tak kunjung memakannya.Kepalanya menunduk. Ia menatap piring di hadapannya sambil melamun.Terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka.Seorang lelaki keluar dengan handuk yang bertengger di pinggangnya.Arza selesai dengan ritual mandinya.Azkiya menunduk semakin dalam saat mendengar suara langkah Arza padahal lelaki itu berjalan menuju lemari.Tampaknya Arza akan memakai pakainnya.Mengetahui hal itu, Azkiya baru sadar jika dia masuk ke kamar terlalu cepat. Biasanya ia akan menunggu hingga suaminya selesai lebih dulu.Ia ingin keluar dari sana. Tapi tubuhnya serasa membeku.Otak Azkiya seperti linglung, ia tidak tahu harus melakukan apa.Azkiya tidak bergerak sedikitpun. Matanya tetap menatap ke bawah. Ia tak berniat untuk melirik meski sekilas.Tak lama Arza sudah selesai memakai pakaiannya dengan rapi.Lelaki itu kemudian melangkah menuju sofa. Ia menatap Azkiya yang masih mematung dengan posisi
Arza masih menatap Azkiya tanpa mengatakan apapun. Kepalanya bergerak maju mendekat ada Azkiya.Jantung Azkiya sudah tidak aman. Tubuhnya tiba-tiba mematung tak bergerak.Jarak mereka semakin terkikis dan kini Arza sudah benar-benar menempel ada Azkiya.Tapi lelaki itu tiba-tiba berhenti bergerak."Aku tidak bisa tidur.""Bolehkah aku memelukmu?" tanya Arza dengan suara pelan. Ia tampak ragu saat mengatakannya."H-hah?""Tentu saja." Meski sedikit terkejut, tapi Azkiya akhirnya mengizinkannya.Tangan Arza bergerak perlahan ke atas tubuh Azkiya.Arza memeluk pinggang ramping perempuan itu.Sementara wajahnya ia tempelkan menempel pada pundak Azkiya.Azkiya hanya terdiam dan membiarkan Arza melakukan apapun yang lelaki itu inginkan.Ia meletakkan kedua tangannya di atas lengan kekar Arza lalu mengusapnya lembut.Ujung matanya melirik ke arah Arza. Lelaki itu tampak terpejam, sepertinya mencoba u
Gama menggaruk kecil ujung alisnya, ia tampak berpikir sejenak."Eeh.""Itu...."Azkiya masih menunggu. Ia sudah sangat yakin akan kebohongan yang Gama ucapkan."Sudah dua bulan!""Ya! Sudah dua bulan," ujar Gama sambil tersenyum canggung.Azkiya tersenyum miring saat mendengar jawaban itu."Benarkah?" tanya Azkiya memancing.Wajah Gama tampak canggung, ia menatap kesana kemari untuk menghindari Azkiya."Jadi di mana kita bertemu untuk pertama kalinya?" Lagi Azkiya bertanya.Arza dan Lina tampak heran dengan apa yang Azkiya lakukan, tapi mereka hanya diam dan terus memperhatikan."Kita pertama kali bertemu di kota sebelah.""Apa kamu lupa? Aku yang menolongmu waktu itu," jelas Gama dengan percaya diri. Ia tidak sadar bahwa ucapannya adalah bumerang bagi dirinya sendiri."Ah, benar. Itu tepat saat pembukaan kafe suamiku di luar kota.""Jadi pasti aku ada di sana," ujar Azkiya seray
Arza terkapar ke sandaran sofa sebelum sempat menuntaskan ucapannya. Satu pukulan keras melayang tepat di sisi kiri wajahnya. Benar. Pukulan tersebut melayang dari tangan Alwi.Dengan cepat Alwi meraih kerah baju Arza dan memaksa lelaki itu untuk berdiri.”Apa kau sudah tidak waras?”Arza tampak pasrah dalam cengkraman Alwi yang tengah dikuasai amarah. Entah karena merasa bersalah atau tidak memiliki tenaga, tapi lelaki itu terlihat tidak berniat melawan sahabatnya.Lagi-lagi satu pukulan mentah mendarat mulus di wajah Arza. Lelaki itu terhuyung ke belakang hingga menabrak meja kerjanya.Arza ambruk tepat di bawah meja.“Bagaimana bisa kalian melakukan itu pada Azkiya?” cicit Alwi dengan mata nyalang menatap ke arah Arza. Dia sudah berusaha menekan emosinya, tapi akhirnya meledak juga.Perbuatan Arza dan orangtuanya sungguh tidak manusiawi. Mereka telah merenggut nyawa ayah Azkiya lalu kini membodohi perempuan itu deng
Alwi mengendarai motor dengan kecepatan tinggi menembus gelapnya malam. Sepanjang perjalanan hatinya merasa tidak tenang.Setelah berkendara beberapa saat, akhirnya Alwi sampai di tempat tujuan. Ia langsung melepas helm yang bertengger di kepalanya lalu bergegas turun.Tangannya mengetuk pintu beberapa kali. Alwi tampak tidak sabar menunggu pintu tersebut terbuka.Seorang perempuan muncul dari balik pintu yang terbuka perlahan dari dalam. Dia adalah Atifa. Mereka saling menatap satu sama lain sebelum akhirnya Alwi diizinkan masuk.“Kamu tahu di mana Azkiya?” tanya Alwi langsung pada intinya. Mereka bahkan masih dalam posisi berdiri.Atifa terdiam dan tampak ragu.Tiba-tiba fokus Alwi teralihkan saat seseorang melangkah keluar dari dalam kamar.“Azkiya,” lirih Alwi dengan mata yang menatap ke arah perempuan tersebut.Mereka kini tengah duduk lesehan di ruang tamu berukuran kecil tersebut. Tampaknya tidak ada yang berniat memulai percakapan karena sedari tadi mereka hanya terdiam dengan
Atifa mengangguk pelan seraya menatap perempuan yang hanya menyembulkan kepalanya dari dalam kamar.“Azkiya!”“Ada apa sebenarnya?” tanya Atifa seraya melangkah masuk ke dalam kamar.Sementara itu Azkiya kembali duduk di atas kasur. Ia menunduk menatap lantai.Setelah cukup lama berada di danau untuk meluapkan segala amarahnya, Azkiya terlunta-lunta di jalanan hingga malam sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi ke tempat Atifa.Azkiya sudah menduga Arza akan mencarinya ke kontrakan Atifa. Beruntung sahabatnya itu bersedia merahasiakan keberadaannya dari lelaki itu.Atifa ikut menjatuhkan bokongnya tepat di samping Azkiya. Matanya memindai wajah perempuan itu dengan seksama.Tampak jelas wajah Azkiya yang pucat disertai dengan mata yang bengkak. Atifa yakin sahabatnya itu menangis cukup lama.“Kamu bertengkar dengan Arza?” tanya Atifa dengan hati-hati. Ia semakin penasaran karena Azkiya membi
Lelaki itu merogoh ponselnya lalu mencoba menghubungi Azkiya.Berkali-kali panggilan itu tidak terjawab, membuat Arza semakin gelisah.Dengan debar jantung yang sudah tak terkendali, Arza melangkah cepat menuruni tangga. Ia kembali menghampiri orang tuanya di ruang tamu.“Bukankah Azkiya sudah pulang?”“Kemana Azkiya?” tanya Arza beruntun.Wajahnya tampak panik.Lina dan Darma hanya diam membisu.“Jawab aku!!” bentak Arza. Kesabarannya sudah hilang. Ia benar-benar sudah tenggelam dalam rasa takutnya. Benar, Arza takut kehilangan lagi.“Azkiya sudah tahu semuanya lalu dia pergi,” ungkap Lina disela isakkan kecilnya. Perasaan bersalah semakin menggunung menyelimuti hatinya.Seketika kaki Arza terasa lemas mendengar penuturan sang ibu.“Tidak! Azkiya!”Lelaki itu seketika berlari keluar.Dengan cepat Arza berlari menyusuri jalanan. Matanya menata
“Bagaimana bisa kau menikahkannya dengan Arza?!” Darma menatap Lina dengan tidak percaya.Lelaki itu mengusap wajah kasar. Sungguh ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Lina.“Kenapa tidak bisa?”“Hidupnya terjamin dan bahagia bersama Arza. Dan itu adalah caraku meminta maaf atas apa yang terjadi padanya,” ungkap Lina yang merasa tindakannya tidaklah salah.“Kau….” Darma hampir tidak bisa berkata-kata lagi.“Bagaimana jika dia tahu bahwa Arza adalah pelaku tabrak lari yang menyebabkan ayahnya meninggal dunia?”“Dan mertuanya yang membungkam kasus itu agar Arza tidak dipenjara?” cecar Darma dengan perasaan tidak karuan.Tindakan Lina sungguh diluar dugaannya.“Semua akan aman jika kamu tetap diam!” gertak Lina.Ia tahu mungkin ini terlalu beresiko, tapi tidak ada cara lain.“Tutup mulut….”&ldquo
“Kamu menemukan orangnya?” tanya Lina seraya menatap menantunya lekat.Ia bahkan menghadapkan seluruh tubuhnya ke arah Azkiya.Azkiya mengangguk pelan.“Siapa?” Lagi Lina bertanya.“Seorang pemulung yang tinggal tidak jauh dari tempat kejadian itu,” tukas Azkiya.Pandangannya menatap entah kemana.”Ternyata keluarga pelaku memberinya uang agar tetap diam.”“Aku tidak habis pikir ada manusia sejahat itu, Bu,” lirih AzkiyaIa menunduk seraya tersenyum miris.Manusia memang bisa lebih jahat dari yang ia kira pikirnya.“Aku sedang berusaha menemukan mereka.”“Kak Arza meminta bantuan temannya dan juga meminta polisi kembali mengusutnya,” tutur Azkiya menjelaskan.Tak ada tanggapan. Lina hanya diam mendengar semua ucapan Azkiya.“Aku akan meminta keadilan pada mereka.” Azkiya tersenyum seraya mengalihkan pandangannya pa
“Memangnya Azkiya kenapa?” tanya Arza lagi. Ia kembali melangkah lalu berdiri tepat di dekat Azkiya.“Kak Arza?” lirih Azkiya seraya mendongak untuk menatap sang suami.“Kapan kamu datang?” tanya Rania dengan gugup. Wajahnya tampak tegang.“Sejak kamu bertanya bagaimana wanita seperti Azkiya bisa menikah denganku,” seloroh Arza.Suasana menjadi canggung seketika. Teman-teman Arza hanya saling melirik satu sama lain.Sementara itu manik mata Rania bergerak kesana kemari. Ia merasa terintimidasi karena Arza menatapnya dengan dingin.“Wanita seperti apa maksudmu?” tanya Arza sekali lagi.Rania duduk dengan gelisah.”Sepertinya kamu salah paham, Arza.”“Jadi apa maksudmu?” sambar Arza cepat.Ia tidak bodoh. Arza tahu pertanyaan Rania memang bermaksud merendahkan Azkiya.“Kak!” Azkiya menarik baju Arza dengan pelan. Ia berusa
Arza terus menatap Azkiya cukup lama tanpa berkedip. Ia tampak terpana dengan penampilan perempuan itu.Make up yang dipakai sangat cocok dan menyatu dengan kulit wajahnya.Dress panjang yang simple namun tetap elegan juga terlihat indah di tubuh Azkiya.Penampilan perempuan itu mampu membuat Arza tidak berpaling.Azkiya sampai menyentuh wajah serta memeriksa kembali pakaian yang melekat di tubuhnya.Apa ada yang salah pikirnya?“Kak!” seru Azkiya.Suara perempuan itu menarik kesadaran Arza kembali.Ia mengerjap beberapa kali.”O-oh? Iya?”“Apa aku tidak pantas memakai ini?”“Atau aku jelek?” tanya Azkiya khawatir.Jika benar begitu, maka ia tidak perlu pergi. Azkiya tidak ingin membuat Arza malu.“Kalau begitu aku tidak usah pergi, ya?”Arza mengernyit.”Apa maksudmu?”Lelaki itu bergegas melangkah menghampiri Azkiya.“Ayo!” ajak Arza.Di dalam mobil, Arza berkali-kali melirik perempuan yang duduk di sampingnya.Azkiya memang sudah cantik, tapi hari ini dia terlihat sangat cantik.“Jad
“Kamu anaknya?” Suara pria tua itu terdengar bergetar. Wajahnya tampak sangat terkejut.Azkiya mengangguk pelan. Ia masih belum melepas cekalan tangannya pada pria tersebut.Untuk sesaat dua orang itu hanya terdiam sambil menatap satu sama lain.Mata Azkiya menatap kesana kemari, ia sudah masuk dan tengah duduk di dalam gubuk kecil tersebut.Hati Azkiya merasa tersentil mengingat seberapa seringnya ia berkata lelah dan terkadang merasa kurang beruntung, padahal masih banyak yang kehidupannya lebih sulit darinya.“Kakek tinggal sendirian di sini?” tanya Azkiya hati-hati.Pria itu mengangguk untuk menjawab pertanyaan Azkiya.Banyak hal yang sebenarnya ingin ia tanyakan, tapi Azkiya merasa tidak enak. Lagipula tujuannya datang karena ada alasan khusus.“Jadi benar kalau Kakek adalah saksi mata kejadian itu?” Azkiya membenarkan posisi duduknya. Tatapannya terlihat sangat serius saat berbicara.